• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Karet

Karet merupakan polimer hidrokarbon yang bersifat elastis dan terbentuk dari emulsi kesusuan yang dikenal sebagai lateks. Berdasarkan cara memperolehnya karet dapat digolongkan menjadi dua yaitu karet alam dan karet sintetis. Karet alam diperoleh dengan cara penyadapan pohon karet (Hevea brasiliensis). Sedangkan karet sintetis dibuat dari secara polimerisasi fraksi-fraksi minyak bumi. Jumlah produksi dan konsumsi karet alam masih di bawah produksi karet sintetis. Namun demikian, karet alam belum dapat digantikan oleh karet sintetis karena keunggulan yang dimiliki karet alam belum dapat ditandingi oleh karet sintetis. Keunggulan karet alam dibandingkan karet sintetis antara lain:

1. Memiliki daya elastis atau daya lenting yang sempurna

2. Memiliki plastisitas yang baik sehingga pengolahannya mudah 3. Mempunyai daya aus yang tinggi

4. Tidak mudah panas (low heat build up)

5. Memilki daya tahan yang tinggi terhadap keretakan

Karet sintetis memiliki kelebihan seperti tahan terhadap berbagai zat kimia dan harganya yang cenderung bisa dipertahankan supaya tetap stabil. Karet alam dan karet sintetis sudah mempunyai pangsa pasarnya masing-masing dan tidak saling mematikan atau bersaing penuh. Keduanya mempunyai sifat saling melengkapi atau komplementer.

Karet Alam di Indonesia

Karet alam menjadi produk alam yang sangat bervariasi dalam produk akhir. Ada beberapa macam karet alam yang dikenal secara luas, diantaranya merupakan bahan olahan. Bahan olahan dapat berupa setengah jadi atau sudah jadi. Ada juga karet yang diolah kembali berdasarkan bahan karet alam yang sudah jadi. Jenis-jenis karet alam yang dikenal luas adalah:

1. Bahan olah karet

Bahan olah karet adalah lateks kebun serta gumpalan lateks kebun yang diperoleh dari pohon karet Hevea brasiliensis. Beberapa kalangan menyebut bahan

21 olah karet bukan produksi besar, melainkan bokar (bahan olah karet rakyat) karena biasanya diperoleh dari petani yang mengusahakan kebun karet. Menurut pengolahannya bahan olah karet dibagi menjadi 4 macam yaitu lateks kebun, sheet

angin, slab tipis dan lump segar. 2. Karet alam konvensional

Menurut Green Book yang dikeluarkan oleh International Rubber Quality and Packing Conference (IRQPC), karet alam konvensional dimasukan ke dalam beberapa golongan mutu. Karet alam konvensional menurut standar mutu pada

Green Book terbagi menjadi ribbed smoked sheet (RSS), white crepes dan pale crepe, estate brown crepe, compo crepe, thin brown crepe remills, thick blanket crepes ambers, flat bark crepe, pure smoke blanket crepe, dan off crepe.

3. Lateks pekat

Lateks pekat adalah jenis karet yang berbentuk cairan pekat, tidak berbentuk lembaran atau padatan lainnya. Lateks pekat yang dijual di pasaran ada yang dibuat melalui proses pendadihan atau creamed lateks dan melalui proses pemusingan atau

centrifuged lateks. Biasanya lateks pekat banyak digunakan untuk pembuatan bahan-bahan karet yang tipis dan bermutu tinggi.

4. Karet bongkah atau block rubber

Karet bongkah adalah karet remah yang telah dikeringkan dan dikilang menjadi bandelan-bandelan dengan ukuran yang telah ditentukan. Karet bongkah ada yang berwarna muda dan setiap kelasnya mempunyai kode warna tersendiri. Standar mutu karet bongkah Indonesia tercantum dalam SIR (Standard Indonesian Rubber).

5. Karet spesifikasi teknis atau crumb rubber

Karet spesifikasi teknis adalah karet alam yang dibuat khusus sehingga terjamin mutu teknisnya. Penetapan mutu juga didasarkan pada sifat-sifat teknis. Warna atau penilaian visual yang menjadi dasar penentuan golongan mutu pada jenis karet sheet, crepe maupun lateks pekat tidak berlaku untuk jenis karet spesifikasi teknis. Persaingan karet alam dengan karet sintetis merupakan penyebab timbulnya karet spesifikasi teknis.

6. Tyre rubber

Tyre rubber adalah bentuk lain dari karet alam yang dihasilkan sebagai barang setengah jadi sehingga bisa langsung dipakai oleh konsumen, baik untuk pembuatan ban atau barang yang menggunakan bahan baku karet alam lainnya.

Tyre rubber sudah dibuat di Malaysia sejak tahun 1972. Pembuatannya dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing karet alam terhadap karet sintetis dan

Tyre rubber memiliki daya campur yang baik sehinnga mudah digabungkan dengan karet sintetis.

7. Karet reklim atau reclaimed rubber

Karet reklim adalah karet yang diolah kembali dari barang-barang karet bekas, terutama ban-ban mobil. Karenanya, karet reklim dapat dikatakan suatu hasil pengolahan scrap yang sudah divulkanisir. Kelemahan karet reklim adalah kurang kenyal dan kurang tahan gesekan sesuai dengan sifatnya sebagai karet bekas pakai.

22

Industri Karet Remah (Crumb Rubber) di Indonesia

Industri karet remah (crumb rubber) merupakan salah satu industri antara utama (olahan karet) pada kelompok industri karet dan bahan olahan karet, dengan kode Internasional Standard Industrial Classification (ISIC) 25123 (kementrian perindustrian). Industri karet remah merupakan suatu usaha industri pengolahan karet yang melakukan kegiatan mengubah bahan baku karet (lump, slab dan scrap)

menjadi karet remah dalam Standar Karet Indonesia (BPS, 2010). Industri karet remah merupakan industri hulu karet alam yang produknya merupakan bahan baku yang banyak digunakan oleh industri hilir karet alam, seperti industri ban, conveyor,

barang-barang karet, dan lain-lain.

Perkembangan Industri Crumb Rubber di Indonesia

Pada awalnya sebagian besar karet alam Indonesia diperdagangkan dalam bentuk karet lembaran yaitu karet sit asap (ribbed smoked sheet). Teknologi crumb rubber diperkenalkan sejak tahun 1968. Sejak saat itu, produksi karet sit menurun digantikan dengan crumb rubber. Hampir 90 persen karet alam Indonesia setiap tahunnya diproduksi menjadi crumb rubber. Crumb rubber menjadi salah satu olahan karet yang diperjualbelikan di pasar baik dalam negeri maupun internasional.

Tingginya permintaan pasar terhadap crumb rubber untuk dijadikan bahan pembuatan komponen teknik terutama ban kendaraan bermotor dan ditunjang dengan jaminan ketersediaan bahan bakunya (bahan olah karet), menyebabkan perkembangan teknologi crumb rubber saat ini sudah sedemikian pesat. Pada tahun 1990 terdapat 131 unit perusahaan crumb rubber di Indonesia dan pada tahun 2013 tercatat ada sekitar 193 unit perusahaan crumb rubber di Indonesia. Data perusahaan crumb rubber dan jumlah pekerja di Indonesia dapat dalam angka tahun disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Jumlah perusahaan crumb rubber dan jumlah pekerja tahun 1990-2013 Tahun Banyaknya Tahun Banyaknya Perusahaan (unit) Pekerja (orang) Perusahaan (unit) Pekerja (orang) 1990 131 41149 2002 145 45100 1991 127 36206 2003 143 38931 1992 144 41389 2004 148 44272 1993 135 40655 2005 148 42153 1994 138 40165 2006 160 46066 1995 131 36678 2007 178 53793 1996 132 33289 2008 170 48970 1997 130 34604 2009 175 47799 1998 162 38609 2010 196 60519 1999 160 36575 2011 180 55849 2000 165 45020 2012 179 67751 2001 133 37499 2013 193 65939 Sumber: BPS (diolah)

23 Tabel 4 menunjukan bahwa perusahaan crumb rubber belum berkembang cukup baik di Indonesia. Jumlah perusahaan crumb rubber Indonesia berfluktuatif atau tidak stabil pada tahun 1990-2013. Namun, pada tahun 2013 jumlah perusahaan crumb rubber indonesia mencapai 193 unit perusahaan. Perusahaan

crumb rubber Indonesia juga menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat, lebih dari 20.000 orang pekerja setiap tahunnya dapat terserap di bidang pengolahan

crumb rubber. Karet alam merupakan komoditas ekspor yang memberikan kontribusi besar dalam upaya peningkatan devisa negara.Perusahaan karet alam Indonesia lebih memprioritaskan produksi crumb rubber diekspor dibandingkan untuk kebutuhan dalam negeri. Ekspor karet alam Indonesia sebagian besar dalam bentuk karet remah (crumb rubber).

Gambar 2 menunjukan bahwa ekspor dan konsumsi domestik crumb rubber

Indonesia tahun 1990-2013 mengalami fluktuasi. Ekspor crumb rubber lebih mendominasi dibanding untuk konsumsi domestik di Indonesia. Pada tahun 2002 terjadi peningkatan ekspor, namun memasuki tahun 2007 ekspor crumb rubber

mengalami penurunan sampai tahun 2009 sebesar 394.306 ton. Hal ini karena dampak dari krisis yang melanda Amerika Serikat tahun 2008. Penjualan otomotif di Amerika Serikat mengalami penurunan dan memengaruhi turunnya permintaan karet oleh industri ban termasuk yang menggunakan karet Indonesia.

Profil Beberapa Perusahaan Crumb Rubber Indonesia

PT Lonsum Tbk.

Perusahan ini dan anak perusahaannya memiliki 38 perkebunan inti dan 14 perkebunan plasma yang berlokasi di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Saat ini PT Lonsum memiliki kebun karet seluas 17,394 Ha di Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan. PT Lonsum memilki tujuh pabrik sheet rubber dan crumb rubber. Karet hasil produksi dijual di pasar dalam negeri maupun ke pasar ekspor (Capricorn Indonesia Consult Inc.).

Sumber: BPS, 1990-2013 (diolah)

Gambar 2 Pertumbuhan nilai ekspor dan konsumsi domestik industri crumb rubber Indonesia tahun 1990-2013 -80 -60 -40 -20 0 20 40 60 80 1990 1993 1997 2001 2005 2009 2013 p e rtu m b u h an (% ) tahun ekspor konsumsi domestik

24

PT Kirana Megantara

Kirana Megantara Group merupakan produsen crumb rubber terbesar di Indonesia dengan pangsa pasar lebih dari 18 persen. Produk yang dihasilkan berupa karet dengan spesifikasi teknis (technical specified rubber) yang dikenal dengan istilah Standard Indonesian Rubber (SIR) dan diekspor ke berbagai negara sebagai bahan baku utama ban yang di produksi oleh pabrik-pabrik ban terkemuka dunia. PT. Bridgestone Sumatera Rubber Estate merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang perkebunan dan pengolahan karet. Kegiatan penanaman karet memakai jenis Havea Brasilliensis dan mengolahnya menjadi Crumb Rubber. PT. Bridgestone Sumatera Rubber Estate

PT. Bridgestone Sumatera Rubber Estate merupakan pabrik yang mengolah getah karet menjadi produk Crumb Rubber atau SIR yang sudah melalui tahapan pengontrolan kualitas pada bagian Quality Control Department. Sehingga produk yang dihasilkan memiliki kualitas yang tinggi dibandingkan produk-produk Crumb Rubber atau SIR pada perusahaan yang lainnya. Oleh karena itu, banyak negara-negara yang membeli produk Crumb Rubber atau SIR yang dihasilkan oleh PT. Bridgestone Sumatera Rubber Estate.

Regulasi Pemerintah yang Berkaitan dengan Crumb Rubber Indonesia

Hampir semua hasil perkebunan atau pertanian, misal karet merupakan komoditi ekspor. Crumb rubber merupakan salah satu produk hasil olahan atau barang setengah jadi dari produksi industri karet alam Indonesia yang mendominasi untuk ekspor. Kebijakan ekspor karet Indonesia tertera dalam Undang-undang Nomor 18 tahun 2000, yaitu tentang pajak pertambahan nilai barang jasa dan pajak penjualan atas barang mewah. Dimana ekspor komoditi perkebunan dalam bentuk primer tidak dikenakan pajak ekspor (nol persen), karena merupakan bahan baku (raw material) yang belum mengandung nilai tambah. Sedangkan komoditas karet alam yang diperdagangkan di pasar domestik dikenakan pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen. Kebijakan pajak ekspor karet alam pernah beberapa kali mengalami perubahan. Pada tahun 1969-1975 ekspor komoditas karet alam dikenakan pajak sebesar 10 persen, kemudian sebesar 5 persen pada periode tahun 1976-1981 dan 0 persen sejak tahun 1982 (Limbong, 1994). Namun adanya kebijakan ini membuat hasil produksi karet alam Indonesia masih kurang bisa diserap oleh pasar domestik karena adanya pengenaan pajak pertambahan nilai. Kebijakan ini menyebabkan konsumen domestik karet alam impor menjadi lebih murah dari pada karet alam yang di produksi di dalam negeri (Prabowo, 2006).

Analisis Struktur Pasar Industri Crumb Rubber Indonesia

Analisis struktur pasar pada industri crumb rubber dapat diketahui dengan melihat pangsa pasar dari perkembangan penjualan masing-masing industri, konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar (CR4), Herfindahl-Hirschman Index

(HHI) dan besarnya hambatan masuk pasar (MES). Namun karena adanya keterbatasan data penjualan setiap industri crumb rubber yang tidak dapat disajikan,

25 maka pangsa pasar dari masing-masing perusahaan crumb rubber tidak dapat ditentukan.

Analisis Rasio Konsentrasi Industri Crumb Rubber Indonesia

Pengukuran rasio konsentrasi dilakukan pada empat perusahaan terbesar (CR4) dan Herfindahl-Hirschman Index (HHI). Pengelompokan empat perusahaan didasarkan pada nilai output yang dihasilkan oleh empat perusahaan terbesar dalam industri crumb rubber. Rasio konsentrasi diperoleh dengan mengukur besarnya kontribusi output yang dihasilkan oleh empat perusahaan terbesar terhadap total output industri.

Menurut Greer (1992) satu perusahaan menguasai 50-100 persen dan

Herfindahl-Hirscman-Index bernilai (2500 < HI < 10000) menghasilkan struktur pasar bersifat perusahaan dominan, dimana kesepakatan diantara mereka untuk menetapkan harga sangat mudah. Sedangkan pangsa pasar tiap perusahaan kurang dari 1 persen (< 1%) dan nilai Herfindahl-Hirscman-Index bernilai kurang dari 100 ( <100) menghasilkan struktur pasar bersifat pasar persaingan, dimana kesepakatan diantara mereka untuk menetapkan harga tidak memungkinkan. Tingkat konsentrasi industri crumb rubber dalam angka tahun disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Tingkat konsentrasi industri crumb rubber tahun 1990-2013

Tahun CR4 (%) HHI 1990 13,02 42.40 1991 12,90 42.15 1992 25,07 268.18 1993 15,19 61.70 1994 17,17 97.39 1995 15,38 61.84 1996 16,13 83.87 1997 14,64 55.61 1998 15,66 62.83 1999 21,96 159.09 2000 16,82 71.90 2001 16,12 65.79 2002 14,67 54.81 2003 15,50 60.71 2004 16,83 76.30 2005 32,98 374.61 2006 15,57 62.68 2007 16,74 74.92 2008 21,35 118.22 2009 13,89 49.01 2010 12,41 39.04 2011 15,51 60.94 2012 17,57 78.92 2013 26,43 246.74 Rata-Rata 17,48 98.74 Sumber: BPS (diolah)

26

Tabel 5 menunjukan bahwa rata-rata konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4) dari tahun 1990-2013 yaitu sebesar 17,48 persen dan rata-rata Herfindahl-Hirschman Index (HHI) mencapai 98,74 artinya pasar industri crumb rubber

memiliki konsentrasi yang rendah. Menurunnya nilai CR4 disebabkan karena bertambahnya jumlah perusahaan crumb rubber, sehingga pangsa pasar empat perusahaan terbesar diambil alih oleh perusahaan lain yang mengakibatkan konsentrasi pasar empat perusahaan terbesar semakin menurun. Hal ini menunjukan bahwa kesepakatan antar perusahaan crumb rubber untuk menetapkan harga sangat sulit dilakukan atau tidak mungkin.

Analisis Hambatan Masuk Industri

Menurut Camanous dan Wilson (1967) dalam Alistair (2004), nilai MES yang lebih besar dari 10 persen menggambarkan hambatan masuk yang tinggi pada suatu industri. Nilai MES yang tinggi tersebut dapat menjadi penghalang bagi masuknya perusahaan baru kedalam pasar industri di Indonesia.

Berdasarkan hasil analisis pada Lampiran 1 terlihat bahwa hambatan masuk Indusri crumb rubber di Indonesia termasuk rendah dengan rata-rata nilai MES dari tahun 1990-2013 sebesar 6,48 persen. Rendahnya MES tersebut dapat menjadi peluang masuknya perusahaan baru ke industri crumb rubber di Indonesia. Karena bertambahnya jumlah perusahaan sehingga mengurangi pangsa pasar dari empat perusahaan terbesar (CR4) yang berarti hambatan masuk (barrier of entry) menjadi berkurang.

Analisis Perilaku Industri Crumb Rubber di Indonesia Strategi Harga

Pada industri crumb rubber dimana menurut analisis memiliki struktur pasar tidak terkonsentrasi (unconcentrated), berarti adanya saling ketergantungan dan saling memengaruhi antara satu perusahaan dengan pesaing-pesaing lainnya Perusahaan-perusahaan dalam industri crumb rubber kurang potensial untuk melakukan kolusi, sehingga perusahaan tidak dapat menentukan harga sesuai keinginan mereka karena harus tetap mempertimbangkan kemampuan membeli masyarakat yang masih memiliki kekuatan dalam memengaruhi penetapan harga.

Strategi Produk

Strategi produk yang berkembang adalah strategi produk yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang merupakan standar dasar yang harus dipenuhi oleh setiap produsen sebelum memasarkan produknya ke konsumen. Pada tahun 1960-an standar untuk karet Indonesia telah disusun dan dikenal sebagai SIR (Standar Karet Indonesia), terus ditingkatkan dan direvisi dengan mengacu pada internasional standar yang ditetapkan oleh ISO.Nomor Standar Nasional Indonesia pada crumb rubber adalah SNI 1903;2011. Namun, beberapa produsen karet remah

27 masih menggunakan SNI lama yaitu 06-1903-2000 sebagai standar untuk menggambarkan produk mereka.

Selain itu, strategi produk yang sesuai dengan Standar Internasional yaitu mengolah getah karet menjadi produk crumb rubber atau SIR yang sudah melalui tahapan pengontrolan kualitas pada bagian Quality Control Department, sehingga produk yang dihasilkan memiliki kualitas yang tinggi dibandingkan produk-produk

Crumb Rubber atau SIR pada perusahaan yang lainnya.

Strategi Promosi

Strategi promosi merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan penjualan dengan cara menginformasikan kepada konsumen tentang adanya suatu produk di pasar, sehingga dapat menarik konsumen kepada produk. Pada dasarnya beberapa strategi yang dilakukan oleh industri crumb rubber di antaranya melalui jasa dan keahlian tehnical service dalam mempromosikan produk di media internet.

Analisis Kinerja Industri Crumb Rubber Indonesia

Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menganalisis kinerja industri crumb rubber di Indonesia adalah melalui seberapa besar keuntungan yang diperoleh dalam industri tersebut. Namun karena keterbatasan data yang diperoleh, data keuntungan tersebut tidak dapat dipublikasikan. Oleh karena itu untuk menggantikan data keuntungan perusahaan maka digunakan nilai Price Cost Margin (PCM) sebagai proksi keutungan dari perusahaan crumb rubber. Kinerja industri crumb rubber juga dapat dilihat dari nilai efisiensi internal (X-eff) dan

growth.

Fluktuasi PCM dan X-eff memiliki tren yang cenderung meningkat. Fluktuasi PCM tergolong stabil dengan peningkatan dan penurunan yang tidak terlalu tajam. Peningkatan mulai terlihat dari tahun 1999-2002 dan cenderung stabil. Nilai X-eff pada tahun 2000 sampai tahun 2003 cenderung meningkat, namun pada tahun berikutnya mengalami penurunan sampai tahun 2006. Sementara fluktuasi growth

sangat tajam, dimana peningkatan dan penurunan terjadi secara tajam dari tahun ke Sumber: BPS (diolah)

Gambar 3 Fluktuasi PCM, Growth dan X-eff

-20 0 20 40 60 80 100 120 N il ai (% ) tahun PCM Growth efisiensi

28

tahun. Sehingga variabel growth tidak memiliki tren tertentu dimana peningkatan dan penurunan terjadi secara tajam dari tahun ke tahun.

Berdasarkan hasil analisis pada Lampiran 2 terlihat bahwa pertumbuhan nilai output (growth) terendah bernilai -19,08 persen pada tahun 1999, diduga karena adanya krisis ekonomi pada tahun 1998. Krisis ini membuat perusahaan-perusahaan yang tidak dapat bertahan dalam kondisi krisis akan mengalami kemunduran. Penurunan ini tentunya akan berpengaruh pada menurunnya jumlah output yang dihasilkan industri crumb rubber hingga pertumbuhannya bernilai negatif. Ketiga faktor tersebut dapat disimpulkan bahwa kenerja industri crumb rubber di Indonesia kurang baik.

Hasil Analisis Hubungan antara Struktur dan Faktor-Faktor lain dengan Kinerja industri Crumb Rubber di Indonesia

Indikator Kebaikan Model

Menurut Gujarati (1995) model ekonometrika yang baik harus memenuhi kriteria ekonometrika dan kriteria statistik. Berdasarkan kriteria ekonometrika, model harus sesuai dengan asumsi klasik yang artinya harus terbebas dari gejala multikolinearitas, autokorelasi dan heteroskedastisitas. Kesesuaian model dengan kriteria statistik dilihat dari hasil uji koefisien determinasi (R2), uji F dan uji t.

Berdasarkan kriteria statistik pada Lampiran 4 diperoleh nilai koefisien determinasi atau nilai R-squared sebesar 91,3 persen yang artinya 91,3 persen keragaman PCM sebagai variabel dependent pada industri crumb rubber dapat dijelaskan oleh variabel independent pada model yang terdiri dari X-eff, Growth,

Herfindahl-Hirschman Index (HHI), Produktivitas dan Ekspor. Selain itu, sisa dari nilai koefisien determinasi sebesar 8,7 persen dijelaskan oleh variabel lain diluar model.

Uji F

Kriteria statistik yang dipakai yaitu uji F dan taraf nyata yang digunakan adalah 0,05 (lima persen). Nilai probabilitas F-statistik yang dihasilkan pada Lampiran 4sebesar 0,00 yang lebih kecil dari taraf nyata 0,05 (lima persen), artinya minimal ada satu variabel independen yang berpengaruh nyata terhadap variabel dependen sehingga model tersebut layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi.

Uji t

Hasil uji t dapat dilihat dari nilai probabilitas masing-masing variabel independennya yaitu X-eff, growth, Herfindahl-Hirschman Index (HHI), produktivitas dan ekspor. Variabel HHI memiliki nilai probabilitas sebesar 0,52 yang nilainya lebih besar dari taraf nyata 0.05 (lima persen), artinya variabel HHI tidak berpengaruh nyata terhadap PCM. Variabel growth memiliki nilai probabilitas

29 sebesar 0,43 yang nilainya lebih besar dari taraf nyata 0,05 (lima persen), artinya variabel growth tidak berpengaruh nyata terhadap PCM. Variabel ekspor memiliki nilai probabilitas sebesar 0,52. Sementara nilai variabel X-eff dan Produktivitas memiliki nilai probabilitas masing-masing sebesar 0,00, yang nilainya lebih kecil dari taraf nyata lima persen sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap PCM, nilai probabilitas masing-masing variabel dapat dilihat pada Lampiran 4.

Uji Normalitas

Hasil uji normalitas didapatkan hasil bahwa probabilitas Jaque Bera lebih besar daripada taraf nyata yang digunakan (5,26 > 0,05). Berdasarkan hasil tersebut maka sudah cukup bukti untuk menerima H0 yang artinya residual dalam model sudah menyebar normal, hasil uji normalitas dapat dilihat padaLampiran 5.

Uji Autokorelasi

Mendeteksi autokorelasi dapat dilakukan dengan menggunakan uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test dengan ketentuan nilai probabilitas Obs*R Squared harus lebih besar dari taraf nyata (0,05 persen) untuk membuktikan tidak adanya gejala autokorelasi pada model. Hasil pengolahan didapatkan nilai

probability Obs*R-Squared adalah sebesar 0,96. Nilai taraf nyata yang digunakan adalah 5 persen. Sehingga dapat diambil kesimpulan dengan melihat nilai

probability Obs*R-Squared yang lebih besar dari taraf nyata maka model yang dirumuskan tidak mengandung autokorelasi. Hasil uji autokorelasi dapat dilihat pada Lampiran 4.

Uji Heteroskedastisitas

Pengujian heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji White

dengan ketentuan probability Obs*R-Squared harus lebih besar dari taraf nyatanya untuk membuktikan tidak adanya variabel pengganggu yang memiliki varians sama pada model. Dari hasil uji yang telah dilakukan diketahui bahwa nilai probability Obs*R-Squared lebih besar dari taraf nyata 5 persen yaitu 0,31. Artinya model yang dirumuskan pada penelitian ini tidak mengalami gejala heteroskedastisitas dapat dilihat pada Lampiran 4.

Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas muncul apabila di antara masing-masing variabel independen saling berhubungan secara linear. Uji multikolinearitas dilakukan dengan melihat koefisien kolerasi antar variabel eksogen yang terdapat pada matriks kolerasi. Suatu model tidak mengandung gejala multikolinieritas apabila nilai mutlak koefisien korelasi antar variabel eksogen lebih besar dari 0.8.

30

Berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada Lampiran 6 dalam model regresi tidak ditemukan adanya gejala multikolinearitas hal ini dapat dilihat tidak adanya nilai antar variabel eksogen yang nilainya lebih besar dari 8.0 artinya tidak terdapat hubungan kausalitas pada variabel-variabel bebasnya.

Interpretasi Model

Hasil regresi menunjukan bahwa terdapat dua dari lima variabel independen yang berpengaruh nyata terhadap PCM dengan taraf nyata 0,05 (lima persen). Variabel tersebut adalah X-eff dan produktivitas, dengan nilai koefisien masing-masing sebesar 0,00. Variabel independen yang tidak berpengaruh nyata terhadap PCM adalah variabel Herfindahl-Hirschman Index (HHI), growth dan ekspor dengan nilai probabilitas masing- masing sebesar 0,52, 0,43 dan 0,52 (Lampiran 4).

Hasil regresi tersebut juga menunjukan bahwa variabel X-eff, growth dan produktivitas berpengaruh positif, sedangkan variabel ekspor dan Herfindahl-Hirschman Index (HHI) berpengaruh negatif terhadap tingkat keuntungan (PCM) industri crumb rubber. Sehingga, didapatkan model PCM dengan persamaan regresi sebagai berikut:

PCM = - 25,15 + 0,59 X-eff + 0,02 Growth – 0,005 HHI + 7,01 Produktivitas – 0,01 Ekspor.

Variabel yang mempunyai pengaruh terbesar dalam meningkatkan kinerja (PCM) adalah produktivitas (Prod) dan efisiensi-X (X-eff). Sementara variabel

Herfindahl-Hirschman Index (HHI), pertumbuhan nilai output (Growth) dan ekspor (Ex) tidak signifikan terhadap peningkatan keuntungan pada industri crumb rubber.

Koefisien variabel HHI sebesar -0,005 dan tidak signifikan terhadap peningkatan PCM pada taraf nyata lima persen (α = 0,05), menunjukan bahwa setiap peningkatan HHI sebesar satu persen, maka tingkat keuntungan yang

Dokumen terkait