• Tidak ada hasil yang ditemukan

h10 (m) h85 (m) ars (%) Cibogo 1270,1 6,81 5,78 7,37 532 904 5,46 Ciesek 2514,7 11,15 7,06 11,81 458 1244 7,05 Cisarua 2297,9 13,10 9,11 15,63 591 1540 7,24 Cisukabirus 1704,0 10,98 8,33 16,29 491 1327 7,61 Ciseuseupan 2212,0 8,51 5,08 5,11 354 591 2,90 Tugu 4780,7 11,58 8,39 12,30 598 1169 4,93 Hasil perhitungan Dimana,

S(n-1)n = kemiringan rata-rata antara dua garis kontur (n-1) dan n yang saling berdekatan dalam m/m, A(n-1)n = luas areal antara dua garis

kontur (n-1) dan n dalam m2, A = Luas subDAS dalam m2.

Kemiringan sungai rata-rata dihitung dengan metode faktor kemiringan 85-10 (the 85-10 slope factor method), yaitu kemiringan antara 10% sampai 85% jarak sungai yang diukur dari keluarannya (Seyhan 1977). Persamaan yang digunakan adalah:

ms

L

h

h

ars

)

75

,

0

(

10 85

=

dengan h85 adalah ketinggian pada 85% jarak sungai dalam meter, dan h10 adalah ketinggian pada 10% jarak sungai dalam meter.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Presipitasi

Data curah hujan dan tinggi muka air yang keduanya diperoleh dari pencatatan secara otomatis dipilih berdasarkan pada ketentuan bahwa hidrograf yang terjadi mempunyai puncak tunggal. Dari data curah hujan dan tinggi muka air yang dikumpulkan Proyek Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai Ciliwung–Cisadane, terpilih sebanyak 9 kasus kejadian berpasangan selama tahun 2004. Curah hujan kumulatif dengan selang waktu 30 menit dan waktu kejadiannya tertera pada Lampiran 4.

Metode analisis presipitasi yang digunakan sebagai salah satu masukan HEC-HMS adalah metode user gage weights, yaitu menentukan bobot curah hujan untuk setiap satu titik pengamatan sebagai dasar perhitungan curah

hujan wilayah. Bobot curah hujan wilayah dalam penelitian ini dihitung berdasarkan poligon Thiessen. Hasil perhitungan bobot poligon Thiessen pada masing-masing subDAS ditunjukkan pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1 Bobot poligon Thiessen pada masing-masing subDAS di DAS Ciliwung bagian hulu

Bobot Tiap Stasiun SubDAS

Cilember Citeko Gadog Gunung

Mas Cibogo 0,23 0,69 0,08 - Ciesek 0,75 - 0,15 0,10 Cisarua 0,15 0,61 - 0,24 Cisukabirus 0,07 0,82 0,11 - Ciseuseupan 0,08 0,07 0,85 - Tugu 0,13 0,03 - 0,84 Hasil perhitungan

5.2 Bilangan Kurva dan Impervious Area SCS (Soil Conservation Service) telah mengembangkan indeks yang disebut run off curve number, atau yang lebih dikenal dengan bilangan kurva (CN). Bilangan ini menyatakan pengaruh hidrologi bersama antara tanah, penggunaan lahan, perlakuan terhadap tanah, keadaan hidrologi, dan kandungan air sebelumnya terhadap pendugaan volume aliran permukaan.

Penggunaan lahan di DAS Ciliwung bagian hulu dibagi dalam lima jenis penggunaan lahan yaitu hutan, tegalan, kebun, sawah dan pemukiman. Kemudian Fakhrudin (2003) mengklasifikasikan penggunaan lahan tersebut berdasarkan klasifikasi U.S Soil Conservation Service (1971) sehingga didapatkan pengelompokan sebagai berikut: 1. Hutan pinus dan hutan rakyat diklasifikasi

Tabel 5.2 Total curah hujan 5 hari sebelum kejadian hujan terpilih di DAS Ciliwung bagian hulu Curah Hujan (mm) SubDAS 10 /1 18/1 9/2 18/3 27/5 14/7 16/9 30/11 14/12 Cibogo 46 43 60 78 37 26 42 66 108 Ciesek 77 14 74 70 76 55 68 22 183 Cisarua 30 56 50 69 25 29 32 69 111 Cisukabirus 43 50 57 80 29 22 31 74 88 Ciseuseupan 170 65 147 164 112 82 43 97 193 Tugu 25 68 41 47 22 56 13 51 149

Hasil perhitungan, data dari Proyek Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai Ciliwung-Cisadane 2004

2. Kebun atau kebun campuran yang ditanami nangka, mangga, kelapa, bambu, kaliandra, lamtoro dan sejenisnya diklasifikasikan ke dalam leguminosa ditanam rapat atau pergiliran tanaman padang rumput menurut kontur dan berkondisi hidrologi buruk.

3. Pemukiman DAS Ciliwung bagian hulu disetarakan dengan pemukiman yang rata-rata kedap air 65%.

4. Sawah berteras menurut kontur diklasifikasikan ke dalam padi-padian berteras baik.

5. Tegalan dengan tanaman semusim yang ditanami jagung, singkong, padi gogo diklasifikasikan ke dalam tanaman semusim menurut lereng dengan kondisi buruk.

Kondisi hidrologi tanah ditunjukkan berdasarkan pembagian kelompok hidrologi tanah (HSG) yang ditentukan dari jenis tanah. Berdasarkan peta tanah semi detail 1992, kelompok hidrologi tanah di DAS Ciliwung bagian hulu ditentukan dengan mengikuti pengelompokkan menurut Fakhrudin (2003).

Kondisi kandungan air tanah (KAT) sebelumnya ditentukan berdasarkan jumlah curah hujan pada lima hari sebelum kasus kejadian hujan terpilih (Tabel 5.2) dan dianggap berlangsung pada musim tumbuh.

Nilai bilangan kurva pada masing-masing subDAS dihitung berdasarkan bobot luas setiap bentuk penggunaan lahan menurut kelompok hidrologi tanahnya. Berdasarkan hasil perhitungan, rata-rata bilangan kurva di DAS Ciliwung bagian hulu pada tahun 2004 sebesar 72,14 pada kondisi rata-rata atau KAT II.

Selain bilangan kurva, luas daerah impervious juga mempengaruhi volume limpasan dari suatu DAS. Berdasarkan faktor imperviousness pada Tabel 3.4, DAS Ciliwung bagian hulu memiliki luas wilayah impervious sebesar 10,3% atau sekitar 15,24 km2. Tabel

5.3 menunjukkan nilai bilangan kurva dan imperviousness pada tiap subDAS di DAS Ciliwung bagian hulu pada kondisi KAT I, II dan III.

Tabel 5.3 Nilai bilangan kurva dan imperviousness tiap SubDAS di DAS Ciliwung bagian hulu tahun 2004

SubDAS CN I CN II CN III Imp (%) Cibogo 68,06 83,53 92,11 12,73 Ciesek 59,97 78,11 89,14 10,78 Cisarua 41,35 62,67 79,43 10,60 Cisukabirus 41,71 63,01 79,67 8,50 Ciseuseupan 64,78 81,41 90,97 12,41 Tugu 48,88 69,48 83,96 8,96 Hasil perhitungan

5.3 Penyusunan Basin Model

Penyusunan basin model merupakan salah satu tahap penting dalam analisa sistem hidrologi menggunakan HEC-HMS. Dalam basin model, perlu disusun konfigurasi yang menggambarkan representasi fisik dari suatu DAS berdasarkan elemen-elemen hidrologi. Terdapat tujuh elemen hidrologi yang tersedia dalam HEC-HMS, yaitu Subbasin, Reach, Reservoir, Junction, Diversion, Source, dan Sink.

Pada penelitian ini elemen hidrologi yang digunakan untuk mengkonfigurasi DAS Ciliwung bagian hulu terdiri dari 6 subbasin, 4 reach, 4 junction dan 1 sink, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.1.

Penyusunan basin model juga mencakup perhitungan pada 4 submodel utama, yaitu loss model, direct runoff model, baseflow model, serta routing model. Metode dan parameter yang diperlukan sebagai masukan basin model tertera pada Tabel 5.4. Semua parameter masukan HEC-HMS dihitung pada masing-masing subDAS untuk setiap kasus kejadian hujan terpilih.

Gambar 5.1 Konfigurasi DAS Ciliwung bagian hulu dalam basin model HEC-HMS Tabel 5.4 Metode dan parameter masukan HEC-HMS

Model Metode Parameter

Initial abstraction

Bilangan kurva

Loss SCS Loss Model

Imperviousness Time lag Snyder Snyder UH Koefisien puncak SCS UH Time lag SCS Waktu konsentrasi Direct Runoff Clark UH Koefisien simpanan Aliran dasar awal Konstanta resesi Baseflow Baseflow Recession Aliran threshold Travel time Routing Muskingum

routing Faktor pembobot

1) Loss Model

Curah hujan yang jatuh pada suatu DAS akan mengalami proses infiltrasi, intersepsi, evaporasi dan bentuk kehilangan lainnya sebelum menjadi limpasan. Loss model menghitung besar curah hujan efektif dari pengurangan total curah hujan yang turun dengan precipitation loss. Penelitian ini menggunakan metode SCS, dimana merupakan metode yang sederhana, terukur, serta stabil (USACE 2000). Bedient dan Huber (1988) menyatakan bahwa pendekatan SCS sudah diterapkan dengan baik di beberapa negara, karena metode ini mempertimbangkan bentuk penggunaan lahan, sifat hidrologi tanah dan

dapat dilakukan pada daerah yang tidak terukur.

Parameter SCS yang diperlukan sebagai masukan dalam loss model adalah initial abstraction, bilangan kurva, dan persentase imperviousness. Initial abstraction (Ia) merupakan fungsi dari penggunaan dan penutupan lahan serta kondisi hidrologi seperti intersepsi, infiltrasi, depression storage serta kelembaban tanah terdahulu. Dalam metode SCS, nilai Ia dihitung berdasarkan potential maximum retention dan bilangan kurva. Penentuan bilangan kurva dan luas daerah impervious mengikuti perhitungan seperti pada Bab 5.2. Hasil perhitungan parameter loss model pada setiap kejadian hujan terpilih disajikan dalam Lampiran 5.

2) Direct Runoff Model

Tiga metode hidrograf sintetik, Snyder, SCS dan Clark, dipilih dalam penelitian ini untuk direct runoff model. Ini dilakukan agar terlihat perbandingan antar hidrograf aliran model yang dihasilkan ketiga metode hidrograf satuan. Rekapitulasi hasil perhitungan parameter direct runoff model masing-masing subDAS tertera pada Tabel 5.5.

Parameter masukan yang diperlukan untuk metode Snyder meliputi time lag (tl) dan koefisien puncak (Cp). Time lag diartikan sebagai interval waktu antara pusat massa hujan dengan saat terjadinya debit puncak. Berdasarkan hasil perhitungan, time lag Snyder rata-rata tiap subDAS sebesar 3,4 jam. Koefisien Cp diperoleh dengan cara trial-error

Nama Elemen Hidrologi Cibogo Subbasin Ciesek Subbasin Cisarua Subbasin Cisukabirus Subbasin Ciseuseupan Subbasin Tugu Subbasin J-1 Junction J-2 Junction J-3 Junction J-4 Junction

Outlet Hulu Sink

R-1 Reach R-2 Reach R-3 Reach R-4 Reach

pada saat kalibrasi. Nilai awal yang digunakan adalah 0,8.

Selain perhitungan hujan efektif, SCS juga mengembangkan hidrograf satuan sintetik yang didasarkan atas hidrograf tak berdimensi (dimensionless). Dalam HEC-HMS, metode SCS hanya memerlukan paramater time lag sebagai masukan. Berdasarkan hasil perhitungan, time lag SCS rata-rata tiap subDAS sebesar 1,9 jam.

Metode hidrograf satuan Clark memerlukan waktu konsentrasi (Tc) dan koefisien simpanan (R) sebagai parameter masukan. Waktu konsentrasi adalah waktu yang diperlukan gelombang air untuk mengalir dari titik terjauh dalam DAS menuju outlet, atau disebut juga waktu ekuilibrium dimana aliran keluar sama dengan aliran yang masuk ke dalam DAS. Berdasarkan persamaan waktu konsentrasi menurut Johnston & Cross (1949, dalam USACE 2000), nilai Tc rata-rata tiap subDAS diperoleh sebesar 3,8 jam.

Parameter R dapat dihitung sebagai aliran di titik inflectionpoint pada bagian falling limb dari suatu hidrograf dibagi dengan fungsi waktu terhadap aliran. Berdasarkan hidrograf aliran dari stasiun debit Katulampa, didapatkan rata-rata R sebesar 3,38. Nilai R pada masing-masing subdas diasumsikan proporsional dengan luas tiap subdas.

Tabel 5.5 Nilai parameter direct runoff model pada masing-masing subDAS Snyder SCS Clark SubDAS Tlag (jam) Cp Tlag (jam) Tc (jam) R Cibogo 3,01 0,8 1,34 3,17 0,29 Ciesek 3,45 0,8 1,64 3,80 0,58 Cisarua 3,75 0,8 2,62 4,09 0,53 Cisukabirus 3,44 0,8 1,78 3,70 0,39 Ciseuseupan 3,27 0,8 2,12 4,15 0,51 Tugu 3,66 0,8 1,92 4,24 1,09 Hasil perhitungan 3) Baseflow Model

Parameter aliran dasar awal, konstanta resesi dan aliran threshold pada baseflow model, ditentukan berdasarkan hidrograf aliran pengamatan dari SPAS Katulampa. Kontribusi aliran dasar dan konstanta resesi pada masing-masing subDAS diasumsikan proporsional dengan luas tiap subDAS. Persamaan yang digunakan untuk konstanta resesi, k adalah:

⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − = t Q Q k ln t ln o exp

dengan Qt adalah aliran dasar pada periode t, dan Qo adalah aliran dasar awal (pada t=0). Dari hidrograf pengamatan Katulampa pada kejadian hujan terpilih, didapatkan nilai k rata-rata sebesar 0,96.

Aliran threshold merupakan aliran saat dimulainya kurva resesi pada sisi yang menurun dari sebuah hidrograf. Pada HEC-HMS, aliran threshold ditetapkan sebagai perbandingan terhadap aliran puncak (ratio to peak). Ratio to peak dari hidrograf pengamatan Katulampa berkisar antara 0,18 sampai 0,69 dengan rata-rata sebesar 0,38.

4) Routing Model

Perhitungan rambatan gelombang aliran sungai (routing) dalam HEC-HMS dituangkan pada routing model (channel flow model). Penelitian ini menggunakan metode Muskingum. Parameter yang diperlukan adalah travel time dan faktor pembobot. Travel time (k) atau waktu tempuh aliran dari titik inlet sampai outlet, ditentukan melalui hubungan antara kecepatan aliran dengan panjang sungai.

Berdasarkan konfigurasi DAS Ciliwung bagian hulu, proses routing terbagi menjadi 4 elemen atau reach, yaitu 1, 2, 3 dan R-4. Keempat elemen tersebut berada pada satu subDAS Ciseuseupan. Menurut penelitian Irianto (2000), rata-rata lebar atas permukaan saluran subDAS Ciseuseupan sebesar 24,3 m. Slope rating curve di SPAS Katulampa diketahui sebesar 30,35 sehingga kecepatan aliran untuk keempat reach diperkirakan sebesar 1,25 m/s. Berdasarkan data tersebut, parameter k untuk R-1, R-2, R-3 dan R-4 berturut-turut adalah 0,4, 0,29, 0,23 dan 0,98 jam.

Faktor pembobot (x) dalam metode Muskingum berkisar antara 0 sampai 0,5 dengan rata-rata 0,2 untuk aliran alami. Pada penelitian, penentuan nilai x diperoleh dari hasil trial-error pada saat kalibrasi, dengan menggunakan nilai rata-rata sebagai nilai masukan awal.

5.4 Hidrograf Aliran Pengamatan

Hidrograf aliran pengamatan diperoleh dari data tinggi muka air dengan menggunakan persamaan regresi atau lengkung kalibrasi. Penelitian ini menggunakan data tinggi muka air dari stasiun pengamat arus sungai (SPAS) Katulampa. Persamaan regresi yang dipakai oleh Proyek Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai Ciliwung–Cisadane untuk SPAS Katulampa adalah sebagai berikut:

911 , 1

)

14

,

0

(

984

,

28 −

= TMA

Q

Atau dalam bentuk regresi linier:

839

,

10

347

,

30 −

= TMA

Q

dimana, Q adalah debit aliran (m3/detik) dan TMA adalah tinggi muka air (m). Hidroraf aliran pengamatan ini diperlukan untuk kalibrasi.

Parameter hidrograf aliran yang diukur dalam penelitian adalah debit puncak (Qp) volume aliran puncak (Vp) dan waktu mencapai puncak (Tp). Nilai ketiga parameter tersebut dari hidrograf pengamatan SPAS Katulampa tertera pada Tabel 5.6.

Tabel 5.6 Parameter hidrograf pengamatan Katulampa pada kasus kejadian hujan terpilih

Tgl CH Wilayah (mm) Qp (m3/s) Vp (1000m3) Tp (jam) 10 /1 20,58 31,24 1130,18 3 18/1 44,43 53,64 1779,19 3 9/2 23,55 36,61 1191,76 2,5 18/3 16,26 16,30 1199,57 3 27/5 15,72 18,92 949,07 3 14/7 19,15 17,16 551,99 3 16/9 18,39 29,54 877,88 3 30/11 22,77 19,38 963,23 3 14/12 17,77 20,77 994,64 2 Hasil perhitungan, data dari Proyek Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai Ciliwung-Cisadane 2004

5.5 Hidrograf Aliran HEC-HMS

Terdapat tiga jenis hidrograf aliran HEC-HMS yang dihitung dalam penelitian, yaitu hidrograf aliran Snyder, SCS dan Clark. Untuk mendapakan hidrograf aliran hasil model diperlukan data-data sebagai berikut:

1. Data curah hujan harian sesaat minimal dari satu titik pengamatan. Dalam penelitian ini digunakan data curah hujan per 30 menit dari Stasiun Gadog dan Gunung Mas. Sebagai tambahannya adalah data curah hujan kumulatif harian dari Stasiun Cilember dan Citeko.

2. Bobot luas subDAS yang diwakili tiap stasiun curah hujan. Dalam penelitian ini, bobot dihitung berdasarkan metode poligon Thiessen.

3. Luas wilayah masing-masing subDAS. 4. Semua parameter yang terdapat dalam

basin model, meliputi loss, direct runoff, serta channel flow model.

5. Control specification, yaitu input waktu (hari dan jam) kapan dimulai dan

berakhirnya eksekusi (running) dari program, termasuk interval waktu yang digunakan. Interval waktu atau biasa disebut computation step menentukan resolusi hasil model yang dihitung selama proses running berdasarkan interpolasi linier. Penelitian ini menggunakan resolusi 30 menit untuk setiap kasus kejadian hujan terpilih.

6. Untuk keperluan kalibrasi, diperlukan data debit aliran sesaat minimal dari satu titik pengamatan. Dalam penelitian ini digunakan data debit aliran per jam dari stasiun Katulampa.

Dari data masukan diatas, hidrograf aliran HEC-HMS dari metode hidrograf satuan Snyder, SCS dan Clark dapat diketahui (Lampiran 7). Hampir semua hidrograf hasil HEC-HMS menghasilkan aliran yang lebih tinggi dari hidrograf pengamatan. Ini terlihat dari parameter debit puncak, volume puncak dan waktu mencapai puncak yang cukup berbeda dibandingkan nilai pengamatannya. Perbedaan kemungkinan disebabkan oleh ketidaktepatan nilai parameter yang digunakan sebagai data masukan model. Untuk itu diperlukan adanya kalibrasi agar hasil yang diberikan model lebih baik atau mendekati nilai pengamatan.

HEC-HMS menyediakan fitur optimization manager yang berguna untuk mengestimasi semua nilai parameter secara otomatis. Untuk melakukannya diperlukan data debit hasil pengamatan. Metode yang digunakan dalam HEC-HMS adalah objective functions dan search methods. Nilai parameter kalibrasi dalam penelitian ini menggunakan kriteria peak weighted RMS error objective function dengan algoritma univariate gradient (Lampiran 8).

Hidrograf aliran HEC-HMS menggunakan parameter terkalibrasi ditunjukkan pada Lampiran 9. Parameter Qp, Vp dan Tp dari hidrograf HEC-HMS berdasarkan parameter masukan awal dan parameter hasil kalibrasi, dengan nilai pengamatannya ditunjukkan pada Lampiran 10.

Perbedaan cukup signifikan didapat dari hidrograf aliran hasil model setelah dikalibrasi. Dari 9 kasus kejadian hujan terpilih, didapatkan nilai Qp terbesar 102,23 m3/s pada metode Clark, dan terkecil 16,83 m3/s pada metode Snyder. Nilai Vp terbesar juga dihasilkan hidrograf Clark, yaitu 3.172.630 m3 dan terkecil 699.190 m3 pada metode Snyder. Nilai Tp pada hidrograf aliran model berkisar antara 3-6,5 jam.

5.6 Pengujian Model

Pengujian model dilakukan dengan cara membandingkan hidrograf hasil pengamatan dengan hidrograf aliran yang dihasilkan model HEC-HMS. Pengujiannya dilakukan dengan uji kemiripan atau Uji-F menggunakan persamaan (Nash dan Sutcliffe 1970):

[ ]

[ ]

= = = n i obs el n i el obs Q t Q t Q t Q F 1 2 mod 1 2 mod ) ( ) ( ) ( 1 dimana, F = koefisien kemiripan, F ≤ 1 Qobs(t) = debit pengamatan pada waktu

ke –t (m3/s),

Qmodel(t) = debit hasil model pada waktu ke –t (m3/s),

obs

Q

= debit pengamatan rata-rata (m3/s).

Berdasarkan hasil uji kemiripan, model Clark, SCS maupun Snyder memberikan nilai F yang hampir sama. Kisaran nilai F sebear 0,6-0,7 menandakan kemiripan antara model dengan pengamatan adalah sedang.

Dibandingkan metode lainnya, metode SCS memiliki nilai F tertinggi, menunjukkan bahwa metode SCS adalah yang paling sesuai untuk DAS Ciliwung hulu.

Tabel 5.7 Nilai F hasil pengujian model Clark, SCS dan Snyder F Tgl Clark SCS Snyder 10-Jan 0,64 0,72 0,75 18-Jan 0,49 0,40 0,30 9-Feb 0,40 0,43 0,34 18-Mar 0,67 0,61 0,66 27-May 0,82 0,88 0,82 14-Jul 0,71 0,75 0,67 16-Sep 0,97 0,98 0,87 30-Nov 0,87 0,91 0,87 14-Dec 0,63 0,67 0,65 Rataan 0,69 0,71 0,66 Hasil perhitungan

Pengujian model juga dilakukan dengan metode grafis. Parameter Qp, Vp dan Tp hasil model dibandingkan dengan pengamatan menggunakan Grafik 1:1 seperti pada Gambar 5.2-5.4. Hasilnya menunjukkan bahwa model dapat memberikan nilai Qp dan Vp yang cukup mendekati pengamatan, baik metode Clark, SCS ataupun Snyder, tetapi tidak demikian dengan Tp. Model tidak dapat memberikan nilai Tp yang mendekati pengamatan pada ketiga metode hidrograf satuan.

Qp (m3/s) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 obs model Clark SCS Snyder

Gambar 5.2 Grafik 1:1 antara parameter debit puncak hidrograf aliran HEC-HMS dengan pengamatan

Vp (1000 m3) 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 obs model Clark SCS Snyder

Gambar 5.3 Grafik 1:1 antara parameter volume puncak hidrograf aliran HEC-HMS dengan pengamatan

Tp (hr) 0 1 2 3 4 5 6 7 0 1 2 3 4 5 6 7 obs model Clark SCS Snyder

Gambar 5.4 Grafik 1:1 antara parameter waktu puncak hidrograf aliran HEC-HMS dengan pengamatan

5.7 Kepekaan HEC-HMS terhadap Parameter Bilangan Kurva

Semua model dalam HEC-HMS baik model Snyder, SCS maupun Clark memerlukan parameter bilangan kurva sebagai salah satu data masukannya. Bilangan kurva yang dikatakan mempunyai pengaruh hidrologi bersama antara tanah, penggunaan lahan, perlakuan terhadap tanah, keadaan hidrologi, dan kandungan air tanah sebelumnya, sangat berperan dalam mempengaruhi nilai parameter hidrograf aliran.

Berdasarkan hal itu, perlu dikaji kepekaan HEC-HMS terhadap parameter bilangan kurva ditinjau dari nilai parameter hidrograf aliran yang dihasilkan (Qp, Vp dan Tp). Kepekaan HEC-HMS terhadap nilai bilangan kurva ditentukan berdasarkan perhitungan selisih antara nilai parameter hidrograf aliran yang dihasilkan HEC-HMS pada KAT kondisi II dengan KAT kondisi hujan terpilih terhadap parameter hidrograf aliran pengamatan.

Persamaan yang digunakan dalam mengukur kepekaan bilangan kurva terhadap debit puncak Qp, adalah sebagai berikut:

% 100 / = × Δ pA pC pB pA p Q Q Q Q Q dimana,

QpA = debit puncak yang dihasilkan hidrograf pengamatan,

QpB = debit puncak yang dihasilkan hidrograf model pada KAT kondisi hujan terpilih,

QpC = debit puncak yang dihasilkan hidrograf model pada KAT kondisi II.

Dengan menggunakan persamaan yang sama, kepekaan bilangan kurva terhadap parameter volume puncak dan waktu puncak juga dapat ditentukan. Hasil perhitungan kepekaan bilangan kurva terhadap parameter Qp, Vp dan Tp tertera pada Tabel 5.8.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa model HEC-HMS, baik Snyder, SCS maupun Clark, cukup peka terhadap parameter bilangan kurva, terutama dilihat dari parameter Qp dan Vp yang dihasilkan model. Beberapa nilai Tp

tidak berubah terhadap perubahan bilangan kurva, ditunjukkan dengan nilai nol pada ∆Tp/TpA. Ini berarti perubahan bilangan kurva berpengaruh signifikan terhadap nilai Qp, Vp

yang dihasilkan HEC-HMS, tetapi tidak selalu terjadi perubahan pada nilai Tp.

Rata-rata absolut dari nilai ∆Qp/QpA, ∆Vp/VpA, dan ∆Tp/TpA yang dihasilkan model Snyder, SCS dan Clark hampir tidak jauh berbeda. Ini menunjukkan ketiga model mempunyai kepekaan yang hampir sama terhadap bilangan kurva, baik dilihat dari nilai Qp, Vp maupun Tp.

Tabel 5.8 Rasio selisih nilaiQp, Vp dan Tpyang dihasilkan HEC-HMS pada KAT hujan terpilih dengan KAT kondisi II terhadap Qp, Vp dan Tp pengamatan

Tgl Metode pA p

Q

Q

Δ

pA p

V

V

Δ

pA p

T

T

Δ

Clark 2,69 11,58 16,67 SCS 7,07 9,75 0,00 10/1 Snyder -14,82 6,10 -16,67 Clark 27,61 37,06 -16,67 SCS 8,00 16,24 -16,67 18/1 Snyder -15,31 18,45 50,00 Clark 24,15 21,69 0,00 SCS 24,15 15,77 0,00 9/2 Snyder -6,45 12,04 20,00 Clark 31,72 20,02 -16,67 SCS 35,28 17,23 0,00 18/3 Snyder 26,63 26,12 -16,67 Clark 18,66 32,21 -16,67 SCS 40,96 28,90 0,00 27/5 Snyder 24,47 30,82 0,00 Clark 7,81 13,08 -16,67 SCS 9,44 0,48 0,00 14/7 Snyder 15,21 17,43 16,67 Clark 26,13 23,57 -33,33 SCS 28,50 25,57 -16,67 16/9 Snyder 42,28 32,11 -16,67 Clark 14,96 16,38 16,67 SCS 19,09 17,08 16,67 30/11 Snyder 13,52 10,14 0,00 Clark 18,68 25,50 0,00 SCS 23,50 32,33 50,00 14/12 Snyder 27,68 34,23 -25,00 Clark 19,16 22,34 14,81 SCS 21,78 18,15 11,11 Rata-rata absolut Snyder 20,71 20,83 17,96 Hasil perhitungan

5.8 Simulasi Hidrograf Aliran

Simulasi hidrograf aliran dilakukan untuk mengetahui perkiraan debit yang sering menyebabkan terjadinya banjir berdasarkan prediksi perubahan penggunaan lahan dan curah hujan harian maksimum. Penggunaan lahan DAS Ciliwung bagian hulu tahun 2010 diprediksi berdasarkan perubahan penggunaan lahan yang terjadi antara tahun 1996 dan 2004. (Tabel 5.9).

Tabel 5.9 Penggunaan lahan DAS Ciliwung Hulu tahun 1996 dan 2004 serta prediksi tahun 2010 Tipe Penggunaan Lahan 1996 (Ha) 2004 (Ha) Perubahan (Ha) Laju (Ha/Th) 2010 (Ha) Hutan 4973,4 3402,8 -1570,6 -196,3 2224,9 Kebun 3083,5 2235,4 -848,1 -106,0 1599,3 Pemukiman 1878,7 3869,6 1991,0 248,9 5362,9 Sawah 1771,6 3085,6 1313,9 164,2 4071,0 Tegalan 2835,1 1948,9 -886,2 -110,8 1284,2 Total 14542,3 14542,3 0,0 0,0 14542,3

Hujan harian maksimum DAS Ciliwung bagian hulu ditetapkan dengan menggunakan data historis hujan selama 18 tahun (1985-2002) pada tiga titik stasiun pengamatan, Citeko, Gunung Mas dan Katulampa.

Pada penelitian ini, persamaan untuk menduga hujan harian maksimum pada berbagai periode ulang menggunakan analisis frekuensi Chow (1964), dengan menganggap data mengikuti distribusi nilai ekstrim Gumbel tipe I. Analisis frekuensi dilakukan dengan menggunakan data curah hujan harian maksimum wilayah, yang dihasilkan berdasarkan bobot luas poligon Thiessen. Hasil perhitungan menunjukkan nilai rata-rata hujan harian maksimum wilayah DAS Ciliwung bagian hulu sebesar 76,5 mm dengan standar deviasi 24,22 mm. Hujan harian maksimum wilayah pada beberapa periode ulang disajikan pada Tabel 5.10.

Tabel 5.10 Curah hujan harian maksimum wilayah DAS Ciliwung bagian hulu

T (Thn) KT XT 1.01 -1,64 37 2 -0,16 73 5 0,72 94 10 1,30 108 20 1,87 122 25 2,04 126 50 2,59 139 100 3,14 152

Hasil perhitungan, data dari BMG

Distribusi hujan harian per jam diturunkan berdasarkan persentase rata-rata hujan harian per jam dari Stasiun Gunung Mas dan Gadog pada beberapa kejadian hujan tahun 2004. Rata-rata durasi hujan berdasarkan data yang dianalisis adalah sebesar 3-4 jam. Persentase rata-rata distribusi hujan per jam durasi 2, 3 dan 4 jam kedua stasiun ditampilkan pada Tabel 5.11.

Tabel 5.11 Rata-rata persentase distribusi hujan harian durasi 2, 3 dan 4 jam di Stasiun Gadog dan Gunung Mas

Persentase CH (%) Gadog Gn Mas Jam ke- 2 jam 3 jam 4 jam 2 jam 3 jam 4 jam 1 54 57 59 61 64 44 2 46 25 15 39 27 23 3 - 18 13 - 9 22 4 - - 13 - - 11

Hasil perhitungan, data dari Proyek Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai Ciliwung-Cisadane

Pada penelitian ini simulasi dilakukan menggunakan data curah hujan harian maksimum wilayah pada periode ulang 5, 10 dan 20 tahun, dari Stasiun Citeko, Gunung Mas dan Katulampa. Distribusi hujan harian per jam Stasiun Katulampa dianggap sama dengan distribusi hujan harian Stasiun Gadog, yang merupakan stasiun terdekat.

Parameter masukan HEC-HMS yang digunakan dalam simulasi adalah nilai rata-rata parameter hasil kalibrasi yang telah dilakukan sebelumnya (Lampiran 8). Berdasarkan parameter masukan tersebut, debit puncak, volume puncak dan waktu puncak hasil simulasi ditunjukkan pada Tabel 5.12.

Tabel 5.12 Perkiraan debit puncak, volume puncak dan waktu puncak hidrograf model HEC-HMS pada tahun 2010

Periode Ulang Metode Qp (m3) Vp (1000 m3) Tp (jam) Clark 115,6 4234,0 5 SCS 114,6 4217,2 4 5 Tahun (Hujan 94 mm) Snyder 96,3 3644,5 5 Clark 147,1 5371,3 5 SCS 146,1 5363,1 4 10 Tahun

Dokumen terkait