• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kandungan Zat Ekstraktif

Kandungan zat ekstraktif dari pohon faloak pada penelitian ini diperoleh melalui metode maserasi bertingkat menggunakan aseton sebagai pelarut awal, dan dilanjutkan dengan fraksinasi secara bertingkat mulai dari heksan, dietil eter, dan etil asetat. Maserasi dengan menggunakan aseton dapat mengekstraksi senyawa polar, semi polar maupun senyawa non polar. Hal ini disebabkan sifat dari aseton itu sendiri sebagai pelarut semi polar yang tidak hanya mengekstraksi komponen polar, tetapi juga komponen semi polar dan non polar. Berdasarkan sifat tersebut, maka aseton digolongkan ke dalam pelarut standar untuk mengekstraksi komponen zat ekstraktif kayu yang direkomendasikan oleh CPPA dan ISO untuk pengujian yang berhubungan dengan pengujian metode uji TAPPI (Stenius 2000).

Table 1. Kandungan zat ekstraktif dari ekstrak aseton kulit, daun, dan biji faloak

Jenis Fraksi

Kandungan Zat Ekstraktif

Kulit Daun Biji

Berat (g) Rendemen (%) Berat (g) Rendemen (%) Berat (g) Rendemen (%) Heksan 8,51 0,47 37,59 2,07 46,14 2,55 Dietil eter 2,50 0,14 4,59 0,25 2,52 0,14 Etil asetat 17, 95 0,98 9,55 0,52 9,83 0,54 Residu 20,51 1,12 16,70 0,92 20,31 1,12 Aseton (Jml) 49,47 2,71 68,43 3,76 78,80 4,35

Hasil pengukuran rendemen masing-masing sampel (Lampiran 3), baik zat ekstraktif aseton kulit, zat ekstraktif aseton daun maupun zat ekstraktif aseton biji faloak pada penelitian ini, menunjukkan persentase kandungan zat ekstraktif yang berbeda pada kondisi berat kering sampel dengan kadar air yang berbeda pula. Tabel 1 menunjukkan bahwa kandungan zat ekstraktif yang terdapat

pada biji lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan zat ekstraktif kulit dan daun.

Perbedaan jumlah zat ekstraktif yang diperoleh dari hasil ekstraksi sangat ditentukan oleh sifat pelarut dan komposisi senyawa yang terkandung dalam bahan baku. Hal ini terbukti bahwa kandungan zat ekstraktif dalam biji adalah yang tertinggi diantara zat ekstraktif daun dan kulit faloak. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian lanjutan terhadap penggunaan pelarut yang sesuai untuk memperoleh kemungkinan jumlah zat ekstraktif yang lebih tinggi.

Houghton dan Raman (1998), menguraikan bahwa pelarut non polar akan secara selektif mengekstraksi senyawa kelompok lipofilik, demikian pula pelarut semi polar akan mengekstraksi sejumlah senyawa polar. Tabel 1 memperlihatkan bahwa zat ekstraktif biji dan daun faloak pada fraksi heksan lebih tinggi dibandingkan zat ekstraktif fraksi semi polar. Hasil ini memperlihatkan bahwa biji dan daun faloak lebih dominan mengandung senyawa lipofilik daripada senyawa hidrofilik, sedangkan kulit lebih dominan mengandung senyawa hidrofilik.

Hasil Uji Fitokimia

Uji fitokimia merupakan metode umum yang dilakukan untuk mendeteksi adanya senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam suatu tumbuhan. Metode ini sangat bermanfaat dalam menentukan golongan utama dari senyawa aktif zat ekstraktif kulit, daun dan biji faloak yang memiliki senyawa yang bersifat antimikroba. Tabel 2 menunjukkan bahwa zat ekstraktif aseton biji faloak lebih banyak mengandung senyawa metabolit sekunder dibandingkan dengan zat ekstraktif aseton dari daun dan kulit pohon faloak.

Senyawa metabolit sekunder yang terkandung di dalam biji memiliki jenis senyawa utama alkaloid, steroid, dan triterpenoid. Senyawa utama yang terdapat di dalam ekstrak aseton kulit hanya mengandung saponin yang tinggi dan sedikit triterpenoid. Berbeda dengan zat ekstraktif aseton kulit dan biji, zat ekstraktif aseton daun meskipun hanya mengandung steroid, namun tergolong positif kuat (positif +++).

Tabel 2. Hasil analisis fitokimia zat ekstraktif aseton kulit, biji, dan daun faloak Jenis zat

ekstraktif

Senyawa Metabolit Sekunder

Alkaloid Flavonoid Steroid Triterpenoid Fenolik Saponin

Kulit - - - + - +++

Biji +++ - +++ +++ + -

Daun - - +++ - + -

Keterangan: (-) = Tidak Terdeteksi; (+) = Positif lemah; (++) = Positif; (+++) = Positif Kuat.

Secara umum zat ekstraktif yang mengandung steroid, alkaloid, tanin, polifenol pada level yang tinggi (positif kuat), memiliki aktivitas antimikroba yang cukup tinggi pula. Anjaneyulu et al. (2010), melaporkan bahwa zat ekstraktif dari kulit Acacia leucophloea L. pada kosentrasi MIC 25 mg/ml dapat menghambat pertumbuhan beberapa bakteri patogen pada diameter zona hambat 6

– 9 mm. Paiva (2010), dan Coolborn dan Bolatito (2010), melaporkan bahwa zat ekstraktif yang bersumber dari tumbuhan yang mengandung senyawa metabolit sekunder seperti steroid, alkaloid, tanin, polifenol dapat menghambat pertumbuhan sejumlah mikroba patogen. Berdasarkan hal tersebut, zat ekstraktif aseton kulit, daun, dan biji berpotensi sebagai antimikroba.

Aktivitas Antimikroba

Hasil uji tapis untuk mengetahui kemampuan antimikroba menunjukkan bahwa zat ekstraktif kulit , daun dan biji faloak serta fraksi-fraksinya menghasilkan berbagai tingkatan zona hambat (mm) yang dibentuk, bahkan beberapa fraksi tidak membentuk zona hambat. Zona hambat (mm) yang dibentuk oleh zat ekstraktif kulit , daun, dan biji faloak disajikan pada Tabel 3, 4 dan 5.

Fraksi aseton, dietil eter, etil asetat dan residu (fraksi polar) dari zat ekstraktif kulit pohon faloak memiliki sifat antimikroba terhadap bakteri S. aureus, S. agalactiae dan B. cereus, dan hanya fraksi heksan yang dapat menghambat pertumbuhan B. cereus (Tabel 3). Dari keempatnya, fraksi dietil eter menunjukkan hasil yang sangat baik karena mampu menghambat pertumbuhan bakteri dengan diameter zona hambat dari 14,67-17,00 mm. Hanya fraksi aseton

dan dietil eter saja yang menghambat pertumbuhan S. typhii dan E. coli. Fraksi dietil eter memberikan hasil penghambatan yang lebih baik dibandingkan fraksi aseton. C. albicans hanya mampu dihambat oleh fraksi aseton dengan diameter zona hambat yang relatif rendah.

Tabel 3.Pembentukan zona hambat hasil uji tapis aktivitas antimikroba zat ekstraktif dari kulit pohon faloak (ukuran dalam millimeter).

Mikroba yang diuji

Fraksi Kontrol Aseton Heksan Dietil eter asetat Etil Residu Negatif Positif

S. typhii 7,00 - 10,00 - - - 28,00 E. coli 8,50 - 11,33 - 10,33 - 31,67 S. aureus 15,17 - 16,17 14,67 13,33 - 29,00 B. cereus 16,17 10,67 17,00 15,33 13,33 - 29,00 S. agalactiae 7,00 - 14,67 11,33 13,33 - 34,00 C. albicans 7,00 - - - 30,67

Data dalam Tabel 4 menunjukkan bahwa seluruh fraksi zat ekstraktif dari daun faloak mampu menghambat pertumbuhan B. cereus dengan kisaran diameter zona hambat 7–13 mm, sedangkan S. aureus hanya mampu dihambat oleh fraksi etil asetat dan residu (fraksi polar). Hanya fraksi aseton dan fraksi etil asetat yang mampu menghambat S. typhii dan E. coli. Fraksi etil asetat memberikan hasil zona hambat yang lebih baik dibandingkan aseton. Seluruh fraksi dari zat ekstraktif daun faloak tidak mampu menghambat pertumbuhan C. albicans.

Tabel 4. Pembentukan zona hambat hasil uji tapis aktivitas antimikroba zat ekstraktif dari daun pohon faloak (ukuran dalam millimeter)

Mikroba yang diuji

Fraksi Kontrol Aseton Heksan Dietil eter asetat Etil Residu Negatif Negatif

S. typhii - - - 9,00 - - 28,00 E. coli 9,33 - - 9,00 - - 31,67 S. aureus - - - 9,00 10,33 - 29,00 B. cereus 10,00 13,00 7,00 7,00 10,33 - 29,00 S. agalactiae - - - 34,00 C. albicans - - - 30,67

Dari data dalam Tabel 5 menunjukkan bahwa hanya fraksi dietil eter dari zat ekstraktif biji faloak yang memberikan hasil zona hambat yang baik. Fraksi ini mampu menghambat seluruh bakteri dan cendawan yang digunakan dalam penelitian ini. Fraksi aseton hanya mampu menghambat pertumbuhan bakteri B. cereus dan S. aureus. Fraksi heksan hanya mampu menghambat pertumbuhan bakteri B. cereus.

Tabel 5. Pembentukan zona hambat hasil uji tapis aktivitas antimikroba zat ekstraktif dari biji pohon faloak (ukuran dalam millimeter)

Mikroba yang diuji

Fraksi Kontrol Aseton Hexan Dietil eter asetat Etil Residu Negatif Positif

S. typhii - - 9,33 - - - 28,00 E. coli - - 16,33 - - - 31,67 S. aureus 8,33 - 16,67 - - - 29,00 B. cereus 9,67 10,67 22,33 - - - 29,00 S. agalactiae - - 22,67 - - - 34,00 C. albicans - - 14,33 - - - 30,67

Diameter zona hambat yang dibentuk pada umumnya sangat dipengaruhi oleh kemampuan zat ekstraktif berdifusi, keberadaan senyawa yang terdapat dalam zat ekstraktif, kandungan zat ekstraktif yang digunakan, serta tingkat ketahanan mikroba terhadap zat ekstraktif yang diterima. Berdasarkan hasil uji fitokimia, jenis senyawa metabolit sekunder dalam zat ekstraktif aseton biji faloak lebih banyak daripada daun dan kulit faloak. Hasil uji aktivitas antimikroba dari ketiga jenis zat ekstraktif beserta fraksi-fraksinya juga memperlihatkan bahwa fraksi dietil eter biji memberikan hasil yang lebih baik dengan spektrum zona hambat yang lebih luas. Oleh karena itu, fraksi dietil eter biji akan dipakai untuk uji penentuan MIC/MFC yang didahului dengan fraksinasi dan isolasi melalui KLT dan KK, sehingga diperoleh sub fraksi teraktif.

Penentuan MIC dan MFC

Zat ekstraktif yang digunakan untuk mengukur nilai MIC dan MFC adalah zat ekstraktif biji fraksi dietil eter yang telah difraksinasi dan diisolasi dengan KLT dan KK. Nilai MIC dari sub fraksi dimaksud sebagaimana tertera pada Tabel 6, dan nilai MFC seperti yang ditampilkan pada Tabel 7 dan selengkapnya tertuang pada Lampiran dan 6.

Tabel 6. Nilai MIC (mg/mL) zat ekstraktif dietil eter biji Sterculia comosa Wallich.

Bakteri Sub Fraksi Dietil Eter Biji

DE 1 DE 2 DE 3 DE 4 DE 5 DE 6 DE 7 DE 8 CL E. coli > 16 > 1 > 16 > 16 > 16 > 16 16 > 16 2 S. typhi > 16 1 > 16 > 16 > 16 > 16 16 > 16 0,5 B. cereus 8 0,5 8 8 8 8 4 8 2 S. aureus >16 0,25 8 8 8 8 8 8 4 S. agalactiae 8 0,0625 1 2 2 8 4 4 8

Keterangan: DE = Sub fraksi dietil eter biji (sub fraksi 1 – 8)

CL = Cloramfenikol untuk bakteri

Zat ekstraktif dari biji pohon faloak memiliki spektrum hambatan yang cukup luas karena semua mikroba uji yang digunakan di dalam penelitian ini terhambat pertumbuhannya, walaupun dengan kadar MIC yang sangat beragam (Tabel 6). Zat ekstraktif biji pohon faloak lebih berpotensi menghambat pertumbuhan bakteri B. cereus, S. aureus dan S. agalactiae. Sub fraksi DE2 memiliki kemampuan menghambat bakteri S. agalactiae lebih baik karena MIC yang dihasilkan hanya berkisar pada 0,0625 - 0,5 mg/mL.

Hasil yang sedikit berbeda diperoleh bila menggunakan bakteri E. coli dan S. typhii. Zat ekstraktif dietil eter biji pohon faloak menghambat pertumbuhan kedua bakteri tersebut dengan nilai MIC yang lebih besar dibandingkan untuk menghambat ketiga bakteri negatif Gram yang digunakan. Nilai MIC dari zat ekstraktif biji faloak yang diperoleh dari hasil uji terhadap negatif Gram pun

beragam. Nilai MIC yang dihasilkan dari uji zat ekstraktif dietil eter biji terhadap bakteri E. coli lebih besar daripada nilai MIC yang dihasilkan terhadap bakteri S. typhii.

Ada perbedaan komposisi komponen dinding sel antara bakteri negatif Gram dan positif gram. Walaupun dinding sel bakteri positif Gram memiliki lapisan peptidoglikan yang lebih tebal dibandingkan lapisan yang sama di dinding sel bakteri negatif Gram, tetapi komposisi penyusun dinding sel bakteri negatif Gram lebih beragam seperti yang digambarkan dalam skema pada Gambar 5 di bawah ini.

Sumber: Alvin Fox, 2009

Gambar 5. Diagram ilustrasi dinding sel bakteri positif Gram dan negatif Gram. Kepekaan bakteri dalam menanggapi penetrasi senyawa aktif dari sub fraksi- sub fraksi dietil eter yang dihadapinya sangat tergantung pada kemampuan senyawa aktif berpenetrasi terhadap dinding sel bakteri (berhubungan dengan tingkat toksisitas senyawa bioaktif), konsentrasi zat ekstraktif yang digunakan, jenis bakteri, serta tingkat resistensi bakteri terhadap senyawa bioaktif yang diterima. Pada umumnya, bakteri positif Gram lebih peka terhadap antibiotik daripada negatif Gram. Struktur dinding sel bakteri negatif Gram yang dilapisi membran luar, peptidoglikan, ruang plasma, dan membran plasma, sedangkan bakteri positif Gram hanya dilapisi oleh peptidoglikan dan membran plasma (Gambar 8). Hal ini yang menyebabkan bakteri negatif Gram lebih resisten

Dinding Sel Bakteri Positif Gram

Dinding Sel Bakteri Negatif Gram Positif Gram Positif Gram Membran Luar Peptidoglikan Ruang Periplasma Peptidoglikan Membran Sitoplasma Membran Sitoplasma Lipopolisakarida

Asam Lipoteikoat Peptidoglikan - asam teikoat

M e m b ra n Lu a r

dibandingkan dengan positif gram, sehingga untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri negatif Gram membutuhkan antibiotik yang tingkat toksisitasnya lebih tinggi, dan volume yang lebih banyak. Diharapkan sebagian antibiotik dapat menembus dinding sel dan menghambat sintesis protein dalam rangka mengganggu struktur dan fungsi molecular membran sel (Pelczar dan Chan 2009).

Hal yang menarik terlihat pada hasil percobaan terhadap cendawan C. albicans (Tabel 7). Delapan sub fraksi zat ekstraktif yang digunakan memberikan daya hambat pertumbuhan C. albicans yang berbeda. Hasil yang sangat berbeda bila dibandingkan dengan hasil yang dilakukan terhadap bakteri. Hanya ada satu sub fraksi yang memiliki nilai MFC lebih dari 16 mg/mL, yakni sub fraksi DE4. Dua sub fraksi , yaitu DE6 dan DE7, memiliki nilai MIC dan MFC yang paling kecil, yakni nilai MIC sebesar 0,25 mg/mL dan nilai MFC sebesar 0,5 mg/mL. Komposisi dinding sel C. albicans berbeda dengan dinding sel bakteri. Dinding sel C. albicans terdiri dari tiga bagian besar yaitu 1) senyawa β (1-3) glukan (bagian paling dalam dari dinding sel), 2) senyawa α (1-6) manan (bagian paling dalam dari dinding sel), dan 3) senyawa lipid yang terdapat pada lapisan permukaan bagian dalam dinding sel (Gandjar 2006).

Tabel 7. MIC dan MFC sub fraksi dietil eter biji faloak terhadap cendawan C. albicans

No Sub fraksi MIC MFC

1 DE 1 1 2 2 DE 2 0,5 1 3 DE 3 2 4 4 DE 4 16 >16 5 DE 5 1 2 6 DE 6 0,25 0,5 7 DE 7 0,25 0,5 8 DE 8 1 2 9 KK 0,25 0,5

Keterangan: DE = Sub fraksi dietil eter biji (sub fraksi 1 – 8)

Kepekaan dari cendawan C albicans terhadap zat ekstraktif dietil eter biji faloak sangat tergantung pada kemampuan senyawa aktif berpenetrasi terhadap dinding sel cendawan (berhubungan dengan tingkat toksisitas senyawa aktif), konsentrasi zat ekstraktif yang digunakan, jenis cendawan, serta tingkat resistensi cendawan terhadap senyawa aktif yang diterima. Untuk dapat menghambat pertumbuhan C. albicans, senyawa aktif harus mampu; 1) merusak sistem manan yakni merusak ikatan antara manan dengan protein dan fosfat (manan paling luar), 2) merusak sistem glukan yakni merusak jaringan mikrofibril sehingga sistem pertahanan bentuk sel cendawan tergganggu, dan 3) merusak sistem senyawa lipid yang berfungsi mencegah kekeringan (Gandjar 2006).

Bakteri negatif Gram dan positif gram lebih sensitif terhadap sub fraksi DE2, sedangkan C. albicans lebih sensitif terhadap sub fraksi DE6 dan DE7. Meskipun sub fraksi DE6 memiliki nilai MIC dan MFC yang sama dengan subfraksi DE7, dan sub fraksi DE2 lebih aktif terhadap bakteri, namun hanya sub fraksi DE7 yang diidentifikasi dengan FT-IR, LC-MS, dan NMR. Subfraksi DE7 diuji lebih lanjut karena subfraksi ini lebih potensial sebagai sub fraksi yang memiliki sifat anti cendawan dan aktivitas antibakteri yang tinggi. Teridentifikasinya senyawa yang terdapat dalam zat ekstraktif biji faloak, diharapkan dapat mendukung penggunaan faloak oleh masyarakat selama ini sebagai obat penyakit-penyakit yang disebabkan oleh cendawan C. albicans seperti keputihan, peluruh haid, peluruh sisa-sisa kotoran, pemulih stamina setelah melahirkan, dan penyakit lainnya.

Identifikasi Senyawa

Identifikasi senyawa yang terkandung dalam sub fraksi DE7 dilakukan dengan menggunakan alat bantu berdasarkan spektrum inframerah FT-IR, LC-MS dan NMR proton dan karbon untuk mengetahui gugus fungsi, bobot molekul, dan struktur senyawa yang ada di dalam sub fraksi . Spektrum infra merah dari sub fraksi DE7 terpapar pada Gambar 6 di bawah ini.

Gambar 6. Spektrum IR dari sub fraksi DE7.

Spektrum FT-IR dari sub fraksi DE7 zat ekstraktif biji faloak menunjukkan adanya pita serapan pada bilangan gelombang 3099,61 cm-1 – 3298,28 cm-1, 2854,65 cm-1 – 2927,94 cm-1 , 2601,97 – 2650,19 cm-1, 1720,50 cm-1. Serapan yang dihasilkan pada bilangan 3099,61 cm-1 – 3298,28 cm-1 menunjukkan adanya gugus O-H, adanya serapan bilangan gelombang 2854,65 cm-1 – 2927,94 cm-1 menunjukkan adanya gugus H-C-H, serapan pada bilangan 2601,97 – 2650,19 cm-1 menunjukkan adanya gugus C-H, sedangkan gugus C=O ditunjukkan oleh adanya serapan pada 1720,50 cm-1. Gugus – gugus fungsi berdasarkan hasil FT-IR ini menegaskan bahwa senyawa tersebut merupakan golongan senyawa asam lemak, yang diperkuat oleh adanya gugus CH2 pada serapan bilangan gelombang 2854,65 cm-1 – 2927,94 cm-1 yang menggambarkan adanya golongan alifatik.

Gambar 7. Kromatogram LC-MS sub fraksi DE7.

Hasil kromatografi LC-MS sub fraksi DE7 dengan menggunakan eluen methanol : air (9:1) menampilkan beberapa puncak dengan berat molekul yang berbeda. Meskipun demikian, sebagaimana yang ditampilkan pada Gambar 7 diperoleh satu puncak yang dominan, yang teridentifikasi memiliki berat molekul 300 (m/z) dengan waktu retensi 3,4 menit.

Hasil pengukuran Proton NMR yang ditampilkan Tabel 8 serta didukung oleh hasil estimasi menggunakan ChemDraw menunjukkan nilai pergeseran Proton (-H) dengan adanya puncak-puncak pergeseran 0,8529 – 4,1397 ppm yang teridentifikasi dengan ChemDraw pada pergeseran 0,88 – 4,81 ppm. Sebagai pergeseran Proton terdapat puncak-puncak yang menunjukkan bahwa pada pergeseran 0,8529 – 0,8658 ppm sebagai pergeseran Proton gugus metil (CH3), adanya gugus karboksilat (C-OH) pada pergeseran 3,6857 – 4,1397 ppm, dan adanya gugus hidroksi (-OH) pada pergeseran 1,1810 – 2,7064 ppm.

0 4 8 12 16 20

Retention Time (Min)

0 589.1 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 % I n ten si ty BPI=>NR(2.00)=>SM3 T3.4 99.0 319.2 539.4 759.6 979.8 1200.0 Mass (m/z) 0 639.5 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 % I n ten si ty

Mariner Spec /69:70 (T /3.38:3.43) -58:61 (T -3.38:3.43) ASC=>NR(5.00)[BP = 300.3, 639] 300.25 301.24 245.29 322.20 598.84 285.24 387.15 526.90 622.57 213.30 697.27 768.33

Tabel 8. Nilai pengukuran H-NMR, C-NMR dan nilai pendugaan berdasarkan interpretasi menggunakan ChemDraw.

No H-NMR C-NMR

Hasil Pengukuran (ppm)

Chem Draw Hasil Pengukuran (ppm) Chem Draw 1 4,1397 4,81 179,3461 176,2 2 2,2589 2,52 ; 2,27 46,3151 44,8 3 3,6857 3,54 65,1056 67,5 4 1,6039 1,44 34,1728 34,5 5 1,2809 1,25 24,7681 25,1 6 1,2809 1,25 29,8138 29,9 7 1,2809 1,29 29,4799 29,6 8 1,2809 1,26 29,4799 29,6 9 1,2809 1,26 29,4799 29,6 10 1,2809 1,26 29,4799 29,6 11 1,2809 1,26 29,4799 29,6 12 1,2809 1,26 29,4799 29,6 13 1,2809 1,26 29,4799 29,6 14 1,2809 1,26 29,4799 29,6 15 1,2809 1,29 29,4799 29,3 16 1,2809 1,29 32,0457 31,8 17 1,2809 1,31 22,8126 22,7 18 0,8658 0,88 14,2472 14,1

Spektrum Karbon NMR yang disajikan pada Tabel 8 menunjukkan pergeseran Karbon NMR (13C) yang secara lengkap disajikan pada Lampiran 8, bahwa terdapat tiga kelompok gugus utama mulai dari pergeseran 14,2472 – 179,3461 ppm. Nilai pergeseran pada 14,2472 – 34,1728 ppm menunjukkan adanya gugus metil (CH3), dan gugus hidroksi (-OH) ditunjukan oleh nilai pergeseran pada 63,4173 – 71,1624 ppm.

Berdasarkan hasil pengukuran H-NMR dan C-NMR, diduga bahwa senyawa tersebut merupakan turunan asam lemak yang terhidroksilasi (hidroksi –OH). Hal ini didukung pula oleh hasil pengukuran LC-MS, bahwa senyawa tersebut mempunyai berat molekul 300 (m/z). Di samping itu adanya gugus hidroksi dan gugus karboksilat berdasarkan hasil pengukuran spektrum FT-IR semakin memperkuat pendugaan bahwa senyawa tersebut merupakan turunan asam lemak yang terhidroksilasi (hidroksi –OH). Dengan demikian diduga senyawa tersebut adalah 3-hydroxyoctadecanoic acid. Hasil prediksi tersebut didukung dengan nilai pergeseran kimia hasil prediksi menggunakan ChemDraw, maka struktur senyawa yang memiliki berat molekul 300 (m/z), diidentifikasi sebagai senyawa 3- hydroxyoctadecanoic acid.

O OH

OH

3-hydroxyoctadecanoic acid

Gambar 8. Struktur molekul senyawa 3-hydroxyoctadecanoic acid.

Senyawa 3-hydroxyoctadecanoic acid (C18H36O3) seperti yang ditampilkan pada Gambar 8 telah diisolasi sebelumnya dari zat ekstraktif bunga Hypericum lysimachioides var. lysimachioides. Spesies ini adalah salah satu flora yang tumbuh di Turki yang banyak digunakan sebagai obat untuk menyembuhkan luka, antigastritis, efek antiseptik, memiliki aktivitas anti depresi, anti kanker dan antimikroba. Selain terdapat dalam Hypericum lysimachioides var. lysimachioides, senyawa 3-hydroxyoctadecanoic acid juga merupakan bagian penting dari lipid mikroba. Senyawa ini telah digunakan secara luas sebagai salah satu senyawa penciri untuk membantu karakterisasi bakteri negatif Gram dan positif gram. Senyawa ini merupakan salah satu komponen penyusun membran sitoplasma (Özen et al. 2004).

Teridentifikasinya senyawa 3-hydroxyoctadecanoic acid yang terdapat dalam zat ekstraktif sub fraksi DE 7 dari biji faloak, serta didukung oleh hasil uji MIC dan MFC yang ditampilkan pada Tabel 6 dan Tabel 7, mengindikasikan

bahwa senyawa 3-hydroxyoctadecanoic acid adalah senyawa yang berperan dalam menghambat pertumbuhan bakteri dan cendawan. Hal ini menunjukkan

bahwa biji faloak “berpotensi” digunakan sebagai sumber obat untuk mencegah

dan mengobati penyakit, antara lain: 1) penyakit yang disebabkan oleh C. albicans, seperti; kandidiasis (penyakit yang terjadi pada selaput lendir, mulut, vagina dan saluran pencernaan), infeksi yang menyerang jantung (endokarditis), pneumonia, septisemia (darah); 2) penyakit yang disebabkan oleh bakteri, seperti: disentri, gagal ginjal, diare dan diare dengan tinja berdarah, gastroenteritis (mual, muntah, buang air besar secara terus menerus), tipus (demam tifoid), sacroirilitis (peradangan sendi penghubung tulang belakang dengan panggul), tekanan darah, gangguan fungsi hati.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pohon faloak (Sterculia comosa Wallich) memiliki kandungan zat ekstraktif yang penyebarannya dalam setiap bagian pohon sangat beragam. Persentase kandungan zat ekstraktif dalam kulit dan daun lebih kecil daripada dalam biji. Dalam zat ekstraktif biji faloak, walaupun hanya sebagian kecil saja yang berperan sebagai antimikroba, tetapi memiliki sifat antimikroba sangat tinggi terhadap bakteri E. coli, S. typhii, S. aureus, B. cereus, S. agalactiae dan cendawan C. albicans.

Berdasarkan hasil identifikasi dengan menggunakan NMR proton, FT-IR, dan LC-MS menunjukkan bahwa sub fraksi DE7 fraksi dietil eter biji mengandung senyawa turunan asam lemak yang terhidroksilasi (hidroksi -OH), yaitu 3-hydroxyoctadecanoic acid.

Saran

Mengingat faloak memiliki keunggulan sebagai obat serta didukung oleh kemampuannya untuk bertumbuh dan berkembang dengan baik pada lahan kritis dengan kondisi wilayah beriklim kering, tanah berbatu, serta tergolong jenis evergreen, maka perlu pertimbangan pemerintah dan para pihak untuk:

1. Menjadikan pohon ini sebagai tumbuhan konservasi lahan kritis khususnya pada kondisi wilayah beriklim kering seperti NTT.

2. Kajian serta pendekatan silvikultur untuk pengembangan budidaya pohon faloak.

3. Menjadikan faloak sebagai salah satu sumber pendapatan masyarakat. Penelitian lanjutan dibutuhkan dalam rangka :

1. Mengidentifikasi struktur molekul, dan gugus fungsi senyawa yang terkandung dalam sub fraksi DE2 fraksi dietil eter biji.

2. Menguji dan mengidentifikasi kandungan alkaloid, triterpenoid dan steroid, dan saponin yang terdapat dalam kulit, biji, dan daun faloak yang banyak dilaporkan sebagai penghambat pertumbuhan kanker, antibiotik, menurunkan kolesterol, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, dan meningkatkan stamina.

Dokumen terkait