• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Organoleptik a) Kenampakan

Kenampakan merupakan parameter utama untuk menentukan tingkat kesegaran ikan. Kenampakan juga berkaitan dengan perubahan warna daging selama proses pengujian organoleptik dilakukan. Perubahan nilai organoleptik pada parameter kenampakan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Histogram nilai organoleptik kenampakan fillet ikan nila

( = tanpa sonikasi, = sonikasi 6 menit, = sonikasi 9 menit, = sonikasi 12 menit)

Fillet ikan yang tanpa dan dengan perlakuan sonikasi (6, 9, 12 menit) diuji secara organoleptik pada jam ke-1 hingga ke-5 untuk menentukan nilai kenampakannya. Hasil pengujian menunjukkan adanya perubahan, yaitu diawali pada jam ke-1 seluruh sampel yang diberi perlakuan tidak mengalami perubahan karena semua perlakuan menunjukkan nilai 7 (spesifikasi: daging berwarna putih, kurang cemerlang, bersih, rapi, menarik, dan garis yang terbentuk dari tulang belakang maupun linea lateralis berwarna merah, redup

9 dan tidak terbelah). Nilai organoleptik kenampakan menurun pada jam ke-4 dengan nilai 5 (spesifikasi: daging putih agak kehijauan, kurang cemerlang, kurang menarik, dan garis yang terbentuk dari tulang belakang maupun linea lateralis merah kecoklatan dan sedikit terbelah). Berdasarkan nilai organoleptik kenampakan yang dihasilkan, fillet ikan masih memiliki spesifikasi kenampakan ikan yang segar walaupun terjadi penurunan pada setiap jam. Penurunan nilai kenampakan ini mengindikasikan adanya proses kemunduran mutu akibat aktivitas mikroba dan enzim proteolitik yang mendegradasi protein pada daging ikan.

Menurut Weeber et al. (2008), proses perubahan pada fillet ikan tersebut terjadi karena aktivitas enzim dan mikroorganisme. Kedua hal tersebut menyebabkan tingkat kesegaran ikan menurun. Berdasarkan hasil statistik nilai organoleptik kenampakan yang dihasilkan tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa durasi sonikasi tidak mempengaruhi nilai organoleptik kenampakan.

b) Bau

Bau merupakan salah satu parameter yang dapat menentukan tingkat kesukaan seseorang terhadap suatu produk. Fillet ikan segar memiliki bau yang spesifik jenis. Perubahan bau pada ikan dapat terjadi apabila ikan mulai mengalami kebusukan. Perubahan nilai organoleptik pada parameter bau dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Histogram nilai organoleptik bau fillet ikan nila

( = tanpa sonikasi, = sonikasi 6 menit, = sonikasi 9 menit, = sonikasi 12 menit)

Fillet ikan yang tanpa dan dengan perlakuan sonikasi (6, 9, 12 menit) diuji secara organoleptik pada jam ke-1 hingga ke-5 untuk menentukan nilai baunya. Hasil pengujian menunjukkan adanya perubahan, yaitu diawali pada jam ke-1 seluruh sampel yang diberi perlakuan tidak mengalami perubahan

karena semua perlakuan menunjukkan nilai 7 (spesifikasi: bau segar, spesifik jenis). Nilai organoleptik bau menurun pada jam ke-5 dengan nilai 5

10

(spesifikasi: Bau kurang segar, sedikit bau amoniak dan ada bau tambahan). Berdasarkan nilai organoleptik bau yang dihasilkan, fillet ikan memiliki spesifikasi bau ikan segar walaupun terjadi penurunan pada setiap jam.

Penurunan nilai organoleptik ini diduga akibat terbentuknya basa volatil hasil dari degradasi protein oleh enzim proteolitik maupun aktivitas mikroba. Menurut Karungi et al. (2003), pembentukan basa volatil terjadi akibat degradasi protein dan derivatnya menghasilkan sejumlah basa yang mudah menguap yaitu amoniak, histamin, H2S, dan trimetilamin yang berbau busuk. Seluruh sampel memiliki nilai organoleptik bau yang seragam setiap jamnya. Berdasarkan hasil statistik nilai organoleptik bau yang dihasilkan tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa durasi sonikasi tidak mempengaruhi nilai organoleptik bau.

c) Tekstur

Tekstur merupakan gabungan dari beberapa sifat yang berhubungan dengan viskositas, elastisitas dan kekompakan daging fillet. Fillet ikan yang segar akan menunjukkan tekstur daging ikan yang elastis, sementara tekstur ikan yang tidak elastis menunjukkan bahwa fillet ikan sudah mengalami kemunduran mutu atau busuk. Perubahan nilai organoleptik pada parameter tekstur dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Histogram nilai organoleptik tekstur fillet ikan nila

( = tanpa sonikasi, = sonikasi 6 menit, = sonikasi 9 menit, = sonikasi 12 menit)

Fillet ikan yang tanpa dan dengan perlakuan sonikasi (6, 9, 12 menit) diuji secara organoleptik pada jam ke-1 hingga ke-5 untuk menentukan nilai teksturnya. Hasil pengujian menunjukkan adanya perubahan, yaitu diawali pada jam ke-1 seluruh sampel yang diberi perlakuan tidak mengalami perubahan karena semua perlakuan menunjukkan nilai 8 (spesifikasi: elastis, padat dan kompak). Nilai organoleptik bau menurun pada jam ke-5 dengan nilai 5 (spesifikasi: kurang elastis, lunak dan kompak). Berdasarkan nilai organoleptik tekstur yang dihasilkan, fillet ikan masih memiliki spesifikasi

11 tekstur ikan yang segar walaupun terjadi penurunan pada setiap jam. Penurunan nilai organoleptik ini diduga akibat aktivitas enzim katepsin yang merusak struktur daging ikan menjadi lunak dan kurang elastis.

Aktivitas katepsin sangat berpengaruh terhadap tekstur daging ikan karena katepsin dapat menurunkan fleksibelitas (kekenyalan) sehingga daging ikan menjadi tidak elastis dan jaringan daging ikan melunak (lembek) (Haard dan Simpson 2000). Berdasarkan hasil statistik nilai organoleptik tekstur yang dihasilkan tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa durasi sonikasi tidak mempengaruhi nilai organoleptik tekstur.

Derajat Keasaman (pH)

Indikator pengukuran tingkat kesegaran ikan salah satunya dapat ditentukan melalui uji penentuan nilai derajat keasaman (pH). Pengujian pH yang dilakukan menggunakan fillet ikan nila segar yang telah diberi perlakuan gelombang ultrasonik dapat dilihat pada Gambar 5.

Keterangan: Huruf ‘a’ dan ‘b’ adalah hasil uji lanjut Duncan terhadap nilai pH yang menunjukan beda nyata (p<0,05).

Gambar 5 Histogram nilai derajat keasaman (pH) fillet ikan nila

Berdasarkan nilai yang tersaji pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa sampel tanpa sonikasi memiliki nilai pH sebesar 6,60 + 0,08, sampel yang disonikasi selama 6 menit memiliki nilai pH sebesar 6,72 + 0,02, sampel yang disonikasi selama 9 menit memiliki nilai pH sebesar 6,74 + 0,01, dan sampel yang disonikasi selama 12 menit memiliki nilai pH sebesar 6,78 + 0,01. Hasil tersebut sesuai dengan hasil uji statistik yang menunjukkan bahwa durasi sonikasi memberikan pengaruh terhadap nilai pH (Lampiran 2a). Berdasarkan nilai pH yang dihasilkan, fillet ikan masih dikategorikan sebagai ikan segar walaupun terdapat perbedaan pada setiap sampelnya, dimana nilai pH ikan segar berkisar 6,2-7,0 (Eskin 1990; Junianto 2003).

12

Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan dari nilai pH (Lampiran 2b) dapat

dilihat bahwa sampel tanpa sonikasi berbeda nyata dengan sampel yang disonikasi selama 6 menit, 9 menit, dan 12 menit. Hal ini menunjukkan

bahwa durasi sonikasi pada fillet ikan mempengaruhi nilai pH. Perubahan nilai pH yang terjadi pada sampel kontrol dan sampel yang disonikasi diduga karena pengaruh gelombang ultrasonik yang mampu menjaga fillet ikan tetap segar. Tinggi rendahnya pH awal ikan sangat tergantung pada jumlah glikogen yang ada dan kekuatan penyangga (buffering power) pada daging ikan. Kekuatan penyangga pada daging ikan disebabkan oleh protein, asam laktat, asam fosfat, TMAO, dan basa-basa menguap (Junianto 2003).

Total Volatile Base

Pengujian Total Volatile Base merupakan salah satu metode penentuan kesegaran ikan. Pengukuran tingkat kesegaran ikan dalam uji TVB, dapat diukur dari akumulasi senyawa-senyawa basa yakni amoniak, trimetialamin, dan senyawa volatil lainnya yang menguap. Semakin tinggi nilai TVB akan meunjukkkan fillet ikan mengalami kemunduran mutu. Nilai TVB fillet ikan nila dapat dilihat pada Gambar 6.

Keterangan: Huruf ‘a’ adalah hasil uji lanjut Duncan terhadap nilai TVB yang menunjukan tidak beda nyata (p>0,05).

Gambar 6 Histogram nilai Total Volatile Base (TVB) fillet ikan nila Berdasarkan hasil yang tersaji pada Gambar 6, dapat dilihat bahwa sampel tanpa sonikasi memiliki nilai TVB sebesar 13,149 + 0,646 mg N/ 100 g, sampel yang disonikasi selama 6 menit memiliki nilai TVB sebesar 11,355 + 1,278 mg N/100 g, sampel yang disonikasi selama 9 menit memiliki nilai TVB sebesar 10,647 + 0,038 mg N/100 g, dan sampel yang disonikasi selama 12 menit memiliki nilai TVB sebesar 10,299 + 1,634 mg N/100 g. Berdasarkan nilai TVB yang dihasilkan, fillet ikan masih dikategorikan

13 sebagai ikan segar dan layak konsumsi walaupun terdapat perbedaan pada setiap sampelnya, dimana standar nilai TVB ikan segar berkisar pada nilai 10-20 mg N/100 g daging (Sen 2005).

Berdasarkan uji statistik, nilai TVB semua sampel hasil penelitian tidak berbeda nyata (Lampiran 3). Hal ini menunjukkan bahwa gelombang ultrasonik tidak mempengaruhi nilai TVB. Perubahan nilai TVB pada ikan lebih dipengaruhi oleh aktivitas proteolisis dari enzim dan mikroba yang menghasilkan basa volatil. Menurut Jayasooria et al. (2007), gelombang ultrasonik memiliki kemampuan dalam menghambat aktivitas enzim melalui proses denaturasi protein. Menurut Ercan dan Soysal (2013), gelombang ultrasonik menciptakan getaran terus menerus dan menyebabkan modifikasi struktur sekunder dan tersier protein akibat pemecahan ikatan hidrogen atau interaksi Van der Walls dalam rantai polipeptida. Perubahan ini menyebabkan banyak hilangnya aktivitas enzim.

Total Plate Count

Pengujian Total Plate Count (TPC) merupakan salah satu cara untuk mengukur tingkat kesegaran ikan dengan megamati banyaknya jumlah bakteri yang berkembang pada daging ikan. Uji TPC dilakukan dengan cara menghitung jumlah bakteri yang ditumbuhkan pada suatu media pertumbuhan, yaitu media agar dan dilakukan inkubasi selama 48 jam ± 1 jam yang mengacu pada SNI 01-2332.3-2006. Nilai TPC fillet ikan nila dapat dilihat pada Gambar 7.

Keterangan: Huruf ‘a’ dan ‘b’ adalah hasil uji lanjut Duncan terhadap nilai TPC yang menunjukan beda nyata (p<0,05).

Gambar 7 Histogram nilai Total Plate Count (TPC) fillet ikan nila 5,0x104 4,5x104 4,0x104 3,5x104 3,0x104 2,5x104 2,0x104 1,5x104 1,0x104 0,5x104 0

14

Berdasarkan nilai yang tersaji pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa sampel tanpa sonikasi memiliki nilai TPC sebesar 3,8x104 koloni/g, sampel yang disonikasi selama 6 menit memiliki nilai TPC sebesar 2,8x104 koloni/g,

sampel yang disonikasi selama 9 menit memiliki nilai TPC sebesar 7,7x103 koloni/g, dan sampel yang disonikasi selama 12 memiliki nilai TPC

sebesar 3,2x103 koloni/g. Berdasarkan nilai TPC yang dihasilkan, fillet ikan masih dikategorikan sebagai ikan segar dan layak konsumsi walaupun terdapat perbedaan pada setiap sampelnya, dimana nilai TPC ikan segar dan layak konsumsi memiliki batas maksimal sebesar 5x105 koloni/g (BSNc 2006). Secara statistik nilai TPC menunjukkan hasil yang berbeda

nyata (Lampiran 4a). Hasil tersebut menunjukkan bahwa durasi sonikasi memberikan pengaruh terhadap nilai TPC.

Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan nilai TPC (Lampiran 4b), dapat dilihat bahwa sampel tanpa sonikasi tidak berbeda nyata dengan sampel yang disonikasi selama 6 menit, namun kedua sampel tersebut berbeda nyata dengan sampel yang disonikasi selama 9 menit dan sampel yang disonikasi selama 12 menit. Hal ini menunjukkan bahwa durasi sonikasi pada fillet ikan mempengaruhi nilai TPC. Nilai TPC yang digunakan sebagai data yang berbeda nyata adalah sampel tanpa sonikasi dan sampel yang diberi sonikasi selama 9 menit. Nilai TPC pada sampel tanpa sonikasi lebih besar dibandingkan dengan sampel yang disonikasi selama 9 menit. Nilai tersebut menandakan adanya perbedaan jumlah mikroba pada kedua sampel.

Pembandingan jumlah koloni mikroba dengan perlakuan sonikasi dan perlakuan lainnya dalam menghambat pertumbuhan mikroba perlu dilakukan.

Sampel yang disonikasi selama 9 menit memiliki nilai TPC sebesar 7,7x103 koloni/g. Suptijah et al. (2008) melaporkan bahwa penggunaan

chitosan pada fillet ikan patin memiliki nilai TPC sebesar 1,3x104 koloni/g. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa jumlah koloni mikroba yang diberi perlakuan gelombang ultrasonik memiliki nilai TPC lebih rendah dibandingkan dengan nilai TPC fillet ikan yang diberi perlakuan chitosan. Gelombang ultrasonik cukup efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroba. Hal ini diduga karena gelombang ultrasonik mampu menghambat aktivitas mikroba maupun membunuh mikroba.

Menurut Joyce et al. (2003), gelombang ultrasonik dapat menjaga produk pangan dari mikroba melalui perusakan membran sel akibat getaran yang ditimbulkan oleh gelombang ultrasonik. Ketika membran sel mikroba rusak, maka cairan akan keluar sehingga fisiologi dari mikroba akan terhambat dan memungkinkan mikroba mati.

Gelombang ultrasonik menghambat aktivitas mikroba dengan cara menimbulkan getaran yang dapat merusak dinding sel mikroba. Hal ini disebabkan oleh gelembung kavitasi (cairan yang ditarik terpisah keluar dan menghasilkan kekosongan ketika gelombang suara melewati cairan) yang menghasilkan energi mekanis untuk melemahkan atau mengganggu bakteri melalui sejumlah proses (Knorr et al. 2004; Stasiak et al. 2007).

Semakin lama durasi sonikasi pada fillet ikan maka diduga semakin banyak mikroba yang dihambat aktivitasnya untuk tumbuh. Hal ini mengakibatkan jumlah mikroba yang tumbuh semakin sedikit pada sampel yang disonikasi sehingga nilai TPC menjadi rendah. Menurut Joyce et al.

15 (2003), sonikasi dapat memicu pembentukan zat radikal (H+ dan OH-) selama kavitasi sehingga zat radikal ini akan menyerang struktur kimia dari membran sel mikroba dan melemahkan membran sel hingga hancur, selain itu juga dapat membentuk hidrogen peroksida (H2O2) yang merupakan bakterisida kuat.

Nilai TPC Fillet Selama Penyimpanan

Sampel yang digunakan untuk pengujian TPC dari fillet ikan dengan tambahan penyimpanan adalah sampel tanpa sonikasi dan sampel yang disonikasi selama 9 menit. Penyimpanan dilakukan selama 96 jam dengan pengamatan setiap 48 jam pada suhu beku (freezing). Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh sonikasi terhadap laju pertumbuhan mikroba pada fillet ikan selama penyimpanan. Hasil pengujian TPC fillet ikan selama penyimpanan disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Grafik nilai TPC selama penyimpanan ( = tanpa sonikasi, = sonikasi 9 menit)

Berdasarkan hasil yang tersaji pada Gambar 8, dapat dilihat bahwa pada sampel tanpa sonikasi memiliki nilai TPC berturut-turut pada jam ke-0, jam ke-48, dan jam ke-96 adalah 3,2x104 koloni/g; 5,1x104 koloni/g; dan 9,2x104 koloni/g. Sampel yang disonikasi selama 9 menit memiliki nilai TPC

berturut-turut pada jam ke-0, jam ke-48, dan jam ke-96 adalah 1,1x104 koloni/g; 1,5x104 koloni/g; dan 5,2x104 koloni/g.

Semua sampel yang diuji TPC sebelumnya dilakukan proses thawing terlebih dahulu. Proses thawing diduga dapat mempercepat pertumbuhan mikroba yang dorman selama penyimpanan beku. Menurut Akhtar et al. (2013), cairan yang keluar selama proses thawing kaya akan protein, mineral dan vitamin berasal dari terurainya struktur daging. Cairan tersebut merupakan media yang sangat baik untuk pertumbuhan mikroba. Oleh karena itu aktivitas pertumbuhan mikroba dapat meningkat ketika proses thawing.

Nilai TPC mengalami peningkatan pada setiap waktunya dari kedua sampel, yakni sampel tanpa sonikasi memiliki nilai TPC terbesar dengan peningkatan yang tajam. Hal ini berbeda dengan sampel yang disonikasi

10x104 9x104 8x104 7x104 6x104 5x104 4x104 3x104 2x104 1x104 0

16

selama 9 menit yang memiliki nilai TPC lebih rendah dari sampel tanpa sonikasi. Sampel tanpa sonikasi memiliki nilai TPC lebih tinggi dari sampel yang disonikasi selama 9 menit, diduga karena jumlah mikroba awal yang terdapat pada sampel tanpa sonikasi lebih banyak dibandingkan dengan

sampel yang disonikasi selama 9 menit. Sampel yang disonikasi selama 9 menit memiliki nilai TPC awal lebih kecil, yang diduga karena adanya

perlakuan sonikasi yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Selama penyimpanan, nilai TPC pada masing-masing sampel lebih tinggi dibandingkan dengan nilai TPC awal. Hal ini menandakan adanya pertumbuhan mikroba pada sampel. Menurut Leksono dan Amin (2001), selama penyimpanan terjadi penguraian protein oleh enzim yang merupakan media untuk pertumbuhan mikroba, sehingga mikroba dapat tumbuh.

Berdasarkan grafik jumlah mikroba selama penyimpanan (Gambar 8), dapat dilihat bahwa jumlah mikroba setiap sampel pada jam ke-0 hingga jam ke-48 mengalami peningkatan yang lebih rendah dibandingkan jumlah mikroba pada jam ke-48 hingga jam ke-96. Hal ini diduga pada jam ke-0 hingga jam ke-48 pertumbuhan mikroba terhambat akibat adanya pengaruh gelombang ultrasonik. Pada rentang waktu tersebut, diduga tidak semua mikroba terhambat pertumbuhannya, namun sebagian mikroba tetap ada yang bertahan untuk tumbuh selama proses sonikasi. Jumlah mikroba pada jam ke-48 hingga jam ke-96 meningkat lebih tajam dibandingkan pada jam ke-0 hingga ke jam-48. Hal ini menandakan adanya pertumbuhan mikroba yang lebih cepat pada rentang waktu tersebut yang disebabkan kondisi lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan mikroba, sehingga mikroba aktif berkembang biak dengan cara membelah diri selama penyimpanan. Faktor yang berperan dalam pertumbuhan mikroba ditentukan oleh keadaan lingkungan serta temperatur yang cocok. Umumnya mikroba yang hidup pada kondisi lingkungan yang sesuai mampu membelah diri setiap 20-30 menit (Waluyo 2007).

Sampel yang disonikasi selama 9 menit memiliki nilai TPC penyimpanan yang relatif lebih rendah dibandingkan sampel tanpa sonikasi. Perbedaan nilai yang diperoleh pada tiap sampel menunjukkan bahwa mikroba awal yang hidup tetap memiliki kemampuan untuk tumbuh walaupun pertumbuhan berjalan lambat karena proses sonikasi yang dilakukan pada sampel yang disonikasi selama 9 menit, sehingga diperoleh

nilai TPC yang lebih rendah selama penyimpanan. Menurut Munandar et al. (2009), jumlah bakteri semakin meningkat seiring dengan lamanya

penyimpanan. Hal ini disebabkan oleh lingkungan yang optimal untuk pertumbuhan bakteri yang menyebabkan bakteri dapat tumbuh secara maksimal.

Daging ikan dinyatakan tidak layak konsumsi menurut SNI 7338 : 2009 bila nilai TPC lebih dari 5x105 koloni/g (BSN2009). Berdasarkan hasil yang disajikan pada Gambar 8 dapat diketahui bahwa fillet ikan nila pada jam ke-4 dari sampel tanpa sonikasi dan sampel yang disonikasi selama 9 menit dinilai masih layak untuk dikonsumsi karena memiliki jumlah mikroba sebesar 9,2x104 koloni/g dan 5,2x104 koloni/g (< 5x105 koloni/g).

17 Karakteristik Histologis

Analisis histologis dilakukan untuk mengetahui struktur jaringan daging secara mikroskopis. Sampel yang diamati antara lain sampel tanpa perlakuan dan sampel yang disonikasi 9 menit dimana masing-masing sampel dianalisis pada kondisi segar dan busuk (Gambar 9).

Berdasarkan hasil analisis histologi pada Gambar 9, dapat dilihat perbedaan kondisi histologi dari daging ikan nila segar yang diberikan perlakuan sonikasi dan yang tidak disonikasi. Sampel tanpa sonikasi (Gambar 9a) merupakan sampel kontrol tanpa sonikasi yang struktur dagingnya terlihat lebih kompak dan teratur. Bila dibandingkan dengan sampel yang disonikasi selama 9 menit (Gambar 9b) struktur daging terlihat tidak kompak dan daging tidak menyatu. Hal ini diduga karena daging mengalami kerusakan akibat adanya sonikasi, dengan demikian adanya sonikasi dapat mempengaruhi perubahan struktur daging yaitu daging menjadi tidak kompak dan tidak menyatu. Sonikasi dapat membuat daging ikan lebih berair akibat keluarnya sarkoplasma dari dalam miomer.

Gambar 9 Jaringan ikan nila segar (400 kali)

a) tanpa sonikasi b) dengan sonikasi Menurut Dolatowski et al. (2007), gelombang ultrasonik menyebabkan gangguan sel membran yang dapat meningkatkan keempukan daging baik secara langsung, melalui melemahnya fisik struktur otot, atau secara tidak langsung oleh aktivasi enzim proteolitik baik dengan pelepasan enzim katepsin dari lisosom dan atau dari Ca2+ ion dari intraseluler sehingga dapat mengaktifkan enzim kalpain.

Analisis histologi juga dilakukan pada sampel dalam kondisi busuk. Proses sonikasi dilakukan pada sampel dalam kondisi segar, kemudian sampel yang telah disonikasi dibiarkan hingga mencapai kondisi busuk. Hasil analisis histologi pada sampel kondisi busuk disajikan pada Gambar 10.

18

Gambar 10 Jaringan ikan nila busuk (400 kali) a) tanpa sonikasi b) dengan sonikasi

Berdasarkan hasil analisis histologi pada Gambar 10, dapat dilihat perbedaan kondisi histologi dari daging ikan nila busuk yang diberikan perlakuan sonikasi dan yang tidak disonikasi. Apabila diamati lebih teliti, tingkat kerusakan daging pada sampel yang disonikasi selama 9 menit (Gambar 10b) terlihat lebih rusak dibandingkan sampel tanpa sonikasi (Gambar 10a). Hal ini diduga karena adanya pengaruh sonikasi dan hasil degradasi daging secara enzimatis serta mikrobiologis selama proses pembusukan berlangsung. Menurut Kim et al. (2002), selama proses pembusukan enzim proteolitik berperan dalam degradasi protein. Enzim proteolitik, contohnya katepsin berada dalam organel lisosom dimana lisosom ini berada dalam serabut otot dan membrane sel (Hu dan Leung 2006). Aktifnya enzim katepsin mampu merusak serabut otot pada daging ikan sehingga secara histologi daging ikan terlihat sangat rusak dan tidak kompak. Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian Chereta et al. (2007) yang menyebutkan bahwa pengaruh enzim proteolitik (katepsin dan kalpain) dapat merusak miofibril daging ikan dan menyebabkan penurunan tingkat kekenyalan daging.

Dokumen terkait