• Tidak ada hasil yang ditemukan

PT. Toba Pulp Lestari merupakan kawasan HTI yang terdiri dari 5 sektor yaitu sektor Aek Nauli, Habinsaran, Tele, Tarutung, dan Samosir. Untuk sektor Tele dibagi menjadi satuan lebih kecil yaitu sebanyak 21 estate dengan luasan total 10.322 hektar. Kawasan yang akan direncanakan penebangannya terletak di Estate Q dengan luasan 406 hektar dan untuk estate ini dibagi lagi menjadi 22 compartemen. Penelitian ini mengambil lagi satuan unit terkecil yaitu compartemen 005 dengan luasan 4 hektar dan compartemen 012 dengan luasan 19 hektar yang akan dilakukan kegiatan pemanenan dalam Rencana Karya Tahunan (RKT) 2008.

Selama ini pemanenan yang dilakukan di PT. Toba Pulp Lestari masih dilakukan secara semi manual yaitu dengan artian sudah mulai memanfaatkan teknologi tapi belum seutuhnya. Perusahaan ini pada kenyataannya sudah memiliki data berupa peta dijital, tetapi setelah dilakukan pengamatan di lokasi penelitian, peta dijital yang ada hanya digunakan untuk mengetahui posisi kompartemen dan luasan saja. Sedangkan untuk kegiatan perencanaan masih belum dioptimalkan, mungkin karena kurangnya tenaga ahli. Pemanenan yang masih dilakukan secara konvensional ini sangat menyulitkan sehingga penulis ingin mencoba menerapkan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam melakukan perencanaan petak tebang.

Dalam merencanakan suatu petak tebang, perlu diperhatikan beberapa tahapan perencanaan pemanenan seperti:

1. Perencanaan jaringan jalan 2. Rencana pemanenan kayu 3. Pelaksanaan pemanenan

Perencanaan Jaringan Jalan

Pemanenan kayu merupakan serangkaian tindakan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pengeluaran kayu dari pohon berdiri di dalam hutan sampai menjadi batang yang dapat dimanfaatkan di tempat penimbunan di luar hutan. Sehingga jaringan jalan memiliki peran yang sangat penting dalam proses pengangkutan kayu setelah penebangan.

Elias (1997) mengatakan bahwa dalam merencanakan jaringan jalan perlu dilakukan survei lapangan. Survei rencana jalan angkutan dan jalan sarad dilakukan dengan mengadakan pengamatan pada lahan hutan yang memungkinkan untuk dibuat jalan angkutan atau jalan sarad tersebut dan bila mungkin dengan memberikan beberapa alternatif atau pilihan jalan angkutan yang akan dibuat di lapangan. Pengadaan pengukuran dan trase jalan angkutan di lapangan dimulai dari titik ikat yang sudah ditetapkan sebelumnya dengan mempertimbangkan ketentuan teknis pembuatan jalan angkutan (antara lain kelerengan lapangan, struktur dan jenis tanah/ batuan).

Jika dilihat dari segi biaya dan waktu pengerjaan, kegiatan survei ini dianggap tidak efisien. Karena untuk kegitan survey jalan sepanjang 1 kilometer, dibutuhkan sebuah tim survey yang terdiri dari ketua tim dan 5 orang pengukur

dan perusahaan juga akan mengeluarkan biaya ± Rp. 500.000. Dengan adanya teknologi SIG dapat direncanakan suatu jaringan jalan baik itu jalan angkutan dan jalan sarad dengan cara melakukan tumpang susun peta jaringan jalan yang sudah ada sebelumnya terhadap peta aliran sungai untuk mengetahui apakah perlu dilakukan pembuatan jembatan dan gorong-gorong, dan peta kontur untuk mengetahui kondisi topografi di lapangan.

Pada PT. Toba Pulp Lestari tidak tersedia peta kontur, sehingga dalam penelitian ini digunakan citra SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) untuk mendapatkan peta kelerengan kabupaten Humbang Hasundutan. Kelebihan penggunaan SRTM sebagai salah satu input untuk pemetaan jaringan jalan adalah karena citra SRTM dapat diperoleh secara gratis dengan mendownloadnya di

data dalam bentuk dijital, sehingga memudahkan peneliti dalam mengkonversikan ke format DEM (Digital Elevation Model).

Selain itu menurut Raharjo (2007), SRTM memiliki resolusi yang cukup tinggi untuk skala tinjau. Resolusi horizontal (yang bisa kita download untuk Indonesia) adalah 90 meter. Tentu saja dengan resolusi ini SRTM tidak bisa digunakan untuk pemetaan secara detail. Tetapi ditegaskan sekali lagi dengan memanfaatkan teknologi SIG, dapat diubah interpolasi konturnya sesuai dengan yang kita butuhkan. Pada penelitian ini, resolusi horizontalnya diubah menjadi 10 meter. Jika dibandingkan dengan melakukan survei dahulu dalam merencanakan jaringan jalan, akan terdapat perbedaan analisis biaya dalam kegiatan ini, dimana dengan adanya peta kontur dapat mempermudah tim planning dalam

merencanakan jaringan jalan tanpa harus mengeluarkan biaya dan tenaga kerja yang besar.

Dengan tersedianya peta kontur, akan dapat direncanakan pembuatan jalan yang baru baik itu jalan cabang maupun jalan sarad setelah mempertimbangkan bahwa jaringan jalan yang telah ada sebelumnya dianggap kurang memadai dalam mendukung kegiatan pemanenan. Walaupun pada kenyataannya terdapat kelemahan pada perusahaan ini dimana tidak terdapat perencanaan jalan sarad. Jalan sarad dibuat bersamaan dengan kegiatan penyaradan kayu sebelum penebangan dan tidak terlalu dikhususkan dalam kegiatan perencanaan sementara diharapkan dengan adanya perencanaan jalan sarad akan lebih memudahkan kegiatan pemanenan di lapangan.

Elias (2002) menyatakan bahwa penyaradan terkontrol adalah penyaradan yang dilakukan di atas jaringan jalan sarad yang sudah direncanakan yang dibuat sebelum penebangan dan winching. Tujuannya adalah agar kegiatan penyaradan dilakukan secara sistematis, efisien dan dapat meminimalkan kerusakan yang terjadi. Penyaradan terkontrol pada umumnya terdiri dari tahapan kegiatan perencanaan jaringan jalan dan arah rebah pohon, kondisi jalan, winching, dan penyaradan.

Pada kegiatan perencanaan pemanenan untuk petak tebang tahun 2008, direncanakan akan adanya penambahan jalan baru sepanjang ± 600 meter. Berdasarkan Standard Operational Procedure yang telah ditetapkan perusahaan yaitu untuk biaya pembuatan jalan cabang sepanjang 1 kilometer membutuhkan manpower 10 orang, dan biaya 54 juta rupiah, dalam waktu 6 hari kerja. Sehingga

untuk jalan sepanjang 600 meter, dibutuhkan biaya sebesar 32,4 juta rupiah dan dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari 4 hari.

Jalan yang direncanakan dibuat berdasarkan Standard Operational Procedure yang telah ditetapkan oleh perusahaan dan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Petunjuk Spesifikasi Jalan Hutan

Karakteristik Urut Jalan Utama Jalan

Cabang

Jalan Sarad Data Operational

Estimasi Umur Pakai Tahun 20 2-5 -

Estimasi kapasitas muat (axe load) Ton 12 12 -

Maksimum kecepatan kendaraan Km/ jam 50-70 30-50 -

Kecepatan rata-rata Km/ jam 50 30 -

Lebar Pembuatan Jalan Meter 15 12 -

Lebar jalan dari parit ke parit (lebar forming)

Meter 9 5-6 -

Lebar jalan track pada kiri kanan Meter 3 3 -

Drainase (diekomendasikan) Meter 1 0.8 -

Lebar pengerasan (lebar surfacing) Meter 6 4-5 -

Allignment

Tanjakan rata-rata ideal % 6 8 -

Maksimum tanjakan % 10 12 -

Kemiringa crown (minimum) % 4 4 -

Minimum radius belokan Meter 100 50 -

Minimum jarak panjang Meter 140 75 -

Posisi jaln yang dilindungi dari tengah badan jalan

Meter 20 15 -

Sumber: HPHTI PT Toba Pulp Lestari, Sumatera Utara

Namun kenyataannya di lapangan, jalan yang ada sangat tidak sesuai dengan petunjuk spesifikasi yang telah ditentukan dalam Standard Operational Procedure. Dimana jalan utama hanya berkisar 8-10 meter, jalan cabang 6-8 meter, sedangkan jalan sarad tidak dibuat secara permanen. Untuk pengaspalan hanya dilakukan pada jalan utama sedangkan jalan cabang dibuat dengan kerikil yang dilapisi pasir saja.

Rencana Pemanenan Kayu

Penyusunan Data Pemanenan

Rencana pemanenan juga melibatkan perencanaan kemana nantinya kayu akan disarad/ diangkut. Untuk itu perlu dipertimbangkan assesibilitas lainnya seperti perlu tidaknya dibuat Tempat Pengumpulan kayu sementara (TPn) yang baru. Tpn yang telah ada pada compartemen 11 yang berada di sebelah compartemen 12 yang akan dipanen dianggap tidak efektif untuk dipergunakan jika disesuaikan dengan kemampuan dan produktifitas alat sarad. Sehingga dibuat TPn baru pada compartemen 12 dan juga pada compartemen 5. Sebuah TPn mampu menampung volume log kayu sebesar ± 576 m3 dengan 1 tumpukan (stacking) yang ukurannya panjang x lebar x tinggi (30 x 4.8 x 4) meter. Sehingga dengan volume ± 365 m3 pada compartemen 5 dibutuhkan 1 TPn, dan untuk compartemen 12 dengan volume dugaan ± 1737 m3 akan dibutuhkan 3 TPn.

Diharapkan TPn yang dibuat berada pada lokasi yang cukup strategis dari seluruh stacking sementara, dimana stacking itu sendiri dibuat berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan dalam Standard Operational Procedure (SOP) seperti:

1. Posisi TPn harus dekat dengan jalan akses dengan topografi yang cukup datar. 2. Semua stacking harus disusun memotong jalur skidding

3. Semua tumpukan harus menggunakan galang bawah, dan tiang penyangga sebanyak 4 buah.

4. Panjang stacking 30 meter dan tinggi 4 meter 5. Panjang kayu 4.8 meter.

Kemudahan yang didapat dengan menerapkan teknologi SIG yaitu posisi TPn dapat ditentukan dengan menggunakan peta dijital yang tersedia tanpa harus membentuk sebuah tim survey khusus. Dalam hal ini perusahaan telah mampu meminimalisasi dana untuk kegiatan ini dimana. Penentuan TPn pada peta dilakukan dengan cara mengklasifikasikan lokasi-lokasi di petak tebang 2008 yang termasuk dalam topografi datar dan dekat dengan jalan akses yang terlihat pada peta kontur yang telah ditumpangsusunkan dengan peta jaringan jalan, peta aliran sungai dan peta compartemen .

Setelah assesibilitas dianggap sudah memadai, tahapan yang dilakukan selanjutnya yaitu pengukuran volume dan luas areal tebangan berdasarkan RKT 2008 yang telah dibuat pada tahun 2007. Telah direncanakan selama tahun 2006 akan dipanen kayu sebanyak 750.000 m3 dengan tingkat kapasitas produksi pulp ±146.200 ton dengan perkiraan 1 m3 kayu mampu menghasilkan ± 200 kg pulp, dan direncanakan kapasitas produksi akan meningkat pada tahun 2007 dengan memanen 900.000 m3 kayu, dan pada tahun 2008 diharapkan kapasitas produksi telah penuh 240.000 ton yaitu dengan jumlah kayu yang dipanen 1.080.000 m3 kayu, sehingga akan dilakukan penanaman kembali bekas areal tebangan kira-kira 6.000 ha untuk sektor Tele.

Volume kayu merupakan besarnya massa kayu sebatang pohon hingga tinggi batang tertentu atau diameter tertentu. Menurut Bustomi (1999), pengukuran volume kayu merupakan suatu perangkat yang sangat penting dalam perencanaan pengelolaan hutan yang lestari. Tanpa tersedianya tabel volume kayu yang akurat, perencanaan tidak bisa memperoleh informasi massa tegakan yang cukup terpercaya, sementara informasi massa tegakan tersebut sangat diperlukan

dalam penyusunan rencana pengelolaan, khususnya dalam penentuan intensitas pemungutan hasil hutan. Semakin banyak volume kayu rata-rata per hektar, maka prestasi kerja alat berat per satuan waktu kerja juga semakin besar.

Penelitian yang telah dilakukan yaitu dengan mengambil satuan sampel Estate Q di sektor Tele. Berdasarkan pengukuran terhadap dimensi tinggi dan diameter dapat diduga volume setiap compartemen berdasarkan luasan masing-masing. Pada penelitian ini dugaan volume didapat dengan cara pembuatan tabel volume dengan dua variabel yaitu diameter pohon setinggi dada (diameter at breast high) dan tinggi total pohon. Dari pengolahan yang dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak (software) dengan rumus model penduga volume pohon Log V = a + b Log Diameter, dengan a= -1.161, b = 0.04944, maka didapat model penduga untuk pohon yang ada di compartemen ini yaitu:

Log V = -1.161 + 0.04944 Log Diameter

Volume dugaan = 0.06902398 D0.04944, dengan galat baku 8.589%.

Prodan (1965) menyatakan bahwa biasanya persamaan pendugaan volume pohon yang menggunakan peubah bebas diameter saja mempunyai galat baku maksimal 25%, sedangkan bila menggunakan peubah bebas diameter dan tinggi pohon mempunyai galat baku maksimal 20%. Berdasarkan besarnya galat baku yang diajukan Prodan tersebut, maka persamaan pendugaan volume di atas dapat dipandang sebagai model penduga volume pohon yang baik. Kemudian dengan menggunakan model pendugaan volume dapat diduga RKT 2008 untuk compartemen 5 memiliki potensi 365 m3, dan untuk compartemen 12 memiliki potensi 1737 m3, sehingga total potensi yang akan ditebang adalah 2102 m3. Karena penelitian ini mengambil satuan unit terkecil yaitu compartemen maka

volume dugaan yang akan direncanakan penebangannya juga sangat kecil yaitu sekitar 0.19% dari target penebangan tahun ini.

Pembuatan Data Atribut

Jika melihat rangkaian pengolahan data seperti yang telah tersaji di atas, terkadang akan membingungkan para pengguna data baik itu tim planning, harvesting, dan plantation. Adanya teknologi SIG akan memudahkan para pengguna data tersebut dalam memanfaatkan data yang mereka butuhkan.

Pada penelitian ini, data-data yang telah dikumpulkan baik itu hasil pengamatan/ pengukuran di lapangan berupa diameter dan tinggi tanaman maupun data sekunder yang mencakup luas dan kompartemen, iklim, dan tipe tanah, aliran sungai, dan jaringan jalan dan juga informasi vegetasi lain seperti tahun tanam dan jarak tanam yang diperoleh dari perusahaan dimasukkan dalam sebuah tabel. Dalam sebuah software pengolahan Sistem Informasi Geografis, tabel ini merupakan data atribut dari data spasial.

Menurut Budiyanto (2002), data atribut digunakan sebagai dasar analisis dari data spasial yang telah ada. Sedangkan data spasial itu sendiri adalah informasi fisik wilayah yang mencakup luasan maupun batas wilayah itu sendiri. Salah satu bentuk penyajian data spasial dapat dilihat pada peta pola penyebaran vegetasi yang masuk dalam RKT 2008 (Lampiran 1). Dengan melihat atribut databasenya akan memudahkan tim Planning dalam merencanakan kegiatan pengelolaan lanjutan karena informasi yang dibutuhkan seperti aktivitas silvikultur, jarak tanaman dan volume dugaan sudah tersedia.

Salah satu bentuk data atribut (Lampiran 8) yang merupakan data yang mendukung informasi peta perencanaan petak tebang menyajikan data sebagai berikut:

1. Estate : menyatakan satuan unit area 2. Compartemen

3. Stand : menyatakan satuan tegakan (aturan lama) 4. Tahun tanam (Planted Year)

5. Bulan tanam (Planted Month) 6. Species : menyatakan jenis tanaman. 7. Seedlot : nomor sertifikasi benih 8. Spacing : menyatakan jarak tanam 9. Kabupaten 10. Penggunaan lahan 11. Nomor compartemen 12. Luas Area 13. Jumlah tanaman 14. Volume Dugaan 15. Aktivitas Silvikultur

Pelaksanaan Pemanenan Kayu

Tahapan terakhir dari rangkaian kegiatan perencanaan petak tebang ini yaitu pelaksanaan pemanenan kayunya. Peralatan yang digunakan pada kegiatan logging nantinya dijelaskan sebagai berikut.

Penebangan dan pembagian batang menggunakan chainsaw Husqvarna tipe 365 SP, kampak, parang, gergaji, helmet dan sepatu bagi penebang. Soebagyo (1980) mengatakan salah satu peralatan yang digunakan dalam penebangan kayu adalah gergaji rantai (chain saw). Fungsinya adalah untuk membuat takik rebah, takik balas, dan memotong bagian kayu lainnya, baik dalam kegiatan pembersihan cabang, penebangan maupun pembagian batang.

Penyaradan dengan menggunakan Skidder Ranger Clark dilengkapi dengan sling (kawat baja). Karena areal penelitian memiliki kelas lereng A (datar) sampai landai dan berbukit-bukit maka cocok menggunakan skidder dalam kegiatan penyaradan. Hal ini sesuai dengan pendapat Suparto (1999), bahwa keuntungan penggunaan skidder dalam penyaradan kayu adalah dapat bergerak leluasa dan lincah, aman digunakan sampai tingkat kelerengan 40% dan dapat digunakan pada jarak yang cukup jauh. Akan tetapi sebaiknya penggunaan skidder dilakukan pada daerah yang mempunyai kelerengan tidak lebih dari 30%, walaupun secara teknis masih mampu digunakan pada kelerengan 40%. Pemuatan menggunakan excavator PC 200 S sedangkan untuk pengangkutan menggunakan truck Bell Super Logger.

Untuk produktifitas peralatan logging dan organisasi kerja pada tiap tahapan logging ditetapkan berdasarkan Standard Operational Procedure yaitu:

1. Penebangan dan pembagian batang dengan menggunakan 1 chainsaw menghasilkan kurang lebih 20 m3/ hari.

2. Penyaradan, 1 skidder mampu melakukan penyaradan kurang lebih 10 trip/ hari atau mampu menyarad kurang lebih 200 m3 kayu/ hari. Pada jarak

jalur skid 0-350 m, membutuhkan 1 operator skidder, 4 orang helper, dimana penyaradan 1 tumpukan (20m3) butuh waktu kurang lebih 8 menit. 3. Pemuatan, 1 unit excavator dapat memuat kayu kurang lebih 20 m3

dan butuh waktu kurang lebih 35 menit dengan 1 operator dan 1 helper. 4. Pengangkutan, 1 unit truck dapat mengangkut kayu kurang lebih 20 m3/

trip pada kondisi cuaca yang cerah dapat melakukan pengangkutan 4-5 trip, membutuhkan 1 operator dan 1 orang helper.

Sehingga dapat diduga kebutuhan alat dan analisis biaya untuk tahapan kegiatan pemanenan seperti tersaji dalam tabel berikut:

Tabel 2. Produktifitas Alat Dalam Kegiatan Pemanenaan No Nama Alat Jumlah Harian Orang

Kerja Produktifitas 1 2 3 4 Chainsaw Skidder Truk Excavator 10 1 2 1 10 regu@7= 70 orang 1 regu@5= 5 orang 2 regu@2 = 4 orang 1 regu@2= 2 orang 200 m3 200 m3 200 m3 200 m3

Tabel 3. Analisis Biaya

No Jenis Alat Upah Pekerja Total Biaya 1 2 3 4 Chainsaw Skidder Truck Excavator Operator 1@ Rp. 45000 Helper 6@Rp. 20000 Operator@Rp. 35000 Helper@ Rp. 25000 Operator@Rp. 350.000 Helper@ Rp. 250.000 Operator@Rp. 35000 Helper@ Rp. 25000 10 regu= Rp. 650.000 Rp. 60.000 2 regu= Rp. 600.000 Rp. 60.000

Dengan penggunaan 10 unit chainsaw untuk kegiatan penebangan, 1 unit skidder untuk kegiatan penyaradan, 1 unit excavator untuk kegiatan pemuatan kayu dan 2 unit truck untuk kegiatan pengangkutan maka biaya setiap harinya diperkirakan Rp. 1.370.000. Sehingga untuk kegiatan harvesting pada estate Q

dengan volume 2102 m3, dengan produktifitas 200 m3 per hari dapat diselesaikan dalam 10,5 hari dengan biaya Rp. 14.398.000 sehingga jika ditotalkan dengan biaya pembuatan jalan sebesar Rp. 32.400.000 akan dibutuhkan biaya sebesar Rp.46.798.000.

Hasil pengolahan data analisis biaya dan produktifitas alat juga dapat disajikan dalam tampilan peta. Teknologi Sistem Informasi Geografis menyediakan fasilitas yang disebut lay out sehingga memungkinkan untuk menampilkan setiap informasi yang dianggap penting untuk pengguna data. Berikut akan disajikan peta compartemen dan peta perencanaan petak tebang yang juga menyajikan data spasial berupa:

1. Kawasan Hutan Tanaman Industri 2. Hutan alam

3. Rawa 4. Sungai 5. Jalan 6. Posisi TPn

Dokumen terkait