• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi Sistem

Berdasarkan studi literatur, beberapa pelaku sistem yang berperan dalam ketersedian CPO dapat diidentifikasi. Tabel 4 menyajikan kebutuhan dari masing-masing pelaku sistem yang dapat menyebabkan kejadian konflik pada pencapaian tujuan penelitian ini. Pelaku sistem dan kebutuhannya telah disesuaikan dengan batasan penelitian. Diagram input output dari sistem ini dapat dilihat pada Gambar 9.

12

Tabel 4 Pelaku sistem terindentifikasi dan kebutuhannya

No Pelaku Sistem Kebutuhan

1 Pemerintah CPO tersedia dan mencukupi semua kebutuhan 2 Petani Pengembangan lahan dapat dilakukan, dan

produktivitas tinggi sehingga hasil panen melimpah 3 Produsen Biodiesel Jumlah produksi biodiesel terus meningkat dan CPO

sebagai bahan baku biodiesel dapat tersedia 4 Importir CPO Jumlah CPO yang dapat diekspor terus meningkat 5 Masyarakat Kebutuhan pangan terhadap CPO terpenuhi

Gambar 9 Diagram input output sistem dinamik ketersediaan CPO

Konseptualisasi Sistem

Permasalahan ketersediaan CPO untuk memenuhi kebutuhannya merupakan suatu permasalahan sistem yang cukup kompleks dengan melibatkan berbagai komponen variabel yang saling berinteraksi dan terintegrasi. Ketersediaan CPO dapat dipandang sebagai suatu masalah dinamika sistem yang berubah sepanjang waktu dan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang juga bersifat dinamik. Sistem ketersediaan CPO digambarkan pada diagram sebab akibat dan dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Diagram sebab akibat model ketersediaan CPO

Lahan Perkebunan Ketersediaan CPO Produktivitas Produksi CPO + + + Permintaan Margarin -Permintaan Minyak Goreng -+ + Produksi Biodiesel Ekspor -+ + -Populasi + +

13 Produksi CPO dipengaruhi oleh luas lahan perkebunan kelapa sawit (ha) dan produktivitasnya (ton CPO/ha lahan). Jika luas lahan perkebunan semakin besar dan produktivitas semakin tinggi, maka produksi CPO akan meningkat dan kemampuan CPO untuk memenuhi permintaan semakin besar. Di sisi lain, semakin besar jumlah ekspor CPO, produksi biodiesel, permintaan margarin dan minyak goreng akan menurunkan ketersediaan CPO. Permintaan margarin dan minyak goreng sendiri dipengaruhi oleh populasi penduduk. Jika populasi penduduk semakin banyak maka permintaan terhadap produk pangan berbasis CPO, margarin dan minyak goreng, akan meningkat.

Model sistem dinamik yang dikembangkan dibatasi pada hal-hal yang berkaitan dengan penawaran (produksi) CPO dan permintaan terhadap CPO bagi kebutuhan pangan, ekspor CPO dan produksi biodiesel. Untuk memudahkan pemodelan, sistem ketersedian CPO dibagi menjadi dua subsistem utama yaitu subsistem penawaran dan subsistem permintaan. Subsistem permintaan dibagi kembali menjadi subsistem kebutuhan pangan, subsistem ekspor CPO dan subsistem produksi biodiesel. Secara umum, hierarki model ketersediaan CPO dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Hierarki model ketersediaan CPO

Formulasi Sistem

Formulasi model merupakan perumusan masalah ke dalam bentuk matematis yang dapat mewakili sistem nyata. Formulasi model menghubungkan variabel-variabel yang telah diidentifikasi dalam model konseptual. Beberapa asumsi yang digunakan dalam pemodelan penelitian ini adalah:

1. Kebutuhan akan CPO hanya dihitung berdasarkan kebutuhan pangan, ekspor CPO dan produksi biodiesel. Kebutuhan pangan dihitung berdasarkan kebutuhan per kapita akan produk pangan berbasis CPO yaitu minyak goreng dan margarin. Kebutuhan akan CPO untuk bidang oleokimia tidak masuk dalam pemodelan.

2. Aspek ketahanan pangan yang dibahas dalam pemodelan adalah aspek ketersediaan pangan. Aspek stabilitas harga pangan, akses terhadap pangan, dan pemanfaatan atau konsumsi tidak dibahas dalam pemodelan.

3. Penyediaan CPO hanya dihitung berdasarkan jumlah produksi CPO dalam negeri. Impor CPO diabaikan.

14

4. Laju pertumbuhan lahan Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS) berturut-turut adalah 8,56%; 0,92% dan 5,91% per tahun.

5. Produktivitas PR, PBN dan PBS berturut-turut adalah 2,27 ton/ha; 3,22 ton/ha dan 2,75 ton/ha.

6. Laju pertumbuhan ekspor CPO adalah 10,85% per tahun.

7. Laju pertumbuhan produksi biodiesel adalah 24,43% tahun dan nilai konversi CPO menjadi biodiesel adalah 1 ton biodiesel/1 ton CPO.

8. Laju pertumbuhan penggunaan solar dalam pencampurannya dengan biodiesel 33,1% per tahun dengan pengaruh perlambatan sebesar 48,4% per tahun.

9. Laju pertumbuhan ekspor biodiesel adalah 10% per tahun.

10.Laju pertumbuhan kebutuhan margarin dan minyak goreng per kapita berturut-turut adalah 0,89% per tahun dan 3,31% per tahun, dengan nilai konversi CPO menjadi margarin dan minyak goreng adalah 0,15 ton margarin/1 ton CPO dan 0,57 ton minyak goreng/1 ton CPO.

11.Laju pertumbuhan populasi Indonesia adalah 1,49% per tahun.

12.Periode analisis simulasi dibatasi untuk periode tahun 2014 sampai dengan 2020.

Formulasi dilakukan dalam perangkat lunak Powersim menggunakan diagram kotak panah. Diagram kotak panah lengkap untuk model ketersediaan CPO dapat dilihat pada Lampiran 5, dan formulasi model dapat dilihat pada Lampiran 4. Persamaan matematis tujuan utama pemodelan adalah:

Ketersediaan CPO = Produksi CPO – (CPO Ekspor + Kebutuhan Pangan + CPO untuk biodiesel)

Subsistem Penawaran

Penawaran atau penyediaan CPO di Indonesia diproduksi dari beberapa jenis pengusahaan perkebunan kelapa sawit antara lain Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS). Masing-masing jenis perkebunan memiliki luas lahan, produktivitas dan laju pertumbuhan lahan yang berbeda. Impor CPO yang juga mempengaruhi ketersediaan CPO tidak masuk ke dalam pemodelan karena nilai impor relatif kecil. Nilai impor CPO dapat dilihat pada Lampiran 1. Diagram kotak panah subsistem penawaran dapat dilihat pada Gambar 12. Subsistem penawaran dirumuskan dalam persamaan matematis berikut:

Produksi CPO = Jumlah Produksi PR + Jumlah Produksi PBN + Jumlah Produksi PBS

Jumlah Produksi PR = Luas Lahan PR x Produktivitas PR Jumlah Produksi PBN = Luas Lahan PBN x Produktivitas PBN Jumlah Produksi PBS = Luas Lahan PBS x Produktivitas PBS Luas Lahan PR = 4 543 121 + dt*Laju Pertumbuhan Lahan PR Luas Lahan PBN = 690 312 + dt*Laju Pertumbuhan Lahan PBN Luas Lahan PBS = 4 977 459 + dt*Laju Pertumbuhan Lahan PBS

Laju pertumbuhan lahan PR, lahan PBN dan lahan PBS berturut-turut adalah 8,56%; 0,92% dan 5,91% per tahun. Produktivitas PR, PBN dan PBS berturut-turut adalah 2,27 ton/ha; 3,22 ton/ha dan 2,75 ton/ha. Nilai 4 543 121;

15 690 312 dan 4 977 459 adalah luas lahan awal tahun 2014 masing-masing perkebunan dengan satuan hektar (ha). Nilai pertumbuhan lahan, produktivitas dan luas lahan awal berasal dari pengolahan data luas lahan kelapa sawit dan produksi CPO dari Direktorat Jenderal Perkebunan (2013) yang dapat dilihat pada Lampiran 1. Jumlah produksi PR, produksi PBN dan produksi PBS memiliki satuan ton, sehingga produksi CPO memiliki satuan yang sama. Luas lahan PR, lahan PBN dan lahan PBS memiliki satuan hektar (ha). Sedangkan dt merupakan perubahan waktu atau interval waktu simulasi.

Tanaman kelapa sawit secara umum memiliki waktu tumbuh rata-rata 20 sampai 25 tahun. Pada tiga tahun pertama, tanaman disebut sebagai kelapa sawit muda dan pada umur tersebut kelapa sawit belum menghasilkan buah. Kelapa sawit mulai berbuah pada usia empat sampai enam tahun. Pada usia tujuh sampai sepuluh tahun, tanaman disebut sebagai periode matang, dimana pada periode tersebut mulai menghasilkan buah tandan segar. Tanaman kelapa sawit pada usia sebelas sampai dua puluh tahun mulai mengalami penurunan produksi buah tandan segar, terkadang pada usia 20 sampai 25 tahun tanaman kelapa sawit mati (Polem dan Taniputra 1986). Dinamika tumbuh tanaman kelapa sawit ini tidak masuk ke dalam pemodelan dan menjadi keterbatasan model.

16

Subsistem Kebutuhan Pangan

Kebutuhan pangan berbasis CPO didefinisikan sebagai permintaan terhadap produk pangan berbasis CPO. Menurut Haryadi (2003), sebagian besar CPO dalam hal pangan digunakan untuk pembuatan minyak goreng dan sebagian untuk pembuatan margarin. Karena itu, produk pangan berbasis CPO dibatasi hanya berupa minyak goreng (migor) dan margarin. Kebutuhan pangan berbasis CPO dipengaruhi oleh jumlah populasi Indonesia, masing-masing kebutuhan per kapita per tahun dan laju pertumbuhannya. Diagram kotak panah subsistem kebutuhan pangan dapat dilihat pada Gambar 13. Subsistem kebutuhan pangan dirumuskan dengan persamaan matematis sebagai berikut:

Kebutuhan Pangan = CPO untuk Margarin + CPO untuk Migor

CPO untuk Margarin = Permintaan Margarin * Rendemen Margarin per CPO CPO untuk Migor = Permintaan Migor * Rendemen Migor per CPO Permintaan Margarin = Margarin per kapita * Jumlah Penduduk

Permintaan Migor = Migor per kapita * Jumlah Penduduk

Margarin per Kapita = 0,0000647+ dt*Laju Pertumbuhan Kebutuhan Margarin Migor per Kapita = 0,0092112+ dt*Laju Pertumbuhan Kebutuhan Migor Jumlah Penduduk = ROUND (Populasi Penduduk Indonesia)

Populasi Penduduk Indonesia = 252 124 458 + dt*Laju Pertumbuhan Populasi Populasi penduduk Indonesia terus mengalami peningkatan mengikuti laju pertumbuhannya. Laju pertumbuhan Indonesia per tahun pada tahun 1990-2000 dan 2000-2010 adalah sebesar 1,49% (BPS, 2012). Sehingga diasumsikan untuk masa yang akan datang laju pertumbuhan Indonesia adalah sama yaitu 1,49%. Nilai 252 124 458 adalah jumlah penduduk awal tahun 2014 yang didapat dari pengolahan data jumlah penduduk dari BPS (2012) dengan satuan orang/people (ppl). Jumlah penduduk dibulatkan menggunakan fungsi Round yang tersedia pada Powersim. Jumlah permintaan margarin dan minyak goreng dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan kebutuhan per kapitanya. Kebutuhan margarin dan minyak goreng per kapita terus mengalami peningkatan sesuai laju pertumbuhannya, yaitu 0,89% untuk margarin dan 3,31% untuk minyak goreng. Nilai 0,0000647 dan 0,0092112 merupakan kebutuhan margarin dan minyak goreng per kapita awal tahun 2014 dengan satuan ton per orang (ton/ppl). Nilai ini didapat dari pengolahan data kebutuhan margarin dan minyak goreng per kapita dari BKP (2013) dan dapat dilihat pada Lampiran 2.

Konversi CPO menjadi margarin diasumsikan adalah 0,15 ton margarin/1 ton CPO. Menurut Fatimah dan Prasetya (2013), beberapa proses modifikasi minyak yang biasa digunakan untuk menghasilkan margarin ada tiga macam, yaitu interesterifikasi, winterisasi dan hidrogenasi yang masing-masing proses memiliki nilai yield berturut-turut berkisar 10-25%, 10-15% dan 5-15%. Sedangkan konversi CPO menjadi minyak goreng diasumsikan adalah 0,57 ton minyak goreng/1 ton CPO. Menurut CIC (2003), pengolahan yang banyak dipakai oleh perusahaan minyak goreng adalah pengolahan cara kering yaitu melalui tahapan degumming, bleaching, deodorizing, dan fractionation yang akan mendapatkan produk sekitar 58,5% dari bahan baku CPO. Kebutuhan pangan berbasis CPO didapat dengan mengkalikan permintaan margarin dan minyak goreng dengan nilai konversi CPO menjadi margarin dan minyak goreng.

17 Permintaan margarin dan minyak goreng memiliki satuan ton. Dengan mengkalikannya dengan nilai konversi maka kebutuhan margarin dan minyak goreng memiliki satuan ton kelapa sawit, sehingga kebutuhan pangan berbasis CPO juga memiliki satuan yang sama.

Gambar 13 Diagram kotak panah subsistem kebutuhan pangan

Subsistem Ekspor CPO

Sebagian besar produksi CPO Indonesia digunakan sebagai komoditi ekspor tanpa proses hilirisasi lebih lanjut. Jumlah ekspor CPO dipengaruhi oleh laju pertumbuhannya yaitu 10,85% per tahun dengan nilai awal pada tahun 2014 adalah 7 299 626,15 ton. Nilai laju pertumbuhan dan nilai jumlah ekspor awal didapat dari pengolahan data volume ekspor CPO dari Direktorat Jendral Perkebunan (2013) yang dapat dilihat pada Lampiran 1. Diagram kotak panah subsistem ekspor CPO dapat dilihat pada Gambar 14. Subsistem ekspor CPO dirumuskan dengan persamaan matematis sebagai berikut:

18

Gambar 14 Diagram kotak panah subsistem ekspor CPO

Subsistem Produksi Biodiesel

Produksi biodiesel dipengaruhi oleh laju pertumbuhannya yaitu 24,43% per tahun dengan nilai produksi biodiesel awal tahun 2014 adalah 3 490 348 KL. Peningkatan produksi didorong oleh Permen ESDM RI Nomor 25 Tahun 2013 yang memberi mandat untuk meningkatkan campuran biodiesel pada penggunaannya bersama minyak bumi (solar). Di samping itu, produksi biodiesel dibatasi oleh keterbatasan penggunaannya bersama solar. Menurut Nasikin (2004), kelarutan biodiesel yang sempurna dalam solar untuk digunakan adalah pencampuran dengan perbandingan 20:80 yang dikenal dengan B20. B20 telah dilaporkan dapat memberikan performa mesin diesel yang setara dengan penggunaan minyak solar. Penggunaan biodiesel berlebih dalam campuran dapat menyebabkan pembakaran tidak sempurna dan menimbulkan endapan di nosel karena biodiesel memiliki volatilitas rendah dan viskositas yang tinggi. Adanya ikatan rangkap memungkinkan terjadinya polimerisasi dan juga terbentuknya deposit. Pour point dan cloud point yang tinggi menyebabkan biodiesel sulit menyala pada suhu rendah.

Penggunaan solar dalam sektor transportasi bersama dengan biodiesel terus mengalami peningkatan, namun jumlah peningkatan ini terus menurun sepanjang tahun. Laju pertumbuhan penggunaan solar adalah 33,1% per tahun, namun laju dipengaruhi oleh perlambatan sebesar 48,4% per tahun, dengan nilai penggunaan solar pada awal tahun 2014 adalah 16.266.351 KL. Ekspor biodiesel dipengaruhi oleh laju pertumbuhannya yaitu 10% per tahun, dengan nilai awal tahun 2014 adalah 1.932.895 KL. Diagram kotak panah subsistem produksi biodiesel dapat dilihat pada Gambar 15. Subsistem produksi biodiesel dengan pembatasan pencampurannya dapat direpresentasikan dengan persamaan matematis berikut:

CPO untuk biodiesel = Biodiesel * Rendemen Biodiesel per CPO

Biodiesel = IF (Jumlah Biodiesel < Ekspor dan Target Blending; Jumlah Biodiesel; Ekspor dan Target Blending)

Jumlah Biodiesel = 3 490 348 + dt*Laju Pertumbuhan Produksi Biodiesel Ekspor dan Target Blending = Ekspor Biodiesel + [(20/80)*Solar]

Ekspor Biodiesel = 1 932 895 + dt*Laju Pertumbuhan Ekspor Biodiesel Solar = 16 266 351 + dt*Laju Pertumbuhan Solar

Laju Pertumbuhan Solar = 0,331 + dt*Perlambatan Laju Pertumbuhan Solar Nilai konversi CPO menjadi biodiesel diasumsikan adalah 1 ton biodiesel/1 ton CPO atau 1,123 KL biodiesel/ 1 ton CPO. Menurut SBRC (2009), proses pembuatan biodiesel dari minyak kelapa sawit termasuk proses yang sederhana dengan komposisi minyak kelapa sawit 87 persen, katalis satu persen dan alkohol

19 12 persen. Komposisi di atas akan menghasilkan biodiesel dari minyak kelapa sawit 86 persen, alkohol empat persen, gliserin sembilan persen dan endapan bahan anorganik satu persen. Secara kasar, 1 juta ton CPO per tahun dapat diolah menjadi 20 ribu barel biodesel per hari (ESDMb 2014). Pada model, biodiesel, solar, ekspor biodiesel dan target blending dinyatakan dalam satuan KL. Dengan mengkalikannya dengan nilai konversi maka akan didapat satuan ton CPO. Nilai awal dan laju pertumbuhan setiap variabel didapat dari pengolahan data jumlah produksi biodiesel dan penggunaan biosolar dari Direktorat ETBKE dan dapat dilihat pada Lampiran 3.

Gambar 15 Diagram kotak panah subsistem produksi biodiesel

Skenario dan Hasil Simulasi

Pada pemodelan sistem dinamik ketersediaan CPO, rancangan model, simulasi dan analisis dilakukan dengan mengacu pada tujuan dan skenario pada model. Beberapa skenario yang digunakan dalam menganalisis ketersediaan CPO beserta hasilnya antara lain:

1. Skenario tanpa perubahan komponen

Pada skenario tanpa perubahan komponen, sistem berjalan sesuai formulasi awal atau sesuai kondisi yang berlangsung saat ini. Produktivitas PR, PBN dan PBS berturut-turut adalah 2,27 ton/ha; 3,22 ton/ha dan 2,75 ton/ha, laju pertumbuhan produksi biodiesel adalah 24,43% tahun, laju pertumbuhan ekspor CPO adalah 10,85% per tahun. Dengan skenario ini maka pola kecenderungan ketersediaan CPO dan produksi biodiesel hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar16.

20

Gambar 16 Ketersediaan CPO skenario pertama

Hasil simulasi menunjukan bahwa dari tahun 2014 hingga tahun 2020, Produksi CPO masih dapat memenuhi semua kebutuhan meliputi kebutuhan pangan, ekspor CPO, dan produksi pangan. Ketersediaan CPO bernilai positif. Namun produksi biodiesel belum mampu memenuhi target penggunaan biodiesel dengan solar sebesar 20:80 pada tahun 2016. Target tercapai pada tahun 2018. Ketercapaian target ditunjukan oleh adanya perubahan kemiringan garis pada grafik. Perubahan kemiringan disebabkan saat jumlah produksi biodiesel mencapai target pencampuran maka jumlah produksi biodiesel akan disesuaikan dengan penggunaan solar dalam campuran dan jumlah ekspor biodiesel yang nilai pertumbuhannya tidak setinggi nilai pertumbuhan biodiesel.

2. Skenario peningkatan produksi biodiesel

Pada skenario ini, produksi biodiesel akan dipengaruhi oleh laju pertumbuhan produksi yang berbeda dari skenario 1. Laju pertumbuhan produksi biodiesel mengalami peningkatan sebesar 20% menjadi 44,43% per tahun. Hal yang mendasari peningkatan ini adalah Permen ESDM RI Nomor 25 Tahun 2013 yang memberi mandat untuk meningkatkan campuran biodiesel pada penggunaannya bersama minyak bumi, yaitu pada tahun 2016 tercapai penggunaan campuran biodiesel dengan solar sebesar 20:80. Dengan skenario ini maka pola kecenderungan ketersediaan CPO dan produksi biodiesel hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar 17.

Hasil simulasi menunjukan bahwa dari tahun 2014 hingga tahun 2020, Produksi CPO memenuhi semua kebutuhan. Namun nilai ketersediaan mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan skenario pertama. Tidak mampunya ketersediaan CPO memenuhi kebutuhannya dapat mengurangi porsi CPO baik untuk kebutuhan pangan ataupun untuk ekpor CPO. Di sisi lain, pada skenario kedua, target penggunaan biodiesel dengan solar sebesar 20:80 dapat tercapai pada tahun 2016 atau 2 tahun lebih cepat dari skenario pertama.

21

Gambar 17 Ketersediaan CPO skenario kedua

3. Skenario peningkatan produksi biodiesel, pengurangan ekspor CPO dan penigkatan produktivitas

Pada skenario ini, laju pertumbuhan produksi biodiesel adalah 44,43% per tahun, laju pertumbuhan ekspor CPO ditekan dari 10,85% per tahun menjadi setengahnya yaitu 5,43%, dan produktivitas lahan perkebunan ditingkatkan sebanyak 0,5 ton/ha. Maka produktivitas PR, PBN dan PBS berturut-turut adalah 2,77 ton/ha; 3,72 ton/ha dan 3,25 ton/ha.

Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak dengan produktivitas tertinggi di dunia yaitu sebesar 6 sampai 8 ton minyak/ha/tahun. Namun menurut Direktorat Pangan dan Pertanian (2013), rata-rata produktivitas CPO Indonesia pada tahun 2006 hingga 2011 hanya sebesar 3,98 ton CPO per hektar. Adapun produktivitas kelapa sawit dibatasi oleh produktivitas varietas benihnya. Produktivitas kelapa sawit berdasarkan varietas benihnya dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 5 Produktivitas kelapa sawit berdasarkan varietasnya

Tahun Varietas TBS (ton/ha/tahun) Rendemen minyak (%) Produksi CPO (ton/ha/tahun) 1960 1970 1980 1990 2000 DxD, DxT, TxD DxD, TxD, DxP DxP DxP DxP Klon DP 23,1 23,9 27,2 29,8 18,8 22,6 23,5 23,8 25 25 4,3 5,4 6,4 7,0 7,9 8,5 Sumber: Darnoko (2004)

22

Gambar 18 Ketersediaan CPO skenario ketiga

Dengan skenario ini maka pola kecenderungan ketersediaan CPO dan produksi biodiesel hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar 18. Hasil simulasi menunjukan bahwa dari tahun 2014 hingga tahun 2020, produksi CPO dapat memenuhi semua kebutuhan. Nilai ketersediaan mengalami peningkatan apabila dibandingkan baik dengan skenario pertama maupun dengan skenario kedua. Selain itu, pada skenario ketiga, target penggunaan biodiesel dengan solar sebesar 20:80 juga dapat tercapai pada tahun 2016.

Validasi Model

Validasi model dilakukan dengan membandingkan hasil simulasi dengan data aktual yang diperoleh dari sistem nyata. Validasi model dilakukan terhadap variabel produksi CPO dan kebutuhan minyak goreng per kapita. Validasi dilakukan dengan menurunkan waktu simulasi menjadi waktu awal adalah tahun 2011 dan waktu akhir adalah 2013, sehingga formulasi disesuaikan dengan data pada tahun 2010.

Pada validasi produksi CPO, nilai luas lahan PR, lahan PBN, dan lahan PBS awal tahun 2010 berturut-turut adalah 3 387 257 Ha, 631 520 Ha, dan 4.366.617 Ha. Laju pertumbuhan lahan PR, lahan PBN dan lahan PBS berturut-turut adalah 11,50%; 1,87% dan 6,41% per tahun. Produktivitas PR, PBN dan PBS berturut-turut adalah 2,41 ton/ha; 3,22 ton/ha dan 2,48 ton/ha. Nilai awal, pertumbuhan, dan produktivitas perkebunan didapat dari pengolahan data luas lahan kelapa sawit dan produksi CPO yang dapat dilihat pada Lampiran 1.

Pada validasi kebutuhan minyak goreng, nilai kebutuhan minyak awal tahun 2010 adalah 8,03 kg/tahun/orang dengan laju pertumbuhannya sebesar 2,76% per tahun. Nilai awal dan pertumbuhan ini didapat dari pengolahan data kebutuhan minyak goreng yang dapat dilihat pada lampiran 2. Berdasarkan kedua variabel yang diuji, validasi menunjukan nilai MAPE dibawah 5% sehingga dapat dinyatakan model sangat tepat. Hasil validasi dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6.

23 Tabel 6 Validasi jumlah produksi CPO

Tahun Jumlah Produksi CPO (ton) Error

Simulasi Nyata

2011 22 819 264 23 096 541 1,20%

2012 24 743 433 26 015 518 4,89%

2013 26 855 497 27 746 125 3,21%

MAPE 3,10%

Tabel 7 Validasi kebutuhan minyak goreng

Tahun Migor per kapita (kg/tahun/orang) Error

Simulasi Nyata 2011 8,26 8,24 0,26 % 2012 8,49 9,33 9,04% 2013 8,72 8,92 2,19% MAPE 3,83% Saran Kebijakan

Saran kebijakan yang dapat menjadi pertimbangan dalam usaha penyediaan CPO agar dapat memenuhi kebutuhannya antara lain:

1. Peningkatan produktivitas

Meskipun Indonesia merupakan Negara utama produsen minyak sawit dunia, produktivitasnya dalam bentuk tandan buah segar masih rendah dan berada di peringkat ke tujuh dunia (Direktorat Pangan dan Pertanian 2013). Menurut Direktorat Pengembangan Perkebunan (2004) rata-rata produktivitas tanaman kelapa sawit yaitu sekitar 16,2 ton TBS/ha/tahun. Rendahnya produktivitas ini disebabkan oleh usia tanaman yang relatif masih muda, tidak terpenuhinya baku kultur teknis, pencurian buah, dan pengolahan hasil yang belum efisien. Salah satu upaya strategis pengembangan perkebunan kelapa sawit adalah dengan peningkatan produktivitas melalui peremajaan, rehabilitasi dan intensifikasi dengan menggunakan agroinput yang memadai dan menggunakan benih unggul bersertifikat. Untuk memperoleh tanaman kelapa sawit yang berkualitas, penggunaan benih yang berkualitas dan pembibitan harus dilakukan dengan benar.

2. Pengurangan ekspor CPO

Ekspor dalam bentuk CPO perlu menjadi perhatian. Volume ekspor yang tinggi perlu dikurangi dan perlu dilakukan hilirisasi lebih lanjut. Hilirisasi minyak kelapa sawit penting dilakukan karena ekspor dalam bentuk CPO sangat disayangkan karena potensi nilai tambah yang tinggi belum dimanfaatkan; peningkatan nilai tambah tidak hanya memberikan keuntungan finansial bagi industri tetapi juga bagi petani kelapa sawit; berpotensi menyerap tenaga kerja dan menurunkan kemiskinan; mengkompensasi

24

penurunan harga CPO di pasar dunia dengan pengolahan di dalam negeri sehingga harga produk turunan akan lebih tinggi; dan meningkatkan jumlah kelapa sawit rakyat serta memperbaiki mutunya dengan dukungan teknologi perkebunan. Menurut (Direktorat Pangan dan Pertanian 2013), pemerintah perlu merubah konstelasi bea keluar (BK) terhadap ekspor CPO dan produk turunannya. BK terhadap ekspor CPO harus lebih tinggi dibanding BK terhadap ekspor produk-produk turunan CPO. Jika BK ekspor CPO dinaikan, maka investasi pembangunan pabrik pengolahan produk turunan CPO akan menjadi pilihan yang lebih menguntungkan.

3. Implementasi pendekatan Indonesian Sustainable Palm Oil System

Perluasan lahan perkebunan kelapa sawit telah menjadi perhatian karena timbulnya masalah lingkungan. Menurut (Direktorat Pangan dan Pertanian 2013), untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit dapat dilakukan dengan pendekatan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil System) sebagai peningkatan kualitas pengelolaan perkebunan kelapa sawit

Dokumen terkait