• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jumlah Titik Panas di Kabupaten Kapuas Tahun 2005-2012

Titik panas merupakan salah satu indikator adanya kejadian kebakaran hutan dan lahan di suatu wilayah. Sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) yang terpasang pada satelit Terra dan Aqua pada periode 2005 sampai 2012 (8 tahun) dapat merekam kemunculan titik panas di Kabupaten Kapuas dengan jumlah titik panas yang berbeda setiap tahunnya, seperti yang terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Jumlah titik panas tahun 2005-2012

Jumlah titik panas tahunan yang dapat diidentifikasi oleh sensor MODIS Tahun 2005 tercatat 628 titik, meningkat drastis di tahun 2006 dan tahun 2007 mengalami penurunan hingga tahun 2008. Tahun 2009 titik panas kembali meningkat drastis, tahun 2010 menurun, dan tahun 2011 hingga tahun 2012 menunjukan adanya peningkatan meskipun jumlahnya tidak sebanyak tahun 2006 dan 2009. Titik panas minimum terjadi pada tahun 2010 yang merupakan tahun dengan curah hujan normal atau di atas normal (basah). Dari pola ini diketahui, jumlah titik panas tinggi terjadi pada tahun 2006 dan 2009. Hal ini diduga karena adanya pengaruh dari fenomena anomali iklim, yaitu El-Nino yang menyebabkan kekeringan panjang, sehingga intensitas dan frekuensi kebakaran meningkat seperti pada tahun 2002, 2004, 2006, dan 2009 (Suwarsono et al. 2010). Berdasarkan informasi jumlah titik panas selama rentang waktu 2005-2012, maka dipilih titik panas tahun 2009 untuk membuat model kerentanan kebakaran hutan dan lahan dengan jumlah titik panas tertinggi.

Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bahwa jumlah titik panas tahun 2009 teridentifikasi rendah pada awal tahun (Januari-Mei). Jumlah titik panas mulai meningkat pada bulan Juni dan mencapai puncaknya pada bulan September, kemudian mengalami penurunan pada bulan Oktober. Pola titik panas tersebut terkait erat dengan pengaruh musim. Pada bulan Agustus, September, dan Oktober merupakan puncak musim kemarau dengan curah hujan yang rendah dibanding bulan lainnya. Oleh karena itu, pada musim ini titik panas banyak teridentifikasi

628 2110 340 151 2561 39 597 678 0 1000 2000 3000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Jumlah Titik Panas

T

ah

19

oleh satelit. Hal ini diduga karena banyaknya aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk berbagai bentuk usaha pertanian maupun perkebunan pada musim dengan curah hujan rendah.

Gambar 4 Jumlah titik panas tahun 2009 di Kabupaten Kapuas

Titik panas tahun 2009 di Kabupaten Kapuas banyak ditemukan di bagian tengah dan selatan, dimana daerah tersebut merupakan dataran rendah, daerah pesisir, dan rawa-rawa. Wilayah ini merupakan kawasan budidaya dengan penggunaan lahan utama perkebunan dan pertanian yang merupakan eks-proyek lahan gambut 1 juta ha dan sekarang mulai dimanfaatkan kembali. Sebagian masyarakat Kapuas masih melakukan sistem pertanian lokal, penyiapan lahan untuk pertanian atau perkebunan cenderung dilakukan dengan pembakaran lahan karena dianggap lebih mudah, murah, dan cepat, sehingga pada lokasi ini banyak teridentifikasi titik panas. Sebaran titik panas tahun 2009 dapat dilihat pada gambar berikut. 0 400 800 1200 1600 Ju m lah T it ik P a n a s Bulan

20

Gambar 5 Peta sebaran titik panas tahun 2009 di Kabupaten Kapuas

Evaluasi Kerapatan Titik Panas Terhadap Berbagai Faktor Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan

Faktor yang mempengaruhi tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan yang diuji dalam penelitian ini adalah jarak terhadap pusat desa (x1), jarak terhadap jalan (x2) jarak terhadap sungai (x3), kedalaman gambut (x4), dan penutupan/penggunaan lahan (x5).

Kerapatan titik panas dan jarak terhadap pusat desa

Hasil analisis menunjukkan bahwa umumnya semakin dekat jarak dari pusat desa, maka kerapatan titik panas rendah. Kerapatan titik panas akan semakin tinggi dengan bertambahnya jarak dari pusat desa dan menurun kembali pada jarak lebih dari 8 km (Gambar 6). Hal ini diduga aktivitas penyiapan lahan untuk pertanian terjadi pada jarak yang tidak terlalu dekat dan juga tidak terlalu jauh dari

21

pusat desa. Pada jarak yang dekat dengan pusat desa penyiapan lahan sudah berkurang karena lahan untuk pertanian sudah terbatas, sehingga masyarakat memilih membuka lahan pada jarak yang lebih jauh dari pusat desa dengan mempertimbangkan kemudahan dalam hal pengawasan areal pertanian atau perkebunan. Hubungan antara titik panas terhadap jarak desa dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 6 Pola hubungan kerapatan titik panasterhadap jarak dari desa

Gambar 7 Sebaran titik panas terhadap pusat desa

Kerapatan titik panas dan jarak terhadap jaringan jalan

Kerapatan titik panas berdasarkan jarak terhadap jalan dapat terlihat jelas berdasarkan pola hubungannya, yaitu semakin dekat dengan jalan maka kerapatan titik panas semakin tinggi dan menurun dengan bertambahnya jarak (Gambar 8). Adanya akses jalan mendorong masyarakat untuk mudah masuk ke kawasan hutan atau bukan hutan untuk mengelola atau membuka lahan baru yang dapat memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Berdasarkan hasil penelitian Samsuri (2008) dan Kayoman (2010) menunjukkan bahwa kedekatan dengan jaringan jalan memiliki korelasi yang positif terhadap terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Oleh sebab itu maka dapat disimpulkan bahwa faktor kedekatan dengan jalan merupakan faktor penting yang mempengaruhi kejadian kebakaran di Kabupaten Kapuas. Hubungan antara titik panas terhadap jarak dari jalan dapat dilihat pada Gambar 9.

22

Gambar 8 Pola hubungan kerapatan titik panasterhadap jarak dari jalan

Gambar 9 Sebaran titik panas terhadap jarak dari jalan

Kerapatan titik panas dan jarak terhadap jaringan sungai

Kerapatan titik panas berdasarkan jarak terhadap sungai dapat terlihat jelas berdasarkan pola hubungannya yaitu semakin dekat dengan sungai maka kerapatan titik panas semakin tinggi dan menurun dengan bertambahnya jarak (Gambar 10). Hal ini sama dengan yang terjadi pada jarak terhadap jalan. Di Kalimantan khususnya Kabupaten Kapuas sungai merupakan akses alternatif selain jalan, sehingga adanya akses berupa sungai akan mendorong masyarakat untuk melakukan pembukaan lahan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Samsuri (2008) yang menjelaskan bahwa kedekatan dengan akses selain jalan berupa jaringan sungai juga memiliki korelasi yang positif terhadap terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Hubungan antara titik panas terhadap jarak dari sungai dapat dilihat pada Gambar 11.

23

Gambar 11 Sebaran titik panas terhadap jarak dari sungai

Kerapatan titik panas terhadap penutupan/penggunaan lahan

Penutupan lahan belukar rawa memiliki kerapatan titik panas tertinggi (0.522 per km2), sedangkan kerapatan titik panas terendah (0.018 per km2) berada di hutan lahan kering sekunder seperti terlihat pada Tabel 3 dan Gambar 12. Tingginya kerapatan titik panas di belukar rawa diduga banyaknya aktivitas pembakaran untuk pembukaan lahan pertanian maupun perkebunan pada area ini.

Selain itu, hutan rawa sekunder, lahan terbuka, perkebunan, rawa, hutan rawa primer dan belukar rawa yang ada di tanah gambut juga memiliki kerapatan titik panas yang tinggi dibanding pada penutupan/penggunaan lahan yang sama tetapi berada di tanah mineral. Hal ini diduga karena pembukaan lahan pada tanah gambut lebih banyak dibanding pada tanah mineral. Penggunaan lahan di tanah mineral sudah lebih dahulu digunakan untuk pertanian, perkebunan maupun properti seperti perumahan maupun perkantoran. Oleh karena itu sebagian besar tanah mineral sudah memiliki status kepemilikan, sehingga pembukaan lahan saat ini banyak terjadi pada tanah gambut yang masih sedikit status kepemilikannya. Hubungan antara titik panas terhadap penutupan/penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 13.

Tabel 3 Kerapatan titik panas pada berbagai penutupan/penggunaan lahan No. Penutupan/penggunaan lahan Titik

panas/km2 Luas (ha) Jumlah titik panas 1. Hutan Lahan Kering Sekunder 0.018 590 310 109

2. Hutan Tanaman 0.024 8 261 2 3. Air 0.041 17 272 7 4. Belukar 0.047 178 714 84 5. Pertambangan 0.059 6 763 4 6. Sawah 0.090 55 670 50 7. Permukiman 0.092 2 163 2

8. Pertanian Lahan Kering 0.146 20 533 30

9. Hutan Rawa Sekunder 0.183 351 674 644

10. Lahan Terbuka 0.212 46 707 99

24

12. Rawa 0.362 6 077 22

13. Hutan Rawa Primer 0.374 535 2

14. Pertanian Lahan Kering Campur 0.381 2 361 9

15. Belukar Rawa 0.522 205 504 1 073

Gambar 12 Pola hubungan kerapatan titik panas terhadap penutupan/penggunaan lahan

Gambar 13 Sebaran titik panas terhadap penutupan/penggunaan lahan

Kerapatan titik panas dan jarak terhadap kedalaman gambut

Kerapatan titik panas pada tanah gambut dapat dilihat pada Tabel 4. Tanah gambut dengan kedalaman sangat dalam dan sangat dalam sekali memiliki kerapatan titik panas tinggi dibandingkan dengan kedalaman tanah gambut yang lain (Gambar 14). Hal ini diduga pembukaan lahan banyak terjadi pada kedalaman gambut sangat dalam dan sangat dalam sekali. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa penggunaan lahan di tanah mineral sudah lebih dahulu digunakan dibanding tanah gambut. Kemungkinan pada tahun 2009 tanah gambut dengan kedalaman yang tidak terlalu dalam telah digunakan untuk penggunaan lahan pertanian maupun perkebunan, sehingga masyarakat mulai membuka gambut dengan kedalaman sangat dalam dan sangat dalam sekali. Hal tersebut dapat dilihat pada peta sebaran titik panas tahun 2009 pada tanah gambut di Kabupaten Kapuas (Gambar 15). Titik panas tahun 2009 banyak teridentifikasi pada gambut dengan kedalaman sangat dalam dan sangat dalam sekali yang tersebar pada bagian tengah Kabupaten Kapuas yang merupakan bagian dari eks-proyek lahan gambut 1 juta

25

ha dan sekarang mulai dimanfaatkan kembali untuk budidaya pertanian maupun perkebunan.

Menurut Purbowaseso (2004) tanah gambut merupakan tanah yang banyak mengandung bahan organik seperti serasah yang belum terdekomposisi sempurna. Pada musim kemarau permukaan air tanah menurun menyebabkan lapisan permukaan atas gambut menjadi kering, kondisi ini dimanfaatkan oleh masyarakat maupun perusahaan perkebunan untuk membuka lahan gambut dengan cara dibakar. Selain itu, pembukaan lahan pada gambut juga memanfaatkan sistem kanalisasi pada daerah gambut. Sistem kanalisasi tersebut dapat mempercepat proses air di dalam tanah gambut keluar ke saluran utama, sehingga mempercepat proses pengeringan permukaan atas gambut. Gambut yang sudah kering tersebut akan sulit menjerap air kembali karena proses di dalam gambut bersifat irreversible srink (pengeringan tak balik), sehingga gambut kering akan mudah terbakar (Samsuri 2008).

Tabel 4 Kerapatan titik panas pada berbagai kedalaman gambut

No Kedalaman Gambut (cm)

Titik panas/

km2

Luas (ha) Jumlah Titik Panas 1. Bukan Gambut 0.074 1 208 125 899 2. Dangkal/Tipis (50-100 cm) 0.128 154 384 197 3. Sangat Dangkal (< 50 cm) 0.183 19 084 35 4. Dalam/Tebal (200-400 cm) 0.421 56 270 237 5. Sedang (100-200 cm) 0.471 19 728 93

6. Sangat Dalam/Sangat Tebal (400-800 cm) 0.554 152 433 845 7. Sangat Dalam Sekali/Sangat Tebal Sekali

(800-1 200 cm) 0.690 36 952 255

26

Gambar 15 Peta sebaran titik panas tahun 2009 pada gambut di Kabupaten Kapuas

Pemodelan Spasial Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan

Berdasarkan koefisien determinasi (R2) antara kerapatan titik panas dengan berbagai faktor dapat ditentukan bobot pada masing faktor. Bobot masing-masing faktor menunjukkan tingkat pengaruh faktor tersebut terhadap model. Model yang dievaluasi adalah model 1: dengan 3 faktor penyusun (x1, x2, x4), model 2: dengan 4 faktor penyusun (x1, x2, x4, x5), dan model 3: dengan 5 faktor penyusun (x1, x2, x3, x4, x5). Bobot tersebut dikalikan dengan skor masing-masing faktor (Lampiran 1, 2, 3, 4, dan 5) untuk menentukan skor komposit, yang digunakan untuk membangun model dengan menentukan hubungan antara skor komposit dengan kerapatan titik panas.

27

Kerapatan titik panas dan skor komposit model 1 (x1, x2, dan x4)

Tabel 5 Nilai koefisien dan bobot faktor penyusun skor komposit model 1

Faktor Model 1

Koefisien Bobot x1 Jarak terhadap desa 0.0022 0.337 x2 Jarak terhadap jalan 0.0013 0.197 x4 Kedalaman gambut 0.0030 0.466

Model 1 disusun oleh 3 faktor penyusun: jarak terhadap desa (x1), jarak terhadap jalan (x2), dan kedalaman gambut (x4). Hasil evaluasi menunjukkan bahwa faktor kedalaman gambut pada model 1 memiliki pengaruh yang lebih besar dibanding dengan faktor lainnya yaitu sebesar 46.6%, disusul oleh faktor jarak terhadap desa yaitu sebesar 33.7%, dan faktor jarak terhadap jalan yaitu sebesar 19.7% (Tabel 5). Hubungan terbaik antara kerapatan titik panas dan skor komposit model 1 (x1, x2, dan x4) ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi (R2) terbaik dari model eksponensial sebesar 33.4% (Gambar 16).

Gambar 16 Grafik hubungan antara skor komposit model 1 (3 faktor) dan kerapatan titik panas

Kerapatan titik panas dan skor komposit model 2 (x1, x2, x4, dan x5)

Pada model 2 dilakukan penambahan faktor untuk meningkatkan nilai koefisien korelasi antara skor komposit dan kerapatan titik panas. Model ini dibangun dengan menambah 1 faktor penyusun lagi, yaitu penutupan/penggunaan lahan (x5) dari model 1. Pada model 2 ini faktor kedalaman gambut juga memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan faktor lainnya yaitu sebesar 46%, disusul oleh faktor jarak terhadap desa (28%), faktor jarak terhadap jalan (14%), dan faktor terhadap penutupan/penggunaan lahan (11%) (Tabel 6). Hubungan terbaik antara kerapatan titik panas dan skor komposit model 2 (x1, x2, x4, dan x5) ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi (R2) terbaik dari model eksponensial sebesar 34.5% (Gambar 17). Nilai ini sedikit lebih tinggi dibanding dengan model 1 (x1, x2, dan x4).

28

Tabel 6 Nilai koefisien dan bobot faktor penyusun skor komposit model 2

Faktor Model 2

Koefisien Bobot x1 Jarak terhadap desa 0.0020 0.280 x2 Jarak terhadap jalan 0.0010 0.140 x4 Kedalaman gambut 0.0033 0.460 x5 Penutupan/penggunaan lahan 0.0008 0.110

Gambar 17 Grafik hubungan antara skor komposit model 2 (4 faktor) dan kerapatan titik panas

Kerapatan titik panas dan skor komposit model 3 (x1, x2, x3, x4, dan x5)

Pada model 3 dilakukan lagi penambahan faktor lagi dengan tujuan untuk mendapatkan nilai koefisien korelasi antara skor komposit dan kerapatan titik panas yang lebih tinggi. Model 2 dengan 4 faktor penyusun ditambahkan satu faktor lagi, yaitu jarak terhadap jalan (x2) untuk membangun model 3. Sama halnya dengan model 1 dan 2, pada model 3 faktor kedalaman gambut masih memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan faktor lainnya yaitu sebesar 49%, disusul oleh faktor jarak terhadap desa (27%), faktor terhadap penutupan/penggunaan lahan (14%), faktor jarak terhadap jalan (8%), dan faktor jarak terhadap sungai (3%) (Tabel 7). Hubungan terbaik antara kerapatan titik panas dan skor komposit model 3 (x1, x2, x3, x4, dan x5) ditunjukkan dengan nilai koefisien determinasi (R2) terbaik dari model eksponensial sebesar 44.9% (Gambar 18). Nilai ini lebih tinggi dibanding dengan model 2 (x1, x2, x4, dan x5). Tabel 7 Nilai koefisien dan bobot faktor penyusun skor komposit model 3

Faktor Model 3

Koefisien Bobot x1 Jarak terhadap desa 0.0020 0.270 x2 Jarak terhadap jalan 0.0006 0.080

29

x3 Jarak terhadap sungai 0.0002 0.030 x4 Kedalaman gambut 0.0036 0.490 x5 Penutupan/penggunaan lahan 0.0010 0.140

Gambar 18 Grafik hubungan antara skor komposit model 3 (5 faktor) dan kerapatan titik panas

Dari ketiga model dapat diketahui bahwa faktor kedalaman gambut sangat berpengaruh dalam menentukan kejadian kebakaran hutan dan lahan terutama pada tipe kebakaran bawah permukaan dengan menunjukkan perbedaan tingkat kerapatan titik panas yang cukup besar antara daerah yang bertanah gambut dan bukan gambut. Selain itu, jarak terhadap pusat desa juga memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap kebakaran hutan dan lahan, disebabkan pembukaan lahan untuk areal pertanian maupun perkebunan sangat mempertimbangkan kemudahan dalam hal pengawasan sehingga tidak jauh dari permukiman.

Dengan demikian dalam penelitian ini, model yang dipilih adalah model yang memiliki koefisien korelasi (R2) tinggi diantara hubungan skor komposit dan kerapatan titik panas. Model 1 dengan 3 faktor penyusun memiliki koefisien korelasi (R2) sebesar 33.4%, model 2 dan 3 yang disusun oleh 4 faktor dan 5 faktor berturut-turut memiliki koefisien korelasi (R2) cukup tinggi masing-masing, yaitu sebesar 34.5% dan 44.9%. Berdasarkan nilai koefisien korelasi (R2) maka dipilih model 2 dan model 3 untuk menentukan tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan.

Pemetaan Tingkat Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan

Berdasarkan hasil perhitungan matrik koinsidensi dari kedua model (Tabel 8) terlihat bahwa model 3 lebih baik dalam menduga tingkat kerapatan titik panas karena nilai akurasi 70%, sedangkan model 2 memiliki nilai akurasi 69%. Dengan demikian model 3 dipilih untuk pembuatan peta tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan yang dikategorikan ke dalam 5 kelas tingkat kerentanan (Gambar 19).

30

Tabel 8 Matrik akurasi model terpilih Jumlah Faktor Akurasi (%)

5 Kelas

4 faktor (M2) 69%

5 faktor (M3) 70%

Dari peta tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan yang dihasilkan dari model 3 diketahui bahwa sebagian besar Kabupaten Kapuas memiliki kerentanan rendah (40.21 % dari total area studi), yaitu tersebar di wilayah bagian utara dan sebagian kecil di selatan. Tingkat kerentanan tinggi dan sangat tinggi berturut-turut hanya mencapai 6.14% dan 6.06% yang tersebar di bagian tengah dan selatan wilayah kabupaten. Presentase luas daerah berdasarkan kelas kerentanan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 9 Persentase luas daerah berdasarkan kelas kerentanan kebakaran Kelas Kerentanan Kebakaran Luas (ha) Persentase (%) Sangat Rendah 656 551 40.13 Rendah 657 904 40.21 Sedang 121 977 7.46 Tinggi 100 479 6.14 Sangat Tinggi 99 188 6.06

Peta kerentanan tersebut bila dikaitkan dengan peta penutupan/penggunaan lahan, maka area dengan penutupan lahan belukar rawa dan hutan rawa sekunder memiliki tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan sangat tinggi dan terluas yaitu berturut-turut sebesar 52 990 ha (3.24% dari total area studi) dan 28 475 ha (1.74% dari total area studi). Area dengan tingkat kerentanan sangat rendah terluas berada di hutan lahan kering sekunder yaitu sebesar 516 352 ha (31.56% dari total area studi). Berdasarkan kedalaman gambut, area dengan kedalaman gambut sangat dalam dan sangat dalam sekali memiliki tingkat kerentanan sangat tinggi terluas yaitu masing-masing sebesar 62 787 ha (3.84% dari total area studi) dan 17 164 ha (1.05% dari total area studi).

31

Gambar 19 Peta tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kapuas

Secara administratif tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kapuas dapat dilihat pada Lampiran 6, wilayah yang memiliki kerentanan tinggi dan sangat tinggi dan terluas adalah di Kecamatan Mantangai dengan luas berturut-turut 85 865 ha (5.25% dari total area studi) dan 87 511 ha (5.35% dari total area studi), sedangkan kecamatan lainnya memiliki luas lebih kecil dari 1% dari total area studi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah titik panas lebih banyak ditemukan pada tanah gambut. Kecamatan Mentangai memiliki luas lahan gambut terluas dibanding kecamatan lainnya yaitu sebesar 18.84% (Lampiran 7), sehingga pada lokasi ini banyak teridentifikasi titik panas. Presentase luas kerentanan secara administratif dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.

32

Tabel 10 Persentase luas kerentanan kebakaran per kecamatan Kecamatan Kerentanan Tinggi Kerentanan Sangat Tinggi

Luas (ha) Persentase (%) Luas (ha) Persentase (%) Basarang 1 548 0.09 2 276 0.14 Bataguh 2 118 0.13 2 329 0.14 Dadahup 8 368 0.51 5 547 0.34 Kapuas Barat 1 550 0.09 1 525 0.09 Kapuas Murung 1 029 0.06 ─ ─ Mantangai 85 865 5.25 87 511 5.35

Dokumen terkait