• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Cihideung Ilir

Desa Cihideung Ilir merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Batas administratif Desa Cihideung Ilir di sebelah utara adalah berbatasan dengan Desa Cibanteng, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cihideung Udik, sebelah timur berbatasan dengan Desa Babakan, dan di sebelah barat berbatasan dengan Desa Cihideung Udik dan Desa Cibanteng. Desa Cihideung Ilir memiliki luas wilayah 182,5 ha. Sebesar 80,0 ha lahan dimanfaatkan untuk persawahan, sebesar 79,0 ha digunakan sebagai pemukiman, dan selebihnya untuk pekarangan 5,0 ha, kuburan 5,0 ha, perkantoran 1,5 ha serta prasarana umum lainnya 12,0 ha.

Secara administratif, Desa Cihideung Ilir terbagi dalam lima rukun warga (RW) dan 24 rukun tetangga (RT) dengan total penduduk sebanyak 9.393 jiwa dengan komposisi perempuan sebanyak 4.525 jiwa dan laki-laki sebanyak 4.868 jiwa. Jumlah kepala keluarga yang ada di Desa Cihideung Ilir sebanyak 2.490 kepala keluarga (Laporan Kinerja Tahunan Desa Cihideung Ilir tahun 2010). Adapun keadaan penduduk di Desa Cihideung Ilir berdasarkan tingkat pendidikan, persentase terbesar penduduk Desa Cihideung Ilir adalah SD (61,2%). Keadaan penduduk juga dapat dilihat berdasarkan mata pencaharian penduduk. Persentase terbesar penduduk Desa Cihideung Ilir berprofesi sebagai petani (548 jiwa). Adapun mata pencaharian penduduk lainnya adalah pegawai negeri sipil, swasta, buruh tani, sopir, usaha jasa dan pertukangan. Hampir seluruh penduduk Desa Cihideung Ilir beragama islam.

Peningkatan kesejahteraan masyarakat sangat tergantung kepada upaya peningkatan pendidikan masyarakat, peningkatan derajat kesehatan masyarakat, pengetahuan kesehatan dan kehidupan sosial budaya. Sarana dan prasarana yang mendukung antara lain posyandu 5 buah, adanya praktek dokter kulit 1 orang, PAUD 2 buah, SD 1 buah, dan MTs 1 buah. Adapun sarana perhubungan yang ada di Desa Cihideung Ilir, yaitu angkutan umum, angkutan pedesaan, dan ojek.

Kelurahan Panaragan

Secara geografis, Kelurahan Panaragan terletak di Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor dengan batas wilayah sebelah utara adalah Jl. Veteran, sebelah timur adalah Paledang, sebelah barat adalah Kali Cisadane, dan sebelah selatan dibatasi oleh Pasir Jaya. Kota Panaragan memiliki luas wilayah 27,0 ha yang terdiri dari 7 rukun warga (RW) dengan 34 rukun tetangga (RT). Sebagian besar lahan di Kelurahan Panaragan dimanfaatkan untuk pemukiman (80,0%), dan selebihnya digunakan untuk pekarangan (3,0%), perkantoran serta prasarana umum lainnya (17,0%).

Kota Panaragan memiliki sarana dan prasarana yang cukup lengkap dibidang air bersih, olah raga, kesehatan, pendidikan, perhubungan dan perekonomian. Sumber air bersih berasal dari sumur gali, air ledeng dan PAM. Prasarana olahraga di Kota Panaragan memiliki 7 buah lapangan bulu tangkis. Sarana dan prasarana kesehatan terdiri dari 1 buah puskesmas, 9 buah posyandu, 1 org praktik dokter kulit, dan 2 org praktik bidan. Prasarana pendidikan terdiri dari 2 buah PAUD, 1 buah TK, 4 buah SD, 1 buah SMA. Sarana perekonomian meliputi 1 buah pasar dan 1 buah plaza. Pertumbuhan perekonomian di Kelurahan Panaragan lebih tinggi dibandingkan dengan perekonomian di Desa Cihideung Ilir, dikarenakan lokasi wilayahnya lebih mudah untuk mengakses sumber informasi dan teknologi. Sarana perhubungan yang ada adalah sarana transportasi darat, yaitu angkutan umum dan becak yang tersedia setiap saat. Selain itu, terdapat 1 buah pabrik roti, 2 buah pabrik sepatu dan 1 buah pabrik keripik yang merupakan home industry.

Data bulan April 2010 menunjukkan bahwa penduduk di Kelurahan Panaragan berjumlah 1.767 kepala keluarga yang terdiri atas 6.923 orang (3.370 laki-laki dan 3.553 perempuan). Jumlah penduduk paling banyak tersebar pada kelompok umur balita yaitu sebanyak 763 orang. Mata pencaharian sebagian besar penduduk Kota Panaragan adalah pegawai swasta. Adapun mata pencaharian penduduk lainnya adalah pegawai negeri, pedagang, pengusaha, dan TNI/Polri. Sebagian besar penduduk Kota Panaragan beragama Islam. Adapun agama yang dianut lainnya adalah Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha.

Karakteristik Keluarga Besar Keluarga

Besar keluarga merupakan keseluruhan jumlah anggota keluarga yang terdiri dari suami, istri, anak, dan anggota keluarga lainnya yang tinggal dalam satu atap. Jumlah anggota keluarga contoh dalam penelitian dibagi ke dalam tiga kelompok seperti yang disajikan pada Tabel 3. Pengkategorian besar keluarga mengacu pada penetapan BKKBN (1998), yaitu, 1) keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga kurang dari atau sama dengan empat, 2) keluarga sedang dengan jumlah anggota keluarga sebanyak lima sampai enam orang, dan 3) keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga lebih dari atau sama dengan tujuh orang. Sebaran keluarga contoh berdasarkan besar keluarga dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga

Besar Keluarga (org) Perdesaan

(n=50) Perkotaan (n=50) Total (n=100) Kecil (≤ 4) 62,0 70,0 66,0 Sedang (5-6) 24,0 26,0 25,0 Besar (≥ 7) 14,0 4,0 9,0 Rata-rata ± SD 4,38 ± 1,59 3,86 ± 1,35 4,12 ± 1,49 Kisaran (min-max) 2-8 1-7 1-8 p-value 0,081*

Keterangan: *=nyata pada p<0,1

Besar keluarga akan menentukan jumlah dan pola konsumsi buah. Rumahtangga dengan jumlah anggota yang lebih banyak biasanya akan membeli dan mengkonsumsi buah lebih banyak dibandingkan dengan rumahtangga yang memiliki anggota lebih sedikit. Menurut Sediaoetama (2006) pengaturan pengeluaran untuk pangan sehari-hari akan lebih sulit jika jumlah anggota keluarga banyak. Hal ini menyebabkan kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi anggota keluarga tidak mencukupi kebutuhan.

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa besar keluarga contoh baik di perdesaan maupun perkotaan jumlah anggota keluarganya adalah kurang dari atau sama dengan empat orang. Contoh di perkotaan lebih banyak (70,0%) bila dibandingkan dengan di perdesaan (62,0%). Secara keseluruhan rata-rata besar keluarga contoh pada dua wilayah tersebut sebanyak empat orang. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga contoh termasuk ke dalam kategori

keluarga kecil, yaitu keluarga yang memiliki satu sampai dua orang anak. Hasil uji beda t-test menunjukkan adanya perbedaan (p<0,1) antara besar keluarga contoh di perdesaan dan di perkotaan.

Usia Istri dan Suami

Berdasarkan hasil penelitian, hampir seluruh (92,0%) keluarga dengan ibu rumahtangga yang masih memiliki suami. Usia suami berkisar antara 23-74 tahun dengan rata-rata usia suami secara keseluruhan 43,2 tahun (Tabel 4). Sebanyak 47,8 persen di antaranya berusia 18-40 tahun, sedangkan yang berusia antara 41- 60 tahun sebanyak 43,4 persen, dan yang berusia di atas 61 tahun adalah 8,7 persen. Usia suami di perdesaan berkisar antara 25-72 tahun, dengan rata-rata usia 43,7 tahun. Sebanyak 50,0 persen usia suami contoh di perdesaan berkisar antara 41-60 tahun. Sementara di perkotaan, umur suami contoh berkisar antara 23-74 tahun. Sebanyak 52,2 persen usia suami contoh di perkotaan berada pada kisaran antara 18-40 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata suami contoh di perkotaan tergolong ke dalam dewasa muda (18-40 th) dan rata-rata suami contoh di perdesaan tergolong ke dalam dewasa madya (41-60 th). Pembagian usia dibagi kepada tiga kategori, pertama usia muda (18-40 th), kedua usia madya (41- 60 th), dan ketiga adalah usia lanjut (> 61 th) (Papalia & Olds 2009). Hasil uji statistik menyatakan tidak terdapat perbedaan (p>0,05) antara usia suami contoh di perdesaan dan perkotaan (Tabel 4).

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan usia suami dan istri

Kategori Usia (th)

Perdesaan Perkotaan Total

Suami Istri Suami Istri Suami Istri

(n=46)* (n=50) (n=46)* (n=50) (n=92) (n=100) 18-40 43,5 58,0 52,2 60,0 47,9 59,0 41-60 50,0 40,0 36,9 32,0 43,4 36,0 > 61 6,5 2,0 10,9 8,0 8,7 5,0 Rata-rata ± SD 43,7 ±12,1 38,2 ±10,4 42,8 ±12,7 40,4 ±12,2 43,2 ±12,4 39,3 ±11,3 Kisaran (min-max) 25-72 22-61 23-74 21-68 23-74 21-68 p-value (suami;istri) 0,789 ; 0,339

Ket*: Meninggal sebanyak 4 orang

Usia istri berkisar antara 21-67 tahun dengan rata-rata 39,3 tahun, artinya istri termasuk dalam kategori dewasa muda. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 4, persentase terbesar istri termasuk dalam kategori dewasa muda (47,8%).

Lebih dari separuh (60,0%) istri di perkotaan termasuk dalam kategori dewasa muda, sama halnya dengan di perdesaan sebanyak 58,0 persen istri termasuk dalam kategori dewasa muda. Rata-rata usia istri di perdesaan adalah 38,2 tahun, sedangkan istri di perkotaan adalah sebesar 40,4 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa istri di perdesaan dan di perkotaan termasuk dalam kategori dewasa muda, usia istri berkisar antara 22 tahun sampai 58 tahun. Usia istri lebih muda daripada usia suami. Rata-rata usia istri adalah 38,2 tahun dan rata-rata usia suami adalah 43,7 tahun. Hasil uji beda t-test menyatakan tidak terdapat perbedaan (p>0,05) antara usia contoh di perdesaan dan di perkotaan.

Tingkat Pendidikan Istri dan Suami

Pendidikan merupakan salah satu indikator yang dapat menentukan kualitas Sumberdaya Manusia (SDM). Menurut Engel, Blackwell, dan Miniard (1994), tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang menentukan kondisi sosial ekonomi seseorang yang akan berimplikasi pada pemilihan pangan dan pembelian jenis makanan serta pembentukan kebiasaan makan seperti kebiasaan makan buah. Konsumen yang memiliki pendidikan yang lebih baik akan sangat responsif terhadap informasi, pendidikan juga mempengaruhi konsumen dalam pilihan produk maupun merek. Pendidikan yang berbeda akan menyebabkan selera konsumen juga berbeda (Sumarwan 2004).

Pada Tabel 5 terlihat bahwa separuh (50,0%) suami contoh di perdesaan berpendidikan SD, 19,6 persen berpendidikan SMP, 17,4 persen berpendidikan SMA, dan 4,3 persen berpendidikan tinggi. Sementara di perkotaan, terdapat 6,5 persen suami contoh yang berpendidikan SD, 4,3 persen berpendidikan SMP, terdapat 67,4 persen pendidikan suami contoh adalah SMA, dan sebanyak 21,7 persen berpendidikan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa suami contoh di perkotaan memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi daripada suami contoh di perdesaan. Diduga tingginya biaya pendidikan dan masih rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat di perdesaan daripada di perkotaan mengakibatkan masih banyak masyarakat perdesaan yang belum dapat mengakses pendidikan karena tidak mampu membayar biaya pendidikan. Meskipun pada saat ini pendidikan sudah gratis, akan tetapi kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan masih kurang. Hasil uji beda t-test menunjukkan adanya perbedaan

(p<0,01) antara pendidikan suami contoh di perdesaan dan perkotaan. Pendidikan suami contoh di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan pendidikan suami contoh di perdesaan. Sebaran contoh berdasarkan pendidikan suami dan istri dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan suami dan istri

Lama Pendidikan

Perdesaan Perkotaan Total

Suami Istri Suami Istri Suami Istri

(n=46)* (n=50) (n=46)* (n=50) (n=92) (n=100) Tidak sekolah 0,0 6,0 0,0 0,0 0,0 3,0 Tidak tamat SD 8,7 10,0 0,0 0,0 4,3 5,0 Tamat SD 50,0 58,0 6,5 14,0 28,3 36,0 Tamat SMP 19,6 14,0 4,4 4,0 11,9 9,0 Tamat SMA 17,4 12,0 67,4 58,0 42,4 35,0 Diploma, S1, S2 4,3 0,0 21,7 24,0 13,1 12,0 Rata-rata ± SD 7,9 ± 3,5 6,5 ±2,9 12,2 ± 2,3 11,8 ±12,2 10,0 ± 3,7 9,2 ±19,2 Kisaran (min-max) 2-20 0-12 6-16 21-68 2-20 0-68

p-value (suami ; istri) 0,000*** ; 0,000***

Ket*: Meninggal sebanyak 4 orang; *=nyata pada p<0,01

Pada Tabel 5 dapat diketahui juga bahwa lebih dari separuh (58,0%) istri di perdesaan berpendidikan SD, 6,0 persen yang tidak sekolah, 10,0 persen tidak tamat SD. Sebanyak 14,0 persen istri berpendidikan SMP, dan 12,0 persen istri berpendidikan SMA. Lebih dari separuh (58,0%) istri di perkotaan berpendidikan SMA, 24,0 persen berpendidikan tinggi, 4,0 persen berpendidikan SMP, dan sebanyak 14,0 persen berpendidikan SD. Hal ini menunjukkan bahwa istri di perkotaan memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi daripada istri yang berada di perdesaan. Diduga masih terbatasnya jumlah bangunan sekolah sebagai akibat dari ketidakmerataan hasil pembangunan di perdesaan telah menyebabkan sulitnya mengakses pendidikan di perdesaan. Hasil uji beda t-test menunjukkan adanya perbedaan (p<0,01) antara pendidikan istri di perdesaan dan perkotaan. Pendidikan istri di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan pendidikan istri di perdesaan.

Pekerjaan Istri dan Suami

Alokasi tenaga kerja dan struktur pendapatan sangat dipengaruhi oleh kualitas Sumberdaya Manusia (SDM). Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa pekerjaan suami contoh di perdesaan dan perkotaan cukup beragam. Secara keseluruhan, sebanyak 20,6 persen pekerjaan suami contoh baik di perdesaan

maupun perkotaan adalah sebagai wiraswasta/pedagang dan pekerjaan lainnya seperti buruh, jasa angkutan, dan pegawai swasta. Sementara itu, lebih dari separuh (79,0%) istri contoh tidak bekerja, sedangkan sisanya bekerja sebagai pedagang dan pegawai negeri sipil (Tabel 6).

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan suami dan istri

Pekerjaan

Perdesaan Perkotaan Total

Suami Istri Suami Istri Suami Istri

(n=46)* (n=50) (n=46)* (n=50) (n=92) (n=100)

Tidak bekerja 2,2 80,0 0,0 78,0 1,1 79,0 Buruh 32,6 8,0 4,3 0,0 18,5 4,0 Pegawai negeri sipil 2,2 0,0 47,8 6,0 25,0 3,0 Pegawai swasta 19,5 0,0 21,7 2,0 20,6 1,0 Wiraswasta/pedagang 28,3 12,0 13,1 12,0 20,6 12,0 Jasa angkutan 15,2 0,0 2,2 0,0 8,8 0,0 BUMN 0,0 0,0 2,2 0,0 1,1 0,0 Pensiunan 0,0 0,0 8,7 2,0 4.3 1,0 Ket*: Meninggal sebanyak 4 orang

Hampir separuh (47,8%) suami contoh di perkotaan bekerja sebagai pegawai negeri sipil, sementara sisanya tersebar sebagai pegawai swasta, wiraswasta/pedagang, pensiunan, buruh, jasa angkutan dan BUMN. Diduga kantor-kantor pemerintahan yang sebagian besar terletak di wilayah perkotaan menyebabkan sebagian besar suami contoh di perkotaan bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Di perdesaan seperti di Desa Cihideung Ilir suami contoh lebih banyak bekerja sebagai buruh (32,6%). Sementara sisanya memiliki pekerjaan yang beragam, yaitu sebagai wiraswasta/pedagang (28,3%), pegawai swasta (19,6%), jasa angkutan (15,2%), pegawai negeri sipil (2,2%), dan tidak bekerja (2,2%).

Sebagian besar (80,0%) istri di perdesaan dan tiga per empat (78,0%) istri di perkotaan tidak bekerja. Sebanyak 12,0 persen istri di perdesaan dan di perkotaan bekerja sebagai wiraswasta/pedagang. Pekerjaan sebagai buruh di perdesaan sebanyak 8,0 persen, dan yang bekerja sebagai pegawai swasta di perkotaan adalah 2,0 persen.

Pendapatan Keluarga

Pendapatan keluarga mempunyai peranan penting terutama dalam memberikan efek terhadap taraf kehidupannya. Efek tersebut berorientasi pada kesejahteraan dan kesehatan, di mana perbaikan pendapatan ekonomi akan

meningkatkan tingkat gizi masyarakat. Pendapatan merupakan faktor penting bagi kuantitas dan kualitas makanan dan semakin tinggi pendapatan, semakin bertambah besar pula persentase pertambahan pembelian termasuk untuk buah- buahan, sayur-sayuran, dan jenis makanan lainnya.

Sumarwan (2004), menjelaskan bahwa pendapatan yang diukur dari seorang konsumen biasanya bukan hanya pendapatan yang diterima oleh seorang individu, tetapi diukur semua pendapatan yang diterima oleh semua anggota keluarga di mana konsumen berada. Daya beli sebuah rumah tangga bukan hanya ditentukan oleh pendapatan dari satu orang (misalnya ayah saja), tetapi dari seluruh anggota rumah tangga yang bekerja. Sebuah rumahtangga akan menyatukan semua pendapatannya dalam satu pengelolaan terpadu, dengan tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh anggota keluarga. Suatu keluarga dapat dikatakan sejahtera, apabila pendapatan perkapitanya di bawah garis kemiskinan, sedangkan keluarga dikatakan tidak sejahtera, apabila pendapatan perkapitanya di bawah garis kemiskinan (BPS 2009).

Kriteria kemiskinan yang digunakan adalah garis kemiskinan Jawa Barat (2009), yaitu sebesar Rp 191.985,00. Kategori pendapatan per kap/bl dalam penelitian ini mengacu pada kriteria dari Berita Resmi Statistik No.47/IX/I September 2006 dalam Simanjuntak (2010) yaitu, miskin: < garis kemiskinan (GK), hampir miskin: 1,00-1,25 GK, hampir tidak miskin: 1,25-1,50 GK, dan tidak miskin: > 1,50 GK. Berdasarkan Tabel 7, hampir seluruh contoh baik di perdesaan maupun di perkotaan sama-sama berada pada sebaran pendapatan keluarga kurang dari Rp 2.532.142,85 yaitu sebanyak (98,0%). Terdapat sedikitnya 2,0 persen contoh diperkotaan memiliki pendapatan antara Rp 2.532.142,85 - 5.021.428,56, dan terdapat 2,0 persen contoh yang berada di perdesaan dengan jumlah pendapatan lebih dari Rp 7.510.714,27 (Tabel 7).

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga

No Pendapatan keluarga (kap/bl) Perdesaan (n=50) Perkotaan (n=50) 1 < 2.532.142,85 98,0 98,0 2 2.532.142,85-5.021.428,56 0,0 2,0 3 5.021.428,56-7.510.714,27 0,0 0,0 4 >7.510.714,27 2,0 0,0 Rata-rata ± SD 488.310±1.385.155,88 807.490±687.148,31 Kisaran (min-max) 42.857,14-10.000.000 100.000-4.500.000

p-value 0,148

Berdasarkan Tabel 8, lebih dari separuh (65,0%) contoh termasuk pada kategori tidak miskin (42,0% pada keluarga contoh di perdesaan dan 88,0% pada keluarga contoh di perkotaan). Pendapatan contoh berkisar antara Rp 42.857,14 sampai Rp 10.000.000,00 per kap/bl pada keluarga contoh di perdesaan, sedangkan pada keluarga contoh berkisar antara Rp 100.000,00 sampai Rp 4.500.000,00 per kap/bl.

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan kategori pendapatan keluarga

No Pendapatan keluarga (bl) Perdesaan (n=50) Perkotaan (n=50) n % n % 1 Miskin 18 36,0 4 8,0 2 Hampir Miskin 3 6,0 0 0,0 3 Hampir Tidak Miskin 8 16,0 2 14,0 4 Tidak Miskin 21 42,0 44 88,0

Rata-rata ± SD 488.310±1.3851.55,88 807.490±687.148,31

Kisaran (min-max) 42857,14-10.000.000 100.000-4.500.000

p-value 0,148

Sumber: Menggunakan kriteria dari Berita Resmi Statistik No.47/IX/I September 2006 (Miskin < GK, Hampir miskin: 1,00-1,25 GK, Hampir tidak miskin: 1,25-1,50 GK, dan Tidak miskin: > 1,50 GK) diacu oleh Simanjuntak (2010) .

Sebaran kategori pendapatan per kap/bl pada keluarga contoh di perdesaan, yaitu kategori tidak miskin (42,0%), hampir tidak miskin (16,0%), hampir miskin (6,0%), dan kategori miskin (36,0%). Disamping itu, pada keluarga contoh di perkotaan terdapat 88,0 persen dalam kategori tidak miskin, hampir tidak miskin (14,0%), hampir miskin (3,0%), dan miskin (22,0%). Rata-rata pendapatan per kap/bl pada keluarga contoh di perdesaan sebesar Rp 488.310,00, sedangkan keluarga contoh di perkotaan sebesar Rp 807.490,00 (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan per kap/bl keluarga contoh di perkotaan lebih besar dibandingkan keluarga contoh perdesaan. Berdasarkan hasil uji beda t-test, tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,1) antara pendapatan per kap/bl keluarga contoh perdesaan dan perkotaan.

Pengeluaran Keluarga

Selain menghitung pendapatan contoh dan kepala keluarga, penelitian ini menggunakan metode lain dalam mengukur pendapatan seorang rumahtangga, yaitu dengan pendekatan pengeluaran rumahtangga. Kepada contoh ditanyakan

jumlah seluruh pengeluaran selama sebulan untuk semua kebutuhan rumahtangga (makanan, minuman dan kebutuhan bukan makanan lainnya yang sangat beragam). Jumlah pengeluaran rumahtangga inilah yang bisa dianggap sebagai indikator pendapatan rumahtangga (Sumarwan 2004). Pengeluaran rata-rata per kap/bl adalah biaya yang dikeluarkan untuk semua anggota rumahtangga selama sebulan dibagi dengan banyaknya anggota rumahtangga. Pengelompokan pengeluaran terbagi menjadi dua, yaitu pangan dan non pangan, yang mengacu pada BPS (2009) (Tabel 9).

Tabel 9 Rata-rata dan persentase pengeluaran contoh berdasarkan kelompok pengeluaran (Rp/kap/bl) No Kelompok Pengeluaran Perdesaan (n=50) Perkotaan (n=50) Rp % Rp % Pangan 1 Beras 40.232,40 7,7 44.968,77 5,6 2 Umbi-umbian 5.932,19 1,1 6.388,76 0,8 3 Daging 18.968,15 3,6 43.399,24 5,4 4 Ikan 18.100,24 3,5 46.537,81 5,8

5 Telur dan Susu 24.837,62 4,8 48.645,45 6,1

6 Sayur-sayuran 16.501,07 3,2 34.952,90 4,4 7 Buah-buahan 14.376,90 2,8 21.494.43 2,7 8 Kacang-kacangan 5.010,52 1,0 8.568,60 1,1 9 Minyak 11.680,29 2,2 14.102,29 1,8 10 Bumbu 13.954,29 2,7 12.821,31 1,6 11 Gula 4.792,38 0,9 5.221,95 0,7 12 Tea 3.081,33 0,6 1.376,55 0,2 13 Kopi 5.367,12 1,0 8.908,71 1,1 14 Jajan 68.286,19 13,1 70.505,95 8,8 Total Pangan 251.120,69 48,2 367.892,70 46,0 Non Pangan 1 Pendidikan 11.206,76 2,2 9.562,62 1,2 2 Kesehatan 14.785,14 2,8 24.461,43 3,1 3 Pakaian 27.623,42 5,3 17.287,9 2,2 4 Alas kaki 15.775,39 3,0 12.237,5 1,5 5 Transportasi 21.083,47 4,0 30.472,38 3,8 6 Rekreasi 15.816,86 3,0 26.887,61 3,4 7 Sosial 28.487,29 5,5 48.026,52 6,0 8 Kredit 33.021,33 6,3 61.208,33 7,7 9 Rokok 35.909,81 6,9 36.768,00 4,6 10 Pajak 1.095,96 0,2 2.829,26 0,4 11 Koran 597,57 0,1 7.154,62 0,9 12 Telepon dan pulsa 7.704,19 1,5 34.529,52 4,3 13 Tabungan 8.876,00 1,7 27.093,33 3,4 14 Air 1.783,33 0,3 15.196,52 1,9 15 Listrik 20.054,4 3,8 16.952,48 2,1 16 Gas 12.632,14 2,4 31.228,57 3,9

17 BBM 12.632,14 2,4 31.228,57 3,9

Total Non Pangan 269.085,20 51,8 433.125,2 54,0

Total Pengeluaran 520.205,89 100,0 801.017,90 100,0

Berdasarkan hasil penelitian, pengeluaran pangan keluarga contoh di perdesaan tidak berbeda jauh (48,2%) bila dibandingkan dengan keluarga contoh diperkotaan (46,0%). Persentase terbesar (13,1% pada keluarga contoh di perdesaan dan 8,8% pada keluarga contoh di perkotaan) digunakan untuk membeli jajan atau makanan ringan (Tabel 9). Pengeluaran kedua terbesar pada kelompok pangan, yaitu untuk beras (7,7%) pada keluarga contoh yang berada di perdesaan, dan pengeluaran untuk telur dan susu (6,1%) pada keluarga contoh di perkotaan. Pengeluaran ketiga terbesar adalah untuk telur dan susu (4,8%) pada keluarga contoh di perdesaan, dan untuk pengeluaran ikan (5,8%) pada keluarga contoh yang berada di perkotaan. Pengeluaran rata-rata per kap/bl untuk biaya pembelian buah adalah Rp 14.376,90 untuk contoh yang berada di perdesaan, dan Rp 21.494.43 untuk contoh yang berada di perkotaan.

Berdasarkan Tabel 9, pengeluaran pada kelompok non pangan, persentase terbesar keluarga contoh yang berada di perdesaan adalah untuk rokok (6,9%) dan untuk kredit (7,7%) pada keluarga contoh di perkotaan. Pengeluaran kedua terbesar pada kelompok non pangan, yaitu untuk kredit (6,3%) pada keluarga contoh yang berada di perdesaan, dan pengeluaran untuk sosial (6,0%) pada keluarga contoh di perkotaan. Pengeluaran ketiga terbesar adalah untuk sosial (5,5%) pada keluarga contoh di perdesaan, dan untuk pengeluaran rokok (4,6%) pada keluarga contoh yang berada di perkotaan. Pengeluaran untuk rokok ini baik di perdesaan maupun di perkotaan mengalahkan pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan.

Pengeluaran rata-rata per kap/bl keluarga contoh mempunyai persentase terbesar untuk pengeluaran non pangan per bulan (51,8% pada keluarga contoh di perdesaan, dan 54,0% pada keluarga contoh di perkotaan), sedangkan pengeluaran untuk pangan adalah 48,2 persen pada keluarga contoh di perdesaan, dan 46,0 persen pada keluarga contoh di perkotaan. Menurut Suhardjo (1989), golongan miskin menggunakan bagian terbesar dari pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan pangan (makanan), oleh karena itu, dapat disimpulkan responden dalam penelitian tergolong tidak miskin. Berdasarkan hasil penelitian, lebih dari

separuh responden menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan non pangan, baik responden yang tinggal di perdesaan (51,8%) maupun yang tinggal di perkotaan (54,0%). Hal ini diduga karena contoh lebih mengutamakan pengeluaran non pangan dibandingkan pengeluaran pangan. Seperti halnya pendidikan, contoh menganggap bahwa pendidikan sangat penting, sehingga harus dipenuhi meskipun kebutuhan akan pangan sangat terbatas.

Pengetahuan tentang Buah

Menurut Sumarwan (2004) pengetahuan konsumen merupakan semua informasi yang dimiliki konsumen mengenai berbagai macam produk dan jasa, serta pengetahuan lainnya yang terkait dengan produk dan jasa tersebut serta informasi yang berhubungan dengan fungsinya sebagai konsumen. Pengetahuan ini timbul karena konsumen mencari informasi-informasi dari sebuah produk dan konsumen menyimpannya di dalam ingatannya, dimana proses pencarian informasi ini bertujuan untuk proses pencapaian tujuan akhir dari penggunaan produk yaitu tercapainya keseimbangan antara harapan konsumen dengan nilai- nilai yang diberikan oleh produk. Hal ini selaras dengan hasil penelitian yang menjelaskan bahwa responden di perkotaan lebih banyak memperoleh sumber informasi mengenai buah dari penjual, media cetak, dan media elektronik untuk mengkonsumsi buah. Oleh karena itu pengetahuan yang diperoleh responden di perkotaan lebih banyak daripada responden di perdesaan.

Tabel 10 menunjukkan keberagaman jawaban contoh berdasarkan informasi yang tersimpan dalam ingatannya. Sebagian besar responden di perdesaan (94,0%) dan responden di perkotaan dua pertiga (70,0%) menjawab salah tentang vitamin yang terkandung di dalam buah. Hal ini terkait dengan pendidikan yang ditempuh oleh responden. Terdapat dalam proporsi cukup besar responden di perdesaan (56,0%) yang belum mengetahui berbagai jenis buah impor. Hal ini terkait dengan ketersedian buah impor di perdesaan yang masih jarang. Lebih dari separuh (52,0%) responden yang berada di perdesaan menjawab salah tentang tata cara mengkonsumsi buah, dan 60,0 persen responden di perdesaan tidak mengetahui berbagai manfaat buah. Hal ini terkait dengan masih kurangnya responden dalam hal mengkonsumsi buah.

Tabel 10 Persentase responden berdasarkan jawaban yang benar tentang pengetahuan buah

Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 10, seluruh (100,0%) responden yang tinggal di perkotaan mengetahui bahwa buah merupakan sumber vitamin dan

(n=50) (n=50) 1. Buah merupakan sumber vitamin 96,0 100,0 2 Buah berwarna kuning tidak mengandung Vit C 88,0 92,0 3. Jeruk memiliki kandungan Vit C terbesar dibandingkan dengan buah

lainnya

6,0 30,0 4. Jambu biji tidak memiliki kandungan vit C. 56,0 78,0 5. Vit C yang ada pada buah dapat mencegah dan mengobati sariawan 98,0 100,0 6. Tomat dan timun adalah sayuran yang berbentuk buah. 86,0 96,0 7. Buah durian baik dikonsumsi oleh penderita hipertensi 84,0 98,0 8. Berbagai jenis buah seperti pisang dan jeruk tersedia sepanjang tahun 100,0 94,0 9. Buah melon dan semangka tidak termasuk dalam kategori buah berair 78,0 88,0 10. Bengkoang merupakan buah dengan kandungan zat gizi terbesar

berupa karbohidrat

Dokumen terkait