• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Kualitatif Tanin

Untuk mengetahui ada tidaknya tanin dalam sampel daun maka dilakukan uji kualitatif dan dilanjutkan dengan uji kuantitatif tanin. Hasil pengujian kandungan tanin dari tumbuhan sampel uji dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Uji Kualitatif Tanin

Parameter Uji Hasil

Kandungan Tanin (Kualitatif) + (mengandung tanin)

Kadar Tanin (Kuantitatif) 0,03%

Berdasarkan hasil penelitian, serbuk daun yang ditambah dengan larutan FeCl3 1% menghasilkan endapan berwarna hitam kehijauan yang menunjukkan adanya tanin. Berdasarkan literatur, reaksi yang terjadi pada FeCl3 melibatkan struktur tanin yang merupakan senyawa polifenol, dimana dengan adanya gugus fenol akan berikatan dengan FeCl3 membentuk senyawa kompleks berwarna hitam kehijauan (Desinta, 2014). Menurut Amelia (2015), tanin adalah zat organik kompleks yang terdiri dari senyawa fenolik, tanin terdapat pada macam-macam tumbuhan dan umumnya tersebar pada hampir seluruh bagian tumbuhan seperti kulit kayu, batang dan daun.

Uji Kuantitatif Tanin

Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 2) kadar tanin yang terdapat pada daun jati yakni sebesar 0,03% . Tanin yang terdapat pada tumbuhan merupakan pigmen warna yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pewarna, pigmen penimbul warna dan juga perekat zat warna (Masyitoh dan Ernawati, 2019). Menurut pendapat Pappa et al., (2019), adanya perbedaan kadar tanin dipengaruhi oleh kandungan tanah dimana sampel uji tumbuh. Dimana, semakin meningkatnya kandungan unsur hara tanah makro (N, K bahan organik dan C organik) maka semakin meningkat pula kadar tanin di dalamnya. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi perbedaan kadar tanin ialah umur, dan faktor abiotik lingkungan seperti intensitas cahaya, stress air, kelebihan air, polusi dan suplai nutrisi (Chikmawati et al., 2013).

17

17 Hasil Proses Ecoprint

Ecoprint merupakan salah satu bentuk pengelolaan limbah kehutanan dan pemanfaatan hasil hutan hutan bukan kayu berupa daun, bunga, ranting dan kulit kayu. Pada penelitian ini bagian yang dimanfaatkan ialah daun. Proses pewarnaan alami dengan teknik ecoprint pada media kain sutra dan kertas linen menghasilkan pola dan warna yang berbeda pada setiap jenis daun dan perlakuan yang diberikan. Hasil pengamatan menunjukkan zat warna dari daun bisa mewarnai serat kain sutera dan kertas linen. Hal ini terbukti dari berubahnya warna kain sutera dan kertas linen yang semula putih menjadi bercorak dan berwarna seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.

Kejelasan pola dan warna daun yang dihasilkan dari teknik ecoprint ini dipengaruhi pula oleh jenis serat pada media yang digunakan. Berdasarkan bahan bakunya serat dapat digolongkan dalam dua jenis yakni serat alam dan serat buatan (sintetis). Serat alam merupakan jenis serat berbahan baku dari alam seperti misalnya serat tumbuhan, serat hewan dan serat dari bahan galian (mineral). Sementara serat buatan (sintetis) merupakan serat yang bahan bakunya berasal dari reaksi kimia (Istinharoh, 2013).

Pada penelitian ini jenis serat yang digunakan merupakan serat alam (kain sutra dan kertas linen), dimana hasil ecoprint akan semakin bagus jika menggunakan media berbahan dasar serat alam dikarenakan adanya afinitas atau daya tarik terhadap zat warna alam yang membantu penyerapan warna yang dihasilkan dari dedaunan ke dalam serat, sementara pada serat buatan (sintetis) tidak memiliki afinitas sehingga sulit untuk diwarnai dengan zat warna alam (Fitrihana, 2007).

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa pola daun yang terbentuk pada media kain dan kertas sesuai dengan bentuk yang ditata diawal. Jika dibandingkan dengan penampakan awal daun sebelum diolah dengan teknik ecoprint (Gambar 13) dapat dilihat bahwa pola yang dihasilkan mengikuti bentuk daun itu sendiri.

Daun jati memiliki penampakan tulang daun yang jelas dan menonjol, sehingga hasil ecoprintnya juga menunjukan pertulangan daun yang cukup jelas. Kejelasan pola dan warna yang dihasilkan dipengaruhi pula oleh jenis dan massa mordan yang dilakukan pada media. Tawas adalah mordan yang sangat baik digunakan

18

18 sebagai mordan pendahulu karena memiliki sifat dapat menajamkan warna dan cocok digunakan untuk semua jenis serat. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Saraswati dan Sulandjari (2018), yang membandingkan jenis mordan tawas dan cuka dengan massa mordan 75 g dan 150 g berpengaruh terhadap hasil ecoprint. Diketahui bahwa hasil ecoprint terbaik didapat dari jenis mordan tawas dengan massa mordan 150 g.

Tabel 3. Hasil Ecoprint pada Media Kain Sutra dan kertas linen Treatment Daun

Kontrol Tawas Tunjung Cuka Asam Sitrat

Kain Sutra

Kertas Linen

Gambar 13. Sampel daun jati (Tectona grandis) yang digunakan untuk

pembuatan ecoprint.

Secara visual warna yang dihasilkan ialah cenderung berwarna merah keunguan. Hal ini dipengaruhi oleh pigmen alami yang terdapat dalam tumbuhan itu sendiri yaitu klorofil, karotenoid, antosianin dan tanin (Wahyudi dan Muhmainah, 2020). Daun jati merupakan salah satu tanaman yang mengandung Tanin dan Antosianin. Dalam pewarnaan tanin dapat dimanfaatkan sebagai bahan pewarna dan perekat zat warna pada kain. Antosianin merupakan pigmen yang larut dalam air memberikan warna biru, ungu, kuning, violet, magenta, merah dan orange (Masyitoh dan Ernawati, 2019). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Nuraeni et al., (2020), warna yang dihasilkan dari proses ecoprint ada yang pekat (astrobright color) dan sebagian besar menghasilkan warna yang lembut (pastel color). Berdasarkan penelitian, nuansa warna yang dihasilkan dari

19

19 tumbuhan sampel uji berbeda tergantung dari treatment yang dilakukan seperti pada treatment larutan tunjung yang menghasilkan nuansa warna yang lebih gelap dibanding treatment lainnya.

Tulang daun yang kuat dan menonjol merupakan salah satu fitur yang unik yang dimiliki oleh daun. Daun Jati merupakan jenis daun yang sudah umum dipakai oleh para pengrajin ecoprint. Daun jati adalah contoh daun yang sangat kuat ekspresi warna dan motif pertulangan daunnya sehingga menjadi pembanding utama dalam teknik ecoprint. Daun jati memiliki kandungan antosianin yang mengasilkan warna ungu, merah dan biru. Menurut Saraswati (2018), kandungan antosianin tertinggi dari daun jati diperoleh pada bagian pucuk dan hasil cetak pertulangan daun terbaik saat proses ecoprint diperoleh pada nodus kedua.

Pengukuran pH Daun

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai pengukuran pH pada setiap jenis daun dengan perlakuan berbeda terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengukuran pH Daun

Jenis Daun Perlakuan

Kontrol Tawas Tunjung Cuka Asam Sitrat

Jati (T. grandis) 6 6 5 4 4

Tabel 4 menunjukan nilai pH masing-masing jenis daun dengan variasi perlakuan yaitu antara 6-4 (pH asam). Adanya penambahan larutan berupa larutan tawas, tunjung, cuka dan asam sitrat menyebabkan perubahan pH pada masing-masing jenis daun. Perubahan pH yang terjadi pada masing-masing-masing-masing perlakuan menghasilkan ketuaan warna yang berbeda pada hasil ecoprint. Daun yang ditreatment dengan tunjung menghasilkan warna yang lebih tua (gelap), daun yang ditreatment dengan larutan tawas, cuka dan asam sitrat menghasilkan warna yang lebih muda dan untuk daun tanpa treatment menghasilkan warna dengan ketuaan sedang.

Retensi Warna

Rata-rata hasil pengujian persentase retensi zat warna pada media kain sutera dan kertas linen dengan pewarna alami dari daun jati dapat dilihat pada Tabel 5.

20

20 Tabel 5. Data Nilai Retensi Warna

Perlakuan S1 S2 S3 S4 S5 Rata-rata

T1 1.86b 2.42cd 2.42cd 1.48a 2.05b 2

T2 2.07bc 2.62de 2.69de 1.85b 2.9e 2.4

Rata-rata 1.96 2.52 2.55 1.66 2.47

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pengamatan retensi warna menjelaskan bahwa ada pengaruh nyata pada perlakuan berbagai jenis media dan treatmen larutan daun, dan interaksi antar perlakuan yang dilakukan ada pengaruh nyata terhadap retensi warna. Data hasil pengukuran retensi warna pada Tabel 5 menunjukkan rata-rata retensi warna terendah terdapat pada perlakuan media kain sutra (T1) dengan treatmen daun larutan cuka (S4) yaitu 1,48%. Sedangkan retensi warna tertinggi terdapat pada perlakuan T2S5 yaitu kombinasi perlakuan media kertas linen (T2) dengan treatment daun larutan asam sitrat (S5) sebesar 2,9%, hal ini disebabkan karena kondisi yang lebih asam akan membuat zat warna semakin stabil sehingga retensi warnanya lebih tinggi atau dengan kata lain warna yang terdegradasi sedikit. Retensi merupakan banyaknya zat warna yang masuk kedalam media (Muflihati et al., 2014). Retensi dapat ditingkatkan dengan memberi perlakuan pendahulu pada daun yang digunakan.

Perlakuan media kertas linen dengan asam sitrat menghasilkan nilai retensi yang tertinggi sehingga sangat direkomendasikan dalam pembuatan ecoprint dikarenakan harga kertas linen dan asam sitrat yang cukup terjangkau dan mudah ditemukan

Uji Kelunturan Warna

Berdasarkan hasil pengukuran terjadinya kelunturan warna dapat dilihat dari naiknya nilai L* (tingkat kecerahan) dan tampilan visual pada Tabel 6. Nilai L* pada media kain mengalami kenaikan dari 31,99-57,91 menjadi 41,2-60,57 dan pada media kertas nilai L* mengalami kenaikan dari 35,3-53,4 menjadi 44,5-65,7. Hal ini menunjukkan bahwa warna yang dihasilkan setelah uji kelunturan menjadi lebih terang. Besarnya nilai L* berpengaruh terhadap gelap terangnya warna dimana semakin besar dan positif nilai L* maka kecerahan semakin tinggi, sebaliknya semakin menurun nilai L* maka warna semakin gelap (Muflihati et al., 2014). Nilai L* terendah dihasilkan dari perlakuan tunjung, jenis daun Jati pada media kain dan pada media kertas nilai L* terendah dihasilkan dari perlakuan kontrol, jenis daun Jati. Nilai L* tertinggi pada media kain dihasilkan dari

21

21 perlakuan tawas, jenis daun Ruellia Ungu, dan pada media kertas nilai L*

tertinggi dihasilkan dari perlakuan kontrol, jenis daun Pedada.

Kenampakan visual hasil ecoprint pada media kain sutra yang telah di uji luntur ditampilkan pada Tabel 6 dan nilai Lab* uji kelunturan warna ditampilkan pada Tabel 7.

Tabel 6. Hasil Ecoprint pada Media Kain Sutra dan Kertas Linen Setelah Uji Kelunturan

Berikut data Lab* uji kelunturan warna pada media kain sutra dan kertas linen adalah sebagai berikut :

Tabel 7. Nilai Lab* Uji Kelunturan warna

Media Perlakuan Sebelum Pengujian Setelah Pengujian

L* a* b* L* a* b* komponen a* dari hijau hingga merah dan komponen b* dari biru hingga kuning (Muflihati et al., 2014). Notasi a* menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau, dengan nilai +a (positif) dari 0 sampai ±100 untuk warna merah, dan nilai – a (negatif) dari 0 sampai 80 untuk warna hijau. Notasi b* menyatakan warna

22

22 kromatik campuran biru-kuning, dengan nilai +b (positif) dari 0 sampai +70 untuk warna kuning dan nilai –b (negatif) dari 0 sampai -70 untuk warna biru. (Haerudin dan Farida, 2017). Nilai warna a* pada media kain adalah 16,11-24,32 dan pada media kertas diperoleh nilai a* 12,3-29,3. Dengan demikian memberikan arah warna menuju ke merah. Nilai warna b* pada media kain diperoleh 3,34-8,41dan pada media kertas nilai b* adalah -0,93-2,92. Dengan demikian diperoleh arah warna menuju ke kuning. Kecuali pada media kertas sampel uji daun Jati dengan perlakuan cuka, diperoleh nilai b* -0,93 lebih rendah dari perlakuan lainnya berarti arah warna menuju ke biru.

Pengamatan pengukuran beda warna menunjukkan setiap perlakuan tidak berpengruh nyata baik perlakuan media maupun treatmen perendamann daun.

Nilai beda warna terkecil diperoleh pada perlakuan T1S1 yakni sebesar 4,65 sedangkan nilai beda warna terbesar diperoleh pada perlakuan T2S3 dengan nilai 15,49. Berdasarkan nilai pada Tabel 1 pengaruh perbedaan ∆E dan perubahan warna (ΔE) pada uji kelunturan (Tabel 8) menunjukan perubahan nilai yang sedang hingga besar (kisaran ΔE 4,65-9,89 pada media kain dan 9,64-15,49 pada media kertas). Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa perubahan warna yang terjadi pada hasil ecoprint media kain sutra dan kertas linen tidak berbeda jauh. Jenis serat penyusun yang berbeda dari kain sutra yaitu serat protein dan kertas linen yaitu serat selulosa memberikan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap ketahanan luntur warnanya, baik terhadap pencucian maupun penyinaran matahari (Failisnur dan Sofyan, 2014).

Nilai ΔE terbesar didapat dari media kertas yang di uji kelunturan pada cahaya matahari. Hal ini diduga karena berkurangnya senyawa organik (tanin) yang disebabkan oleh energi foton dari sinar matahari sehingga warna menjadi rusak dan pudar (Nugraha dan Rakhmatiara, 2020). Menurut Ramadhan et al.

(2020), penggunan pewarna alami sebagian besar berasal dari senyawa flavonoid (hampir 50%). Senyawa flavonoid seperti tanin memiliki ketahanan luntur yang rendah terhadap sinar matahari.

Tabel 8. Pengaruh Perbedaan Nilai ΔE

Media Treatment Daun

23

23

Kontrol Tawas Tunjung Cuka Asam Sitrat

Kain Sutra 4,65

Berdasarkan Tabel 1. Pengaruh perbedaan nilai ΔE K = Kecil

S = Sedang B = Besar

Menurut Septiandini dan Muflihati (2019), besarnya kelunturan warna ditunjukkan dari besarnya nilai ∆E yang diperoleh. Semakin tinggi nilai ΔE maka kelunturan warna semakin besar, begitu juga sebaliknya semakin rendah nilai ΔE maka kelnturan warna semakin kecil. Besarnya nilai kelunturan warna yang terjadi dapat dipengaruhi oleh jenis treatmen yang diberikan pada sampel daun yang digunakan dan juga jenis larutan fiksasi yang digunakan. Pada penelitian ini bahan fiksasi yang digunakan ialah larutan tawas. Tawas merupakan garam kompleks yang dapat meningkatkan ketahanan luntur pewarna alam. Al3+ dalam larutan tawas akan membentuk ikatan dengan tanin yang telah berada didalam serat yang mengakibatkan molekul zat warna yang ada didalam serat semakin besar sehingga sukar keluar dari pori-pori serat dan ketahanan luntur warnanya meningkat (Haerudin dan Farida, 2017).

Pada penggunaan sehari-hari ketahanan luntur pada hasil ecoprint dapat ditingkatkan melalui perawatan yang tepat seperti menghindari penjemuran langsung disinar matahari, menggunakan sabun pencuci khusus (contohnya sabun lerak khusus batik), mengurangi intensitas pemakaian produk ecoprint, tidak mencuci produk ecoprint dengan mesin cuci dan menggunakan suhu rendah saat disetrika.

24

24

Dokumen terkait