ANALISIS PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN
MASYARAKAT HILIR TERHADAP UPAYA PERBAIKAN
KONDISI HUTAN DI HULU DAS DELI
SKRIPSI
Oleh :
MERIAM ZANARIA 061201024
DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN
MASYARAKAT HILIR TERHADAP UPAYA PERBAIKAN
KONDISI HUTAN DI HULU DAS DELI
SKRIPSI
Oleh :
MERIAM ZANARIA
061201024/MANAJEMEN HUTAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Penelitian : Analisis Pembayaran Jasa Lingkungan Masyarakat Hilir Terhadap Upaya Perbaikan Kondisi Hutan Di Hulu DAS Deli
Nama Mahasiswa : Meriam Zanaria
NIM : 061201024
Departemen : Kehutanan
Program Studi : Manajemen Hutan
Disetujui oleh
Yunus Afiffudin S.Hut, M.Si Komisi Pembimbing
Mengetahui
ABSTRAK
MERIAM ZANARIA : Analisis Pembayaran Jasa Lingkungan Masyarakat Hilir Terhadap Upaya Perbaikan Kondisi Hutan Di Hulu DAS Deli. Dibimbing oleh
YUNUS AFIFFUDIN.
Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli merupakan daerah penyumbang sumber air terbesar. Saat ini DAS Deli sudah dalam kondisi yang kritis. Akibat adanya kerusakan hutan di hulu DAS Deli. Kerusakan tersebut akan menimbulkan
kerugian bagi masyarakat. Tidak hanya kerugian ekonomi tetapi juga hilangnya fungsi jasa lingkungan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2010
di kecamatan-kecamatan yang termasuk di daerah hilir DAS Deli. Analisis yang digunakan adalah regresi linier berganda dan Willingness to Pay (WTP) melalui wawancara dengan Contingent Valuation Method. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa rata-rata nilai kesediaan membayar (WTP) masyarakat hilir adalah Rp 14.415/bln/KK, total dana yang berpotensi untuk perbaikan kondisi hutan di hulu DAS Deli adalah Rp 277.056.300/bln/KK, dalam satu tahun adalah sebesar
Rp 3.324.675.600/thn/KK.
ABSTRAC
MERIAM ZANARIA : Analysis Lower Payments for Environmental Services Community Improvement Efforts Against Forest Condition in the Upper Basin Deli. Supervised by YUNUS AFIFFUDIN.
Watershed (DAS) Deli is a contributor to the region's largest water source. Currently, DAS Deli has been in critical condition. As a result of deforestation in the upstream watershed Deli. The damage will cause harm to the community. Not only economic loss but also loss of function of environmental services. This research was conducted in July - August 2010 in the districts included in the downstream watershed Deli. The analysis used is multiple linear regression and Willingness to Pay (WTP) through interviews with the Contingent Valuation Method. The results showed that the average value of willingness to pay (WTP) is downstream communities Rp 14.415/mounth/people, total funds have the potential to improve forest conditions in the upstream watershed is Rp 7.373.849.100/mounth/population Deli, within one year amounted to Rp 88.486.189.200/year/population.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 20 Februari 1989 dari ayah Ir. Aidil Yanto dan ibu Dra. Deliana. Penulis merupakan puteri pertama dari
tiga bersaudara.
Tahun 2006 penulis lulus dari SMA Al-Azhar Medan dan pada tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur Pemanduan Minat dan
Prestasi (PMP-USU). Penulis memilih program studi Manajemen Hutan Departemen Kehutanan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa silva, sebagai asisten praktikum di Laboratorium Geodesi dan Kartografi, Klimatologi, Inventarisasi Hutan dan Praktikum Ekologi Hutan. Selain
itu juga aktif dalam organisasi Baitul asyjar /Badan Kenadziran Musholla (BKM). Penulis melaksanakan kegiatan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Analisis Pembayaran Jasa Lingkungan Masyarakat Hilir Terhadap Upaya Perbaikan Kondisi Hutan Di Hulu DAS Deli.
Pada kesempatan ini penulis menghaturkan pernyataan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan, memelihara dan mendidik penulis selama ini. Penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada Bapak Yunus Afiffudin S.Hut, M.Si dan Bapak Nurdin Sulistiyono S.Hut, M.Si selaku ketua dan anggota komisi
pembimbing yang telah membimbing dan memberikan berbagai masukan berharga kepada penulis dari mulai menetapkan judul, melakukan penelitian, sampai pada ujian akhir.
Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf pengajar dan pegawai di Program Studi Manajemen Hutan Departemen Kehutanan, serta semua rekan mahasiswa yang tak dapat disebutkan satu per satu
di sini yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Medan, 2010
DAFTAR ISI
Hal.
ABSTRAK ... ii
ABSTRACT ... iii
RIWAYAT HIDUP ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 3
Manfaat Penelitian ... 3
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Daerah Aliran Sungai ... 4
Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli ... 4
Jasa Lingkungan ... 6
Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan... 7
Contingent Valuation Method ... 9
Kelebihan Contingent Valuation Method ... 10
Kekurangan Contingent Valuation Method ... 10
Willingness To Pay ... 11
Penerapan Pembayaran Jasa Lingkungan Di Berbagai Negara ... 12
Penerapan Di Brazil ... 12
Penerapan Di Kosta Rika ... 12
Penerapan Di Kota New York Dan Masyarakat Distrik Catskill ... 13
Penerapan Di Indonesia ... 13
Analisis Regresi ... 14
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu ... 17
Bahan dan Alat ... 17
Prosedur Penelitian ... 17
Pengumpulan Data ... 18
Populasi Dan Sampel ... 18
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden ... 22
Umur ... 22
Pekerjaan ... 24
Pendidikan ... 25
Pendapatan ... 27
Jumlah Tanggungan Keluarga ... 28
Pengeluaran ... 30
Nilai Willingness To Pay Terhadap Upaya Perbaikan Kondisi Hutan ... 31
Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan ... 36
Hubungan Karakteristik Responden Terhadap WTP ... 38
Persepsi Masyarakat Terhadap Kondisi Hutan Di Hulu DAS Deli ... 39
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 42
Saran ... 42
DAFTAR PUSTAKA ... 43
DAFTAR TABEL
No. Hal.
1. Skoring Data Kondisi Hutan Dengan Skala Likert ... 20
2. Skoring Data Kerawanan Hutan Dengan Skala Likert ... 20
3. Skoring Data Keberadaan Hutan Dengan Skala Likert ... 20
4. Skoring Data Perbaikan Kondisi Hutan Dengan Skala Likert ... 21
5. Skoring Data Keaktifan Organisasi Sosial Dengan Skala Likert ... 21
6. Karakteristik Penduduk DAS Deli ... 22
7. Komposisi Responden Berdasarkan Kelompok Umur ... 24
8. Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 25
9. Komposisi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 27
10. Komposisi Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan ... 28
11. Komposisi Responden Berdasarkan Pengeluaran ... 30
DAFTAR GAMBAR
No. Hal.
1. Komposisi Reseponden Berdasarkan Kelompok Umur ... 23
2. Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 24
3. Komposisi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 26
4. Komposisi Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan ... 27
5. Komposisi Responden Berdasarkan Pengeluaran... 29
6. Komposisi Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga ... 30
LAMPIRAN
No. Hal.
1. Kuisioner Penelitian ... 46
2. Data Primer Penelitian ... 48
3. Data WTP & Perhitungan WTP ... 58
4. Output SPSS Metode Enter ... 62
ABSTRAK
MERIAM ZANARIA : Analisis Pembayaran Jasa Lingkungan Masyarakat Hilir Terhadap Upaya Perbaikan Kondisi Hutan Di Hulu DAS Deli. Dibimbing oleh
YUNUS AFIFFUDIN.
Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli merupakan daerah penyumbang sumber air terbesar. Saat ini DAS Deli sudah dalam kondisi yang kritis. Akibat adanya kerusakan hutan di hulu DAS Deli. Kerusakan tersebut akan menimbulkan
kerugian bagi masyarakat. Tidak hanya kerugian ekonomi tetapi juga hilangnya fungsi jasa lingkungan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2010
di kecamatan-kecamatan yang termasuk di daerah hilir DAS Deli. Analisis yang digunakan adalah regresi linier berganda dan Willingness to Pay (WTP) melalui wawancara dengan Contingent Valuation Method. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa rata-rata nilai kesediaan membayar (WTP) masyarakat hilir adalah Rp 14.415/bln/KK, total dana yang berpotensi untuk perbaikan kondisi hutan di hulu DAS Deli adalah Rp 277.056.300/bln/KK, dalam satu tahun adalah sebesar
Rp 3.324.675.600/thn/KK.
ABSTRAC
MERIAM ZANARIA : Analysis Lower Payments for Environmental Services Community Improvement Efforts Against Forest Condition in the Upper Basin Deli. Supervised by YUNUS AFIFFUDIN.
Watershed (DAS) Deli is a contributor to the region's largest water source. Currently, DAS Deli has been in critical condition. As a result of deforestation in the upstream watershed Deli. The damage will cause harm to the community. Not only economic loss but also loss of function of environmental services. This research was conducted in July - August 2010 in the districts included in the downstream watershed Deli. The analysis used is multiple linear regression and Willingness to Pay (WTP) through interviews with the Contingent Valuation Method. The results showed that the average value of willingness to pay (WTP) is downstream communities Rp 14.415/mounth/people, total funds have the potential to improve forest conditions in the upstream watershed is Rp 7.373.849.100/mounth/population Deli, within one year amounted to Rp 88.486.189.200/year/population.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
DAS Deli (Daerah Aliran Sungai) merupakan daerah penyumbang sumber air terbesar bagi penduduk kota medan. Daerah aliran sungai ini terlatak di di Kabupaten Karo, Deli Serdang, dan Kota Madya Medan, Propinsi Sumatera
Utara. Berdasarkan hasil penelitian oleh BPDAS Wampu-Sei Ular (2003), luasan DAS Deli adalah sebesar 48.162 Ha. Dari luasan tersebut diperoleh hasil bahwa besarnya tutupan vegetasi (termasuk kebun masyarakat dan kawasan Mangrove)
hanya 15%. Besarnya tutupan lahan yang hanya 15% belum cukup memadai untuk sebuah kondisi DAS yang ideal, sebab luasan penutupan lahan yang ideal
adalah 40 %.
Daerah Aliran Sungai merupakan kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografi (pinggir pegunungan) dimana kawasan tersebut menampung,
menyimpan dan mengalirkan air malalui sistem sungai dan mengeluarkannya melalui titik tunggal. Daerah Aliran Sungai memiliki fungsi hidrologis yaitu
mengalirkan air, menyangga kejadian puncak hujan, melepas air secara bertahap, memelihara kualitas air dan mengurangi pembuangan massa (seperti tanah
longsor).
Dewasa ini keadaan Daerah aliran sungai sudah dalam kondisi kritis, hal ini dikarenakan adanya kerusakan hutan yang terjadi di daerah hulu. Penggunaan
lahan di daerah hulu, seperti untuk kawasan hutan, pertanian, dan agroforestri,
merupakan bagian penting dari fungsi jasa lingkungan. Masyarakat memperoleh
dan ambil dari lanskap daerah hulu. Tetapi, mereka tidak memperoleh hasil
apapun dari usaha memelihara agar lanskap selalu dapat menghasilkan fungsi jasa
lingkungan di luar kawasan dan di daerah hilir. Dengan demikian, keprihatinan
atas hilangnya hutan tropis pada hakikatnya merupakan kekhawatiran atas
hilangnya nilai intrinsik hutan dan fungsi jasa lingkungan.
Salah satu dampak yang sering terjadi akibat dari rusaknya kondisi hutan
di hulu DAS Deli adalah akan meningkatkan laju debit air di daerah hilir, pada tahun 2008 debit sungai Deli mengalami defisit 2,5 m3/dtk. Dari tahun ke tahun
ketersediaan air sungai terus menurun dikarenakan hilangnya daerah resapan air yang dapat menampung dan menahan air. Banyaknya kerusakan hutan yang terjadi di hulu akan menyebabkan perubahan debit air pada saat musim kemarau
dan musim hujan sehingga akan dapat menimbulkan terjadinya banjir. Banjir yang terjadi akan menimbulkan kerugian khususnya kerugian materi. Keadaan tersebut
akan berdampak besar bagi masyarakat di daerah hilir, sebab masyarakat di daerah hilir yang akan menerima konsekuensi yang telah dilakukan oleh masyarakat hulu. Tetapi bukan hanya masyarakat hilir saja yang akan terkena
dampak melainkan stakeholder yang ikut memanfaatkan air yang ada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli juga akan mengalami kerugian. Kerugian ekonomi
yang ditimbulkan akan berkaitan dengan nilai kelestarian lingkungan. Nilai kelestarian lingkungan akan dapat dilihat melalui Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL).
Namun, Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) di DAS Deli belum dapat tersedia. Hal inilah yang menjadi alasan penulis melakukan penelitian untuk dapat
kontingen. Metode kontingensi digunakan untuk menanyakan kepada responden
tentang ketersediaan membayar jika ditempatkan pada situasi yang sesungguhnya, dan kesediaan membayar tersebut akan ditransformasikan ke dalam bentuk nilai
uang. Maka atas dasar pemikiran tersebut dilakukan penelitian dengan judul “Analisis Pembayaran Jasa Lingkungan Masyarakat Hilir Terhadap Upaya Perbaikan Kondisi Hutan Di Hulu DAS Deli”.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui tingkat kesediaan membayar yang dilakukan oleh masyarakat hilir terhadap upaya perbaikan kondisi hutan di Hulu DAS Deli.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi informasi bagi pihak yang
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Daerah Aliran Sungai
Daerah aliran sungai merupakan suatu kesatuan wilayah tata air yang terbentuk secara alamiah dimana semua air hujan yang jatuh ke daerah ini akan mengalir melalui sungai dan anak sungai yang bersangkutan (Kodoatie dan
Sjarief, 2005). Dalam penyebutannya daerah aliran sungai ada yang menyebutnya dengan Daerah Pengaliran Sungai (DPS) dan Daerah Tangkapan Air (DTA), sedangkan dalam istilah bahasa Inggrisnya adalah Catchment Area, Watershed,
River Basin, dll.
Daerah aliran sungai adalah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografi
(pinggir pegunungan) dimana kawasan tersebut menampung, menyimpan dan mengalirkan air malalui sistem sungai dan mengeluarkannya melalui titik tunggal (single outlet). Respon DAS terhadap hujan terdiri dari respon DAS pada
limpasan langsung (direct runoff) dan respon DAS pada aliran dasar (baseflow). (Maryono, 2005).
Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli
Luas DAS Deli mencapai 48.162 Ha, DAS Deli merupakan penyumbang
sumber air terbesar bagi penduduk kota medan yang mencapai 320.000 satuan sambungan. Jika kawasan DAS Deli rusak dikhawatirkan dimasa mendatang kota
hulu dari segi letak daerah dalam suatu DAS dan yang dipersepsikan oleh
masyarakat luas merupakan daerah paling atas sedangkan daerah hilir adalah daerah paling bawah dari suatu DAS. Daerah hulu umumnya dicirikan oleh
topografi bergunung, curah hujan tinggi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat lokalnya kurang maju. Semakin ke arah hilir cenderung makin landai, hujan makin kurang dan kondisi sosial ekonomi lebih baik (Slamet, 2010).
Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli terletak di Kabupaten Karo, Deli Serdang, dan Kota Madya Medan, Propinsi Sumatera Utara. DAS Deli di sebelah
timur berbatasan dengan DAS Percut, sedangkan di sebelah barat dengan DAS Belawan. DAS tersebut terdiri dari tujuh Sub DAS yakni Sub DAS Petani, Sub DAS Simai-mai, Sub DAS Deli, Sub DAS Babura, Sub DAS Bekala, Sub DAS
Sei Kambing dan Sub DAS Paluh Besar (BPDAS Wampu-Sei Ular, 2003).
Letak Sub DAS tersebut dalam DAS antara lain : Sub DAS Petani terletak
di hulu, yakni ujung selatan berbatasan langsung dengan DAS yang alirannya mengalir ke selatan. Sub DAS Simai-mai berada di bagian hulu sebelah timur Sub DAS Petani, berbatasan langsung dengan DAS Percut. Sub DAS Deli terletak di
tengah berbatasan langsung dengan Sub DAS Simai-mai, DAS Percut dan Sub DAS Babura. Sub DAS Babura dijumpai di tengah berbatasan dengan Sub DAS
Petani, Sub DAS Bekala, Sub DAS Deli dan Sub DAS Sei Kambing (BPDAS Wampu-Sei Ular, 2003).
Panjang dan kemiringan DAS Deli diklasifikasikan menjadi 5 kelas, yaitu
kelas I (datar), kelas II (landai), kelas III (agak curam), kelasIV (curam), kelas V (sangat curam). Penutupan lahan atau penggunaan lahan adalah aktivitas manusia
seperti permukiman dan sebagainya. DAS Deli memiliki bentuk penggunaan
lahan yang dapat dikelolmpokkan menjadi 12 kategori penutupan lahan. Lahan berupa hutan dijumpai pada bagian hulu DAS (Sibolangit ke selatan) dan di
bagian pantai (Hamparan Perak). Hutan dibagian hulu biasanya didominasi oleh jenis-jenis campuran, sedang hutan pantai ditempati dengan jenis-jenis bakau. Berdasarkan peta tanah DAS Deli terdapat jenis tanah yang tersebar menurut
fisiografinya, yaitu yang berada di wilayah daratan dan yang terdapat di wilayah perbukitan hingga pegunungan. Peta tanah daerah DAS Deli didominasi oleh jenis
hidromorfik kelagu glei seluas 22.688 Ha (47,11 %) dan podsolik coklat kekuningan seluas 11.307 Ha (23,48 %) (BPDAS Wampu-Sei Ular, 2003).
Jasa Lingkungan
Jasa lingkungan adalah produk sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berupa manfaat langsung (tangible) dan manfaat tidak langsung (intangible) yang
meliputi antara lain jasa wisata alam (rekreasi), jasa perlindungan tata air (hidrologi), kesuburan tanah, pengendalian erosi dan banjir, keindahan, keunikan,
keanekaragaman hayati, penyerapan dan penyimpanan karbon (Merryna, 2009). Jasa lingkungan yang ada saat ini suatu saat akan mengalami penurunan
kualitas. Salah satu instrumen ekonomi yang dapat mengatasi penurunan kualitas lingkungan adalah pembayaran jasa lingkungan. Pembayaran jasa lingkungan adalah suatu transaksi sukarela yang menggambarkan suatu jasa lingkungan yang
Menurut Wunder (2007) dalam Triani (2009), Jasa lingkungan terdiri atas
4 macam yaitu :
1. Penyerap dan penyimpan karbon dan (carbon sequestration and storage)
2. Perlindungan keanekaragaman hayati (biodiversity protection) 3. Perlindungan Daerah Aliran Sungai (watershed protection)
4. Pelestarian keindahan bentang alam (protection of landscape beauty).
Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan
Penentuan nilai ekonomi lingkungan merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengalokasikan sumberdaya alam yang semakin langka (Duer, 1993). Valuasi ekonomi bermanfaat untuk
mengilustrasikan hubungan timbal balik antara ekonomi dan lingkungan yang diperlukan untuk melakukan pengelolaan sumberdaya alam yang baik, dan
menggambarkan keuntungan atau kerugian yang berkaitan dengan berbagai pilihan kebijakan dan program pengelolaan sumberdaya alam sekaligus bermanfaat dalam menciptakan keadilan dalam distribusi manfaat sumberdaya
alam. Maka valuasi ekonomi dengan menggunakan nilai uang akan dapat menunjukkan nilai indikasi penerimaan dan kehilangan manfaat atau
kesejahteraan akibat kerusakan lingkungan (Tampubolon, 2008).
Sumber daya alam selain menghasilkan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi baik langsung maupun tidak langsung juga dapat menghasilkan
jasa-jasa lingkungan yang memberikan manfaat dalam bentuk lain, misalnya manfaat amenity seperti keindahan, ketenangan dan sebagainya. Manfaat tersebut sering
dalam perhitungan menyeluruh terhadap nilai dari sumber daya. Nilai tersebut
tidak saja nilai pasar barang yang dihasilkan dari suatu sumber daya melainkan juga nilai jasa lingkungan yang ditimbulkan oleh sumber daya tersebut. Pada
dasarnya, pasar itu eksis (market based) sehingga transaksi barang dan jasa dapat dilakukan meskipun itu belum ada nilainya (Fauzi, 2006).
Penilaian ekonomi lingkungan merupakan peralatan teknis yang dapat
dipercaya dan logis untuk digunakan sebagai bahan masukan bagi pengambil keputusan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Nilai atau perhitungan moneter
dapat menunjukkan keperdulian yang kuat terhadap aset sumberdaya alam dan lingkungan, dapat menjadi pendukung untuk pemihakan terhadap kualitas lingkungan, sebagai dasar pembanding secara kuantitatif dalam bentuk moneter
terhadap beberapa alternatif pilihan dalam pemutusan suatu kebijakan atau pemanfaatan dana (Tampubolon, 2008).
Aktivitas ekonomi menghendaki adanya pertumbuhan ekonomi yang mantap untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pertumbuhan ekonomi tidak bisa berlangsung secara terus-menerus karena adanya kendala lingkungan. Jika
pertumbuhan ekonomi ingin ditingkatkan maka eksploitasi sumberdaya harus ditingkatkan dan produk sisa atau limbah kembali ke lingkungan. Eksploitasi
sumberdaya yang meningkat dari waktu ke waktu akan menguras sumberdaya alam yang tersedia dan akhirnya sistem ekonomi akan memburuk (Yakin, 1997).
Menurut Randal (1987), Pada dasarnya nilai lingkungan dibedakan
menjadi :
a. Nilai atas dasar penggunaan (instrumental value / use value) adalah nilai yang
kebutuhan. Sedangkan nilai yang terkandung dalam lingkungan adalah nilai
yang melekat pada lingkungan tersebut. Atas dasar penggunaanya dibedakan menjadi :
1. Nilai penggunaan langsung (direct use value)
2. Nilai penggunaan tidak langsung (inderect use value) 3. Nilai atas dasar pilihan penggunaan (option use value)
4. Nilai yang diwariskan (bequest value).
b. Nilai yang terkandung di dalamnya atau nilai yang melekat tanpa penggunaan
(intrinsic value / non use value) dibedakan menjadi : 1. Nilai atas dasar warisan (bequest value)
2. Nilai karena keberadaannya (existence value)
Jadi dalam menentukan nilai lingkungan secara keseluruhan (total economic value/TEV), merupakan penjumlahan dari nilai penggunaan langsung, nilai penggunaan tidak langsung, nilai pilihan dan nilai keberadaannya.
Contingent Valuation Method
Metode Valuasi Kontingen (Contingent Valuation Method) adalah metode teknik survei untuk menyatakan penduduk tentang nilai atau harga yang mereka
berikan terhadap komoditi yang tidak memiliki pasar seperti barang lingkungan. Prinsip yang mendasari metode ini adalah bahwa orang yang mempunyai preferensi yang besar tetapi tersembunyi terhadap seluruh jenis barang
lingkungan, kemudian diasumsikan bahwa orang akan bertindak nantinya seperti yang dia katakana ketika suatu hipotesis yang disodorkan kepadanya akan
Menurut Fauzi (2006), Metode CVM ini secara teknis dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu teknis eksperimental melalui simulasi dan teknik survei. Metode CVM sering digunakan untuk mengukur nilai pasif sumber daya alam
atau sering juga dikenal dengan nilai keberadaaan. Metode CVM pada dasarnya bertujuan untuk mengetahui keinginan membayar dari masyarakat terhadap perbaikan lingkungan dan keinginan menerima kompensasi dari kerusakan
lingkungan.
Kelebihan Contingent Valuation Method
1. Dapat diaplikasikan pada semua kondisi dan memiliki dua hal penting yaitu
seringkali menjadi satu-satunya teknik untuk mengestimasi manfaat dan dapat diaplikasikan pada berbagai konteks kebijakan lingkungan.
2. Dapat digunakan dalam berbagai macam penilaian barang-barang lingkungan
di sekitar masyarakat.
3. CVM memiliki kemampuan untuk mengestimasi nilai non-pengguna. Dengan
CVM, seseorang mungkin dapat mengukur utilitas dari penggunaan barang lingkungan bahkan jika tidak digunakan secara langsung.
4. Meskipun teknik dalam CVM membutuhkan analisis yang kompeten, namun
hasil dari penelitian menggunakan metode ini tidak sulit untuk dianalisis dan
dijabarkan.
Kelemahan Contingent Valuation Method
Menurut Hanley dan Spash (1993), teknik CVM memiliki kelemahan yaitu
Willingness To Pay
Menurut Pearce, et al (1994), Willingness to pay (WTP) atau kesediaan untuk membayar merupakan kesediaan individu untuk membayar suatu kondisi
lingkungan (penilaian terhadap sumberdaya alam dan jasa alami) dalam rangka memperbaiki kualitas lingkungan. Dalam WTP dihitung seberapa jauh kemampuan setiap individu atau masyarakat untuk membayar atau mengeluarkan
uang dalam rangka memperbaiki kondisi lingkungan sesuai dengan standar yang diinginkannya. Kesediaan membayar ini didasarkan atas pertimbangan biaya dan
manfaat yang akan diperoleh konsumen tersebut. Dalam hal ini WTP merupakan nilai kegunaan potensial dari sumberdaya alam dan jasa lingkungan.
Menurut Hanley dan Spash (1993), penghitungan WTP dapat dilakukan
secara langsung (direct method) dengan melakukan survey, dan secara tidak langsung (indirect method), yaitu penghitungan terhadap nilai dari penurunan
kualitas lingkungan yang telah terjadi. Terdapat empat metode bertanya (Elicitaion Method) yang digunakan untuk memperoleh penawaran besarnya nilai WTP responden yaitu:
1. Metode tawar menawar (bidding game)
Metode ini dilaksanakan dengan menanyakan kepada responden apakah bersedia
membayar sejumlah uang tertentu yang diajukan sebagai titik awal (starting point). Jika “ya”, maka besarnya nilai uang dinaikan sampai ke tingkat yang disepakati.
2. Metode pertanyaan terbuka (open-ended question)
Metode ini dilakukan dengan menanyakan langsung kepada responden berapa
3. Metode kartu pembayaran (payment card)
Metode ini menawarkan kepada responden suatu kartu yang terdiri dari berbagai nilai kemampuan untuk membayar dimana responden tersebut dapat memilih nilai
maksimal atau minimal yang sesuai dengan preferensinya. Untuk menggunakan metode ini, diperlukan pengetahuan statistik yang relatif baik.
4. Metode pertanyaan pilihan dikotomi (dichotomous choice)
Metode ini menawarkan responden sejumlah uang tertentu dan menanyakan apakah responden mau membayar atau tidak sejumlah uang tersebut untuk
memperoleh peningkatan kualitas lingkungan tertentu.
Penerapan Pembayaran Jasa Lingkungan Di Berbagai Negara
Penerapan di Brazil
Ada dua hal yang dilakukan di Brazil terkait dengan pengembangan imbal jasa lingkungan, yaitu: pertama perluasan hak petani (pemberian hak kepada petani untuk menyadap karet di lahan konservasi, adanya jaminan hukum atas hak
penyadapan, kompensasi sejumlah tertentu yang diberikan kepada aosiasi petani karet untuk setiap kilogram karet yang disadap) dan kedua: mendorong
disenfranchisement dengan berfokus pada konservasi tradisional (ICMS ecological tax dan pemberian akses bagi masyarakat petani untuk mengelola taman/kawasan lindung yang sudah terdegradasi).
Penerapan di Kosta Rika
Pertama, contoh penerapan skema imbal jasa lingkungan: pajak bahan
konservasi dan pemilik hutan sangat berpengaruh besar dalam menentukan skema
dan fungsinya. Ketiga, pembayaran terkonsentrasi untuk konservasi hutan yakni 70 % pada tahun 1997-2002 dan yang mengambil manfaat utamanya adalah
pemilik tanah yang ukuran besar dan sedang. Keempat, keterlibatan penduduk asli dan petani sangat kecil.
Penerapan di Kota New York dan Masyarakat Distrik Catskill
Pada tahun 1989, EPA (US Environmental Protection Agency) mengharuskan dibangunnya pusat filtrasi air supaya tidak perlu membangun
fasilitas filtrasi yang biayanya sangat besar (sekitar sebesar $6 juta), maka pemerintah Kota New York menerapkan regulasi yang mengatur pengelolaan DAS Catskill/Delaware secara ketat. Konflik Kota New York dengan petani dan
masyarakat sekitar DAS diputuskan melalui perundingan multistakeholder. Kota New York menyetujui untuk mendukung suatu perubahan dalam praktek
pertanian melalui suatu paket kompensasi yang tidak terfokus pada pembayaran langsung (Fauzi, dkk, 2005).
Penerapan di Indonesia
Di Indonesia Pelaksanaan model pembayaran jasa lingkungan sudah diterapkan di daerah DAS Cidanau Banten. Dalam pelaksanaannya, dibentuk
suatu Forum Komunikasi DAS Cidanau atau disingkat FKDC yang beranggotakan unsur masyarakat, pemerintah, LSM, dan swasta. Peran forum komunikasi DAS Cidanau dalam implementasi jasa lingkungan antara lain: mengelola dana hasil
pembayaran jasa lingkungan dari pemanfaat (buyer) jasa lingkungan DAS Cidanau untuk rehabilitasi dan konservasi lahan di DAS Cidanau melalui lembaga
lahan milik oleh masyarakat dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan,
menggalang dana dari potensial pemanfaat jasa lingkungan DAS Cidanau, mendorong pemerintah untuk melakukan pembayaran jasa lingkungan di DAS
Cidanau. Jasa lingkungan dipahami sebagai positif externalities atau public goods yang berarti bahwa keuntungan yang diperoleh dari tersedianya jasa lingkungan tidak dapat dikompensasi. Tantangan lain yang dihadapi adalah dibutuhkannya
kombinasi yang tepat antara pendekatan pasar dan penyiapan regulasi/kebijakan. Dalam hal ini peran pemerintah dalam aspek penciptaan regulasi dan kebijakan
sangatlah penting (Temenggung, 2010).
Analisis Regresi
Analisis regresi adalah suatu analisis yang mengukur pengaruh antara variabel bebas terhadap variabel terikat. Jika pengukuran pengaruh ini melibatkan
satu variabel bebas (X) dan variabel terikat (Y) maka dinamakan analisis linier sederhana. Tetapi jika pengukuran pengaruh antar variabel melibatkan lebih dari satu variabel bebas (X1, X2, X3,……Xn) maka dinamakan analisis linier
berganda. Koefisien regresi (b) adalah kontribusi besarnya perubah nilai variabel bebas (X), semakin besar nilai koefisien regresi maka kontribusi perubahan juga
semakin besar begitu juga sebaliknya. Kontribusi perubahan variabel X juga ditentukan oleh koefisien regresi positif atau negatif (Sunyoto, 2009).
Menurut Al-Gifari (2000), koefisien regresi bertujuan untuk memastikan
variabel bebas yang terdapat dalam suatu persamaan secara individu berpengaruh atau tidak terhadap nilai variabel tidak bebas. Caranya adalah dengan melakukan
merupakan pengembangan model regresi sederhana dengan satu peubah bebas
sehingga asumsi mengenai sisaan ε, peubah bebas X dan peubah tak-bebas Y juga sama. Koefisien β1 dapat merupakan intersep model regresi berganda.
Besarnya persentase pengaruh semua variabel bebas terhadap nilai variabel tidak bebas dapat diketahui dari besarnya koefisien determinasi (R2) persamaan regresi. Besarnya koefisien deteminasi (R2) adalah 0 sampai 1.
Semakin mendekati 0 besarnya koefisien determinasi (R2) suatu persamaan regresi, semakin kecilnya pula pengaruh semua variabel bebas terhadap variabel
tidak bebas. Sebaliknya semakin mendekati 1 besarnya koefisien determinasi (R2) suatu persamaan regresi, semakin besar pula pengaruh semua variabel bebas terhadap variabel tidak bebas (Al-Gifari, 2000).
Pada regresi berganda, variabel terikat dapat diwakili oleh Y dan variabel bebas oleh X. Pada analisis regresi berganda X dengan notasi bawah digunakan
untuk mewakili variabel-variabel bebas. Variabel terikatnya dinyatakan dengan Y, dan variabel bebasnya dinyatakan dengan X1, X2, ... , Xk. Hubungan antara X dan Y dapat disebut sebagai model regresi berganda. Pada model regresi
berganda, respon mean dibuat menjadi fungsi linear dari variabel penjelas (explanatory). Regresi berganda yang menghubungkan variabel dependen Y
dengan beberapa variabel independen X1, X2, ... , Xk memiliki formula secara umum (Ramanathan, 1997) :
Yt = β1Xt1 + β2Xt2 + ... + βkXtk + µt
Pada regresi ini diasumsikan terdapat term gangguan berupa µt atau biasanya dikenal sebagai komponen galat. Komponen ini merupakan variabel
dengan masing-masingnya berdistribusi normal. Koefisien regresi, β1, β2, ... , βk
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di DAS Deli meliputi empat kecamatan yaitu
kecamatan Medan Marelan, Medan Barat, Medan Maimun dan Medan Deli. Pengambilan data dilapangan dilakukan sejak bulan Juli sampai Agustus 2010.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner dan data
penduduk tahun 2009. Sedangkan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat computer dengan program SPSS 11.5, printer untuk mencetak data, kamera digital dan alat tulis menulis.
Prosedur Penelitian
Dalam penelitian ini metode yang digunakan merupakan metode CVM.
Metode ini digunakan untuk menilai ekonomi barang publik dengan menanyakan langsung kepada pengguna jasa lingkungan, yaitu seberapa besar maksimum kesediaan membayar sebagai kompensasi akibat kerusakan lingkungan. Kesedian
membayar merupakan gambaran dari tingkat preferensi dan pendapatan individu, hal ini sesuai dengan pernyataan Pearce et al (1994). Kuesioner yang digunakan
dalam CVM meliput i :
1. Deskripsi detil tentang jasa lingkungan yang divaluasi, persepsi penilaian
responden terhadap kondisi hutan di hulu DAS Deli.
3. Karakteristik sosial demografis responden seperti usia, pendidikan,
pendapatan, dan lain-lain.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data Willingness to pay (WTP) di lapangan berdasarkan penyebaran kuisioner dan wawancara kepada responden. Pengumpulan data
primer dilakukan dengan melakukan wawancara dan penyebaran daftar pertanyaan/kuesioner kepada masyarakat di DAS Deli tentang kesediaan masyarakat terhadap upaya perbaikan kondisi hutan di hulu DAS Deli. Menurut
Sarwono (2006) data primer ialah data yang berasal dari sumber asli atau pertama. Data ini tidak tersedia dalam bentuk terkompilasi ataupun dalam bentuk file-file.
Data ini harus dicari melalui narasumber atau dalam istilah teknisnya responden, yaitu orang yang dijadikan sebagai objek penelitian untuk mendapatkan data (informasi) yang dibutuhkan.
Populasi dan Sampel
Unit sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumah tangga.
Populasinya adalah seluruh rumah tangga yang tersebar di sepanjang hilir DAS Deli. Penarikan unit sampel dilakukan dengan metode purposive sampling
Analisis Data
Data-data yang dihasilkan dari penyebaran kuisioner dikumpulkan berdasarkan karakteristiknya, selanjutnya disajikan dalam bentuk tabulasi.
Kemudian dihitung jumlah uang yang bersedia dibayar (Willingness To Pay) setiap bulan untuk upaya perbaikan kondisi hutan di hulu DAS Deli. Nilai WTP dapat dihitung dengan menggunakan formula Contingent Valuation Method:
NE = WTPr x JP
WTPr =
∑
=n
i ni
WTPi 1
Keterangan :
NE = Nilai Ekonomi (Rp/tahun)
WTPr = Rata-rata kesediaan membayar (Rp/tahun/orang) WTPi = Kesediaan membayar responden ke I (Rp/tahun) ni = Jumlah responden
JP = Jumlah populasi
Analisis regresi digunakan untuk mengetahui hubungan jenis pekerjaan,
tingkat umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, tanggungan keluarga dan tingkat pengeluaran terhadap tingkat kesediaan membayar masyarakat hilir terhadap kondisi hutan di hulu DAS Deli. Variabel bebas yaitu jenis pekerjaan
(X1), tingkat umur (X2), tingkat pendidikan (X3), tingkat pendapatan (X4), tanggungan keluarga (X5), tingkat pengeluaran (X6), kondisi hutan (X7),
dan yang lain-lain skor 5. Umur dikelompokkan menjadi 3 yaitu umur <30 thn
skor 1, umur 30-50 thn skor 2 dan umur >50 thn skor 3. Pendidikan dalam hal ini dibatasi pada pendidikan formal seperti lulusan SD diberi skor 1, SMP skor 2,
SMU skor 3 dan sarjana skor 4. Tanggungan keluarga dikelompokkan menjadi 3 yaitu 1-2 org skor 1, 3-5 org skor 2 dan >5 org skor 3.
Kondisi hutan, kerawanan hutan, keberadaan hutan, perbaikan kondisi
hutan dan keaktifan organisasi sosial merupakan data ordinal. Menurut Sudita dan Antara (2008) dengan menggunakan skala ordinal, obyek-obyek dapat
digolongkan dalam kategori tertentu. Angka atau huruf yang diberikan disini mengandung tingkatan, sehingga dari kelompok yang terbentuk dapat dibuat peringkat yang menyatakan hubungan lebih atau kurang dari menurut aturan
penataan tertentu misalnya pemberian skor untuk setiap persepsi dan perilaku digunakan Skala Likert seperti dalam Tabel dibawah ini.
Tabel 1. Skoring data Kondisi Hutan dengan skala likert
No Kondisi Hutan Skor
1 Buruk 1
2 Cukup Buruk 2
3 Baik 3
Tabel 2. Skoring data Kerawanan Hutan dengan skala likert
No Kerawanan Hutan Skor
1 Tidak Rawan 1
2 Cukup Rawan 2
3 Rawan 3
Tabel 3. Skoring data Keberadaan Hutan dengan skala likert
No Keberadaan Hutan Skor
1 Tidak perlu 1
2 Cukup Perlu 2
Tabel 4. Skoring Perbaikan Kondisi Hutan dengan skala likert
No Perbaikan Kondisi Hutan Skor
1 Tidak Perlu 1
2 Cukup Perlu 2
3 Perlu 3
Tabel 5. Skoring data Keaktifan Organisasi Sosial dengan skala likert
No Keaktifan Organisasi Sosial Skor
1 Tidak Aktif 1
2 Cukup Aktif 2
3 Aktif 3
Sementara untuk variabel WTP, umur, pendapatan dan pengeluaran
merupakan data nominal. Kemudian semua data diolah dengan menggunakan SPSS 11.5 sehingga diperoleh persamaan regresi seperti dibawah ini:
Y = a + b1X + b2X2 + b3X3 + ………+ bnXn
Keterangan:
Y = Tingkat kesediaan membayar (Rp/thn)
a = Konstanta
b1, b2, bn = Koefisien regresi dari X X1 = Jenis pekerjaan
X2 = Tingkat umur (Tahun) X3 = Tingkat pendidikan
X4 = Tingkat pendapatan (Rp/bln) X5 = Tanggungan keluarga (Org) X6 = Tingkat pengeluaran (Rp/bln)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini merupakan masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar hilir kawasan DAS Deli yang meliputi 4 kecamatan yaitu kecamatan Medan Marelan, Medan Deli, Medan Maimun dan Medan Barat.
Jumlah penduduk yang berada di Daerah Aliran Sungai Deli dalam beberapa tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 6 yaitu :
Tabel 6. Karakteristik Penduduk DAS Deli
Keterangan
Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2008
LK PR
Jlh
R.Tangga LK PR
Jlh
R.Tangga LK PR
Jlh R.Tangga Kab. Karo 157107 159100 316207 170574 171981 342555 177637 183243 95211 Kab. Deli
Serdang 795610 786603 344848 821352 812763 356794 569401 580995 388195 Kota Medan 1012040 1024145 422922 1027607 1039681 435218 1039707 1062398 472025 Jumlah(jiwa) 1964757 1969848 1083977 2019533 2024425 1134567 1786745 1826636 955431
Sumber : BPS (2009)
Berdasarkan data olahan BPS tahun 2009, dapat diketahui bahwa masyarakat hilir DAS Deli adalah 511.540 jiwa dan yang menjadi responden sebanyak 200 jiwa. Sedangkan untuk jumlah KK (kepala keluarga) dihilir adalah 19.220 KK.
Karakteristik yang digunakan dalam penelitian ini adalah umur, pekerjaan, pendidikan, pendapatan, jumlah tanggungan keluarga dan pengeluaran.
Umur
Dari hasil wawancara di lapangan diketahui bahwa umur yang paling
banyak terdapat antara 30-50 tahun yaitu dengan persentase 75 %. Sedangkan untuk umur diatas 50 tahun sebesar 15 %. Untuk umur < 30 tahun dengan
seseorang berkisar antara 15-64 tahun, hal ini sesuai dengan ketentuan Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) (2007) bahwa kelompok umur produktif berada pada umur 15-64 tahun, kelompok umur ini merupakan
kelompok umur yang memiliki masa kerja yang masih aktif.
Sumber : Data Primer Olahan (2010)
Gambar 1. Komposisi Responden Berdasarkan Kelompok Umur
Berdasarkan pembagian kecamatan dapat diketahui penyebaran
masing-masing kelompok umur (dapat dilihat pada Tabel 7). Untuk kelompok umur <30 tahun, sebanyak 3 orang yang terdapat di Medan Marelan sedangkan yang
terbanyak terdapat di Medan Deli sebanyak 7 orang. Kelompok umur antara 30-50 tahun lebih banyak terdapat disetiap kecamatan dengan kisaran antara 30-43 orang. Sedangkan untuk kelompok umur >50 tahun paling banyak terdapat di
kecamatan Medan Maimun sebanyak 45. Dari penjelasan tersebut akan dapat diketahui bahwa umur antara 30-50 tahun memiliki jumlah yang paling banyak.
Pada umumnya kelompok umur tersebut mempunyai pengaruh terhadap kualitas pekerjaannya. Sebab pada umur antara 30-50 tahun keinginan dan semangat untuk bekerja masih sangat besar, juga didasari oleh rasa tanggungjawab terhadap
Berdasarkan hal tersebut maka akan dapat disimpulkan bahwa rata-rata responden
berada pada usia yang produktif.
Tabel 7. Komposisi Responden Berdasarkan Kelompok Umur
No Kecamatan
Kelompok Umur
<30 tahun 30 - 50 tahun >50 tahun
1 Medan Marelan 3 38 14
2 Medan Barat 4 30 6
3 Medan Deli 7 43 4
4 Medan Maimun 6 40 45
Jumlah 20 151 69
Sumber : Data Primer (2010)
Pekerjaan
Karakteristik pekerjaan meliputi PNS (Pegawai Negeri Sipil), Swasta, Wiraswasta, Petani/nelayan dan lainnya. Jenis pekerjaan PNS sebesar 13 %, swasta 17 % sedangkan petani merupakan pekerjaan yang sangat sulit ditemukan
karena lahan yang akan digunakan untuk bertani sudah sedikit oleh karena itu pekerjaan petani hanya terdapat sebesar 1 %. Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa,
sebagian besar responden merupakan masyarakat yang lebih banyak melakukan pekerjaan wiraswasta seperti toko, membuka warnet, warung, kedai kopi dan kedai nasi, dalam hal ini pekerjaan wiraswasta mencapai 43 %.
Sumber : Data Primer Olahan (2010)
Kecamatan Medan Marelan memiliki masyarakat yang bekerja sebagai
pegawai swasta dan yang lainnya seperti pedagang yaitu sebanyak 16 orang bekerja sebagai pegawai swasta dan 21 orang bekerja sebagai pedagang. Di
kecamatan Medan Barat terdapat penduduk yang bekerja sebagai petani, sedangkan yang bekerja sebagai PNS sebanyak 8 orang. Untuk Medan Deli, hampir semua masyarakat bekerja sebagai wiraswasta. Sebanyak 37 orang yang
bekerja sebagai wiraswasta. Sedangkan di kecamatan Medan Maimun sebanyak 16 orang masyarakatnya bekerja yang lainnya seperti penjahit, tukang pangkas
dan tukang becak. Oleh sebab itu, dapat diketahui bahwa masyarakat lebih banyak bekerja sebagai wiraswasta dan lainnya seperti pedagang, penjahit, tukang pangkas dan tukang becak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ahmadi (2003) yang
menyatakan bahwa masyarakat perkotaan memiliki pekerjaan yang beragam sebab pembangunan wilayah perkotaan menunjukan kegiatan ekonomi yang
berkembang dengan pesat sesuai sumber daya alam yang dimiliki oleh daerah tersebut.
Tabel 8. Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan
No Kecamatan
Jenis Pekerjaan
PNS/TNI/POLRI Swasta Wiraswasta Petani/Nelayan Lainnya
1 Medan Marelan 7 16 11 0 21
2 Medan Barat 8 2 18 1 11
3 Medan Deli 4 9 37 0 4
4 Medan Maimun 6 7 22 0 16
Jumlah 25 34 88 1 52
Sumber : Data Primer (2010)
Pendidikan
sampai SMA), berdasarkan UU No.12 tahun 1954 bahwa setiap anak usia 8-14
tahun terkena pendidikan wajib belajar. Hal ini juga sesuai dengan PP no. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan, yaitu pendidikan yang diperoleh
masyarakat merupakan pendidikan yang formal karena memiliki jalur yang terstruktur dan berjenjang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Responden untuk tingkat pendidikan SMA (46 %) sudah
menyebar disetiap kecamatan, hanya saja untuk tingkat pendidikan SD paling banyak terdapat di Kecamatam Medan Marelan yaitu 9,5 %.
Sumber : Data Primer Olahan (2010)
Gambar 3. Komposisi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Komposisi responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 9. Berdasarkan tabel tersebut masyarakat yang berpendidikan SD paling
banyak terdapat di kecamatan Medan Marelan yaitu sebanyak 15 orang, sedangkan masyarakat kecamatan Medan Maimun berpendidikan paling rendah
adalah SMP. Di kecamatan Medan Deli sebagian besar masyarakatnya berpendidikan sarjana yaitu sebanyak 28 orang, oleh sebab itu hampir semua masyarakat Medan Deli bekerja sebagai wiraswasta. Sedangkan hampir sebagian
besar masyarakat disetiap kecamatan berpendidikan hingga ketingkat SMA yaitu sebanyak 88 orang. Berdasarkan hal itu maka dapat diketahui bahwa semua
masyarakat mengikuti kegiatan sekolah sehingga semua masyarakat sudah dapat
membaca dan menulis.
Tabel 9. Komposisi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No Kecamatan
Pendidikan
SD SMP SMA Sarjana
1 Medan Marelan 15 11 22 7
2 Medan Barat 3 7 21 9
3 Medan Deli 1 5 21 28
4 Medan Maimun 0 9 24 18
Jumlah 19 32 88 62
Sumber : Data Primer (2010)
Pendapatan
Dari Gambar 4 dapat diketahui bahwa pendapatan responden paling banyak terdapat antara Rp 1.000.000 – Rp 3.000.000/bln sebesar 49 %. Responden yang memiliki pendapatan >Rp 5.000.000/bln merupakan responden
yang berpendidikan sarjana yaitu sebesar 7 %. Sebanyak 30 % responden memiliki pendapatan antara Rp 3.000.000-Rp 5.000.000/bln.
Sumber : Data Primer Olahan (2010)
Gambar 4. Komposisi Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan
Medan Maimun dan Medan Marelan. Untuk responden yang berpenghasilan
Rp 3.000.000 – Rp 5.000.000/bln telah banyak menyebar di setiap Kecamatan. Dari tabel dapat diketahui bahwa sebagian masyarakat berpendapatan antara
Rp 1.000.000 hingga Rp 5.000.000/bln, maka dapat disimpulkan bahwa sebagian masyarakat merupakan masyarakat yang hidup berkecukupan. Hal ini sesuai dengan ketetapan yang telah dibuat Ditjen Pengupahan dan Jamsostek (2010)
yang menyatakan bahwa Upah Minimum Provinsi (UMP) di Sumatera Utara adalah Rp 965.000/bln. Upah tersebut merupakan pendapatan yang diterima oleh
seseorang yang telah bekerja. Menurut BPS (2006) bahwa masyarakat yang telah mampu melakukan pengeluaran lebih dari Rp 175.324/kapita/bln merupakan masyarakat yang tergolong tidak miskin. Masyarakat yang menjadi responden
pada umumnya bekerja sebagai pegawai swasta, swasta, PNS dan pedagang. Sedangkan masyarakar yang bekerja sebagai wiraswasta memiliki pendapatan
>Rp 5.000.000/bln.
Tabel 10. Komposisi Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan
No Kecamatan
Pendapatan (Rp/bln)
< Rp 1jt Rp 1jt-3jt Rp 3jt-5jt >Rp 5jt
1 Medan Marelan 17 23 9 6
2 Medan Barat 4 24 10 2
3 Medan Deli 5 21 27 1
4 Medan Maimun 1 30 14 6
Jumlah 27 98 60 15
Sumber : Data Primer (2010)
Pengeluaran
Jumlah pengeluaran setiap responden akan berbeda-beda, hal ini
responden yang paling banyak terdapat antara Rp 1.000.000 – Rp 3.000.000 yaitu
sebesar 70 %. Sedangkan untuk jumlah pengeluaran >Rp 3.000.000 adalah sebesar 7 %.
Sumber : Data Primer Olahan (2010)
Gambar 6. Komposisi Responden Berdasarkan Pengeluaran
Di kecamatan Medan Maimun jumlah masyarakat yang memiliki pengeluaran >Rp 3.000.000/bln sebanyak 1 orang, sebab di kecamatan inilah banyak terdapat masyarakat yang memiliki pendapatan >Rp 5.000.000/bln. Untuk
pengeluaran Rp 1.000.000 hingga Rp 3.000.000 terdapat hampir disetiap kecamatan, hal ini disebabkan karena masyarakat memiliki pendapatan antara
Rp 3.000.000 hingga Rp 5.000.000/bln. Berdasarkan data yang telah diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang menjadi responden memiliki pengeluaran antara Rp 1.000.000-Rp 3.000.000. Pada umumnya, semakin besar
pendapatan suatu keluarga maka pengeluaran yang dilakukannya juga akan semakin besar. Pengeluaran juga berpengaruh terhadap jumlah tanggungan keluarga, dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa jumlah tanggungan yang paling
pengeluaran dalam bentuk komoditas pangan dan non pangan juga dapat dijadikan
sebagai acuan.
Tabel 12. Komposisi Responden Berdasarkan Pengeluaran
No Kecamatan
Pengeluaran (Rp/bln)
<Rp 1jt Rp 1jt -3jt >Rp 3jt
1 Medan Marelan 21 28 6
2 Medan Barat 9 26 5
3 Medan Deli 7 44 3
4 Medan Maimun 9 41 1
Jumlah 46 139 15
Sumber : Data Primer (2010)
Jumlah Tanggungan Keluarga
Masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah merupakan masyarakat yang telah berkeluarga, sehingga akan dapat diketahui berapa jumlah tanggungannya. Dari Gambar 5 dapat diketahui bahwa jumlah
tanggungan yang terbanyak terdapat antara 1-2 org yaitu sebesar 48 %. Sedangkan jumlah tanggungan yang >5 org memiliki persentase yang sedikit yaitu 8 %.
Untuk jumlah tanggungan 1- 2 org dan 3-5 org pada umumnya telah menyebar disetiap Kecamatan begitu juga dengan jumlah tanggungan >5 org.
Sumber : Data Primer Olahan (2010)
Gambar 5. Komposisi Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga
terdapat di kecamatan Medan Marelan yaitu 33 orang. Di kecamatan Medan Deli,
jumlah tanggungan antara 1-2 orang sebanyak 30 orang. Tetapi sebagian besar masyarakat yang menjadi responden memiliki jumlah tanggungan antara 1-2
orang yaitu sebanyak 98 orang. Berdasarkan data tersebut maka dapat disimpulkan bahwa responden memiliki jumlah tanggungan yang ideal. Hal ini sesuai dengan UU No.10 Tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan
pembangunan keluarga sejahtera. Pada umumnya jumlah tanggungan akan mempengaruhi pendapatan suatu keluarga. Dari Tabel 11 dapat diketahui bahwa
jumlah tanggungan responden paling banyak terdapat antara 1-2 orang, oleh sebab itu masyarakat yang menjadi responden merupakan masyarakat yang hidup berkecukupan.
Tabel 11. Komposisi Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga
No Kecamatan
Jumlah Tanggungan Keluarga 1-2 org 3-5 org >5 org
1 Medan Marelan 15 33 7
2 Medan Barat 27 10 3
3 Medan Deli 30 20 4
4 Medan Maimun 26 24 1
Jumlah 98 87 15
Sumber : Data Primer (2010)
Nilai Willingness To Pay (WTP) Terhadap Upaya Perbaikan Kondisi Hutan
Berdasarkan persentase WTP (Gambar 7), diketahui bahwa responden yang bersedia untuk membayar sebesar 71 % sedangkan yang tidak bersedia untuk membayar sebesar 29 %. Responden yang bersedia untuk membayar perbaikan
Masyarakat menganggap bahwa uang yang dikeluarkan itu merupakan bentuk
kerelaan (iuran) sehingga tidak ada batasan dalam membayarnya.
Gambar 7. Persentase Nilai WTP
Pada dasarnya tidak semua responden bersedia membayar kerusakan hutan di hulu DAS Deli, sebab ada yang beranggapan bahwa yang wajib membayar
kerusakan kondisi hutan itu adalah pemerintah seperti Dinas Kehutanan, LSM yang terkait, Gubernur, Bupati, dll. Tetapi ada juga yang beranggapan bahwa perbaikan kondisi hutan dapat ditanggulangi dari nilai pajak yang ada. Responden
yang tidak bersedia membayar Jasa Lingkungan dalam hal ini kurang dapat memahami bahwa sumberdaya alam sudah sangat langka dewasa ini.
Berdasarkan data hasil wawancara terhadap responden di hilir DAS deli, maka akan dapat diketahui besarnya nilai WTP terhadap upaya perbaikan kondisi hutan. Dari data yang diperoleh, responden yang bersedia membayar lebih banyak
dari pada responden yang tidak bersedia membayar. Responden yang bersedia untuk membayar terdiri dari 142 orang, sedangkan yang tidak bersedia membayar
terdiri dari 58 orang.
Pada umumnya, masyarakat yang bersedia untuk membayar jasa lingkungan menginginkan anggaran tersendiri untuk membayar perbaikan kondisi
Apabila seluruh dana tersebut dihitung maka akan diperoleh rata-rata nilai
kesediaan membayar jasa lingkungan sebesar Rp 14.415/bln/KK. Tetapi total dana yang berpotensi untuk dilakukan upaya perbaikan kondisi hutan di hulu DAS Deli
adalah Rp 277.056.300/bln/KK. Total dana tersebut diperoleh berdasarkan hasil perhitungan yang dapat dilihat pada Lampiran 3. Apabila total dana tersebut dihitung dalam waktu satu tahun maka akan diperoleh nilai sebesar
Rp 3.324.675.600/thn/KK. Berdasarkan hasil penelitian Tampubolon (2008) total dana tersebut masih tergolong sedikit, contoh total dana yang dikeluarkan oleh
pengguna jasa lingkungan di daerah danau toba sebesar Rp 785.155.388.680,80/thn dengan rincian sebagai berikut : (1) PLTA memberikan dana sebesar Rp 144.445.540.744,80 (2) PDAM memberikan dana
sebesar Rp 178.770.519.936,00 dan (3) Domestic manuciplity industry (hotel, restoran, rumah tangga non PDAM, lembaga publik) memberikan dana sebesar
Rp 461.939.328.000,00.
Total dana tersebut tergolong sedikit sebab pada dasarnya dana tersebut diperoleh dari masyarakat, sehingga bukan merupakan dana yang utama untuk
dilakukan upaya perbaikan kondisi hutan di hulu DAS Deli. Pada umumnya, yang paling banyak memanfaatkan jasa lingkungan adalah industri-industri yang
mengambil bahan baku dari sumberdaya alam secara langsung. Seperti pemanfaatan air di DAS Deli yang dilakukan oleh PDAM, perhotelan, masyarakat, dll. Oleh sebab itu, industri-industri yang telah memanfaatkan jasa
lingkungan harus lebih peduli terhadap kelestarian hutan khususnya di hulu DAS Deli. Tetapi berdasarkan pengamatan dilapangan pengguna jasa lingkungan
Di DAS Deli terdapat tiga lembaga pemerintahan yaitu Dinas Kehutanan
Kota Medan, Dinas Kehutanan Kabupaten Deli Serdang dan Dinas Kehutanan Kabupaten Karo. Dinas Kehutanan merupakan lembaga pemerintahan yang ikut
berperan dalam melestarikan lingkungan. Tetapi program kerja yang dilakukan untuk jasa lingkungan belum dapat berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan karena program jasa lingkungan baru saja dibentuk. Sebelumnya program jasa
lingkungan digabungkan dengan Sub Dinas Rehabilitasi dan Perlindungan Hutan. Oleh sebab itu, Dinas Kehutanan masih terus melakukan upaya untuk
menjalankan program jasa lingkungan. Berdasarkan Peraturan Daerah No.3 Tahun 2001 pasal 17, Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara, mempunyai Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) yaitu (1) menyelenggarakan sebagian kewenangan
pemerintah provinsi dan tugas dekonsentrasi dibidang kehutanan, (2) menyiapkan bahan perumusan perencanaan/program dan kebijaksanaan teknis di bidang
kehutanan, (3) Menyelenggarakan pembinaan, penatagunaan hutan, rehabilitasi dan perlindungan hutan, pengusahaan hutan dan tertib peredaran hasil hutan, (4) Melaksanakan tugas-tugas yang terkait dengan Kehutanan sesuai ketetapan
Kepala Daerah. Dari Tupoksi tersebut, pelaksanaan jasa lingkungan dapat dilihat melalui kegiatan reabilitasi. Jasa lingkungan belum memiliki kebijakan khusus
yang mengaturnya. Oleh sebab itu, Dinas Kehutanan masih terus mengajukan izin kepada Pemerintah Daerah (Perda) untuk membuat kebijakan jasa lingkungan.
Apabila kebijakan mengenai jasa lingkungan sudah dikeluarkan oleh Perda
maka Dinas Kehutanan akan dapat memberikan strategi-strategi yang dilakukan untuk dapat menerapkan pembayaran jasa lingkungan. Namun hal ini masih
Dalam hal ini Dinas Kehutanan memiliki kendali untuk dapat memperhatikan
kondisi lingkungan, oleh sebab itu sudah selayaknya Pemerintah Daerah dan instansi lain yang terkait juga ikut bekerjasama.
Salah satu contoh yang menerapkan pembayaran jasa lingkungan adalah PT Krakatau Tirta Industri (KTI), industri ini berada di daerah Banten. Industri ini memanfaatkan sumberdaya air yang terdapat di DAS Cidanau sebagai bahan baku
dari industrinya. Oleh sebab itu, PT KTI telah memberikan dana kompensasi secara suka rela. Dana tersebut ditampung oleh suatu forum yaitu Forum
Komunikasi DAS Cidanau (FKDC), dana tersebut dikeluarkan oleh PT KTI selama 5 Tahun. Hingga saat ini pelaksanaan pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau telah masuk pada periode kedua. Berdasarkan contoh tersebut, Dinas
Kehutanan Provinsi Sumatera Utara juga menginginkan pelaksanaan penerapan pembayaran jasa lingkungan di DAS Deli dapat berjalan juga seperti di DAS
Cidanau.
Menurut Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, jika program pembayaran jasa lingkungan di DAS Deli dapat berjalan maka kompensasi yang
akan diberikan untuk masyarakat di hulu DAS tidak hanya berupa uang tetapi juga dapat berupa sosialisasi terhadap masyarakat sekitar mengenai penilaian terhadap
lingkungan. Dalam melakukan pendistribusian dana akan coba dilakukan seperti yang diterapkan di DAS Cidanau. Bagi masyarakat yang tinggal di daerah hilir akan diberlakukan pembayaran yang sama dengan masyarakat hulu. Tetapi dalam
pemanfaatan jasa lingkungan di daerah hulu lebih banyak dilakukan oleh industri.
Oleh sebab itu, pembayaran bagi industri di hulu DAS Deli juga akan lebih tinggi. Apabila penerapan jasa lingkungan di DAS Deli telah berjalan, maka
belum perlu dibentuk suatu lembaga khusus yang menangani program pembayaran jasa lingkungan ini. Lembaga yang dapat menangani program pembayaran jasa lingkungan dapat ditujukan kepada BAPEDALDA ataupun
kepada Biro Lingkungan Hidup. Ketidaktahuan masyarakat dan beberapa instansi pemerintahan mengenai pembayaran jasa lingkungan masih banyak, oleh sebab
itu program ini akan dapat berjalan apabila dipegang oleh BAPEDALDA. Tetapi apabila dalam penerapannya sudah cukup baik maka dapat dibentuk suatu lembaga yang khusus akan mengelola pembayaran jasa lingkungan tersebut.
Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan
Kebijakan pengelolaan lingkungan yang terkait dengan jasa perlindungan fungsi DAS terdapat pada Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Berdasarkan kebijakan tersebut maka dapat dikembangkan skema pembayaran jasa lingkungan. Skema tersebut
merupakan konsep dasar dari pembayaran jasa lingkungan.
Pembayaran jasa lingkungan pada dasarnya harus memiliki skema dasar dalam menjalankannya. Skema Pembayaran jasa lingkungan juga disebut dengan
PES (Payment for Environmental Services). PES pada umumnya melibatkan penerima manfaat (services user) dan penyedia jasa (services provider) yang
dikembangkan ditujukan untuk pemberian kompensasi dari penerima manfaat
kepada penyedia jasa. Kriteria skema PES yaitu meliput i: 1. Konteks
2. Pelaku
3. Pembayaran dan sistem pembayaran
4. Pelaksanaan
5. Monitoring dan evaluasi
Kegiatan yang sudah dilakukan terkait dengan pengembangan Skema PES
di DAS Deli hanya dalam bentuk kerjasama masyarakat dengan PT Danone Aqua Indonesia. Dalam hal ini PT Danone Aqua memberikan dana tanggungjawab sosial (CSR) kepada pemerintah desa dan masyarakat di Kecamatan Brastagi dan
Simpang Empat dalam bentuk mesin pencacah sampah, peralatan untuk pemilahan dan penampungan sampah, pengembangan pembibitan berbasis
masyarakat. PDAM Tirtanadi juga melakukan kerjasama untuk mengembangkan distribusi air bersih kepada masyarakat. PDAM Tirtanadi selain mendistribusikan air juga melakukan pengelolaan limbah dengan menarik biaya pengelolaan
limbah. Kegiatan-kegiatan tersebut bukan merupakan pelaksanaan pembayaran jasa lingkungan. Karena di dalam kegiatan tersebut hanya melibatkan penerima
manfaat tanpa melibatkan penyedia jasaanya. Tetapi, kegiatan tersebut sudah mengarah kepada penerapan pembayaran jasa lingkungan.
Penerapan PES di DAS Deli belum berkembang, karena masih terbatas
terhadap pengguna sumberdaya yang melakukan pembayaran perizinan, retribusi, pajak dan lainnya kepada pemerintah. Pemerintah provinsi dan kabupaten
termasuk juga untuk lingkungan hidup. Pada dasarnya, pembayaran tersebut
bukan merupakan pembayaran jasa lingkungan, karena penerapan pembayaran jasa lingkungan harus sesuai dengan kriteria skema PES. Oleh sebab itu, dapat
dikatakan bahwa pelaksanaan pengembangan skema PES di DAS Deli belum diterapkan. Tetapi di luar daerah DAS Deli, sudah banyak pihak yang melakukannya seperti pihak-pihak dari lembaga pemerintahan dan non
Pemerintah. Pembayaran yang telah dilakukan oleh PT Danone Aqua dan PDAM Tirtanadi merupakan PES konvensional, dalam hal ini PES konvensional belum
efektif dalam pelaksanaannya. Menurut USAID (2007), PES konvensional memiliki kelemahan yaitu (1) rendahnya pengelolaan keuangan pemerintah dan pemerintah daerah terutama untuk dapat mengetahui hubungan antara pendapatan
yang berasal dari pemanfaatan sumberdaya dengan belanja pemerintah dalam kelompok lingkungan hidup, (2) tidak adanya akunting pengelolaan lingkungan
bagi perusahaan. Oleh sebab itu, kedua kondisi tersebut menyebabkan kesulitan dalam menilai kecukupan dana yang telah dibayarkan perusahaan (pengguna jasa) terhadap lingkungan, melalui biaya perizinan, retribusi, pajak dan lainnya.
Hubungan Karakteristik Responden Terhadap Willingness To Pay (WTP)
Hubungan karakteristik responden terhadap WTP dapat diketahui berdasarkan analisis regresi linier berganda. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai R-square sebesar 0,204 sama dengan 20,4 %. Tingkat signifikansi
dari variabel bebas (X) terhadap variabel (Y) dapat dilihat dari angka probabilitas (nilai signifikansi). Jika nilai signifikansi masing-masing variabel (> 0,05 atau 5
jika nilai signifikansi masing-masing variabel (< 0,05 atau 5 %) maka variabel
tersebut dinyatakan signifikan atau nyata pengaruhnya. Variabel X yang memiliki nilai < 0,05 adalah pengeluaran yaitu sebesar 0,008. Hal ini berarti bahwa
pengeluaran memberikan pengaruh yang nyata terhadap upaya perbaikan kondisi hutan. Sedangkan variabel yang lainnya memberikan pengaruh yang kurang nyata terhadap upaya perbaikan kondisi hutan seperti pekerjaan, usia, pendidikan,
pendapatan dan tanggungan keluarga.
Nilai standard koefisien yang menunjukkan nilai positif maka itu berarti
akan memberikan penambahan terhadap nilai kesediaan membayar. Pekerjaan, pendapatan dan pengeluaran memiliki nilai standard koefisien yang positif ini berarti bahwa setiap penambahan pendapatan naik maka kesediaan membayar
juga akan naik, begitu juga dengan yang lainnya. Sedangkan nilai standard koefisien yang negatif akan memberikan pengurangan terhadap nilai kesediaan
membayar. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa umur, pendidikan dan tanggungan keluarga menunjukan nilai negatif maka itu berarti semakin tua umur responden maka kesediaan untuk membayar semakin sedikit, begitu juga dengan
yang lainnya.
Persepsi Masyarakat Terhadap Kondisi Hutan Di Hulu DAS Deli
Persepsi masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian ini berbeda-beda mengenai kondisi hutan. Sebesar 47,5 % responden beranggapan
bahwa kondisi hutan di hulu DAS Deli adalah cukup buruk, 42 % beranggapan bahwa kondisi hutan di hulu DAS Deli buruk dan 10,5 % beranggapan bahwa
nilai standard koefisien menunjukan nilai negatif. Hal ini berarti bahwa semakin
buruk kondisi hutan maka kesediaan untuk membayar semakin rendah.
Sebanyak 150 responden (75 %) yang menyatakan bahwa keberadaan
hutan perlu untuk dijaga kelestariannya, tetapi ada juga masyarakat yang menganggap keberadaan hutan di hulu DAS Deli tidak perlu untuk dijaga kelestariannya yaitu sebesar 0,5 %. Sedangkan 24,5 % masyarakat beranggapan
bahwa keberadaan hutan cukup perlu untuk dijaga. Berdasarkan hasil perhitungan regresi linier berganda keberadaan hutan memberikan nilai standard koefisien
yang positif artinya apabila keberadaan hutan perlu dijaga kelestariannya maka keinginan untuk membayar jasa lingkungan hutan juga akan semakin tinggi.
Seiring dengan perlunya keberadaan hutan untuk dijaga kelestariannya
maka sebanyak 76,5 % responden dari masyarakat hilir DAS Deli menyatakan bahwa perlu dilakukan upaya perbaikan terhadap kondisi hutan di hulu DAS Deli.
Tetapi dari hasil wawancara kepada responden dapat dilihat pada Lampiran 2. bahwa sebesar 5 % responden menyatakan bahwa tidak perlu dilakukan upaya perbaikan kondisi hutan di hulu DAS Deli dan sebesar 18,5 % masyarakat
beranggapan bahwa perbaikan kondisi hutan di hulu DAS Deli bisa dilakukan ataupun tidak.
Masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian ini sebagian besar tidak terlalu aktif dalam mengikuti kegiatan organisasi, sebesar 60 % responden tidak berperan aktif dalam kegiatan organisasi sosial. Organisasi yang diikuti oleh
masyarakat hampir seluruhnya dalam bentuk kegiatan pengajian, sedangkan yang mengikuti organisasi terkait dengan lingkungan hanya sedikit. Masyarakat yang
masyarakat yang tidak mengikuti organisasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Daft (2000) yang menyatakan bahwa organisasi sebagai kajian antardisiplin ilmu yang diarahkan untuk mempelajari sikap, perilaku, dan kinerja individu dalam
organisasi. Dalam perhitungan regresi linier berganda diketahui nilai standard koefisien bernilai negatif, hal ini berarti bahwa semakin sedikit masyarakat yang mengikuti kegiatan organisasi maka keinginan untuk membayar jasa lingkungan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Berdasarkan karakteristik responden sebesar 90 % responden memiliki umur
yang produtif, 43 % responden bekerja sebagai wiraswasta, 46 % responden berpendidikan SMA, 49 % responden berpendapatan antara Rp 1.000.000
hingga Rp 3.000.000, 98 % responden memiliki jumlah tanggungan keluarga antara 1 sampai 2 orang, 70 % responden memiliki pengeluaran antara
Rp 1.000.000 hingga Rp 3.000.000.
2. Nilai rata-rata kesediaan membayar Jasa Lingkungan untuk upaya perbaikan
kondisi hutan di hulu DAS Deli adalah Rp 14.415/bln/KK sedangkan total
dananya sebesar Rp 277.056.300/bln/KK, dalam satu tahun adalah sebesar Rp 3.324.675.600/thn/KK.
3. Program pembayaran jasa lingkungan di DAS Deli saat ini belum
berkembang, karena pembayaran jasa lingkungan hanya terbatas pada pemberian dana kepada pemerintah untuk membuat perizinan.
4. Berdasarkan persepsi responden sebesar 47,5 % responden menyatakan
kondisi hutan cukup buruk, 75 % menyatakan keberadaan hutan perlu dijaga
dan 76,5 % menyatakan perlu dilakukan upaya perbaikan hutan.
Saran
Nilai kesediaan membayar jasa lingkungan dapat diajukan menjadi pajak lingkungan yang dapat dikeluarkan oleh Perda melalui kebijakan jasa lingkungan
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A. 2003. Ilmu Sosial Dasar. Rineke Cipta. Jakarta.
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. Al-Gifari. 2000. Analisis Regresi. BPFE. Yogyakarta.
[BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2007. Masa Kerja Lansia Produktif Perlu Diperpanjang. Jakarta.
[BPDAS] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Wampu – Sei Ular. 2003. Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu Deli. BPDAS Wampu – Sei Ular. Medan.
[BPS] Badan Pusat Statistik Sumatera Utara Dalam Angka. 2009. Badan Pusat Statistik Sumatera Utara dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sumatera Utara. Medan.
---. 2006. Badan Pusat Statistik Sumatera Utara dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sumatera Utara. Medan.
Daft, R. L. 2000. Management. 5th Ed. Dryden: The Dryden Press, Harcourt College Publishers.
Ditjen Pengupahan dan Jamsostek. 2010. Upah Minimum Provinsi Tahun 2010. http:// UMP Provinsi Sumatera Utara.com. [6 Oktober 2010].
Duerr, W. A. 1993. Introduction to Forest Resource Economics. McGraw - Hill, Inc. Printed in Singapore.
Fauzi, A. 2006. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Fauzi, A., Beria L. dan Muhtadi. 2005. Strategi Pengembangan Pembayaran Dan Imbal Jasa Lingkungan Di Indonesia. Lokakarya Nasional. Jakarta.
Hanley, N and Clive, L. S. 1993. Cost – Benefit Analysis and The Environment. Edward Elgar Publishing Company. England.
Kodoatie, R.J dan Roestam Sjarief. 2005. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Penerbit Andi. Yogyakarta.