• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Jatisari memiliki lokasi yang terletak di Jalan Raya Pantura Jatisari, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. SMA Negeri 1 Jatisari Karawang diresmikan secara Yuridis dengan SK Mendikbud RI Nomor.0216/01/1992 yang menetapkan dibukanya SMA baru, maka terhitung mulai tanggal 5 Mei 1992 SMA Negeri 1 Jatisari berdiri. Dengan Nomor Statistik Sekolah (NSS) : 30.I.02.21.10.080 adalah Sekolah Menengah Atas yang berdiri di atas lahan seluas ± 7.300 M2, Luas Bangunan 2.702 m2, yang berada dalam kepemimpinan Drs. A. Mugni sebagai kepala sekolah pertama di sekolah tersebut. Pada tahun 2003 memasuki fase baru yaitu dari 8 kelas pada 2014 kelas berkembang menjadi 31 kelas. Ini sebagai bukti bahwa tuntutan dari masyarakat untuk menyekolahkan putra-putrinya menyebabkan sinergi luar biasa dari lingkungan sekitar. Jumlah seluruh siswa pada sekolah ini sebanyak 1387 siswa dan 52 orang tenaga pengajar. Jumlah siswa di SMA tersebut adalah kelas X sebanyak 486 siswa, kelas XI sebanyak 437 siswa dan kelas XII sebanyak 464 siswa. Terdiri dari lima kelas yaitu kelas X (1,2,3,4,5,7,8,9,10), XI IPA (1,2,3,4,5,6), XI IPS (1,2,3,4), XII IPA (1,2,3,4,5,6), dan XII IPS (1,2,3,4,5).

Keadaan sarana yang dibutuhkan dalam suatu lembaga pendidikan bukan saja hal yang berkaitan langsung dengan dengan proses belajar mengajar akan tetapi sarana lain juga diperlukan, guna menyalurkan bakat dan minat siswa SMA Negeri 1 Jatisari Karawang sebagai penunjang dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Adapun sarana dan prasarana yang dimiliki SMA Negeri 1 Jatisari Karawang adalah ruangan kelas (19 ruang), Lab IPA (2 ruang), Lab komputer (1 ruang), Perpustakaan (1 ruang), UKS (1 ruang), Koperasi (1 ruang), Ruang BP/BK (1 ruang), R. Kepala Sekolah (1 ruang), Ruang Guru (1 ruang), R. Tata Usaha (1 ruang), Ruang Osis (2 ruang), Kamar Mandi/WC Guru (3 ruang), Kamar Mandi/WC Siswa (7 ruang), Gudang (1 ruang), Ruang ibadah (1 ruang), Tempat tinggal Penjaga Sekolah (4 ruang), dan Lain-lain (2 ruang).

Proses belajar mengajar yang ada di SMA Negeri 1 Jatisari Karawang mengacu pada kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional/DIKNAS baik program harian, bulanan dan tahunan. Sehingga program pembelajarannya tersusun rapi dan terencana. Adapun kurikulum yang dilaksanakan sebagai pedoman pembelajaran di SMA Negeri 1 Jatisari Karawang adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaraan (KTSP). Pelaksanaan belajar mengajar yang berlangsung di SMA Negeri 1 Jatisari Karawang dimulai dari jam 07.00 sampai 14.00. Materi yang diberikan selalu berorientasi kepada tujuan pengajaran yang sudah digariskan dalam garis-garis besar program pengajaran (GBPP), baik yang bersifat pemahaman maupun materi-materi yang berbentuk penguasaan yang di dalamnya tidak dapat diketahui wujud ataupun bentuk materinya melainkan makna-makna yang terkandung di dalamnya. Metode yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar di SMA Negeri 1 Jatisari Karawang adalah tatap muka, ceramah, dan penugasan.

15 Karakteristik Individu

Jumlah subjek dalam penelitian ini berjumlah 108 orang yang terdiri dari 54 laki-laki dan 54 perempuan. Data yang diambil meliputi jenis kelamin, usia, uang saku, dan suku. Sebaran subjek berdasarkan jenis kelamin, usia, uang saku, dan suku dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Sebaran subjek berdasarkan jenis kelamin, usia, uang saku, dan suku Karakteristik

Subjek

Laki-laki Perempuan Total

n % n % n % Usia (tahun) 15 9 16.7 14 25.9 23 21.3 16 23 42.6 21 38.9 44 40.7 17 13 24 12 22.2 25 23.1 18 8 14.8 6 11.1 14 12.9 19 1 1.8 1 1.8 2 1.9 Total 54 100 54 100 108 100 Rata + SD 16.44 + 0.98 16.24 + 1.03 16.33 + 1.01 P 0.318

Uang saku Rendah 5 9.3 0 0 5 4.6 Sedang 31 57.4 36 66.7 67 62 Tinggi 18 33.3 18 33.3 36 33.3 Total 54 100,0 54 100 108 100 Rata + SD 110120.37+ 43015.24 121046.3+ 27801.226 115583+ 36462 P 0.086 Suku Sunda 51 94.4 53 98.1 104 96.3 Jawa 3 5.6 1 1.85 4 3.7 Batak 0 0 0 0 0 0 Betawi 0 0 0 0 0 0 Lampung 0 0 0 0 0 0 Lainnya 0 0 0 0 0 0 Total 54 100 54 100 108 100 P 0.310 Usia

Usia remaja merupakan masa transisi dari usia anak-anak menjadi dewasa. Menurut Hurlock (2004), remaja dibagi menjadi dua yaitu remaja awal (13 sampai 17 tahun) dan remaja akhir (18 sampai 21 tahun). Berdasarkan Tabel 2, Usia subjek dalam penelitian ini berada pada rentang 15 hingga 19 tahun, termasuk rentang antara usia remaja awal dan remaja akhir. Berdasarkan Tabel 2 sebagian besar subjek laki-laki (42.6%) dan perempuan (38.9%) berada pada usia 16 tahun. Pada subjek laki-laki dan perempuan terdapat beberapa subjek yang berusia 19 tahun. Berdasarkan uji Mann-Whitney tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) antara usia subjek laki-laki dan subjek perempuan.

Uang saku

Uang saku merupakan uang yang diterima subjek setiap hari yang diberikan oleh orangtua untuk memenuhi kebutuhan dan keperluan subjek saat di sekolah. Pemberian uang saku biasanya berbeda-beda, hal ini tergantung dari besar kecilnya pendapatan orangtua. Uang saku subjek dibagi berdasarkan Kusumaningsih (2007) terdiri dari 3 kategori yaitu Rendah (<Rp.70.000), Sedang (Rp.70.000–140.000), dan Tinggi (>Rp.140.000) perminggu. Berdasarkan Tabel 2 sebagian besar subjek laki-laki (57.4%)

16

dan subjek perempuan (66.7%) memiliki uang saku yang berada pada kisaran sedang (Rp.70.000 – 140.000) perminggu. Subjek laki-laki terlihat memiliki uang saku yang lebih rendah (9.3%) dibandingkan subjek perempuan. Mardayanti (2008) menyatakan bahwa semakin besar uang saku yang diterima tidak mempengaruhi konsumsi energi dan tingkat gizi, karena alasan uang saku yang dikeluarkan bukan sebagian besar untuk membeli makanan, tetapi untuk transportasi, membeli buku, membeli hadiah, dan pakaian. Berdasarkan uji Mann-Whitney tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) antara uang saku subjek laki-laki dan subjek perempuan.

Suku

Suku bangsa memiliki kebudayaan yang berbeda satu sama lain tanpa terkecuali dalam memilih dan mengolah makanan. Hal ini juga mempengaruhi jenis pangan yang di produksi, cara pengolahannya, penyaluran, hingga penyediaannya (Sukandar 2007). Suku yang biasa dikenal masyarakat pada umumnya yaitu suku Sunda, Jawa, Batak, Betawi, Lampung, dan Lainnya. Berdasarkan Tabel 2 hampir seluruh subjek laki-laki (94.4%) berasal dari suku sunda, dan hanya (5,6%) berasal dari suku jawa. Sedangkan hampir seluruh subjek perempuan (98.1%) berasal dari suku sunda dan hanya (1.85%) berasal dari suku jawa. Berdasarkan uji Mann-Whitney tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) antara suku subjek laki-laki dan subjek perempuan.

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Besar Keluarga

Besar keluarga merupakan sekelompok orang yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lainnya yang hidup dari pengeluaran sumberdaya yang sama dan tinggal dalam satu rumah (World Bank 2006). Besar keluarga menurut Hurlock (1998) dikategorikan menjadi tiga, yaitu keluarga kecil (≤4 orang), keluarga sedang (5-7 orang), dan keluarga besar (>7 orang). Sebaran subjek berdasarkan besar keluarga dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Sebaran subjek berdasarkan besar keluarga

Besar Keluarga Laki-laki Perempuan Total

n % n % n % Kecil 33 61.1 20 37 53 49 Sedang 15 27.7 28 51.9 43 39.8 Besar 6 11.1 6 11.1 12 11.1 Total 54 100 54 100 108 100 Rata-rata + SD 4.56 + 1.40 4.91 + 1.29 4.73 + 1.35 P 0.034

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui secara keseluruhan baik subjek laki-laki maupun subjek perempuan sebagian besar (49%) memiliki keluarga kecil (<4 orang). Subjek laki-laki yang memiliki keluarga kecil lebih banyak (61.1%) dibandingkan dengan subjek perempuan (37%).Sementara itu untuk kategori keluarga besar (>7 orang) antara subjek laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan (11.1%). Banyaknya jumlah anggota keluarga dapat berpengaruh pada distribusi pangan keluarga dan akhirnya mempengaruhi status gizi anggota keluarga World Bank (2006).

Berdasarkan uji Mann- Whitney terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) pada besaran keluarga subjek laki-laki dan perempuan. Hal ini dikarenakan kebanyakan subjek

17 laki-laki memiliki keluarga kecil dan hanya sedikit yang memiliki keluarga sedang dan besar. Sama halnya dengan subjek laki-laki, subjek perempuan juga kebanyakan memiliki keluarga kecil, namun ditemukan memiliki keluarga sedang yang lebih banyak dibandingkan subjek laki-laki. Hal ini yang diduga menyebabkan adanya perbedaan yang signifikan antara besar keluarga subjek laki-laki dan perempuan.

Pendidikan Orangtua

Tingkat pendidikan orangtua yang baik akan memungkinkan orangtua dapat memantau dan menerima informasi tentang kesehatan anaknya. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka diasumsikan bahwa kemampuannya akan semakin baik dalam mengakses dan menyerap informasi demi memenuhi kebutuhan gizinya (Isnani 2011). Pendidikan orangtua dibagi menjadi 5 kelompok yaitu, tidak sekolah, SD/sederajat, SMP/sederajat, SMA/sederajat, dan Perguruan tinggi. Sebaran subjek berdasarkan pendidikan orangtua disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Sebaran subjek berdasarkan pendidikan orangtua Pendidikan orangtua

Ayah Ibu

Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan

n % n % n % n % Tidak Sekolah 0 0 1 1.9 0 0 2 3.7 SD/Sederajat 9 16.7 14 25.9 24 44.4 19 35.2 SMP/Sederajat 16 29.6 13 24.1 10 18.5 13 24.1 SMA/Sederajat 24 44.4 17 31.5 16 29.6 14 25.9 Perguruan Tinggi 5 9.3 9 16.7 4 7.4 6 11.1 Total 54 100 54 100 54 100 54 100 P 0.600 0.761

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui secara keseluruhan baik subjek laki-laki maupun subjek perempuan sebagian besar tingkat pendidikan ayah mencapai pendidikan SMA. Tingkat pendidikan ayah yang mencapai SMA pada subjek laki-laki lebih banyak (44.4%) dibandingkan subjek perempuan (31.5%). Sementara itu, dapat diketahui secara keseluruhan subjek laki-laki maupun subjek perempuan sebagian besar tingkat pendidikan ibu hanya mencapai pendidikan SD. Tingkat pendidikan ibu yang mencapai SD pada subjek laki-laki lebih banyak (44.4%) dibandingkan subjek perempuan (19%). Berdasarkan uji Mann-Whitney tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) antara tingkat pendidikan ayah dan ibu subjek laki-laki dan perempuan.

Menurut Hardinsyah (2000) orang yang memiliki pendidikan yang tinggi cenderung untuk memilih bahan makanan yang baik daripada mereka yang berpendidikan rendah. Rahmawati (2006) juga menerangkan bahwa tingkat pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan, dan status gizi.

Pekerjaan Orangtua

Jenis pekerjaan berhubungan erat dengan pendapatan yang diterima. Jenis pekerjaan yang dimiliki seseorang merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan karena jenis pekerjaan memiliki hubungan dengan pendapatan yang diterima (Suhardjo 1989). Pekerjaan orangtua dibagi menjadi 6 kelompok yaitu, Tidak bekerja, Pegawai Negeri Sipil (PNS)/TNI/POLRI, Wiraswasta, Buruh/Karyawan,

18

Jasa, dan Lainnya. Sebaran subjek berdasarkan pekerjaan orangtua disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran subjek berdasarkan pekerjaan orangtua Pekerjaan orangtua

Ayah Ibu

Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan

n % n % n % n % Tidak bekerja 5 9.3 1 1.9 32 59.3 36 66.7 PNS/TNI/POLRI 9 16.7 5 9.3 1 1.9 2 3.7 Wiraswasta 21 38.9 28 51.9 13 24.1 13 24.1 Buruh/Karyawan 13 24.1 17 31.5 2 3.7 1 1.9 Jasa 2 3.7 1 1.9 0 0.0 0 0 Lainnya 4 7.4 2 3.7 6 11.1 2 3.7 Total 54 100 54 100 54 100 54 100 P 0.372 0.269

Berdasarkan Tabel 5 secara keseluruhan, ayah subjek laki-laki maupun subjek perempuan sebagian besar bekerja sebagai wiraswasta. Ayah yang bekerja sebagai wiraswasta pada subjek perempuan (51.9%) lebih banyak dibandingkan pada subjek laki-laki (38.9%). Sementara itu, terlihat secara keseluruhan ibu subjek laki-laki-laki-laki maupun subjek perempuan sebagian besar tidak bekerja atau menjadi ibu rumah tangga. Ibu yang tidak bekerja atau menjadi ibu rumah tangga pada subjek perempuan lebih banyak (66.7%) dibandingkan dengan subjek laki-laki (59.3%). Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) antara pekerjaan ayah dan pekerjaan ibu subjek laki-laki dan perempuan.

Menurut Fikawati dan Syafiq (2007), pekerjaan seseorang akan berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas makanan. Hal ini karena pekerjaan akan menentukan pendapatan yang dihasilkan. Pendapatan ini akan digunakan salah satunya untuk membeli makanan. Tingkat pendidikan ayah berpengaruh terhadap jenis pekerjaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka peluang untuk memperoleh pekerjaan akan semakin besar.

Pendapatan Orangtua

Pendapatan orangtua merupakan merupakan penghasilan yang didapatkan orangtua perbulan untuk memenuhi kebutuhan keluarga baik pangan maupun non pangan. Pendapatan orangtua dikategorikan menjadi 3 kategori yaitu rendah jika pendapatan perbulan <Rp.2000000, sedang jika pendapatan perbulan Rp.2000000-4000000, dan tinggi jika pendapatan > Rp. 4000000. Sebaran subjek berdasarkan pendapatan orangtua disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Sebaran subjek berdasarkan pendapatan orangtua Pendapatan orangtua Laki-laki Perempuan Total

n % n % n % Rendah 13 24.1 11 20.4 24 22.2 Sedang 30 55.6 31 57.4 61 56.4 Tinggi 11 20.4 12 22.2 23 21.3 Total 54 100 54 100 108 100 Rata rata + SD 286815 ± 1312050 2888462 ± 1456308 27844898 ± 1588426 P 0.616

19 Berdasarkan Tabel 6 sebagian besar pendapatan orangtua subjek berada dalam kategori sedang (Rp.2000000-4000000/bulan). Pendapatan kategori sedang pada orangtua subjek perempuan lebih tinggi (57.4%) dibandingkan dengan subjek laki-laki (55.6%). Prabandari (2010) menyatakan bahwa semakin besar pendapatan keluarga maka semakin besar uang saku diterima. Hal ini sesuai dengan (Tabel 2) yang menunjukkan uang saku subjek perempuan lebih tinggi dibandingkan subjek laki-laki. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) antara pendapatan orangtua subjek laki-laki dan perempuan.

Pengetahuan Gizi

Pengetahuan gizi merupakan landasan penting untuk terjadi perubahan sikap dan perilaku gizi (Amelia 2008). Variabel pengetahuan gizi subjek diukur dengan menggunakan alat ukur berupa kuesioner pengetahuan gizi yang terdiri atas 20 pertanyaan mengenai pengetahuan gizi umum dan sarapan. Sebaran subjek berdasarkan jenis pertanyaan pengetahuan gizi dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran subjek berdasarkan jenis pertanyaan pengetahuan gizi No Pertanyaan Laki-laki Perempuan

n % n % 1 Fungsi zat gizi untuk tubuh 35 64.8 34 63 2 Kebiasaan makan beraneka ragam 22 40.7 26 48.1 3 Tubuh yang terpenuhi zat gizi 28 51.9 27 50 4 Jenis-jenis zat gizi 29 53.7 33 61.1 5 Bahan pangan sumber protein 15 27.8 32 59.3 6 Bahan pangan sumber karbohidrat 38 70.4 43 79.6 7 Bahan pangan sumber vitamin D 16 29.6 14 25.9 8

Zat gizi yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit oleh

tubuh 10 18.5 23 42.6

9 Dampak konsumsi makanan yang tidak seimbang 40 74.1 36 66.7 10 Kesadaran untuk mencuci tangan 41 75.9 45 83.3 11 Penyebab keracunan makanan 22 40.7 22 40.7 12 Sebutan untuk anak yang KEK dan KEP 11 20.4 18 33.3 13 Jenis bahan pangan kaya vitamin A 49 90.7 51 94.4 14 Pengertian sarapan 38 70.4 45 83.3 15 Manfaat dari sarapan 1 1.9 2 3.7 16 Waktu yang baik untuk sarapan 51 94.4 54 100 17 Menu sarapan yang sehat dan bergizi 5 9.3 5 9.3 18 Dampak tidak sarapan 52 96.3 45 83.3 19 Subjek makanan yang baik untuk sarapan 37 68.5 44 81.5 20 Konsumsi buah dan sayur untuk sarapan 17 31.5 16 29.6

Berdasarkan Tabel 7, dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh subjek laki-laki (94.4%) dan seluruh subjek perempuan (100%) telah menjawab dengan benar pertanyaan mengenai waktu yang baik untuk sarapan. Sedangkan lebih banyak subjek laki-laki (96.3%) yang menjawab dengan benar pertanyaan mengenai dampak tidak sarapan dibandingkan dengan subjek perempuan (83.3%). Sementara itu banyak dari subjek laki-laki (1.9%) maupun subjek perempuan (3.7%) yang masih belum mengetahui manfaaat dari sarapan.

20

Khomsan (2000) mengkategorikan tingkat pengetahuan gizi menjadi 3 bagian, yaitu tingkat pengetahuan rendah (<60%), sedang (60-80%) dan tinggi(80%). Sebaran subjek berdasarkan tingkat pengetahuan gizi antara laki-laki dan perempuan disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Sebaran subjek berdasarkan tingkat pengetahuan gizi Pengetahuan Gizi Anak Laki-laki Perempuan Total

n % n % n % Kurang (<60 %) 38 70.4 24 44.4 62 57.4 Sedang (60 – 80%) 15 27.8 29 53.7 44 40.7 Baik (>80) 1 1.9 1 1.9 2 1.9 Total 54 100 54 100 108 100 Rata-rata + SD 52.04 + 12.90 57.22 + 10.03 54.63 + 11.79 P 0.020

Berdasarkan Tabel 8 tingkat pengetahuan gizi subjek laki-laki dan perempuan secara keseluruhan berada pada kategori kurang (57.41%). Subjek laki-laki berada pada kategori kurang (70.4%) lebih banyak dibandingkan subjek perempuan (44.4%). Sementara itu tingkat pengetahuan gizi pada subjek perempuan sebagian besar berada pada kategori sedang (53.7%) dan hanya sebagian kecil subjek laki-laki dan perempuan (1.8%) yang memiliki tingkat pengetahuan gizi yang baik (>80%). Berdasarkan uji Mann-Whitney terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) antara pengetahuan gizi subjek laki-laki dan subjek perempuan. Hal ini diduga pengetahuan gizi contoh perempuan lebih baik dibandingkan contoh laki-laki dan dapat diamati bahwa contoh perempuan lebih banyak menjawab dengan benar pertanyaan yang diberikan.

Pengetahuan gizi diyakini sebagai salah satu variabel yang dapat berhubungan dengan konsumsi dan kebiasaan makan. Kelompok remaja yang tidak memiliki pengetahuan gizi yang cukup, akan memiliki konsep ilmu gizi yang sedikit juga (Hendrayati et al 2010). Sama halnya dengan yang dinyatakan oleh Khomsan et al (2007) bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi, diharapkan keadaan gizinya juga baik.

Sarapan

Menurut Hardinsyah (2012) sarapan merupakan makan di awal hari biasanya dilakukan di pagi hari berupa makanan dan minuman. Makanan dan minuman yang dikonsumsi di pagi hari menyediakan energi dan zat gizi agar perasaan, berpikir, dan bekerja atau stamina yang lebih baik. Sarapan adalah suatu kegiatan penting sebelum melakukan aktivitas fisik pada hari tersebut, mengingat tubuh tidak mendapatkan makanan selama sekitar 10 jam sejak malam hari. Sebaran sarapan subjek meliputi frekuensi, waktu, tempat, dan kebiasaan sarapan bersama dapat dilihat pada Tabel 9.

21 Tabel 9 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan sarapan

Kebiasaan sarapan Laki - laki Perempuan Total

n % n % n %

Frekuensi

Tidak teratur (< 4 kali/minggu) 7 13 13 24.1 20 18.5 Teratur (> 4 kali/minggu) 47 87 41 75.9 88 81.5 Total 54 100 54 100 108 100 Rata-rata + SD 5.9 + 1.6 5.4 + 1.7 5.6 + 1.7 P 0.097 Waktu 05.00 - 05.59 4 7.4 10 18.5 14 13 06.00 - 06.59 44 81.5 37 68.5 81 75 07.00 - 07.59 5 9.3 5 9.3 10 9.3 08.00 - 09.00 1 1.9 2 3.7 3 2.8 Total 54 100 54 100 108 100 Rata-rata + SD 6.31 + 0.46 6.37 + 0.65 6.34 + 0.56 P 0.851 Tempat Rumah 48 88.9 47 87 88 88 Perjalanan 1 1.9 1 1.9 6 1.9 Sekolah 5 9.3 6 11.1 14 10.2 Kosan 0 0 0 0 0 0 Total 54 100 54 100 108 100 P 0.765

Kebiasaan sarapan bersama

Diri sendiri 9 16.7 7 13 16 14.8 Anggota keluarga (sebagian) 29 53.7 26 48.1 55 50.9 Anggota keluarga (seluruh) 10 18.5 14 25.9 24 22.2

Teman 6 11.1 7 13 13 12

Total 54 100 54 100 108 100

P 0.433

Frekuensi Sarapan

Menurut Yang et al. (2006) frekuensi sarapan dikatakan teratur apabila ≥4 kali dan dikatakan tidak teratur jika hanya sarapan sebanyak 3 kali selama hari sekolah. Data frekuensi sarapan mahasiswa pada penelitian ini diperoleh dengan menggunakan food record yang diisi oleh subjek selama satu minggu. Data frekuensi sarapan yang diperoleh berkisar antara satu sampai tujuh kali. Berdasarkan Tabel 9 seluruh subjek laki-laki maupun perempuan (88%) teratur untuk melakukan sarapan. Subjek laki-laki yang sarapannya teratur lebih banyak (87%) dibandingkan subjek perempuan (75.9%).

Roberts dan Williams dalam Waluya (2007) yang menyatakan bahwa remaja khususnya remaja putri biasanya percaya bahwa mereka dapat mengontrol berat badan dengan cara tidak makan pagi. Wan et al (2004) menambahkan bahwa ketakutan akan menjadi gemuk menyebabkan remaja melewatkan waktu makan dan perilaku ini dianggap sebagai langkah awal untuk menurunkan berat badan. Hasil penelitian Dubois et al. (2008) menunjukkan bahwa kebiasaan sarapan yang tidak teratur dalam seminggu (<7 hari) dapat dihubungkan dengan rendahnya kualitas makan dan asupan energi. Terdapat berbagai alasan subjek ketika tidak sarapan (Tabel 11). Berdasarkan hasil uji

22

beda Mann-Whitney diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) antara frekuensi sarapan subjek laki-laki dan perempuan.

Waktu Sarapan

Sarapan yang baik adalah bila selalu dilakukan pada waktu pagi hari bukan menjelang makan siang, dan tidak perlu dibedakan antara saat hari kerja/sekolah dan hari libur. Mempertimbangkan hasil kajian kontribusi berbagai zat gizi sarapan terhadap asupan zat gizi harian, di Indonesia lebih tepat bila kontribusi zat gizi sarapan adalah 15-30 % asupan gizi. Oleh karena target asupan gizi harian yang ideal adalah memenuhi kebutuhan gizi (100% AKG) maka sarapan yang dianjurkan adalah mengandung zat gizi 15-30% zat gizi, yang dilakukan antara bangun pagi sampai jam 9 pagi. (Hardinsyah dan Aries 2012).

Waktu sarapan dikategorikan menjadi 4, yaitu pukul 05.00-05.59, 06.00-06.59, 07.00-07.59, dan 08.00-09.00. Berdasarkan Tabel 9, dapat diketahui secara keseluruhan baik subjek laki-laki maupun subjek perempuan (75%) melakukan sarapan pada pukul 06.00-06.59 WIB. Subjek laki-laki yang melakukan sarapan pada waktu tersebut lebih banyak (81.5%) dibandingkan dengan subjek perempuan (68.5%). Sementara itu waktu yang paling jarang digunakan untuk sarapan adalah pukul 08.00-09.00 WIB. Terlihat hanya (1.9%) subjek laki-laki dan (3.7%) subjek perempuan yang melakukan sarapan pada waktu tersebut. Diduga subjek yang melakukan sarapan pada waktu tersebut ketika hari libur. Perlu diketahui waktu belajar disekolah dimulai pada pukul 07.00-14.00 WIB. Berdasarkan hasil uji beda Mann-Whitney diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) antara waktu sarapan subjek laki-laki dan perempuan.

Yang et al. (2006) menambahkan bahwa sarapan teratur didefinisikan sebagai konsumsi meal sebelum jam 09.00 pagi. Hasil ini menunjukkan bahwa kebanyakan dari subjek laki-laki maupun subjek perempuan yang terbiasa melakukan sarapan telah memilih waktu yang ideal untuk sarapan dan waktu sarapan yang paling banyak dipilih yaitu pukul 06.00-06.59 WIB yang artinya kebanyakan subjek terbiasa melakukan sarapan di rumah sebelum berangkat sekolah. Sementara itu yang tidak sempat ataupun tidak terbiasa sarapan di rumah, diduga melakukan sarapan diperjalanan dan di sekolah. Smith et al. (2010) menemukan bahwa subjek yang tidak sarapan lebih suka mengundur waktu makan pagi dan biasanya memulai waktu makan yaitu pada waktu makan siang (12.00-14.00) dan waktu makan malam (17.00-20.00).

Tempat Sarapan

Lokasi subjek biasa melakukan sarapan dikategorikan menjadi empat, yaitu di rumah, diperjalanan, di sekolah, dan di kosan. Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui secara keseluruhan subjek laki-laki maupun subjek perempuan (88%) memiliki tempat favorit untuk sarapan yaitu di rumah. Subjek laki-laki yang melakukan sarapan di rumah lebih banyak (88.9%) dibandingkan dengan subjek perempuan (87%). Sementara itu, hanya sebagian kecil dari subjek laki-laki maupun perempuan yang terbiasa melakukan sarapan di perjalanan dan di sekolah (1.9% dan 10.2%). Sementara itu tidak ditemukan subjek laki-laki maupun perempuan yang melakukan sarapan di kosan, karena diduga seluruh subjek masih tinggal bersama orangtua.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Darmayanti (2010) tempat siswa melakukan sarapan biasanya berhubungan dengan jarak antara rumah siswa dan lokasi sekolah. Jarak rumah dan sekolah yang tidak terlalu jauh memungkinkan siswa untuk sarapan di rumah. Sedangkan jarak rumah ke sekolah yang jauh membuat siswa lebih

23 sering melakukan sarapan di perjalanan ataupun di sekolah. Hasil studi di Australia mengungkapkan bahwa beberapa anak sekolah yang memiliki kebiasaan sarapan diperjalanan atau di sekolah umumnya mengkonsumsi pangan sarapan dengan jumlah kandungan gizi yang rendah dibandingkan anak sarapan di rumah (Khan 2005). Berdasarkan hasil uji beda Mann-Whitney diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) antara tempat sarapan subjek laki-laki dan perempuan.

Kebiasaan sarapan bersama

Kebiasaan sarapan bersama dapat dijadikan salah satu faktor penguat (reinforcing factors) yaitu faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku dalam wujud sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lainnya, merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. Referensi ini dapat berasal dari keluarga, guru, atau teman sebaya (Hermina et al. 2009). Kebiasaan sarapan bersama dikategorikan menjadi 4 yaitu diri sendiri, bersama anggota keluarga (sebagian), bersama anggota keluarga (seluruh), dan teman (Khan 2005).

Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui secara keseluruhan subjek (50.9%) melakukan sarapan bersama anggota keluarga (sebagian). Hasil ini menunjukkan bahwa sebagian besar subjek terbiasa untuk sarapan di rumah. Kebiasaan sarapan bersama anggota keluarga (sebagian) dari subjek laki-laki lebih tinggi (53.7%) dibandingkan subjek perempuan (48.1%). Hanya sebesar (12%) dari seluruh subjek melakukan sarapan bersama teman sebaya. Hasil studi Pearson et al. (2009), sarapan bersama keluarga berkolerasi besar dalam konsumsi sarapan pada remaja. Menurut Khan (2005) menambahkan bahwa sarapan dengan seluruh keluarga mendorong remaja untuk secara teratur sarapan. Berdasarkan hasil uji beda Mann-Whitney diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) antara kebiasaan sarapan bersama subjek laki-laki dan perempuan.

Alasan Tidak Sarapan

Menurut Khomsan (2005), alasan tidak sarapan, yaitu tidak sempat atau terburu-buru, merasa waktu sangat terbatas karena jarak sekolah cukup jauh, terlambat bangun pagi, tidak ada selera makan, maupun ingin diet supaya berat badan cepat turun. Berdasarkan banyaknya alasan tidak sarapan yang dikemukakan tersebut maka alasan tidak sarapan dibagi menjadi 4 yaitu tidak sempat, tidak merasa lapar, tidak terbiasa sarapan, dan tidak setiap hari sarapan tersedia. Sebaran subjek berdasarkan alasan ketika tidak sarapan dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Sebaran subjek berdasarkan alasan tidak sarapan

Alasan tidak sarapan Laki-laki Perempuan Total n % n % n % Tidak sempat 17 31.5 25 46.3 42 38.9 Tidak merasa lapar 16 29.6 11 20.4 27 25 Tidak terbiasa sarapan 5 9.3 9 16.7 14 13 Tidak setiap hari sarapan tersedia 16 29.6 9 16.7 25 23.1

Total 54 100 54 100 108 100

P 0.127

Alasan tidak sarapan subjek diperoleh berdasarkan pilihan yang terdapat dalam kuesioner. Berdasarkan Tabel 10 secara keseluruhan subjek laki-laki maupun subjek perempuan (38.9%) menyatakan tidak sempat sebagai alasan tidak sarapan yang paling banyak dipilih. Subjek perempuan yang beralasan tidak sempat sarapan lebih banyak

24

(46.3%) dibandingkan subjek laki-laki (31.5%). Sementara itu (29.6%) subjek laki-laki dan (20.4%) subjek perempuan beralasan tidak merasa lapar untuk sarapan di pagi hari. Sedangkan hanya sedikit subjek laki-laki (9.3%) dan subjek perempuan (16.7%)

Dokumen terkait