• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Provinsi Jawa Barat

Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5050’ – 7050’ lintang selatan dan 104048’-108048’ bujur timur, dengan batas wilayah: sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa dan Provinsi DKI Jakarta; sebelah Timur, berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah; sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia; dan sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Banten. Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi pertama dibentuk di wilayah Indonesia. Provinsi Jawa Barat dibentuk berdasarkan UU No. 11 tahun 1950, tentang Pembentukan Provinsi Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia.

Luas wilayah Provinsi Jawa Barat meliputi wilayah daratan seluas 3,701,061.32 hektar dan garis pantai sepanjang 755,829 Km. Daratan Jawa Barat dapat dibedakan atas wilayah pegunungan curam (9.5 persen dari total luas wilayah Jawa Barat) terletak di bagian Selatan dengan ketinggian lebih dari 1,500 m di atas permukaan laut (dpl); wilayah lereng bukit yang landai (36.48 persen) terletak di bagian tengah dengan ketinggian 10-1,500 m dpl. Tutupan lahan terluas di Jawa Barat berupa kebun campuran (22.89 persen dari luas wilayah Jawa Barat), sawah (20.27 persen), dan perkebunan (17.41 persen). Sementara itu hutan primer dan hutan sekunder di Jawa Barat hanya 15.93 persen dari seluruh luas wilayah Jawa Barat.

Jumlah penduduk provinsi Jawa Barat pada tahun 2011 mencapai 46,497,175 jiwa. Secara administratif sejak tahun 2008, kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat berjumlah 26 kabupaten/kota terdiri atas 17 kabupaten dan 9 kota dengan 625 kecamatandan 5,877 desa/kelurahan. Jawa Barat terbagi dalam 4 Badan Koordinasi Pemerintahan Pembangunan (Bakor PP) wilayah, sebagai berikut wilayah I Bogor meliputi Kab. Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kab. Sukabumi, Kota Sukabumi, dan Kab. Cianjur. Wilayah II Purwakarta meliputi

Kab. Purwakarta, Kab. Subang, Kab. Karawang, Kab. Bekasi, dan Kota Bekasi. Wilayah III Cirebon meliputi kab. Cirebon, Kota Cirebon, Kab. Indramayu, Kab. Majalengka, dan Kab. Kuningan. Wilayah IV Priangan meliputi Kab. Bandung, Kota Bandung, Kota Cimahi, Kab. Bandung Barat, Kab, Sumedang, Kab. Garut, Kab. Tasikmalaya, Kab, Ciamis, dan Kota Banjar.

Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Barat

Kondisi Perekonomian Jawa Barat

Keberhasilan Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari adanya pertumbuhan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik atas harga berlaku maupun harga konstan. Pengukuran laju pertumbuhan ekonomi lebih baik digunakan berdasarkan harga konstan karena pengaruh naik turunnya tingkat harga setiap tahun atau tingkat inflasi dapat dihilangkan sehingga perhitungannya menjadi lebih riil. Data laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 3 yang ditunjukkan oleh BPS Provinsi Jawa Barat.

Tabel 3.Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat tahun 1990 s/d 2011 (dalam persen) Tahun Laju Pertumbuhan Ekonomi Tahun Laju Pertumbuhan Ekonomi

1990 9.45 2001 4.76 1991 6.89 2002 3.94 1992 7.23 2003 4.84 1993 8.01 2004 5.16 1994 7.04 2005 5.47 1995 7.90 2006 6.01 1996 8.34 2007 6.48 1997 5.05 2008 6.21 1998 -18.74 2009 4.19 1999 3.42 2010 6.20 2000 4.15 2011 6.60 Rata-rata 4.94 Sumber: BPS 2012, diolah

Tabel 2 memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi pada tahun penelitian ekonomi tidak begitu fluktuatif. Pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat pada tahun pengamatan memiliki rata-rata nilai pertumbuhan ekonomi sebesar 4.94 persen dengan pertumbuhan paling rendah terjadi pada masa krisis tahun 1998 sebesar -18.74.

Kondisi Tenaga Kerja di Provinsi Jawa Barat

Tenaga kerja turut memiliki peran dalam pembangunan ekonomi. Penyediaan lapangan kerja yang memadai diharapkan cukup untuk memenuhi

pertambahan angkatan kerja. Tenaga kerja merupakan suatu faktor produksi yang mampu meningkatkan faktor produksi seperti mengolah tanah, memanfaatkan modal sehingga perusahaan memandang tenaga kerja sebagai suatu investasi.

Terdapat dua faktor yang memengaruhi keadaan ketenagakerjaan, yaitu faktor penerimaan dan penawaran. Faktor permintaan dipengaruhi oleh dinamika pembangunan ekonomi, sedangkan faktor penawaran dipengaruhi oleh perubahan struktur umur penduduk. Pembangunan ekonomi yang semakin meningkat juga akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja sehingga akan memengaruhi ketersediaan tenaga kerja di suatu daerah. Pertumbuhan industri di perkotaan menjadi salah satu daya tarik tenaga kerja dari berbagai daerah, termasuk pedesaan untuk menjadi pekerja di sektor industri (Sitompul 2007). Perkembangan jumlah tenaga kerja di Provinsi Jawa Barat disajikan pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Perkembangan Tenaga Kerja di Jawa Barat, 2001-2011

Tahun Tenaga Kerja (jiwa) Perkembangan (persen) Pengangguran Jabar (jiwa) Angkatan Kerja (jiwa) Perkembangan (persen) 2001 14,649,647 -10.40 1,036,119 15,685,766 -10.74 2002 13,750,448 -6.14 2,191,531 15,941,979 1.63 2003 14,795,297 7.60 1,979,065 16,774,362 5.22 2004 14,598,311 -1.33 2,319,715 16,918,026 0.86 2005 15,011,002 2.83 2,527,807 17,538,809 3.67 2006 15,441,639 2.87 2,561,525 18,003,164 2.65 2007 15,853,822 2.67 2,386,214 18,240,036 1.32 2008 16,480,395 3.95 2,263,584 18,743,979 2.76 2009 16,901,430 2.55 2,079,830 18,981,260 1.27 2010 16,942,444 0.24 1,951,391 18,893,835 -0.46 2011 17,454,781 3.02 1,901,843 19,356,624 2.45 Rata-rata 0.72 0.97 Sumber: BPS 2012, diolah

Jumlah tenaga kerja di Provinsi Jawa Barat menunjukkan peningkatan setiap tahun, kecuali tahun 2002 dan 2004. Rata-rata peningkatan jumlah tenaga kerja adalah 0.67. Selanjutnya jumlah angkatan kerja menunjukkan peningkatan setiap tahun dengan rata-rata peningkatan jumlah angkatan kerja adalah 0.97 persen. Peningkatan ini sejalan dengan pertumbuhan tenaga kerja dengan rata-rata 0.72 persen. Penurunan jumlah tenaga kerja pada tahun 2002 dan 2004 merupakan dampak dari terjadinya krisis di Indonesia, sehingga menyebabkan situasi perekonomian masih sulit khususnya di Provinsi Jawa Barat.

Kondisi Investasi di Provinsi Jawa Barat

Investasi dibutuhkan untuk meningkatkan pembangunan daerah. Pembangunan daerah dapat berkembang apabila investasi terus meningkat. Investasi merupakan mesin penggerak pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya investasi secara langsung dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja di daerah

tersebut.Invetasi pada umumnya dibedakan berdasarkan sumber modal, yaitu PMDN (penanaman modal dalam negeri) dan PMA (penanaman modal asing). Investasi ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu daerah, karena selain menyerap tenaga kerja juga memberikan peningkatan pendapatan kepada daerah, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Tabel 5. Perkembangan investasi di Jawa Barat 1990-2011 (jutaan rupiah)

Tahun PMDN Laju (%) PMA Laju (%)

1990 482,730.90 - 161,370.74 - 1991 579,148.90 19.97 327,121.68 102.71 1992 1,240,155.80 114.13 517,523.85 58.21 1993 4,034,326.70 225.31 8,259,607.53 1,495.99 1994 4,125,531.80 2.26 2,078,976.71 (74.83) 1995 2,900,620.10 (29.69) 2,680,725.44 28.94 1996 3,102,422.00 6.96 27,521,287.40 926.64 1997 6,848,927.10 120.76 3,398,358.04 (87.65) 1998 4,076,866.70 (40.47) 16,305,456.89 379.80 1999 3,096,458.80 (24.05) 12,469,338.16 (23.53) 2000 4,732,038.20 52.82 17,441,007.56 39.87 2001 1,331,051.90 (71.87) 6,002,371.51 (65.58) 2002 8,021,465.70 502.64 10,648,365.38 77.40 2003 2,517,762.00 (68.61) 9,511,043.35 (10.68) 2004 3,027,163.50 20.23 10,676,654.51 12.26 2005 3,483,011.50 15.06 24,786,373.13 132.15 2006 5,320,965.20 52.77 14,854,574.27 (40.07) 2007 11,805,068.40 121.86 11,660,297.08 (21.50) 2008 5,075,016.60 (57.01) 23,923,281.47 105.17 2009 5,926,662.00 16.78 19,112,185.09 (20.11) 2010 15,799,857.10 166.59 15,381,065.92 (19.52) 2011 11,194,259.00 (29.15) 33,672,847.41 118.92 Rata-Rata 53.20 148.31

Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal daerah Jawa Barat, diolah

Tabel 5menyajikan perkembangan realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) masih berfluktuatif. Apabila dibandingkan secara nasionalJawa Barat menempati urutan ketiga dibandingkan dengan provinsi DKI Jakarta dan Jawa Timur, sehingga Jawa Barat merupakan salah satu tujuan investasi yang utama. Untuk PMA dengan nilai proyek 4,718 proyek dan untuk PMDN dengan nilai proyek 1,672 selama periode penelitian. Pada PMA Jawa Barat menempati urutan kedua dari DKI Jakarta dengan proyek sebesar 6,634 dan Jawa Timur sebesar 1,419 proyek. Pada PMDN Jawa Barat menempati urutan pertama dengan 1,672 proyek diikuti oleh Jawa Timur 1,286 proyek dan DKI Jakarta 1,099 proyek. Rata-rata pertumbuhan investasi Provinsi Jawa barat didominasi oleh Penanaman Modal Asing (PMA) hal ini membuktikan bahwa kebijakan ekonomi yang dilaksanakan oleh

pemerintah daerah di bidang investasi telah kondusif dalam rangka mencapai peningkatan investasi daerah.

Kondisi Pengeluaran Pemerintah di Provinsi Jawa Barat

Menurut Halim (2008) belanja modal merupakan bentuk investasi yang berupa capital expenditure sebagai belanja atau biaya atau pengeluaran yang memberi manfaat lebih dari satu tahun. Proporsi pengeluaran pemerintah untuk belanja modal terhadap PDRB Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6.Proporsi pengeluaran pemerintah untuk belanja modal terhadap PDRB Jawa Barat tahun 1990-2011 (jutaan rupiah)

Tahun PDRB Pengeluaran Pemerintah

untuk Belanja Modal G/PDRB

1990 124,520,890 44,093.48 0.03541 1991 136,288,120 108,759.97 0.07980 1992 145,678,370 175,967.11 0.12079 1993 156,210,910 153,365.82 0.09818 1994 168,723,410 275,115.83 0.16306 1995 180,601,530 139,386.75 0.07718 1996 194,869,060 317,592.42 0.16298 1997 211,121,140 475,998.29 0.22546 1998 221,803,860 617,871.33 0.27857 1999 180,237,820 1,026,530.36 0.56954 2000 186,401,950 408,305.38 0.21905 2001 194,137,640 852,197.61 0.43897 2002 203,378,590 1,044,593.22 0.51362 2003 211,391,590 413,290.00 0.19551 2004 221,628,170 277,489.00 0.12520 2005 233,057,690 335,096.00 0.14378 2006 245,798,060 371,826.00 0.15127 2007 257,499,446 360,690.00 0.14007 2008 274,180,300 354,305.00 0.12922 2009 291,205,800 726,481.00 0.24947 2010 303,405,200 1,055,536.00 0.34790 2011 322,223,800 718,650.00 0.22303 Rata-Rata 0.21309 Sumber: BPS 2012, diolah

Rata-rata proporsi pengeluaran pemerintah untuk belanja modal Jawa Barat terhadap pertumbuhan ekonomi periode tahun 1990-2011 sebesar 0.21 persen. Rata-rata tersebut menunjukkan peran pemerintah dalam pembentukan PDRB Jawa Barat masih sangat kecil sehingga peran pemerintah dalam meningkatkan prioritas pengeluaran pemerintah untuk belanja modal belum dapat

meningkatkan permintaan agregat. Hal ini dikarenakan masih tingginya pengeluaran pemerintah untuk belanja rutin seperti pemberian gaji pegawai yang cukup tinggi nilainya dibandingkan dengan pengeluaran pemerintah dalam bentuk belanja modal.

Kondisi Panjang Jalan di Provinsi Jawa Barat

Infrastruktur merupakan salah satu pendorong pembangunan suatu wilayah. Jika keadaan infrastruktur masih belum mengalami perbaikan yang signifikan dan bahkan cenderung mengalami kemunduran maka hal ini akan mengakibatkan rendahnya daya saing dan daya tarik investor swasta untuk menanamkan modalnya di indonesia.

Tabel 6. Laju perkembangan panjang jalan Provinsi Jawa Barat Tahun Panjang Jalan (Km) Laju Perkembangan Jalan Tahun Panjang Jalan (Km) Laju Perkembangan Jalan 1990 17939.74 - 2001 21192.70 -11.7 1991 19799.31 10.4 2002 22174.01 4.63 1992 20100.51 1.52 2003 22356.14 0.82 1993 21180.50 5.37 2004 23017.69 2.96 1994 21165.70 -0.07 2005 21717.11 -5.65 1995 22036.22 4.11 2006 21289.66 -1.97 1996 23047.96 4.59 2007 21744.48 2.14 1997 21421.13 -7.06 2008 23138.76 6.41 1998 23136.85 8.01 2009 22757.61 -1.65 1999 22106.22 -4.45 2010 21795.75 -4.23 2000 23992.63 8.53 2011 22732.79 4.30 Rata-rata 1.29

Sumber: BPS, Statistik Indonesia 2012, diolah

Tabel 6 menunjukkan laju perkembangan panjang jalan Provinsi Jawa Barat. Panjang jalan yang digunakan dalam penelitian kali ini merupakan panjang jalan secara keseluruhan yaitu panjang jalan dengan kondisi beraspal dan kerikil. Perkembangan kondisi panjang jalan Provinsi Jawa Barat selama periode 1990 hingga 2011 tidak banyak mendapatkan perkembangan. Begitu pula dengan rata-rata laju panjang jalan selama tahun penelitian didapat hasil 1.29 dimana masih relatif rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat yang mencapai 4.94 persen. Dalam pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi, infrastruktur berperan dalam fungsi sebagai roda penggerak ekonomi. Perbaikan infrastruktur yang lamban memperhambat mobilitas perdagangan. Diperlukan upaya langsung dari pemerintah dalam rangka pelestarian kondisi infrastruktur sebagai akses penyaluran hasil industri melalui jalan darat sehingga pemerataan pendapatan dan hasil-hasil pembangunan dapat meningkat.

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Di Provinsi Jawa Barat

Pada penelitian kali ini, variabel yang diteliti merupakan tenaga kerja, penanaman modal asing, penanaman modal dalam negeri, pengeluaran pemerintah untuk belanja modal, dan panjang jalan. Sebelum melakukan estimasi model, terlebih dahulu dilakukan pengujian asumsi klasik pada model.

Pada penelitian kali ini dilihat uji multikolinieritas yang merupakan suatu keadaan dimana terjadinya satu atau dua variabel bebas yang berkorelasi dengan variabel lainnya. Masalah multikolinier dapat dilihat melalui Correlation Matrix

yaitu korelasi antara variabel-variabel independen yang menyusun model. Suatu model dikatakan terbebas dari masalah apabila korelasi antar variabel-variabelnya tidak lebih dari 0.8 dalam Tabel 7 dapat dilihat bahwa terdapat variabel yang melebihi 0.8 yaitu sebesar 0.89 yang berarti terdapat multikolinieritas, namun hal ini dapat diabaikan dengan uji Klien jika nilai R-squared keseluruhan lebih besar dari nilai korelasi antara variabel tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa persamaan ini terbebas dari multikolinieritas. Uji multikolinieritas pun dapat digunakan dengan melihat hasil VIF, yang apabila VIF bernilai kurang dari sepuluh maka tidak terdapat masalah multikolinieritas.

Uji normalitas digunakan untuk memeriksa apakah error term menyebar normal atau tidak. Uji normalitas dilakukan dengan Jarque-Bera Test. Hasil uji didapat nilai probabilitas (P-value) yaitu sebesar 0.234616 sedangkan taraf nyata

bernilai α = 0.05. Hasil uji pada Jarque-Bera Test didapat nilai 2.899606

sedangkan taraf nyata bernilai α = 0.05.Oleh karena nilai (P-value) >α maka error term menyebar normal.

Heteroskedatisitas merupakan gejala yang terjadi dalam model regresi linier jika variannya berbeda-beda atau bervariasi. Pengujian masalah heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan Breusch-Pagan-Godfrey Test. hasil uji heteroskedastisitas menunjukkan bahwa persamaan fungsi pada penelitian ini tidak mengandung gejala heteroskedastisitas. Pada persamaan didapat nilai Prob. Chi Square sebesar 0.1207 lebih besar dari nilai α = 0.05. Dengan nilai hasil dapat ditanyakan dalam penelitian kali ini telah homoskedastisitas.

Autokorelasi merupakan korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu variabel atau korelasi error masa yang lalu dan error masa sekarang. Pengujian adanya permasalahan dalam pengolahan data autokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji Breusch-Godfrey Serial Correlation Test dengan hasil didapat

Prob-Chi Squared sebesar 0.8561 yang lebih besar dari nilai α = 0.05, sehingga pada persamaan kali ini tidak terdapat gejala autokorelasi.

Dari pengujian hasil kriteria ekonometrika pada model tersebut yang telah dilakukan maka hasil estimasi yang didapat tidak terdapat masalah dalam pemodelan ekonometrika. Persamaan hasil estimasi dapat dilihat pada dapatTabel 7.

Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 7 didapat nilai R-Square sebesar 91.2 persen yang digunakan untuk menguji goodness-of-fit dari model regresi. Hal ini berarti 91.2 persen perekonomian Provinsi Jawa Barat dapat dijelaskan dengan variabel independen, sedangkan sisanya yaitu 8.8 persen dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain. Berdasarkan pada hasil estimasi pada tabel didapat nilai Adjusted

R-Square sebesar 88 persen. Hasil penelitian didapat invetasi dalam bentuk PMA dan PMDN memiliki nilai yang signifikan serta panjang jalan dan angkatan kerja, sedangkan pada variabel pengeluaran pemerintah dalam bentuk belanja modal didapatkan hasil yang tidak signifikan.

Tabel 7.Hasil estimasi investasi, tenaga kerja, infrastruktur terhadappertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat

Variabel Koefisien Std. Error t-statistik Probabilitas VIF C 8.017672 9.038593 0.887049 0.3900 LNEXPD 0.017249 0.043944 0.392527 0.7006*** 2.8 LNAK 1.365992 0.442649 3.085948 0.0081 3.4 LNPMA 0.094668 0.036103 2.622188 0.0201** 7.3 LNPMDN 0.073699 0.040267 1.830241 0.0886* 3.3 LNRD -1.426894 0.635732 -2.244488 0.0415** 4.2

R-squared 0.911602 Durbin-Watson stat 1.82424

Adjusted R-squared 0.880031 F-statistic 28.8749

S.E of regression 0.089593 Prob (F-statistic) 0.000001 Keterangan: *signifikan pada taraf nyata 10%

**signifikan pada taraf nyata 5% ***signifikan pada taraf nyata 1%

Pengujian dengan menggunakan uji F-statistik menunjukkan bahwa nilai F-statistik lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan (0.000001<0.05),sehingga dapat dikatakan bahwa minimal ada satu variabel bebas yang digunakan dalam model mempunyai pengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat pada tingkat kepercayaan 5 persen (α=5 persen).

Uji t-statistik ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari masing-masing variabel independen. Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa probabilitas dari masing-masing uji t-statistik adalah signifikan pada variabel Angkatan Kerja, Penanaman Modal Asing (PMA), dan Panjang Jalan masing-masing signifikan pada taraf nyata 5 persen dengan variabel tenaga kerja signifikan pada taraf nyata 1 persen. Sedangkan, pada variabel Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) signifikan pada taraf nyata 10 persen. Variabel pengeluaran pemerintah untuk pembelanjaan modal tidak signifikan karena nilai probabilitasnya lebih besar dari taraf nyata yang digunakan.

Peran investasi, tenaga kerja, dan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 6 dapat disimpulkan bahwa variabel-variabel bebas yang terdiri dari PMA, angkatan kerja, dan panjang jalan dalam model tersebut signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada taraf nyata 5 persen dan variabel PMDN signifikan pada taraf nyata 10 persen. Sedangkan pengeluaran pemerintah untuk belanja modal tidak signifikan. Masing-masing variabel akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Pengeluaran Pemerintah untuk Belanja Modal

Berdasarkan nilai probabilitas t-statistik menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah untuk belanja modal tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini bertentangan dengan hipotesis yang dikemukakan sebelumnya yang mengatakan bahwa pengeluaran

pemerintah untuk belanja modal berpengaruh positif dan signifikan. Pengeluaran pemerintah untuk belanja modal memliki peran penting dalam kegiatan perekonomian suatu daerah. Peningkatan pendapatan daerah secara tidak langsung akan meningkatkan pengeluaran pemerintah dalam bentuk belanja modal agar tercipta nya kondisi perekonomian yang stabil. Pengeluaran pemerintah untuk belanja modal yang tidak signifikan dapat terjadi karena laju pertumbuhan belanja pemerintah yang lebih kecil dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi sehingga dampak pertambahan belanja pemerintah relatif kecil terhadap pertumbuhan ekonomi.

Pada hasil estimasi didapat nilai koefisien pengeluaran pemerintah untuk belanja modal memiliki hubungan positif namun tidak signifikan. Hal ini terjadi karena pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat lebih mengutamakan investasi dari pihak swasta untuk perekonomian ekonomi, sehingga pengeluaran pemerintah untuk belanja modal dari tahun ke tahun cenderung menurun. Hal ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Candra (2012) dengan hasil pengeluaran pemerintah berpengaruh positif dan signifikan namun tidak mempunyai hubungan timbal balik dengan pertumbuhan ekonomi. Penelitian ma’ruf dan wihastuti (2008) mengungkapkan bahwa pengeluaran pemerintah riil adalah positif dan signifikan.

Penelitian lainnya mengenai pengeluaran pemerintah dilakukan oleh Mahapurta (2002) mengatakan bahwa pengeluaran pemerintah tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sari (2012) menunjukkan pengeluaran pemerintah dalam bentuk belanja modal ditemukan tidak signifikan berpengaruh. Hasil penelitian Sidik (2007) menyatakan juga pengeluaran pemerintah memiliki efek positif namun tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian lainnya mengenai pengeluaran pemerintah untuk belanja modal dilakukan oleh Kurniawan et al

(2011)menjelaskan pengaruh tidak signifikan ditunjukkan oleh rendahnya alokasi belanja modal untuk kegiatan pembangunan berbagai fasilitas publik sehingga belum berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sidik (2007) mengatakan pengeluaran pembangunan sangat diperlukan oleh suatu daerah untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemampuannya sendiri.

b. Tenaga Kerja

Berdasarkan nilai probabilitas t-statistik menunjukkan bahwa angkatan kerja berpengaruh signifikan pada taraf nyata 1 persen terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa angkatan kerja diduga berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat. Pengaruh yang sama diperoleh dari penelitian Candra (2012), Suryanto (2010) menjelaskan bahwa sinyal kontribusi angkatan kerja di daerah bagi pertumbuhan ekonomi cukup signifikan. (Sukirno, 2006) mengemukakan tingkat realisasi penanaman modal asing yang cukup tinggi turut dirasakan oleh pemerintah, masyarakat, dan asing akan mendapatkan keuntungan.

Penanaman modal langsung akan menambah kesempatan kerja dan mengurangi masalah pengangguran yang dihadapi pemerintah.

Berdasarkan hasil estimasi terlihat bahwa tenaga kerja mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat. Nilai koefisien regresi dari variabel angkatan kerja sebesar 1.365992. Hal ini dapat dikatakan bahwa jika terjadi peningkatan angkatan kerja sebesar 1 persen maka akan menyebabkan kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 1.365992 persen, dengan asumsi ceteris paribus. Hal ini menunjukkan bahwa angkatan kerja berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi yang berdampak dengan semakin tingginya pendapatan di Provinsi Jawa Barat.

Tabel 8.Perkembangan penggangguran dan investasi provinsi Jawa Barat

Tahun Pengangguran Investasi

2006 2,561,525 20,175,539 2007 2,386,214 23,465,365 2008 2,263,584 28,998,298 2009 2,079,830 25,038,847 2010 1,951,391 31,180,923 2011 1,901,843 44,867,106

Sumber: BPS dan BKPM, diolah

Berdasarkan Tabel 7 terlihat perkembangan pengganguran dan investasi tahun 2006 sampai 2011 memiliki indikasi hubungan ketika investasi meningkat pengangguran berkurang. Hal ini mengindikasikan bahwa investasi memberikan kesempatan kerja lebih banyak dan menurunkan tingkat pengangguran.

c. Penanaman Modal Asing (PMA)

Berdasarkan nilai probabilitas t-statistik menunjukkan bahwa PMA berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dalam taraf nyata 5 persen. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa nilai PMA berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat. Hal ini sesuai dengan penelitian Candra (2012) bahwa investasi penanaman modal asing memiliki pengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Berdasarkan hasil estimasi terlihat bahwa nilai PMA mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat. Nilai koefisien regresi dari variabel PMA sebesar 0.094668. Hal ini dapat dikatakan bahwa jika terjadi peningkatan PMA sebesar 1 persen maka akan menyebabkan kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.094668 persen, dengan asumsi ceteris paribus. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar nilai PMA akan berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat.

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Sitompul (2007) mengemukakan peningkatan investasi merupakan hasil dari kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan iklim investasi daerah.

d. Penanaman Modal dalam Negeri (PMDN)

Berdasarkan nilai probabilitas t-statistik menunjukkan bahwa nilai PMDN berpengaruh signifikan pada taraf nyata 10 persen. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa nilai PMDN berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat. Lain halnya dengan PMA, dimana PMDN memiliki pengaruh signifikan pada taraf nyata 10 persen. Angka ini lebih besar dari taraf nyata PMA yang berkisar pada taraf nyata 5 persen. Hal ini terjadi karena investasi yang berada di Provinsi Jawa Barat memang sebagian besar didominasi oleh para investor asing (PMA). Penelitian Candra (2012), Rustiono (2008), dan Sitompul (2007) memiliki pengaruh yang sama terhadap pertumbuhan ekonomi.

Berdasarkan hasil estimasi terlihat bahwa nilai PMDN mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat. Nilai koefisien regresi dari variabel PMDN sebesar 0.073699. Hal ini dapat dikatakan bahwa jika terjadi peningkatan PMDN sebesar 1 persen maka akan menyebabkan kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.073699 persen, dengan asumsi ceteris paribus. Hal ini menunjukkan bahwa apabila PMDN semakin besar akan berdampak dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat.

e. Panjang Jalan

Berdasarkan uji signifikansi didapat panjang jalan memiliki pengaruh signifikan dengan taraf nyata 5 persen. Hal ini berarti panjang jalan Provinsi Jawa Barat lebih bersifat inelastis artinya dalam keadaan bagaimanapun jalan akan tetap digunakan oleh masyarakat Provinsi Jawa Barat karena merupakan akses perekonomian daerah. Hal ini dapat dijelaskan bahwa keadaan suatu wilayah yang memiliki jumlah penduduk yang terlalu banyak akan menghasilkan tingkat aksesibilitas yang rendah. Hal ini dapat terjadi karena penambahan jalan lebih rendah dibandingkan dengan penambahan jumlah penduduk (Radiansyah 2012). Hasil estimasi pada penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Canning (1999) memiliki hasil negatif pada infrastruktur jalan. Menurut Badrudin (2012) jalan-jalan yang tidak dipelihara dengan baik akan menghambat mobillitas perpindahan barang atau pergerakan orang. Padahal, perekonomian akan tumbuh ketika aspek mobilitas atau perpindahan orang.

Berdasarkan hasil estimasi terlihat bahwa nilai panjang jalan mempunyai pengaruh negatif namun signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat. Nilai Koefisien regresi dari variabel panjang jalan sebesar -1.426894.Hal ini dapat dikatakan bahwa jika terjadi kenaikan panjang jalan 1 persen maka akan menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar -1.426894 persen, dengan asumsi ceteris paribus. Berdasarkan nilai probabilitas t-statistik menunjukkan bahwa panjang jalan berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5 persen. Hal ini bertentangan dengan asumsi awal yang mengatakan bahwa panjang jalan diduga memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Panjang jalan merupakan salah satu faktor penting dalam mendukung kegiatan ekonomi Provinsi Jawa Barat. Perekonomian ekonomi dapat

meningkat apabila terdapat infrastruktur yang mempermudah pendistribusian faktor produksi barang dan jasa. Pada hasil didapat bahwa variabel panjang jalan memiliki pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil ini disebabkan karena pertumbuhan akan perbaikan kondisi jalan dalam kurun waktu 1990 hingga 2011 tidak banyak menunjukkan perubahan yang berarti. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan infrastruktur di Provinsi Jawa Barat lebih kecil dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat.

Dokumen terkait