• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Koleksi dan Identifikasi Serangga Uji

Serangga uji dari lapangan yang diidentifikasi memiliki ciri morfologi yang sama berdasarkan Sartiami dan Mound (2013). Menurut kunci identifikasi, thrips ini termasuk ordo Thysanoptera famili Thripidae yang merupakan spesies Thrips parvispinus. Serangga dewasa berukuran sangat kecil, dengan panjang tubuh lebih kurang 1 mm, bewarna kuning pucat hingga coklat kehitaman, bagian kepala dan thoraks terlihat lebih pucat dibandingkan dengan abdomen, abdomen berbentuk kerucut dan berwarna gelap (gambar 7).

Gambar 7 Imago T. parvispinus pada perbesaran 40 kali

T. parvispinus memiliki antena yang terdiri atas 7 segmen dimana pada ruas kedua dan ketiga terdapat organ sensori yang berbentuk kerucut bercabang seperti garpu (gambar 8). Pada bagian kepala terlihat mata majemuk yang berukuran besar dan oseli yang memiliki pigmen berwarna merah. Tidak memiliki seta oseli 1 dan seta oseli 2 lebih pendek daripada seta oseli 3. Seta oseli 3 terdapat di bagian pinggir bagian depan segitiga oseli (gambar 9). Alat mulut terdiri atas satu mandibel bagian kiri sementara mandibel bagian kanan tereduksi, sepasang maksila yang berkembang dengan baik, labrum di depan dan labium di belakangnya.

19

Gambar 9 Kepala T. parvispinus pada perbesaran 40 kali

Pada bagian toraks, terdapat 2 pasang seta posteroangular yang panjang dan 3 pasang seta posteromarginal. Metanotum memiliki pola retikulasi seperti kotak yang berukuran sama, tidak terdapat sensila kampaniform dan memiliki mesofurka dengan spinula. Sayap thrips berumbai dengan warna gelap agak transparan, memiliki panjang sayap lebih dari setengah panjang abdomen. Pada sayap depan venasi pertama dan kedua terdapat deretan seta yang lengkap. Sayap T. parvispinus (gambar 10).

Gambar 10 Sayap T. parvispinus pada perbesaran 200 kali

Abdomen terdiri dari 11 segmen, pada tergit 8 tidak terdapat comb (deretan mikrotrikhia). Pada bagian sisi tergit 5 sampai 8 terdapat ctenidia dan pada tergit 8 ctenidia terletak di belakang spirakel (gambar 11).

20

Uji Pendahuluan

Perlakuan fosfin cair pada uji pendahuluan tahap pertama menunjukkan bahwa semua serangga uji mengalami kematian sebesar 100% pada seluruh perlakuan (Lampiran 1). Untuk itu pada uji pendahuluan tahap kedua ditentukan waktu papar yang tercepat yaitu 1 jam dengan konsentrasi yang lebih rendah dari 200 ppm. Hasil pengujian pada tahap kedua disajikan pada tabel 2.

Tabel 2 Persentase mortalitas T. parvispinus pada perlakuan beberapa konsentrasi fosfin cair yang dipaparkan 1 jam

Konsentrasi fosfin (ppm) Mortalitas ±SDa (%) 175 98.7 ± 2.3 a 125 90.7 ± 2.3 b 75 68.0 ± 4.0 c 25 57.3 ± 2.3 d 0 0.0 ± 0.0 e a

Rata-rata persentase mortalitas T. parvispinus. Rata-rata persentase mortalitas yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata berdasarkan uji tukey taraf 5%

Sementara itu nilai penduga parameter toksisitas fosfin cair disajikan pada tabel 3.

Tabel 3 Penduga parameter toksisitas fosfin cair terhadap mortalitas T. parvispinus Fumigan a ± GBa b ± GBa LC50 (SK 95%) (ppm)a LC95 (SK 95%) (ppm)a Fosfin Cair -2.104 ± 0.350 0.123 ± 0.726 20.670 (3.994 – 34.210) 220.642 (103.175 – 6312.276) a

a:intersep regresi probit. b: kemiringan regresi probit. GB: galat baku. SK : selang kepercayaan

Uji Lanjut Perlakuan Fumigasi Fosfin Cair pada T. parvispinus

Hasil uji lanjut menunjukkan persentase mortalitas tertinggi aplikasi fosfin cair terjadi pada perlakuan dengan konsentrasi 200 ppm pada semua waktu papar dan pada konsentrasi 175 ppm pada waktu papar 6 jam (tabel 4). Nilai penduga parameter toksisitas LC50 dan LC95 terendah ditunjukan pada waktu papar 6 jam

21

Tabel 4 Persentase mortalitas T. parvispinus pada perlakuan beberapa konsentrasi fosfin cair yang dipaparkan 1, 3, dan 6 jam

Konsentrasi fosfin (ppm)

Mortalitas ±SDa pada (%)

1 Jam 3 Jam 6 Jam

200 100.0 ± 0.0 a 100.0 ± 0.0 a 100.0 ± 0.0 a 175 97.3 ± 2.3 ab 98.7 ± 2.3 a 100.0 ± 0.0 a 150 94.7 ± 2.3 ab 97.3 ± 2.3 ab 98.7 ± 2.3 ab 125 91.0 ± 2.6 b 92.0 ± 0.0 bc 93.3 ± 2.3 bc 100 78.7 ± 2.3 c 89.3 ± 2.3 c 92.0 ± 0.0 c 75 70.7 ± 6.1 c 77.3 ± 2.3 d 84.0 ± 4.0 d 50 61.3 ± 4.6 d 70.7 ± 2.3 e 74.7 ± 2.3 e 25 56.0 ± 0.0 d 66.7 ± 2.3 e 70.7 ± 2.3 e 0 0.0 ± 0.0 e 0.0 ± 0.0 f 0.0 ± 0.0 f a

Rata-rata persentase mortalitas T. parvispinus. Rata-rata persentase mortalitas yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata berdasarkan uji tukey taraf 5%

Tabel 5 Penduga parameter toksisitas fosfin cair terhadap mortalitas T. parvispinus dengan waktu papar 1, 3, dan 6 jam

Lama perlakuan (Jam) a ± GBa b ± GBa LC50 (SK 95%) (ppm)a LC95 (SK 95%) (ppm)a 1 -2.959 ± 0.415 0.172 ± 0.902 29.134 (11.866 – 43.251) 189.907 (126.878 – 479.579) 3 -2.483 ± 0.439 0.193 ± 0.102 20.232 (6.403 – 32.430) 148.351 (102.567 – 329.80) 6 -2.417 ± 0.465 0.216 ± 0.116 17.323 (5.493 – 28.078) 120.609 (86.465 – 230.913) a

a:intersep regresi probit. b: kemiringan regresi probit. GB: galat baku. SK : selang kepercayaan

Uji Validasi dan Pengaruh pada Bunga Potong Krisan

Uji validasi dilakukan untuk konfirmasi keefektifan konsentrasi perlakuan fosfin cair dan kualitas bunga potong krisan. Persentase mortalitas T. parvispinus pada perlakuan beberapa konsentrasi fosfin cair pada bunga krisan dengan waktu papar 1, 3, dan 6 jam disajikan pada tabel 6.

Hasil pengamatan untuk pengaruh aplikasi fumigasi fosfin cair terhadap kualitas bunga potong krisan disajikan pada tabel 7. Secara visual tidak terjadi perubahan pada bunga potong krisan yang diberi perlakuan dibandingkan dengan bunga potong krisan yang tidak diberi perlakuan (kontrol). Penampilan bunga potong krisan disajikan pada gambar 8, 9, dan 10 untuk masing-masing perlakuan waktu papar yang diamati setelah 1, 24, 48, dan 72 JSP.

22

Tabel 6 Persentase mortalitas T. parvispinus pada perlakuan beberapa konsentrasi fosfin cair yang dipaparkan 1, 3, dan 6 jam pada bunga krisan Konsentrasi fosfin (ppm) Mortalitas ±SDa pada (%)

1Jam 3 Jam 6 Jam

250 100.0±0.0 a 100.0±0.0 a 100.0±0.0 a

200 100.0±0.0 a 100.0±0.0 a 100.0±0.0 a

175 96.0±0.0 a 98.7±2.3 a 98.7±2.3 a

0 (Kontrol) 0.0±0.0 b 0.0±0.0 b 0.0±0.0 b

a

Rata-rata persentase mortalitas T. parvispinus. Rata-rata persentase mortalitas yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata berdasarkan uji tukey taraf 5%

Pengamatan pengaruh aplikasi fosfin cair terhadap kualitas bunga krisan dengan teknik skoring disajikan pada tabel 7.

Tabel 7 Rata-rata skor kerusakan bunga potong krisan pada pengamatan 1, 24, 48, dan 72 jam setelah perlakuan (JSP)

Lama pemaparan (Jam) Konsentrasi fosfin (ppm)

Rata-rata skor kerusakan bunga potong pada : (%) 1 (JSP) 24 (JSP) 48 (JSP) 72 (JSP) 1 250 0 0 0 0 200 0 0 0 0 175 0 0 0 0 0 (Kontrol) 0 0 0 0 3 250 0 0 0 0 200 0 0 0 0 175 0 0 0 0 0 (Kontrol) 0 0 0 0 6 250 0 0 0 0 200 0 0 0 0 175 0 0 0 0 0 (Kontrol) 0 0 0 0

23

Gambar 8 Penampilan bunga potong krisan setelah pemaparan 1 jam fosin cair pada pengamatan (a). 1 JSP, (b). 24 JSP, (c.) 48 JSP, dan (d). 72 JSP (JSP : jam setelah perlakuan)

Gambar 9 Penampilan bunga potong krisan setelah pemaparan 3 jam fosin cair pada pengamatan (a). 1 JSP, (b). 24 JSP, (c.) 48 JSP, dan (d). 72 JSP (JSP : jam setelah perlakuan)

1 Jam Setelah Perlakuan 24 Jam Setelah Perlakuan

48 Jam Setelah Perlakuan

48 Jam Setelah Perlakuan

72 Jam Setelah Perlakuan

72 Jam Setelah Perlakuan

1 Jam Setelah Perlakuan 24 Jam Setelah Perlakuan

48 Jam Setelah Perlakuan

48 Jam Setelah Perlakuan

72 Jam Setelah Perlakuan

24

Gambar 10 Penampilan bunga potong krisan setelah pemaparan 6 jam fosin cair pada pengamatan (a). 1 JSP, (b). 24 JSP, (c.) 48 JSP, dan (d). 72 JSP (JSP : jam setelah perlakuan)

Pembahasan Perbanyakan T. parvispinus

T. parvispinus meletakan telur pada buncis yang digunakan sebagai inang alternatif. Nimfa T. parvispinus instar 1 dan instar 2 bergerak aktif kemudian nimfa instar 3 dan 4 tidak aktif dan berperilaku seperti prapupa dan pupa pada serangga yang mengalami metamorfosis holometabola. Imago memiliki sayap berumbai yang digunakan untuk terbang jarak pendek atau meloncat. Selain itu imago T. parvispinus menunjukkan perilaku selalu mendekati sumber cahaya.

Thrips menghisap cairan buncis untuk memenuhi kebutuhan makanan, jaringan yang dihisap menjadi kosong dan diisi oleh udara yang menyebabkan perubahan warna pada buncis hingga berubah warna jadi kuning kecoklatan (Adiarto 2003). Sementara pada bunga, bagian yang terserang menjadi layu, mengering, dan rontok, ini disebabkan thrips berada pada putik untuk menghisap cairan yang kaya karbohidrat dari tangkai bunga yang berperan untuk pembentukan kelopak dan polen.

Menurut Mound dan Masumoto (2005) fase telur berkisar 3-7 hari, nimfa (2- 4 hari), pra pupa dan pupa (2-3 hari), dan imago (20-25 hari), sementara hasil pada pengamatan fase telur berkisar 3-5 hari, nimfa (2-4 hari), pra pupa dan pupa (3-4 hari), dan imago (16-20 hari). Hal ini menunjukkan bahwa pada saat proses pemeliharaan T. parvispinus sesuai dengan keadaan untuk perkembangan T. parvispinus bagi kelangsungan hidupnya seperti suhu, kelembaban, dan ketersediaan sumber makanan.

1 Jam Setelah Perlakuan 24 Jam Setelah Perlakuan

48 Jam Setelah Perlakuan 72 Jam Setelah Perlakuan

25

Menurut Dibyantoro (1994) Thrips tabaci berkembang biak dengan cepat pada kelembaban 70% dan kisaran suhu 27-32oC. Pada kondisi tersebut akan memicu produksi hormon seks mereka sehingga terjadi perkawinan masal. Pada penelitian ini kelembaban berkisar 70-80% dan kisaran suhu 26-32 oC, sehingga sangat mendukung dalam perbanyakan T. parvispinus. Pada musim kemarau, perkembangan telur sampai dewasa 13–15 hari dan fase imago berkisar 15–20 hari, bila suhu di sekitar tanaman meningkat maka trips akan berkembang dengan lebih cepat.

Aplikasi Fosfin Cair terhadap T. parvispinus

Uji pendahuluan menggunakan 5 konsentrasi, menunjukkan mortalitas pada semua konsentrasi sebesar 100% kecuali pada kontrol yang menunjukan mortalitas 0%. Menurut Liu (2008) perlakuan fumigasi diatas 250 ppm dengan lama waktu diatas 18 jam pada suhu 2ºC efektif dalam mengendalikan F. occidentalis. Pada penelitian ini perlakuan konsentrasi terendah dalam waktu papar 1 jam telah menyebabkan mortalitas sebesar 100%. Respon thrips terhadap fosfin sangat rentan dibandingkan dengan beberapa serangga lain seperti aphid dan larva lepidoptera pada suhu diatas 24ºC (Karunatratne et al. 1997). Hasil pengujian ini dilanjutkan dengan uji pendahuluan tahap dua untuk mencari kisaran waktu papar dan konsentrasi yang akan digunakan pada uji lanjut yang akan dilakukan pada waktu papar 1 jam dengan konsentrasi dibawah 200 ppm.

Hasil uji pendahuluan tahap 2 menunjukan, pada konsentrasi antara 25 - 175 ppm dengan waktu papar 1 jam tidak ada perlakuan yang menunjukan persentase mortalitas sebesar 100%. Hal ini kemungkinan diakibatkan kurang lamanya waktu papar fumigasi atau kurang tingginya konsentrasi yang digunakan. Persentase mortalitas pada uji pendahuluan menunjukan rentang yang lebar antar perlakuan, untuk itu rentang interval konsentrasi antar perlakuannya dapat diperkecil. Kenaikan konsentrasi ternyata secara signifikan meyebabkan peningkatan persentase mortalitas.

Pada hasil uji lanjut dengan kombinasi 3 waktu papar (1, 3, dan 6 jam) dengan 9 konsentrasi (200, 175, 150, 125, 100, 75, 50, 25, 0 ppm) pada suhu berkisar 26-32º C, terlihat bahwa dengan adanya peningkatan konsentrasi fosfin cair akan meningkatkan mortalitas thrips dan dengan bertambahnya lama waktu papar juga meningkatkan mortalitas thrips. Perlakuan pada konsentrasi terendah (25 ppm) pada lama waktu 1, 3, dan 6 jam terjadi peningkatan mortalitas jadi 56%, 3 jam sebesar 66.67% dan pada 6 jam sebesar 70.67%. Hal ini juga terjadi pada perlakuan lainnya. Mortalitas sebesar 100% ditunjukan pada konsentrasi 200 ppm pada waktu papar 1, 3, dan 6 jam dan 175 ppm pada waktu papar 6 jam. Selain faktor konsentrasi dan waktu papar, faktor lain yang berpengaruh adalah suhu, pada suhu tinggi dapat meningkatkan mortalitas, akibat semakin aktifnya pergerakan serangga yang menyebabkan pernafasan serangga menjadi lebih cepat sehingga lebih banyak menghirup fosfin cair.

Pengaruh waktu papar memiliki dampak terhadap toksisitas fosfin cair, ini diperlihatkan dari nilai LC50 dan LC95, semakin lama waktu papar nilai LC yang

ditunjukan lebih rendah dibandingkan dengan waktu papar yang lebih pendek. Nilai LC50 untuk masing-masing waktu papar 1, 3, dan 6 jam berturut-turut adalah

29.134 ; 20.232 dan 17.323 ppm. Terlihat pada konsentrasi 17.323 ppm dengan waktu papar 6 jam menunjukan mortalitas sebesar 50 % sementara waktu papar 1

26

jam membutuhkan konsentrasi lebih tinggi yaitu 29.134 ppm, sehingga ada keterkaitan antara waktu papar dan konsentrasi. Menurut Hole et.al. (1976) fumigasi menggunakan fosfin dengan konsentrasi rendah pada waktu papar lebih lama akan lebih efektif dibandingkan dengan konsentrasi fosfin yang tinggi pada waktu papar yang singkat. Penentuan konsentrasi fosfin bergantung pada berbagai faktor antara lain kondisi lingkungan, penyimpanan, lama perlakuan serta jenis serangga utama yang dikendalikan (TDRI 1983).

Pada uji validasi, aplikasi konsentrasi 200 ppm dengan waktu papar 1 jam menunjukan kematian 100% dan tidak berdampak pada kualitas bunga potong krisan. Persentase rata-rata kerusakan yang diamati terhadap tingkat layu dan bercak pada bunga (tabel 7) baik itu 1, 24, 48, dan 72 JSP, tidak menunjukan penurunan kualitas seperti layu dan timbul bercak bila dibandingkan dengan kontrol (Gambar 8, 9, dan 10).

Fumigan fosfin cair merupakan insektisida yang tergolong kedalam racun pernapasan. Fumigan merupakan insektisida yang mudah menguap menjadi gas dan masuk kedalam tubuh serangga melalui sistem pernapasan (sistem trakea) yang kemudian diedarkan keseluruh tubuh (Untung 1993). Menurut Tarumingkeng (1992) insektisida yang mempengaruhi sistem pernapasan serangga berperan menghambat enzim pernapasan berupa penghambatan sistem transpor elektron dan fosforilasi oksidatif.

Cara kerja fosfin di dalam tubuh serangga terjadi dengan pembukaan spirakel yang mengakibatkan hilangnya air pada tubuh serangga sehingga terjadi dehidrasi yang menybabkan kematian pada T. parvispinus (Valmas et al. 2008). Selain itu menurut Wirawan (2006) fosfin akan menghambat terbentuknya adenosin trifosfat (ATP) yang merupakan sumber energi bagi serangga dan penghambatan kerja enzim suksinat dehidrogenase yang mengakibat perubahan alur reaksi metabolisme. Proses pembentukan ATP terjadi melalui proses respirasi yang salah satu fasenya adalah transport elektron, apabila fase ini terhambat pembentukan ATP menjadi terganggu, sementara fumigan akan terikat pada sitokrom yang terdapat pada mitokondria dan mengganggu proses transport elektron sehingga serangga akan mati kehabisan energi.

Menurut Barantan (2013) cara kerja dari fosfin cair yaitu adanya efek sinergis dengan CO2 ketika digunakan bersama dengan fosfin dan juga sifat

stabilitas dari konsentrasi fosfin cair lebih mudah dipertahankan selama fumigasi jika dibandingkan dengan fosfin padat. CO2 mampu meningkatkan pernapasan

serangga sehingga spirakel akan terbuka ketika bernapas yang akan mempercepat serangga dalam mengambil konsentrasi yang mematikan dari fosfin cair. Hal ini menyebabkan penggunaan fosfin cair lebih efesien untuk mencapai hasil yang diinginkan dan waktu papar aplikasi fosfin cair dapat dipersingkat.

Tidak adanya penurunan kualitas bunga potong krisan yang di aplikasikan fosfin cair sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Karunaratne et al. (1997) yang menyatakan bahwa perlakuan fumigasi fosfin dengan konsentrasi dibawah 4 000 µL/L pada bunga tulip degan waktu 2 dan 4 jam menunjukan hasil yang tidak berbeda dengan bunga yang tidak diberi perlakuan (kontrol). Penelitian perlakuan fosfin cair pada bunga krisan di China pada konsentrasi 0.76 ; 1.52; 3.04 mg/l dengan lama waktu 2, 5, 8, dan 11 hari pada temperatur 2ºC tidak menunjukan kerusakan terhadap perkembangan bunga (Zhang et al. 2012).

27

Suhu saat aplikasi fosfin cair berkisar antara 26-32ºC, pada suhu tersebut menyebabkan waktu papar yang diperlukan untuk aplikasi fosfin cair menjadi lebih cepat. Pada suhu tinggi waktu papar untuk aplikasi fosfin cair lebih cepat karena menyebabkan aktivitas serangga meningkat dibandingkan pada suhu rendah. Ketika aktivitas meningkat maka proses respirasi yang terjadi menjadi lebih cepat dan gas fosfin cair yang terhirup jadi lebih banyak sehingga mempercepat mortalitas, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Song et al. (2011) yang menyebutkan kondisi optimal untuk fumigasi fosfin cair yaitu pada suhu ≥ 26ºC.

Kualitas bunga setelah perlakuan tampak normal, karena fosfin cair yang digunakan merupakan campuran 2% fosfin dan 98% CO2 dimana CO2 dibutuhkan

oleh tanaman dalam fotosintesis atau asimilasi karbon. Konsentrasi gas CO2 yang

tinggi dapat memperpanjang masa simpan dengan cara menghambat proses respirasi (Salunkhe et al. 1990). Pada bunga potong, etilen dapat merangsang gugurnya kuncup bunga, sementara CO2 berefek antagonis terhadap etilen (Wills

et al. 1989). Sementara perlakuan pada buah, CO2 berpengaruh terhadap sintesa

etilen yang dibutuhkan dalam proses pematangan buah. Konsentrasi CO2 yang

tinggi pada fosfin cair dapat menghambat proses biokimia yaitu terhambatnya sintesa etilsen sehingga dapat berfungsi sebagai penghambat laju pematangan pada buah.

Dokumen terkait