• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum BPR

Objek penelitian yang digunakan adalah BPR Konvensional yang terdiri dari BPR daerah padat penduduk yang diwakili oleh provinsi Yogyakarta dan BPR daerah jarang penduduk yang diwakili oleh provinsi Sumatra Barat.

BPR Padat Penduduk (Yogyakarta)

Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak di bagian selatan Jawa bagian tengah memiliki luas 3.185,80 km2. Menurut sensus penduduk 2010 memiliki jumlah penduduk 3.452.390 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 1.084 jiwa per km2. DIY dikategorikan sebagai daerah padat penduduk karena memiliki kepadatan lebih dari 600 jiwa/km2. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/26/PBI/2006 wilayah Yogyakarta harus memiliki modal minimal Rp2 miliar untuk mendirikan BPR. Jumlah BPR dari tahun 2011 hingga 2014 jumlah adalah 54 BPR. Sejalan dengan bertambahnya lembaga-lembaga keuangan yang juga memberikan pembiayaan kepada UMKM, persaingan di masa depan dalam pembiayaan kepada UMKM akan semakin meningkat. Persaingan tersebut dapat terjadi dengan Bank Umum yang mengembangkan unit-unit pelayanan mikro, LKM non-bank dan lembaga penyalur dana bergulir yang didukung oleh Pemerintah. Persaingan juga muncul sebagai akibat dari penyaluran dana donor, pemerintah dan BUMN secara langsung melalui proyek atau secara tidak langsung melalui Bank Umum dan/ atau koperasi.

17

BPR Jarang Penduduk (Sumatra Barat)

Sumatera Barat adalah salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Sumatera dengan Padang sebagai ibu kotanya. Provinsi ini memiliki daratan seluas 42.297,30 km² dengan jumlah penduduknya berkisar 4.846.909 jiwa yang berarti kepadatan penduduknya sebesar 110 jiwa per km2. Sumbar dikategorikan sebagai daerah padat jarang penduduk karena memiliki kepadatan kurang dari 150 jiwa/km2. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/26/PBI/2006 wilayah Sumatra Barat harus memiliki modal minimal Rp 500 juta untuk mendirikan BPR. Dengan kecilnya modal dalam mendirikan BPR maka Sumbar memiliki jumlah BPR terbanyak kedua setelah Provinsi Jawa Barat atau terbanyak di Sumatera. Saat ini, jumlah BPR di Sumbar ada sekitar 95 bank. Banyaknya jumlah BPR didukung juga oleh berkembangnya UMKM. Meski memiliki jumlah yang cukup banyak, dari tahun 2011 hingga 2014 sebanyak 8 BPR yang telah dilikuidasi akibat kredit macet. Dalam perkembangan BPR terdapat masalah- masalah yang harus dihadapi seperti: 1) perkembangan kondisi ekonomi yang cenderung lambat mengakibatkan penduduk setempat enggan menabung. Ketidakinginan penduduk untuk menabung menghambat BPR untuk mengekspansikan kegiatan usahanya dalam menyalurkan kredit. Dengan sedikitnya DPK maka kredit yang disalurkan juga tidak akan banyak. 2) Kurangnya sumberdaya manusia yang handal menjadi membuat mutu pelayanan BPR tidak cukup baik. 3) Tingkat bunga BPR yang lebih tinggi dibanding bank umum, menyebabkan tingginya risiko kredit.

Hasil Analisis Klasik Hasil Uji Normalitas

Tabel 3 Hasil Uji Normalitas Tanpa Variabel Moderasi

BPR Variabel Sig Taraf Signifikan Kesimpulan

ROA 0.999 0.05 Normal

CAR 0.77 0.05 Normal

di daerah NPL 0.882 0.05 Normal

padat LDR 0.288 0.05 Normal

penduduk BOPO 0.352 0.05 Normal

(Yogyakarta) Inflasi 0.732 0.05 Normal

BI rate 0.401 0.05 Normal

ROA 0.478 0.05 Normal

CAR 0.838 0.05 Normal

di daerah NPL 0.756 0.05 Normal

jarang LDR 0.918 0.05 Normal

penduduk BOPO 0.849 0.05 Normal

(Sumatra Barat) Inflasi 0.913 0.05 Normal

BI rate 0.401 0.05 Normal

18

Berdasarkan hasil uji normalitas pada BPR di daerah padat penduduk dan BPR daerah jarang penduduk untuk variabel ROA, CAR, NPL, LDR, BOPO, Inflasi, BI rate berdistribusi normal. Hal ini terlihat dari semua variabel memiliki asytotic sig > taraf signifikan (α = 0.05) atau terima Ho. Hasil uji normalitas data rasio keuangan dengan Kolmogrov Smirnov test dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 4 Hasil Uji Normalitas Dengan Variabel Moderasi

BPR Variabel Sig Taraf Signifikan Kesimpulan

ROA 0.999 0.05 Normal

CAR 0.77 0.05 Normal

di daerah NPL 0.882 0.05 Normal

padat LDR 0.288 0.05 Normal

penduduk BOPO 0.352 0.05 Normal

(Yogyakarta) Inflasi 0.732 0.05 Normal

BI rate 0.401 0.05 Normal Kepadatan (M) 0.07 0.05 Normal CAR*M 0.617 0.05 Normal NPL*M 0.869 0.05 Normal LDR*M 0.588 0.05 Normal BOPO*M 0.139 0.05 Normal Inflasi*M 0.846 0.05 Normal BI rate*M 0.17 0.05 Normal ROA 0.478 0.05 Normal CAR 0.838 0.05 Normal NPL 0.756 0.05 Normal LDR 0.918 0.05 Normal

di daerah BOPO 0.849 0.05 Normal

jarang Inflasi 0.913 0.05 Normal

penduduk BI rate 0.401 0.05 Normal

(SumatraBarat) Kepadatan (M) 0.16 0.05 Normal

CAR*M 0.822 0.05 Normal NPL*M 0.678 0.05 Normal LDR*M 0.838 0.05 Normal BOPO*M 0.88 0.05 Normal Inflasi*M 0.933 0.05 Normal BI rate*M 0.262 0.05 Normal

Sumber: (Laporan Keuangan BPR, 2014 (diolah))

Hasil uji normalitas pada BPR di daerah padat penduduk dan BPR daerah jarang penduduk dengan variabel dependen (ROA) dan variabel independen (CAR, NPL, LDR, BOPO, Inflasi, BI rate) yang dimoderasi kepadatan penduduk berdistribusi normal. Hal ini terlihat dari semua variabel memiliki asytotic sig > taraf signifikan (α = 0.05) atau terima Ho. Hasil uji normalitas data rasio keuangan dengan Kolmogrov Smirnov test dapat dilihat pada tabel 4.

19

Hasil Uji Multikolinearitas

Tabel 5 Hasil Uji Multikolinearitas Tanpa Variabel Moderasi BPR Variabel VIF

Taraf

VIF Kesimpulan

CAR 2.94 10 Tidak multikolinearitas di daerah NPL 3.55 10 Tidak multikolinearitas padat LDR 3.71 10 Tidak multikolinearitas penduduk BOPO 4.30 10 Tidak multikolinearitas (Yogyakarta) Inflasi 2.41 10 Tidak multikolinearitas BI rate 2.49 10 Tidak multikolinearitas CAR 3.57 10 Tidak multikolinearitas di Daerah NPL 2.38 10 Tidak multikolinearitas Jarang LDR 1.67 10 Tidak multikolinearitas Penduduk BOPO 3.47 10 Tidak multikolinearitas (Sumatra Barat) Inflasi 2.29 10 Tidak multikolinearitas

BI rate 3.60 10 Tidak multikolinearitas

Sumber: (Laporan Keuangan BPR, 2014 (diolah))

Tabel 6 Hasil Uji Multikolinearitas Dengan Variabel Moderasi

BPR Variabel VIF Taraf VIF Kesimpulan

CAR 14.972 10 Multikolinearitas

NPL 8.479 10 Multikolinearitas

LDR 11.804 10 Multikolinearitas

BOPO 29.887 10 Multikolinearitas

di daerah Inflasi 24.092 10 Multikolinearitas

padat BI rate 60.467 10 Multikolinearitas

penduduk Kepadatan (M) 292.967 10 Multikolinearitas

(Yogyakarta) CAR*M 3.945 10 Multikolinearitas

NPL*M 8.484 10 Multikolinearitas LDR*M 5.315 10 Multikolinearitas BOPO*M 241.782 10 Multikolinearitas Inflasi*M 13.437 10 Multikolinearitas BI rate*M 114.249 10 Multikolinearitas CAR 645.789 10 Multikolinearitas di daerah NPL 24.986 10 Multikolinearitas jarang LDR 54.928 10 Multikolinearitas

penduduk BOPO 152.609 10 Multikolinearitas

20

BPR Variabel VIF Taraf VIF Kesimpulan

BI rate 363.088 10 Multikolinearitas Kepadatan (M) 49.334 10 Multikolinearitas CAR*M 57.926 10 Multikolinearitas NPL*M 303.493 10 Multikolinearitas LDR*M 339.596 10 Multikolinearitas BOPO*M 25.958 10 Multikolinearitas (SumatraBarat) Inflasi*M 27.982 10 Multikolinearitas

BI rate*M 190.419 10 Multikolinearitas

Sumber: (Laporan Keuangan BPR, 2014 (diolah))

Dari tabel 5 dapat diketahui nilai variance inflation factor (VIF) keenam variabel tersebut lebih kecil dari 10, sehingga bisa diduga bahwa antar variabel independen tidak terjadi persoalan multikolinearitas pada BPR di daerah padat maupun jarang penduduk. Berbeda halnya dengan uji multikolinearitas dengan variabel moderasi pada BPR di daerah padat maupun jarang penduduk, terjadi multikolinearitas kerena nilai VIP lebih besar dari taraf VIF yang ditentukan (Tabel 6). Hal ini terjadi karena adanya perkalian antara masing masing variabel independen dengan variabel moderasi dan untuk melanjutkan proses regresi dimaklumkan untuk multikolinearitas (Hayes, 2005).

Hasil Uji Autokolerasi

Berdasarkan uji autokorelasi dengan Durbin Watson (DW) diperoleh DW tanpa variabel moderasi pada BPR di daerah padat penduduk sebesar 1.888 dan DW pada BPR di daerah jarang penduduk sebesar 2.478 (Lampiran 3). DW dengan variabel moderasi pada BPR di daerah padat penduduk sebesar 2.468 dan DW pada BPR di daerah jarang penduduk sebesar 2.535 (Lampiran 12). Dengan signifikansi 0.05, jumlah data (n) 15, dan jumlah variabel independen (k) 6 diperoleh nilai dL sebesar 0,4471 dan dU sebesar 2,4715. Karena nilai DW pada BPR di daerah padat dan di daerah jarang penduduk dengan dan tampa variabel moderasi terletak pada daerah antara (4-dU) dan (4-dL), maka tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti (berada di daerah keragu-raguan).

Hasil Uji Heteroskedastisitas

Berdasarkan ouput Scatterplot di atas, terlihat bahwa titik-titik menyebar dan tidak membentuk pola tertentu yang jelas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi masalah heteroskedastisitas pada variabel independen (CAR, NPL,LDR,BOPO, Inflasi dan BI rate) terhadap variabel dependen (ROA) tanpa adanya variabel moderasi.

21

Gambar 3 Scatterplot pada BPR Padat Penduduk

Gambar 4 Scatterplot pada BPR Jarang Penduduk Tabel 7 Hasil Uji Heteroskedastisitas dengan Variabel Moderasi

BPR Variabel Sig

Taraf

Signifikan Kesimpulan CAR 0.678 0.05 Tidak heteroskedastisitas NPL 0.842 0.05 Tidak heteroskedastisitas LDR 0.869 0.05 Tidak heteroskedastisitas BOPO 0.144 0.05 Tidak heteroskedastisitas di daerah Inflasi 0.292 0.05 Tidak heteroskedastisitas padat BI rate 0.152 0.05 Tidak heteroskedastisitas penduduk Kepadatan (M) 0.166 0.05 Tidak heteroskedastisitas (Yogyakarta) CAR*M 0.157 0.05 Tidak heteroskedastisitas NPL*M 0.26 0.05 Tidak heteroskedastisitas LDR*M 0.081 0.05 Tidak heteroskedastisitas BOPO*M 0.275 0.05 Tidak heteroskedastisitas Inflasi*M 0.139 0.05 Tidak heteroskedastisitas BI rate*M 0.334 0.05 Tidak heteroskedastisitas

22

BPR Variabel Sig

Taraf

Signifikan Kesimpulan CAR 0.248 0.05 Tidak heteroskedastisitas NPL 0.693 0.05 Tidak heteroskedastisitas LDR 0.998 0.05 Tidak heteroskedastisitas BOPO 0.349 0.05 Tidak heteroskedastisitas di daerah Inflasi 0.329 0.05 Tidak heteroskedastisitas jarang BI rate 0.233 0.05 Tidak heteroskedastisitas penduduk Kepadatan (M) 0.469 0.05 Tidak heteroskedastisitas (SumatraBarat) CAR*M 0.21 0.05 Tidak heteroskedastisitas NPL*M 0.29 0.05 Tidak heteroskedastisitas LDR*M 0.335 0.05 Tidak heteroskedastisitas BOPO*M 0.295 0.05 Tidak heteroskedastisitas Inflasi*M 0.237 0.05 Tidak heteroskedastisitas BI rate*M 0.214 0.05 Tidak heteroskedastisitas Sumber: (Laporan Keuangan BPR, 2014 (diolah))

Berdasarkan Uji Park untuk menguji heteroskedastisitas pada BPR padat penduduk dan BPR jarang penduduk dengan variabel moderasi tidak terjadi heteroskedastisitas. Hal ini terlihat dari semua variabel memiliki asytotic sig > taraf signifikan (α = 0.05) atau terima Ho.

Hasil Uji Perbandingan

Capital Adequacy Ratio (CAR)

Capital Adequacy Ratio menunjukan seberapa besar kemampuan permodalan untuk menutupi risiko yang terjadi. BPR padat penduduk memiliki rata-rata rasio CAR sebesar 16.15%, lebih besar dibandingkan dengan BPR jarang penduduk sebesar 13.89% (Tabel 2). Hal itu berarti bahwa selama periode 2011- 2014 BPR padat penduduk memiliki CAR lebih baik dibandingkan dengan BPR jarang penduduk, karena semakin tinggi nilai CAR maka akan semakin bagus kualitas permodalan bank tersebut. Akan tetapi, jika mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia bahwa standar CAR yang terbaik adalah 8%, maka BPR jarang penduduk masih berada pada kondisi yang ideal karena masih berada diatas ketentuan Bank Indonesia.

Nilai CAR tahun 2011 hingga 2014 cenderung fluktuatif. Pada triwulan-I 2014 nilai CAR BPR padat penduduk mencapai titik tertinggi sebesar 17.88%, dan titik terendahnya berada di triwulan-II 2012 sebesar 14.18%. Sedangkan pada BPR jarang penduduk nilai CAR paling rendah terjadi pada triwulan-II 2011 yakni 12.65% dan CAR tertingginya sebesar 15.49% pada triwulan-IV 2013 (Gambar 5). Apabila diberi garis trend maka, garis akan menggambarkan kenaikan pada BPR BPR jarang penduduk. Titik tertinggi pada CAR BPR padat disebabkan oleh adanya peningkatan laba dan cadangan umum yang besar, sedangkan titik terendahnya dikarenakan besarnya kredit yang diberikan kepada non Bank-pihak tidak terkait. Meningkatnya Kredit yang diberikan kepada non

23 Bank-pihak tidak terkait menyebabkan nilai ATMR meningkat sehingga nilai CAR menjadi turun. Titik tertinggi pada CAR BPR jarang disebabkan oleh adanya peningkatan laba dan cadangan umum yang besar, sedangkan titik terendahnya dikarenakan peningkatan nilai ATMR yang tinggi dengan peningkatan jumlah modal yang tidak terlalu besar sehingga nilai CAR menjadi turun.

Pada BPR padat penduduk pertumbuhan CARnya cenderung berfluktuatif, penurunan CAR dipengaruhi oleh semankin meningkatnya Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) akibat peningkatan penyaluran kredit. Sedangkan peningkatan CARnya dipengaruhi oleh laba yang meningkat juga akibat penggembalian kredit yang lancar pada bulan-bulan tertentu.

Gambar 5. Perkembagan CAR BPR padat penduduk dan BPR jarang penduduk Dari lampiran 5 dapat terlihat bahwa F hitung untuk CAR dengan equal variance assumed (diasumsi kedua varians sama) sebesar 3.426 dengan probabilitas 0.081. Oleh karena probabilitas data di atas lebih besar dari 0.05, maka dapat dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan varians pada data perbandingan kinerja keuangan BPR padat penduduk dan BPR jarang penduduk untuk rasio CAR. Kedua varians sama maka, digunakan equal variances assumed dengan t hitung 0.78 dengan nilai signifikan sebesar 0.488. Oleh karena nilai sig. thitung > ttabel (0.488 > 0.05), maka dapat dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan CAR yang signifikan antara BPR padat penduduk dan BPR jarang penduduk.

Non Performing Loan (NPL)

NPL menunjukkan seberapa besar tingkat kredit yang bermasalah dari keseluruhan kredit yang bank berikan ke masyarakat. Selama periode 2011-2014 dapat terlihat bahwa BPR padat penduduk memiliki rata-rata rasio NPL sebesar 2.03%, lebih besar dibandingkan dengan BPR jarang penduduk sebesar 1.75%. Perkembangan rata-rata NPL berada di bawah 5%, menunjukkan bahwa BPR sehat. Apabila diberi garis trend pada gambar 6 maka, NPL BPR padat penduduk mengalami penurunan sedangkan BPR jarang penduduk mengalami peningkatan. Peningkatan NPL pada BPR jarang penduduk mencerminkan dampak dari

24

pinjaman bermasalah meningkat. Pinjaman bermasalah meningkat akibat menurunya daya bayar masyarakat yang dipicu oleh adanya kenaikan BBM, inflasi, kenaikan BI rate, kurangnya supervise atas kredit yang disalurkan, tingginya tingkat bunga kredit BPR dibandingkan dengan lembaga keuangan seperti Bank Umum dan lambatnya pertumbuhan ekonomi daerah jarang penduduk tiap tahunnya.

Penurunan NPL pada BPR padat penduduk akibat dikeluarkannya kebijakan pemerintah mengenai pembatasan tingkat suku bunga bank (SBDK) yang telah diterapkan sejak tahun 2011. Pembatasan SBDK BPR meringankan debitur dalam melunasi utangnya kepada bank, karena bunga pinjaman yang diberikan kepada debitur tidaklah setinggi sebelum kebijakan dikeluarkan (penurunan nilai kredit risiko). Penurunan rasio NPL juga terjadi karena adanya perbaikan kualitas kredit. Perbaikan kualitas kredit perbankan tidak terlepas dari upaya restrukturisasi maupun hapus buku yang dilakukan bank. Untuk mengantisipasi peningkatan tekanan risiko kredit, bank biasanya melakukan pemupukan cadangan kerugian penghapusan kredit (PPAP kredit), sehingga secara keseluruhan risikonya menjadi menurun.

Gambar 6 Perkembangan NPL BPR padat penduduk dan BPR jarang penduduk Dari lampiran 6 dapat terlihat bahwa F hitung untuk NPL dengan equal variance assumed (diasumsi kedua varians sama) adalah 0.372 dengan probabilitas 0.55. Oleh karena probabilitas data di atas lebih besar dari 0.05, maka dapat dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan varians pada data perbandingan kinerja keuangan BPR padat penduduk dan BPR jarang penduduk untuk rasio NPL. Kedua varians sama, maka digunakan equal variances assumed. t hitung sebesar 0.649 dengan nilai signifikan sebesar 0.488. Oleh karena nilai sig. thitung > ttabel (0.525 > 0.05), maka dapat dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan NPL yang signifikan antara BPR padat penduduk dan BPR jarang penduduk.

Loan to Deposit Ratio (LDR)

LDR terendah pada kedua kelompok BPR terjadi pada bulan dan tahun yang sama yaitu desember 2013 dengan nilai LDR masing-masing 84.719% untuk BPR padat penduduk dan 79.393% untuk BPR jarang penduduk. Sedangkan LDR

25 tertinggi pada kedua kelompok BPR juga terjadi pada bulan dan tahun yang sama yaitu maret 2012 dengan nilai LDR masing-masing 100.63% untuk BPR padat penduduk dan 91.05% untuk BPR jarang penduduk (Gambar 7). Apabila diberi garis trend pada gambar 7 maka, LDR BPR padat penduduk dan BPR jarang penduduk akan cenderung konstan. Hal ini berarti besarnya penyaluran dana dalam bentuk kredit dibandingkan dengan deposit atau simpanan masyarakat pada BPR hampir sama setiap triwulannya.

Gambar 7 Perkembangan LDR BPR padat penduduk dan BPR jarang penduduk Berdasarkan rata-rata selama periode 2011-2014 dapat terlihat bahwa BPR padat penduduk memiliki rata-rata rasio LDR sebesar 90.12%, lebih besar dibandingkan dengan BPR jarang penduduk sebesar 85.38%. Dengan batas toleransi LDR berkisar antara 85%-110%, kedua kelompok BPR memiliki LDR yang sehat.

Dari lampiran 7 dapat terlihat bahwa F hitung untuk LDR dengan equal variance assumed (diasumsi kedua varians sama) adalah 0,846 dengan probabilitas 0,370. Oleh karena probabilitas data di atas lebih besar dari 0,05, maka dapat dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan varians pada data perbandingan kinerja keuangan LDR BPR padat penduduk dan BPR jarang penduduk untuk rasio LDR. Kedua varians sama maka, digunakan equal variances assumed. t hitung sebesar 1.063 dengan signifikan sebesar 0,302. Oleh karena nilai sig. thitung > ttabel (0,302 > 0,05), maka dapat dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan LDR yang signifikan antara BPR padat penduduk dan BPR jarang penduduk.

Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO)

Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengendalikan biaya operasional terhadap pendapatan operasional. Pada triwulan-IV 2011 nilai BOPO BPR padat penduduk mencapai titik tertinggi sebesar 83.74%, dan titik terendahnya berada di triwulan-I 2014 sebesar 65.215%. Sedangkan pada BOPO jarang penduduk nilai BOPO paling rendah terjadi pada triwulan-I 2011 yakni 77.81% dan BOPO tertingginya sebesar 85.83% pada triwulan-IV 2012 (Gambar 8). Berdasarkan rata-rata selama periode 2011-2014 dapat terlihat bahwa BPR padat penduduk memiliki rata-rata rasio BOPO sebesar

26

74.884%, lebih kecil dibandingkan dengan BPR jarang penduduk yakni 82.616%. Kedua kelompok BPR memiliki BOPO yang cukup sehat. Nilai BOPO tahun 2011 hingga 2014 pada BPR jarang penduduk cenderung meningkat sedangkan pada BPR padat penduduk nilainya menurun tiap triwulannya. Peningkatan BOPO pada BPR jarang penduduk disebabkan oleh kenaikan biaya administrasi dan umum setiap triwulannya. Sedangkan penurunan BOPO pada BPR padat penduduk diakibatkan karena biaya yang dikeluarkan oleh bank dalam rangka menjalankan aktivitas usahanya telah efisien, sehingga pendapatan operasional yang diperoleh dari penyaluran dana semakin besar. Selain itu pendapatan oprasional yang meningkat akibat adanya peningkatan pada pendapatan bunga.

Gambar 8 Perkembangan BOPO BPR padat penduduk dan BPR jarang penduduk Dari lampiran 8 dapat terlihat bahwa F hitung untuk BOPO dengan equal variance assumed (diasumsi kedua varians sama) adalah 0.250 dengan probabilitas 0.623. Oleh karena probabilitas data di atas lebih besar dari 0.05, maka dapat dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan varians pada data perbandingan kinerja keuangan BPR padat penduduk dan BPR jarang penduduk untuk rasio BOPO. Kedua varians sama, maka digunakan equal variances assumed. t hitung sebesar -3.165 dengan signifikan sebesar 0.005. Oleh karena nilai sig. thitung < ttabel (0.005 < 0.05), maka dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan BOPO yang signifikan antara BPR padat penduduk dan BPR jarang penduduk.

Return On Asset (ROA)

Selama periode 2011-2014 dapat terlihat bahwa BPR padat penduduk memiliki rata-rata (mean) rasio ROA sebesar 3.54%, lebih besar dibandingkan dengan BPR jarang penduduk sebesar 3.089%. Perkembangan rata-rata ROA berada di atas 1,5%, menunjukkan bahwa BPR sehat.

ROA BPR padat penduduk mencapai titik tertinggi yakni 3.88% pada triwulan-II 2013, dan titik terendah berada di triwulan-III 2011 sebesar 3.08%. Sedangkan pada BPR jarang penduduk ROA paling rendah terjadi pada Triwulan- I 2014 yakni 2.08% dan ROA tertingginya sebesar 4.73% pada triwulan-I 2011.

27

Gambar 9 Perkembangan ROA BPR padat penduduk dan BPR jarang penduduk Dari lampiran 9 dapat terlihat bahwa terdapat beberapa bulan yang memiliki thitung < ttabelberarti terdapat perbedaan pada BPR padat penduduk dengan BPR jarang penduduk. Akan tetapi perbedaan tersebut hanya terjadi pada bulan September 2011, Desember 2012, Juni 2013, September 2013, Desember 2013, Maret 2014, Juni 2014, dan September 2014. Selain dari bulan-bulan itu tidak ada perbedaan. Perbedaan tersebut terjadi karena pada bulan-bulan tersebut BPR padat penduduk mengalami peningkatan laba, sedangkan BPR jarang penduduk mengalami penurunan laba.

Apabila diberi garis trend pada gambar 9 maka, ROA BPR jarang penduduk mengalami penurunan sedangkan BPR padat penduduk mengalami peningkatan. Penurunan ROA pada BPR jarang penduduk mencerminkan dampak dari menurunya keinginan masyarakat untuk menabung, belum optimalnya margin pendapatan opersional bank terhadap biaya operasionalnya yang menunjukkan tidak efisiennya kegiatan usaha bank (BOPO). Tidak efisiennya operasional bank biasanya disebabkan oleh beberapa faktor, seperti tidak mampunya manajemen dalam mengelola bank akibat rendahnya sumber daya manusia yang dimiliki, rendahnya pemasaran produk, biaya operasional yang terlalu tinggi karena sistem bunga dan lokasi bank yang tidak strategis. Penurunan ROA juga diakibatkan oleh meningkatnya risiko kredit setiap tahunnya pada BPR jarang penduduk.

Hasil Uji Regresi Linier Berganda Tanpa Variabel Moderasi dan dengan Variabel Moderasi

Hasil Uji Regresi BPR di daerah padat penduduk

BOPO memiliki asytotic sig < taraf signifikan (α = 0.1) ini berarti berdasarkan tabel 8 hasil pengujian antara variabel independen terhadap dependen tanpa variabel moderasi menunjukkan CAR, NPL, LDR, Inflasi dan BI rate tidak berpengaruh secara signifikan terhadap ROA, sedangkan hanya BOPO berpengaruh secara signifikan terhadap ROA. Koefisien regresi variabel BOPO sebesar -0.027; artinya jika variabel independen lain nilainya tetap dan BOPO mengalami kenaikan 1%, maka ROA akan mengalami penurunan sebesar 0.027. Koefisien bernilai negatif artinya terjadi hubungan negatif antara BOPO dengan

28

ROA, naiknya nilai BOPO maka nilai ROA akan turun. Hal ini karena setiap peningkatan biaya oprasional yang tidak diikuti dengan peningkatan pendapatan oprasional akan berakibat pada berkurangnya laba sebelum pajak, yang pada akhirnya akan menurunkan ROA (Setiawan,2009). Nilai R2 sebesar 0.855 menunjukkan variabel independen dapat menjelaskan variabel dependen sebesar 85.5%.

Tabel 8 Hasil Regresi Linier Berganda Tanpa Variabel Moderasi dan Dengan Variabel Moderasi BPR Padat

Tanpa Variabel Moderasi Dengan Variabel Moderasi

B t-hitung Sig. B t-hitung Sig.

Konstanta 3.664 1.415 0.195 -15.848 -0.024 0.985 CAR 0.043 0.544 0.601 0.154 0.737 0.596 NPL 0.013 0.026 0.98 -0.072 -0.081 0.949 LDR 0.017 0.818 0.437 0.004 0.089 0.944 BOPO -0.027 -2.185 0.06* -0.029 -0.756 0.588 Inflasi 0.06 1.227 0.255 -0.012 -0.068 0.957 BI rate -0.112 -1.072 0.315 0.022 0.037 0.977 Kepadatan (M) 6.224 0.029 0.982 CAR*M -0.159 -0.999 0.5 NPL*M -0.122 -0.92 0.526 LDR*M -0.047 -0.607 0.653 BOPO*M 0.302 0.25 0.844 Inflasi*M 0.105 0.372 0.773 BI rate*M 0.047 0.06 0.962 R2=0.855 F hitung= 3.632 R2= .0 .954 F hitung= 2.73 *Sig. pada α =0.10

Sumber: (Laporan Keuangan BPR, 2014 (diolah))

Berdasarkan tabel 8 tersebut hasil pengujian antara variabel independen terhadap variabel dependen dengan variabel moderasi menunjukkan tidak ada interaksi variabel independen dengan variabel moderasi yang berpengaruh terhadap ROA. Adanya variabel moderasi berupa kepadatan penduduk meningkatkan nilai R2 sebesar 0.954 dari nilai R2 sebesar 0.855 tanpa kepadatan penduduk.

Gambar 10 Grafik Integrasi CAR, NPL, LDR, BOPO, Inflasi, BIrate Terhadap ROA dengan dan Tanpa Variabel Moderasi BPR Padat Penduduk

29

Hasi Uji Regresi BPR di daerah jarang penduduk

Tabel 9 Hasil Regresi Linier Berganda Tanpa Variabel Moderasi dan Dengan Variabel Moderasi BPR Jarang

Tanpa Variabel Moderasi Dengan Variabel Moderasi

B t-hitung Sig. B t-hitung Sig.

Konstanta 22.186 4.36 0.002 23.071 1.331 0.41 CAR -0.27 -1.707 0.126 1.741 5.522 0.114 NPL -0.835 -2.637 0.03* -1.273 -8.357 0.076 LDR 0.03 1.09 0.307 -0.149 -6.435 0.098 BOPO -0.211 -3.367 0.01* -0.57 -9.239 0.069 Inflasi -0.106 -2.027 0.077 0.224 5.222 0.12 BI rate 0.0268 1.321 0.223 -1.434 -4.739 0.132 Kepadatan (M) 8.659 0.996 0.501 CAR*M -0.258 -3.598 0.173 NPL*M 1.483 7.47 0.085 LDR*M 1.669 6.35 0.099 BOPO*M 0.106 2.308 0.26 Inflasi*M -0.327 -4.934 0.127 BI rate*M 2.437 8.574 0.074 R2= 0.970 R2=0 .998

F hitung= 21.116 ; Sig=.000a F hitung= 22.678 ; Sig=0.001

*Sig. pada α =0.1

Sumber: (Laporan Keuangan BPR, 2014 (diolah))

Berdasarkan tabel 9 tersebut hasil pengujian antara variabel independen terhadap dependen tanpa variabel moderasi menunjukkan CAR, LDR, dan BI rate tidak berpengaruh secara signifikan terhadap ROA, sedangkan NPL, BOPO dan Inflasi berpengaruh secara signifikan terhadap ROA. NPL, BOPO dan Inflasi berpengaruh secara signifikan terhadap ROA karena memiliki nilai asytotic sig < taraf signifikan (α = 0.1). Pengaruh signifikan terhadap ROA oleh variabel independen (NPL, BOPO, Inflasi) dapat dijelaskan sbagai berikut:

Koefisien regresi variabel NPL sebesar -0.835; artinya jika variabel independen lain nilainya tetap dan NPL mengalami kenaikan satu satuan, maka ROA akan mengalami penurunan sebesar 0.835. Koefisien bernilai negatif artinya terjadi hubungan negatif antara NPL dengan ROA, naiknya nilai NPL maka nilai ROA akan turun.

Dokumen terkait