• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alih fungsi lahan atau konversi lahan merupakan suatu proses yang dinamis dan selalu akan terjadi mengikuti perkembangan penduduk maupun pola pembangunan wilayah. Pada daerah perkotaan (urban)maupun daerah penyangga

kota (suburban) konversi lahan mengikuti pola pembangunan yang

meninitikberatkan kepada penggunaan lahan yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti pabrik, pusat perbelanjaan, perumahan dan lainnya. Namun untuk daerah pedesaan (rural) dengan pola pembangunan yang menitikberatkan pada sektor pertanian, justru kerap terjadi konversi lahan pertanian khususnya lahan sawah. Konversi terhadap lahan sawah ini justru lebih sering terjadi dibandingkan dengan lahan pertanian lainnya karena lahan sawah terutama yang produktif atau subur biasanya terletak di daerah yang strategis.

Penurunan areal persawahan berpengaruh terhadap penurunan produksi padi, walaupun saat ini gencar dilakukan intensifikasi pertanian yang meningkatkan produktivitas. Konversi lahan sawah tidak hanya berdampak pada berkurangnya luas lahan tetapi juga menyimpan dampak yang lebih besar dari pada itu. Lahan sawah yang mengalami konversi lahan terutama untuk kegiatan di luar pertanian, maka sangat sulit bahkan tidak akan dapat dimanfaatkan kembali sebagai lahan sawah. Kasus konversi lahan sawah kerap terjadi di daerah dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi, contohnya seperti di pulau Jawa. Tingkat pertumbuhan penduduk ini mendorong peningkatan terhadap permintaan untuk lahan pemukiman, sehingga yang terjadi adalah konversi lahan khususnya lahan sawah sulit terelakkan.

Seiring dengan perkembangan zaman secara tidak langsung juga mengubah cara fikir masyarakat pedesaan, dimana nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam istilah pertanian kini sudah mulai pudar dan diganti dengan istilah bisnis atau kegiatan yang lebih berorientasi pada keuntungan. Sehingga di kalangan masyarakat pedesaan terutama bagi pemuda muncul anggapan bahwa pertanian itu adalah kuno dan tidak menguntungkan. Selain itu dengan adanya sistem waris atau pembagian hak kepemilikan lahan sawah yang memberikan kuasa terhadap beberapa ahli waris sihingga setiap individu memiliki lahan yang semakin sempit dan cenderung untuk menjual lahan sawah tersebut. Beberapa hal tersebut mendorong terjadinya konversi lahan sawah di daerah pedesaan, walapun terjadi dalam skala kecil namun tidak boleh diabaikan dan seharusnya menjadi perhatiaan kita bersama.

Kecamatan Campaka seperti halnya daerah pedesaan yang lain di pulau Jawa pada juga mengalami konversi lahan sawah. Konversi yang terjadi berbagai macam bentuknya seperti konversi lahan sawah menjadi lahan pertanian lainnya, maupun konversi lahan menjadi lahan di luar kegiatan pertanian, contohnya untuk pemukiman, infrastruktur dan lainnya. Bentuk konversi yang terakhir ini justru pada umumnya kerap terjadi hampir di semua desa yang terdapat di Kecamatan Campaka.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bentuk konversi seperti ini memiliki dampak yang besar dan juga luas. Untuk saat ini mungkin dampak tersebut belum begitu dirasakan namun pada masa yang akan datang baru akan dirasakan. Sehingga dalam penelitian tidak membahas terlalu jauh dampak yang terjadi dari adanya konversi lahan sawah. Namun lebih menitikberatkan kepada

besaran konversi lahan sawah yang terjadi, dalam hal ini melakukan analisis terhadap perubahan penggunaan lahan yang terjadi selama lima tahun terakhir dengan membandingkan data luas lahan sawah pada tahun 2006 dan luas lahan sawah pada tahun 2010.

Tabel 11. Perubahan Luas Lahan Sawah di Kecamatan Campaka Pada .Tahun 2006-2010

No. Desa

Luas Penggunaan Lahan

Sawah (ha) Δ Luas Lahan Sawah (ha)

Pertumbuhan (%)

Tahun 2006 Tahun 2010 per 5 tahun per tahun

1 Cidadap 30,12 70 39,88 132,40 26,48 2 Cimenteng 150,00 150 0 0 0 3 Susukan 199,05 169 -30,05 -15,10 -3,02 4 Sukajadi 390,00 215 -175,00 -44,88 -8,97 5 Sukadana 135,15 116 -19,15 -14,17 -2,83 6 Margaluyu 253,65 253 -0,65 -0,26 -0,05 7 Karyamukti 40,46 35 -5,46 -13,50 -2,70 8 Campaka 80,00 27 -53,00 -66,25 -13,25 9 Girimukti 164,52 164 -0,52 -0,32 -0,06 10 Wangunjaya 61,99 128 66,01 106,49 21,30 11 Mekarjaya 115,3 105 -10,30 -8,93 -1,79 Jumlah 1.620,24 1.432 -188,24 -11,62 -2,32

Sumber : Laporan Tahunan Kecamatan Campaka (diolah), 2011

Berdasarkan data perubahan luas lahan sawah di Kecamatan Campaka (tabel 11), menunjukkan bahwa dalam kurun waktu selama lima tahun yakni dari tahun 2006 sampai dengan 2010 terjadi perubahan luas penggunaan lahan sawah yang menurun sebesar 188,24 hektar. Dengan perbandingan luas lahan sawah pada tahun 2006 yakni sebesar 1.620,24 hektar dan luas lahan sawah pada tahun 2010 yakni sebesar 1.432 hektar. Selama kurun waktu tersebut juga dapat dilihat persentase pertumbuhan luas lahan sawah, berdasarkan data di atas terlihat bahwa terjadi pertumbuhan yang menurun atau laju degradasi lahan sawah sebesar 11,62 persen per lima tahun atau sekitar 2,32 persen per tahun.

Dengan berkurangnya luas penggunaan lahan sawah sebesar 188,24 hektar selama lima tahun terakhir, maka dapat diestimasi potensi nilai produksi padi

yang hilang dalam GKP. Namun sebelumnya diestimasi jumlah produksi padi yang hilang dengan mengalikan luas lahan yang berkurang dalam meter persegi dengan produktivitas rata-rata kecamatan Campaka sebesar 0,55 kilogram per meter persegi sehingga diperoleh jumlah produksi padi yang hilang sebesar 1.029.296,32 kilogram. Kemudian dapat diestimasi potensi nilai produksi padi yang hilang dengan asumsi harga jual GKP sebesar Rp 3.000,- per kilogram, maka diperoleh nilai produksi padi yang hilang sebesar Rp 3.087.888.960,- per lima tahun atau Rp 617.577.792,- per tahun.

Dari data perubahan penggunaan lahan sawah tersebut juga menunjukkan bahwa tidak semua desa di kecamatan Campaka mengalami perubahan penggunaan lahan sawah. Tercatat sebanyak delapan desa yang mengalami perubahan penggunaan lahan sawah yang menurun, yaitu desa Susukan, Sukajadi, Sukadana, Margaluyu, Karyamukti, Campaka, Girimukti dan Mekarjaya. Desa Sukajadi merupakan desa dengan penurunan luas lahan sawah terbesar yakni 175 hektar. Hal ini dapat dikarenakan desa Sukajadi merupakan ibukota kecamatan dimana terjadi perkembangan yang cukup pesat, sehingga banyak pembangunan lahan pemukiman maupun infrasruktur. Sedangkan Desa Girimukti merupakan desa dengan penurunan luas lahan sawah terkecil yakni hanya 0,52 hektar.

Desa Cimenteng merupakan satu-satunya desa yang tidak mengalami perubahan penggunaan lahan sawah. Sedangkan dua desa lainnya yakni desa Cidadap dan Wangunjaya mengalami perubahan luas lahan sawah yang meningkat dengan peningkatan atau terjadi pertumbuhan masing-masing sebesar 39,88 hektar atau 26,48 persen per tahun dan 66,01 hektar atau 21,3 persen per tahun. Peningkatan luas lahan sawah yang terjadi di kedua desa ini menunjukkan

bahwa program pemerintah untuk hal pencetakan sawah baru terlaksana dengan baik, walaupun lahan sawah tersebut berupa sawah ladang.

Luas penggunaan lahan sawah yang semakin menurun di kecamatan Campaka terjadi karena perubahan untuk berbagai macam penggunaan seperti untuk kegiatan pertanian lainnya maupun untuk pemukiman. Penggunaan lahan untuk pemukiman ini tidak dapat dicegah sehubungan dengan pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat. Selain itu secara hukum pemilik lahan dapat memanfaatkan lahan sawah miliknya untuk penggunaan lain yang dianggap memiliki nilai ekonomi tinggi maupun beralih kepemilikan dengan menjual lahan miliknya. Hal tersebut dapat terjadi karena lahan sawah dinilai sudah tidak menguntungkan atau memiliki nilai ekonomi lahan (land rent) yang rendah. Namun jika ditelaah lebih dalam, sebenarnya lahan sawah tidak hanya sebatas sebagai suatu input produksi tetapi juga memiliki multifungsi lain yang tidak terhitung dalam mekanisme pasar.

6. 2 Analisis Land Rent

Land rent memiliki nilai yang relatif berbeda-beda tergantung pada wilayah dan waktu penelitian dilakukan, serta penggunaan lahan tersebut. Dalam penelitian ini juga akan membandingkan antara land rent pada lahan sawah irigasi dengan land rent pada lahan sawah tadah hujan, karena pada kedua tipologi lahan tersebut memiliki nilai yang berbeda. Land rent yang diperoleh pada kedua tipologi lahan tersebut merupakan nilai rata-rata dari total 30 responden petani dengan lahan sawah irigasi dan 30 responden petani lahan sawah tadah hujan. Sehingga land rent yang didapat untuk lahan sawah irigasi dan tadah hujan masing-masing adalah Rp 839,69 /m2/tahun dan Rp 832,41 /m2/tahun.

Tabel 12. .Perbandingan Land Rent pada Lahan Sawah Irigasi dan Lahan Sawah Tadah Hujan

Indikator Perbandingan Tipologi Lahan

Lahan Sawah Irigasi Lahan Sawah Tadah Hujan

Total Penerimaan (Rp/m2/tahun) 51.012,07 48.856,73

Total Biaya (Rp/m2/tahun) 25.821,47 23.884,57

Land Rent (Rp/m2/tahun) 25.190,61 24.972,18

Rata-rata Land Rent (Rp/m2/tahun) 839,69 832,41

Ratio Land Rent 1 0,99

Rata-rata Produktivitas (kg/m2) 0,57 0,51

Sumber : Data Primer (diolah), 2011

Berdasarkan data perbandingan land rent pada lahan sawah irigasi dan lahan sawah tadah hujan (tabel 12), menunjukkan bahwa lahan sawah irigasi memiliki land rent yang lebih besar dibandingkan lahan sawah tadah hujan. Ratio

land rent sawah tadah hujan adalah sekitar 0,99 dari land rent sawah irigasi. Perbedaan nilai rata-rata land rent maupun perbandingan ratio yang berbeda pada kedua tipologi lahan tersebut, belum tentu berbeda secara statisik. Oleh karena itu, dilakukan pengujian hipotesis dan selang kepercayaan bagi nilai tengah antara

land rent sawah irigasi dan land rent sawah tadah hujan.

Berdasarkan hasil pengujian ragam dua populasi diperoleh nilai-p untuk uji-F (uji bartllet) adalah 0,815 > 0,05 (α = 5%). Kesimpulannya adalah bahwa ragam populasi pada kedua tipologi lahan adalah sama pada taraf nyata 5 persen. Setelah itu dilakukan pengujian hipotesis dua populasi (sawah irigasi dan sawah tadah hujan), diperoleh nilai statistik uji-t = 0,06 dan nilai-p = 0,954 dengan batas bawah selang kepercayaan 95 persen bagi beda dua nilai tengah adalah sebesar – 250,556 dan batas atas sebesar 265,118. Nilai p > 0,05 (α = 5%), berarti terima hipotesis alternatif (H1) pada taraf nyata 5 persen sehingga disimpulkan bahwa

secara statistik terdapat perbedaan antara nilai tengah land rent sawah irigasi dan

Selain itu jika dilihat dari produktivitas sebagai indikator tingkat kesuburan menujukkan bahwa rata-rata produktivitas lahan sawah irigasi masih lebih tinggi dibandingkan lahan sawah tadah hujan dengan perbandingan 0,57 kg/m2 dan 0,51 kg/m2. Walaupun dengan perbedaan yang kecil, hal ini

dikarenakan petani responden yang melakukan kegiatan usaha tani pada lahan sawah irigasi maupun lahan sawah tadah hujan tersebut sebagian besar adalah petani gurem yang berlahan sempit atau mengusahakan lahan kurang dari 0,5 hektar.

Dalam penelitian ini, hasil perhitungan land rent yang dilakukan pada kedua tipologi lahan tersebut dapat dikatakan masih terlalu underestimate

dikarenakan belum menghitung multifungsi lain dari lahan sawah. Namun perhitungan yang dilakukan sudah sesuai dengan teori yang ada, sehingga perbedaan land rent pada kedua tipologi lahan tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat keefesienan dalam kegiatan usaha tani. Usaha tani yang dilakukan pada sawah irigasi lebih efisien dibandingkan dengan sawah tadah hujan. Sehingga perlu menjadi perhatian bagi pemerintah khususnya pemerintah daerah setempat untuk membangun suatu infrastruktur pengairan dengan sistem irigasi yang lebih baik agar usahatani yang dilakukan dapat lebih efisien dan pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas dari usaha tani tersebut.

6.3 Analisis Regresi Linear Berganda Terhadap Land Rent

Dalam pendugaan model regresi land rent sawah irigasi dan model persamaan regresi land rent sawah tadah hujan menggunakan analisis regresi linear berganda dengan metode kuadrat terkecil atau Ordinary Least Square

terlebih dahulu dilakukan analisis koefesien korelasi sederhana (pearson correlation coefficient) antara variabel bebas atau independent variable yang dimasukkan dalam model. Hasil analisis koefesien korelasi tersebut dapat dilihat pada lampiran. Hasil analisis menunjukkan bahwa masing-masing variabel bebas pada kedua model persamaan yang diduga tersebut tidak saling berkorelasi atau memiliki nilai koefesien korelasi (r) yang relatif rendah.

Kemudian dilakukan analisis regresi linear berganda untuk mendapatkan model pendugaan fungsi faktor-faktor yang mempengaruhi nilai Y atau variabel tak bebas (dependent variable), dalam hal ini adalah land rent sawah irigasi (YI)

maupun land rent tadah hujan (YT). Sedangkan variabel-variabel bebas

(independent variable) pada kedua model tersebut adalah sama, yaitu biaya variabel (X1), biaya tetap (X2), luas lahan (X3), produktivitas (X4), jarak lahan ke

pasar (X5), dan jarak lahan ke jalan desa (X6). Hasil pengolahan analisis regresi

linear berganda diperoleh dengan bantuan program Microsoft Excel 2007, SPSS 16.0, dan Minitab 14, seperti yang dapat dilihat pada tabel 13 berikut.

Tabel 13. Hasil Perbandingan Analisis Regresi Linear Berganda Land Rent Sawah .Irigasi dan Land Rent Sawah Tadah Hujan

No Variabel Notasi Land Rent Irigasi Land Rent Tadah Hujan

Koefesien p-value Koefesien p-value

1 Intersep β0 100,965 0,226 -57,377 0,750

2 Biaya Variabel X1 -0,797 0,000* -0,751 0,035*

3 Biaya Tetap X2 -0,898 0,000* -0,892 0,000*

4 Luas Lahan X3 0,001 0,282 0,011 0,682

5 Produktivitas X4 2705,873 0,000* 2982,953 0,000*

6 Jarak Lahan ke Pasar X5 -0,030 0,050* 0,005 0,769

7 Jarak Lahan ke Jalan Desa X6 0,115 0,101 -0,076 0,480

R-Sq = 0,98 R-Sq = 0,944 R-Sq(adj) = 0,975 R-Sq(adj) = 0,929 Ket. : * Taraf nyata 5%

Berdasarkan hasil analisis regresi linear berganda tersebut, dapat diperoleh model persamaan regresi land rent sawah irigasi dan model persamaan regresi land rent sawah tadah hujan. Model persamaan regresi land rent sawah irigasi adalah sebagai berikut :

YI = 100,965 - 0,797X1 - 0,898X2 + 0,001X3 + 2705,873X4 - 0,03X5 +

0,115X6

Sedangkan untuk model persamaan regresi land rent sawah tadah hujan adalah sebagai berikut :

YT = -57,377 - 0,751X1 - 0,892X2 + 0,011X3 + 2982,953X4 + 0,005X5 -

0,076X6

6.4 Uji Kesesuaian Model 6.4.1 Kriteria Ekonomi

Pada kedua model persamaan regresi land rent sawah irigasi dan sawah tadah hujan yang diperoleh secara keseluruhan menunjukkan besaran maupun tanda tiap koefesien dugaan sudah sesuai dengan kriteria ekonomi. Seperti halnya dengan model fungsi penerimaan pada umumnya, secara teoritis komponen biaya berkorelasi negatif dengan land rent, dalam hal ini biaya variabel (X1) dan biaya

tetap (X2) yang memiliki koefesien bernilai negatif karena dengan semakin

meningkatnya komponen biaya maka akan menurunkan land rent. Faktor lainnya yang berpengaruh nyata seperti produktivitas (X4) sebagai indikator dari tingkat

kesuburan memiliki koefesien yang bernilai positif, artinya semakin subur atau produktif suatu lahan maka akan meningkatkan land rent.

Sedangkan faktor jarak lahan ke pasar (X5) pada kedua model persamaan

sawah irigasi, faktor jarak lahan ke pasar (X5) berpengaruh nyata dan memilki

koefesien bernilai negatif yang artinya semakin jauh jarak lahan ke pasar maka akan menurunkan nilai land rent. Akan tetapi dalam model regresi land rent

sawah tadah hujan, faktor jarak lahan ke pasar (X5) tidak berpengaruh nyata atau

memiliki pengaruh namun sangat kecil. Hal ini tentu saja bertentangan dengan teori lokasi yang terdapat dalam konsep land rent, sehingga dapat dikatakan pada model regresi land rent sawah tadah hujan tidak sepenuhnya sesuai dengan kriteria ekonomi.

6.4. 2 Kriteria Statistik

Berdasarkan hasil analisis regresi linear berganda pada model regresi land rent sawah irigasi diperoleh nilai R-Sq yang cukup tinggi yakni sekitar 0,98. Nilai R-Sq yang sebesar 0,98 menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas yang dimasukkan dalam model menerangkan sekitar 98 persen keragaman dan sisanya sekitar 2 persen keragaman dijelaskan oleh variabel atau faktor lainnya yang tidak dimasukkan dalam model. Sedangkan nilai koefesien determinasi yang disesuaikan atau R-Sq (adj) memiliki nilai yang lebih kecil yakni sekitar 0,975. Nilai R-Sq (adj) tersebut menunjukkan bahwa setelah memperhitungkan derajat kebebasan dan variabel-variabel bebas yang terdapat dalam model masih menjelaskan sekitar 97,5 persen keragaman dalam nilai land rent sawah irigasi (YI).

Sedangkan pada model regresi land rent sawah tadah hujan, diperoleh nilai R-Sq sekitar 0,944 yang menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas yang dimasukkan dalam model menerangkan sekitar 94,4 persen keragaman dan sisanya sekitar 5,6 persen keragaman dijelaskan oleh variabel atau faktor lainnya

yang tidak dimasukkan dalam model. Sedangkan nilai koefesien determinasi yang disesuaikan atau R-Sq (adj) sekitar 0,929 yang menunjukkan bahwa setelah memperhitungkan derajat kebebasan dan variabel-variabel bebas yang terdapat dalam model masih menjelaskan sekitar 92,9 persen keragaman dalam nilai land rent sawah tadah hujan (YT). Selain itu kriteria statistik juga dapat dilihat dengan

melakukan uji-F dan uji-t.

Uji-F terhadap kedua model regresi land rent sawah irigasi maupun sawah tadah hujan diperoleh Fhit masing-masing sebesar 190,288 dan 64,580. Dengan

nilai Fhit pada kedua model tersebut lebih besar dari nilai Ftabel atau F0,05(6,23) yang

hanya sebesar 2,53 maka dapat disimpulkan bahwa pada kedua model regresi tersebut secara signifikan dapat menjelaskan keragaman land rent sawah irigasi maupun sawah tadah hujan. Atau minimal terdapat satu variabel bebas dalam model yang mempengaruhi land rent. Untuk mengetahui faktor apa saja yang secara signifikan mempengaruhi land rent, diperlukan uji statistik lanjut yakni dengan statistik uji-t.

Berdasarkan hasil statistik uji-t pada model regresi land rent sawah irigasi diketahui faktor-faktor yang berpengaruh nyata yakni biaya variabel (X1), biaya

tetap (X2), produktivitas (X4), dan jarak lahan ke pasar (X5) dengan masing-

masing nilai thit sebesar -5,309; -25,502; 22,687 dan -2,069. Nilai thit tersebut

masih lebih besar dari nilai ttabel atau t0,025(23) yang sebesar ±2.069. Sedangkan

faktor lainnya seperti luas lahan (X3) dan jarak lahan ke jalan desa (X6) tidak

berpengaruh nyata atau memiliki pengaruh namun sangat kecil terhadap nilai land rent sawah irigasi (YI).

Sedangkan pada model regresi land rent sawah tadah hujan diketahui faktor-faktor yang berpengaruh nyata yakni biaya variabel (X1), biaya tetap (X2),

dan produktivitas (X4) dengan masing-masing nilai thit sebesar -2,245; -13,165;

dan 12,329. Nilai thit tersebut masih lebih besar dari nilai ttabel atau t0,025(23) yang

sebesar ±2.069. Sedangkan faktor lainnya seperti luas lahan (X3), jarak lahan ke

pasar (X5) dan jarak lahan ke jalan desa (X6) tidak berpengaruh nyata atau

memiliki pengaruh namun sangat kecil terhadap land rent sawah tadah hujan (YT).

6.4.3 Kriteria Ekonometrika

Pengujian yang pertama dilakukan adalah mendeteksi ada atau tidaknya multikolinearitas dengan melukan uji koefesien korelasi sederhana (pearson correlation coefficient) antara variabel bebas dalam model. Pada model regresi

land rent sawah irigasi menunjukkan koefesien korelasi (r) yang relatif kecil yakni kurang dari 50 persen. Selain itu dengan uji marquardt diperoleh nilai VIF kurang dari 10, yakni hanya berkisar di antara 1,153 dan 1,386.

Sedangkan pada model regresi land rent sawah tadah hujan diperoleh nilai koefesien korelasi (r) secara umum relatif kecil. Namun antara faktor biaya variabel dengan luas lahan memiliki nilai koefesien korelasi cukup besar yakni 0,57 yang menunjukkan terdapat korelasi yang signifikan pada taraf 1 persen. Efek multikolinearitas antara faktor tersebut tidak begitu besar, hal ini dapat dilihat dari p-value yang kurang dari taraf nyata 1 persen atau 0,01. Bedasarkan uji marquardt diperoleh nilai VIF kurang dari 10, yang hanya berkisar di antara 1,133 dan 2,711. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam kedua model regresi

land rent sawah irigasi maupun sawah tadah hujan tidak terjadi multikolinearitas antara variabel bebas dan masing-masing variabel bebas tidak salah menduga.

Pengujian yang selanjutnya terhadap heteroskedastisitas adalah dengan menggunakan metode grafik dan juga uji Glesjer. Metode grafik yang digunakan pada kedua model regresi land rent sawah irigasi maupun sawah tadah hujan yaitu dengan memplotkan atau mempetakan kuadrat residual yang ditaksir (e2) diperoleh pencaran data yang bersifat acak atau tidak memiliki pola tertentu. Sedangkan dengan uji Glesjer diperoleh nilai p (signifikansi) keseluruhan maupun dari tiap-tiap variabel bebas pada kedua model secara keseluruhan tidak signifikan yaitu masing-masing sebesar 0,524 dan 0,174 atau masih lebih besar dari taraf nyata 0,05 (α = 5 %). Sehingga dapat disimpulkan bahwa baik dalam dugaan model regresi land rent sawah irigasi maupun model regresi land rent sawah tadah hujan tidak terjadi heteroskedastisitas atau menghasilkan ragam sisaan yang homogen.

Pengujian yang terakhir yaitu kenormalan data atau sisaan menyebar normal menjadi tidak terlalu penting dalam pendugaan parameter regresi. Karena penduga dengan metode kuadrat terkecil (OLS) tetap merupakan penduga takbias terbaik apabila asumsi lain terpenuhi, dalam hal ini asumsi tidak terjadi multikolinearitas dan juga tidak terjadi heteroskedastisitas sudah terpenuhi. Dalam kedua model regresi land rent, nilai residual berdistribusi normal yang merupakan suatu kurva berbentuk lonceng (bell-shaped curve) yang kedua sisinya melebar sampai titik tak terhingga. Sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh asumsi dalam kedua model regresi tersebut menurut kriteria ekonometrika sudah terpenuhi.

Berdasarkan hasil pengujian terhadap ketiga kriteria uji kesesesuaian model, dalam model regresi land rent sawah irigasi seluruh kriteria tersebut terpenuhi. Sehingga dapat dikatakan bahwa model regresi land rent sawah irigasi secara keseluruhan baik dan juga dapat digunakan atau valid. Sedangkan pada model regresi land rent sawah tadah hujan, terdapat satu kriteria yaitu kriteria ekonomi yang tidak sepenuhnya terpenuhi. Namun untuk kedua kreteria lainnya seperti kriteria statistika dan kriteria ekonometrika dapat terpenuhi. Sehingga dapat dikatakan model persamaan regresi land rent sawah tadah hujan dalam penelitian ini adalah kurang baik menurut teori ekonomi, namun berdasarkan kriteria statistik maupun ekonometrika model tersebut dapat digunakan atau valid.

6.5 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Land Rent

Berdasarkan hasil pengolahan data pada kedua model regresi land rent

yang diperoleh, masing-masing model regresi memiliki jumlah variabel bebas atau faktor yang berpengaruh pada taraf nyata 0,05 (α = 5 %) terhadap model yang tidak sama atau berbeda. Walaupun variabel-variabel bebas pada kedua model regresi tersebut adalah sama, yaitu biaya variabel (X1), biaya tetap (X2),

luas lahan (X3), produktivitas (X4), jarak lahan ke pasar (X5), dan jarak lahan ke

jalan (X6). Untuk model regresi land rent sawah irigasi, faktor yang berpengaruh

nyata yaitu antara lain biaya variabel (X1), biaya tetap (X2), produktivitas (X4),

dan jarak lahan ke pasar (X5). Sedangkan faktor yang berpengaruh nyata dalam

model regresi land rent sawah tadah hujan yaitu biaya variabel (X1), biaya tetap

(X2), dan produktivitas (X4).

Dalam melakukan suatu interpretasi pada model persamaan regresi berganda, tidak hanya diihat dari nilai koefesien regresinya (βi) saja untuk

menggambarkan berapa perubahan Y jika variabel bebas ke - i berubah 1 satuan. Karena nilai koefesien βi yang paling besar bukan berarti pengaruh variabel bebas

ke - i paling besar karena satuan koefesien regresi tergantung satuan variabel tak bebas Y dan satuan variabel bebas ke - i. Untuk mengkaji relatif pentingnya masing-masing variabel bebas tersebut, dengan menggunakan koefisien baku

Dokumen terkait