• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa SPI dan SPEI di Pantura Jawa Barat berdasarkan 4 Skala Waktu

Fleksibilitas SPI dan SPEI yang mampu mengidentifikasi kekeringan ke dalam berbagai skala waktu menjadi salah satu kelebihan dibandingkan indeks-indeks kekeringan lainnya. Oleh karena itu, awal mula dan durasi terjadinya kekeringan dapat diketahui secara lebih detil dengan melihat dinamika nilai indeks di saat bergerak turun maupun naik. Sehingga analisa kekeringan dapat dimanfaatkan ke dalam beragam kepentingan, baik yang membutuhkan analisa jangka pendek seperti pertanian dan kekeringan lahan, maupun jangka panjang seperti perubahan iklim dan kekeringan global.

Analisa kekeringan melalui SPI dan SPEI dengan berbagai skala waktu dilakukan di 8 lokasi observasi, yaitu Bogor, Citalang, Citeko, Kuningan, Pacet, Pusakanegara, Sukamandi, dan Sukatani. Skala waktu yang digunakan adalah skala 1, 3, 6, dan 12 bulanan. Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi serta membandingkan tingkat kekeringan dari setiap lokasi pengamatan dalam jangka pendek dan jangka panjang.

Gambar 5 Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6 (c), 12 (d) bulanan Kota Bogor tahun 2001-2010.

P Value = 0,746 P Value = 0,854

P Value = 0,941 P Value = 0,766

d c

16

Gambar 6 Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6 (c), 12 (d) bulanan Citalang tahun 2001-2010.

Gambar 7 Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6 (c), 12 (d) bulanan Citeko tahun 2000-2010.

P Value = 0,959 P Value = 0,896 P Value = 0,887 P Value = 0,951 P Value = 0,962 P Value = 0,967 P Value = 0,935 P Value = 0,908 d c a b d c a b

17

Gambar 8 Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6 (c), 12 (d) bulanan Kuningan tahun 2000-2010.

Gambar 9 Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6 (c), 12 (d) bulanan Pacet tahun 2001-2010.

P Value = 0,877 P Value = 0,955 P Value = 0,973 P Value = 0,720 P Value = 0,881 P Value = 0,523 P Value = 0,358 P Value = 0,689 d c a b d c a b

18

Gambar 10 Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6 (c), 12 (d) bulanan Sukamandi tahun 2001-2010.

Gambar 11 Grafik time series indeks SPI dan SPEI di Sukatani skala 1 (a), 3 (b), 6 (c), 12 (d) bulanan tahun 2001-2010. P Value = 0,406 P Value = 0,767 P Value = 0,680 P Value = 0,652 P Value = 0,796 P Value = 0,960 P Value = 0,874 P Value = 0,796 d c a b d c a b

19

Hasil identifikasi kekeringan melalui SPI dan SPEI di 8 lokasi pengamatan mendeteksi beberapa peristiwa kekeringan, mulai dari klasifikasi sangat kering, kering, dan agak kering. Pada wilayah Bogor yang direpresentasikan dengan gambar 5, terlihat bahwa tingkat kekeringan terbesar berdasarkan SPI dan SPEI terjadi pada periode akhir 2009 serta awal 2010 baik pada skala 1, 3, 6, dan 12 bulanan. Pada periode tersebut, SPI menunjukkan indeks yang sangat kering yaitu dibawah -3,0. Sementara berdasarkan SPEI, indeks kekeringan yang terlihat berkisar -2,0.

Sementara itu, di wilayah dataran tinggi seperti Citeko dan Pacet, kejadian kekeringan terparah terdeteksi mencapai klasifikasi sangat kering yang direpresentasikan dengan gambar 7 dan 9. Klasifikasi tersebut dibuktikan dengan indeks sebesar -2,07 (SPEI) pada tahun 2002 dan -3,57 (SPI) pada tahun 2008 di Citeko serta -4,12 (SPEI) pada tahun 2002 dan -3.53 (SPI) pada tahun 2007 di Pacet. Indeks kekeringan yang parah tersebut diperoleh dari identifikasi kekeringan dengan skala waktu yang pendek, yaitu 1 dan 3 bulanan. Sementara pada skala waktu yang lebih panjang, indeks yang diperoleh cenderung lebih besar yang menjelaskan tingkat kekeringan lebih rendah.

Profil kekeringan di dataran rendah seperti Sukamandi, Pusakanegara, dan Citalang juga memperlihatkan tingkat kekeringan dengan klasifikasi sangat kering. Di Sukamandi, profil kekeringan terparah diperlihatkan pada gambar 10 dengan indeks sebesar -2,88 (SPEI) pada 2006 dan -2,75 pada 2000 (SPI). Hasil identifikasi kekeringan terparah ini juga terdeteksi pada analisa dengan periode 1 dan 3 bulanan. Di Pusakanegara, tingkat kekeringan tertinggi juga terdeteksi pada analisa periode waktu yang pendek, yaitu 3 bulanan. Hal ini diperlihatkan oleh gambar 12 dengan SPI dan SPEI sebesar -1,92 dan -3,86 pada tahun 2003. Hal yang sama juga terjadi pada hasil identifikasi kekeringan di Citalang yang direpresentasikan dengan gambar 6. Di Citalang, indeks kekeringan terparah terdeteksi pada hasil analisa Gambar 12 Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6

(c), 12 (d) bulanan Pusakanegara tahun 2001-2010. P Value = 0,774

P Value = 0,791 P Value = 0,228

P Value = 0,574

a b

20

dengan periode waktu 1 dan 3 bulanan dengan indeks sebesar -2,88 (SPEI) di tahun 2005 dan -3.31 (SPI) di tahun 2009.

Di Sukatani dan Kuningan yang berada pada ketinggian 230 dan 520 mdpl, kejadian kekeringan terparah terdeteksi pada analisa SPI dan SPEI dengan periode waktu 3 bulanan. Di Sukatani, kekeringan terparah ditunjukkan oleh gambar 11 dengan skala indeks sebesar -1,87 (SPEI) pada 2004 dan -2,52 (SPI) pada 2009. Sementara di Kuningan, indeks kekeringan terparah menunjuk pada skala -1,80 (SPEI) pada 2008 dan -3,76 (SPI) pada 2002 yang direpresentasikan dengan gambar 8. Dari beberapa tingkat kekeringan terparah tersebut, terlihat bahwa analisa kekeringan dengan SPI dan SPEI pada skala waktu 3 bulanan dapat mengidentifikasi kekeringan yang lebih tinggi dibandingkan dengan skala waktu lainnya. Selain itu, berdasarkan gambar-gambar hasil identifikasi kekeringan, terlihat bahwa pada analisa dengan skala waktu yang pendek diperoleh hasil yang sangat fluktuatif. Hal ini berbeda dengan grafik pada skala waktu 6 dan 12 bulanan yang cenderung lebih landai.

Perbedaan hasil antara SPI dan SPEI memang terlihat di setiap analisa dan identifikasi kekeringan, baik pada periode waktu 1, 3, 6, dan 12 bulanan. Dari sekian perbedaan hasil tersebut, terdapat beberapa perbedaan yang cukup signifikan berdasarkan klasifikasi dalam analisis kekeringan di SPI dan SPEI. Misalnya di Sukatani dan Kuningan, indeks kekeringan terparah yang diidentifikasi oleh SPI menunjukkan kondisi ekstrim, yaitu sangat kering. Sedangkan menurut SPEI kondisi kekeringan hanya diterjemahkan ke dalam situasi kering. Namun setelah dianalisis secara statistik menggunakan uji t dengan taraf signifikansi sebesar 0,05, tidak terdapat perbedaan yang signifikan dikarenakan p value yang diperoleh selalu lebih besar dari 0,05.

Menurut Vicente-Serrano et al. (2010), perbedaan hasil antara SPI dan SPEI adalah hal yang wajar mengingat kedua indeks tersebut dibangun oleh variabel yang berbeda. SPEI yang ditujukan untuk mengidentifikasi kekeringan dengan kondisi kenaikan suhu udara dunia tentu menerjemahkan kondisi yang lebih ekstrim apabila terdapat perubahan suhu yang cukup signifikan. Sementara pada SPI, hanya perubahan curah hujan signifikan yang diterjemahkan ke dalam kondisi ekstrim. Melihat profil suhu udara dan curah hujan di 8 lokasi pengamatan selama 2001-2010, terlihat bahwa fluktuasi curah hujan bulanan lebih besar daripada suhu udara. Hal ini lah yang membuat hasil identifikasi kekeringan dengan SPEI tidak selalu lebih ekstrim dibandingkan SPI.

Namun dalam kalkulasi kejadian kekeringan dengan asumsi SPI dan SPEI < -0,99, SPEI menunjukkan kejadian kekeringan yang lebih banyak dibandingkan SPI di 8 lokasi pengamatan selama 2001-2010. Hal ini dapat dilihat pada tabel 6. Oleh karena itu, SPEI dapat menjadi pertimbangan ke depan dalam mewaspadai ancaman kekeringan terutama terhadap praktik dan usaha yang sangat rentan terhadap perubahan kondisi menuju kekeringan. Dari tabel 6 juga dapat dilihat bahwa secara rata-rata, analisis kekeringan dengan periode waktu yang pendek mampu mengidentifikasi jumlah kejadian kekeringan yang lebih banyak daripada analisis jangka panjang. Hal ini lah yang menjelaskan lebih curam dan fluktuatifnya grafik indeks kekeringan pada analisis jangka pendek dibandingkan jangka panjang.

21

Tabel 6 Jumlah kejadian kekeringan (SPI/SPEI < -0,99*) di 8 lokasi pengamatan selama tahun 2001 – 2010.

No Lokasi 1 bulanan 3 bulanan 6 bulanan 12 bulanan SPEI SPI SPEI SPI SPEI SPI SPEI SPI

1 Bogor 21 21 21 16 15 12 17 16 2 Citalang 19 16 21 16 20 15 16 16 3 Citeko 22 21 23 19 18 21 19 16 4 Kuningan 15 16 23 17 20 13 22 13 5 Pacet 22 13 11 12 11 6 13 6 6 Pusakanegara 20 10 21 16 21 20 22 17 7 Sukamandi 22 11 20 20 22 11 21 10 8 Sukatani 23 25 23 19 24 23 21 21 Rata-rata 20.5 16.6 20.4 16.9 18.9 15.1 18.9 14.4

*Nilai < -0,99 menunjukkan suatu lokasi mengalami kekeringan (di bawah kondisi normal) dalam klasifikasi SPI dan SPEI.

Fleksibilitas SPI dan SPEI yang mampu menganalisis kekeringan dalam berbagai skala waktu dapat dimanfaatkan ke berbagai praktik dalam kegiatan manusia. Pada kondisi meteorologis dan lengas tanah untuk pertanian yang cenderung mudah berubah dalam skala waktu yang pendek dapat digunakan analisis kekeringan SPI dan SPEI 1 dan 3 bulanan. Sementara itu, untuk analisis jangka panjang 6 dan 12 bulanan dapat dimanfaatkan ke dalam bidang hidrologis seperti kebutuhan air waduk dan PLTA serta perkebunan (WMO 2012).

Analisa SPI dan SPEI Terhadap Ketinggian Lokasi Pengamatan

Perbedaan lokasi maupun topografi antar wilayah diketahui sedikit banyak mempengaruhi faktor-faktor iklim. Berdasarkan tabel 6 juga, diketahui hasil analisis kekeringan dengan periode 3 bulanan dapat mendeteksi kejadian kekeringan lebih sering. Pada gambar 13 yang merupakan perbandingan indeks 3 bulanan dengan ketinggian lokasi, terlihat kedua indeks menunjuk pada kondisi normal (-0,99 – 0,99) di setiap periode. Pada periode Juni-Juli-Agustus (JJA), selama 10 tahun di 8 lokasi observasi terlihat SPI menunjukkan nilai terkering pada ketinggian 210 mdpl yang berlokasi di Bogor dengan indeks sebesar -0,119. Sementara pada ketinggian 90 mdpl (Citalang), SPI menunjukkan indeks tertinggi sebesar 0,161. Lain halnya dengan SPEI, grafik indeks pada periode ini cenderung sama pada setiap ketinggian, mulai dari 8 mdpl (Pusakanegara) hingga 1280 mdpl (Pacet). Perbedaan hasil SPI dan SPEI pada periode ini tidak lah besar. Hal ini bisa dilihat dengan perbedaan hasil terbesar yang hanya 0,137 di ketinggian 210 mdpl. Periode September-Oktober-November (SON) dan Maret-April-Mei (MAM) yang dikenal sebagai musim peralihan di Indonesia juga memperlihatkan hasil SPI dan SPEI yang tidak berbeda jauh di setiap ketinggian lokasi pengamatan. Perbedaan hasil terbesar hanya terlihat di ketinggian 1280 mdpl (Pacet) pada periode SON dan 8 mdpl pada periode MAM. Perbedaan hasil tersebut masing-masing sebesar 0,268 dan 0,143. Namun perbedaannya, pada 1280 mdpl, SPEI menunjukkan tingkat kebasahan yang lebih tinggi dibandingkan SPI. Hal ini dapat

22

diakibatkan penurunan suhu yang cukup drastis di pegunungan akibat beralihnya musim dari kemarau ke hujan. Sementara pada 8 mdpl, lebih basahnya indeks yang ditunjukkan SPI karena meningkatnya CH pada periode ini sebelum memasuki musim kemarau.

Periode basah yang terjadi pada periode Desember-Januari-Februari (DJF) tidak menunjukkan perbedaan hasil yang besar antara SPI dan SPEI. Hal ini dapat dilihat pada gambar 12.c yang memperlihatkan kedua indeks cenderung sama di setiap ketinggian lokasi pengamatan. Perbedaan terbesar dari kedua indeks bahkan tidak lebih dari 0,1. Ini menunjukkan bahwa pada periode ini di setiap lokasi mengalami musim hujan yang cukup merata diiringi dengan minimnya perubahan suhu secara drastis. Sehingga SPEI dan SPI cenderung bergerak di angka yang sama. Ini juga menunjukkan bahwa CH tetap menjadi faktor utama dalam penentuan tingkat kekeringan di suatu lokasi.

Meski CH tetap menjadi faktor utama, tidak dipungkiri bahwa ketinggian lokasi pengamatan juga mempengaruhi sifat kekeringan suatu lokasi. Hal ini yang diperlihatkan di Pacet pada periode SON. Selain itu, pada periode DJF ini terlihat bahwa hampir semua indeks berada di atas angka 0. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pada periode ini, tingkat kekeringan lebih rendah atau berpotensi lebih minimum dibandingkan periode lainnya.

Gambar 13 Grafik perbandingan nilai rata-rata SPI dan SPEI selama 2001-2010 pada periode 3 bulanan rata-rata, JJA (a), SON (b), DJF (c), dan MAM (d) dengan ketinggian di 8 lokasi observasi (sumbu x menunjukkan ketinggian lokasi pengamatan).

d c

23

Tabel 7 membagi kedelapan lokasi pengamatan ke dalam 3 kelas, yaitu dataran rendah, menengah, dan tinggi. Pada dataran rendah, lokasi yang termasuk adalah Pusakanegara (8 mdpl), Sukamandi (16 mdpl), dan Citalang (90 mdpl). Sementara pada dataran menengah, Bogor (210 mdpl), Sukatani (230 mdpl), dan Kuningan (520 mdpl) termasuk di dalamnya. Sedangkan lokasi lainnya yaitu Citeko (920 mdpl) dan Pacet (1280 mdpl) dikategorikan ke dalam dataran tinggi.

Berdasarkan perbedaan nilai indeks rata-rata SPI dan SPEI yang diperoleh, Tabel 7 merangkum jenis indeks yang dapat digunakan untuk mengindikasikan tingkat kekeringan lebih parah. Pembuatan tabel 7 didasari dari nilai indeks terendah yang diperoleh secara rata-rata dalam 10 tahun terakhir dengan perbedaan indeks > 0,1. Hal ini dikarenakan, semakin kecil nilai indeks, semakin besar tingkat kekeringan yang teridentifikasi oleh SPI atau SPEI. Selain itu, dengan dilandasi

Gambar 144 Peta lokasi stasiun pengamatan dengan kondisi topografi beragam dalam citra satelit Landsat oleh Google Earth.

Tabel 7 Tabel indeks kekeringan yang menunjukkan rata-rata indeks lebih kecil (selisih > 0,1) di lokasi ketinggian dan periode waktu tertentu.

Periode Rendah Menengah Tinggi

(0-200 mdpl) (200-700 mdpl) (>700 mdpl)

DJF SPI ≈SPEI SPI ≈ SPEI SPI ≈ SPEI

MAM SPEI SPI ≈ SPEI SPI ≈ SPEI

JJA SPI SPI SPI ≈ SPEI

SON SPI ≈ SPEI SPI ≈ SPEI SPI

24

nilai terkering, tingkat kewaspadaan terhadap potensi kekeringan dapat menjadi lebih tinggi. Sehingga hal ini akan berdampak kepada strategi dan kebijakan yang diambil untuk mengantisipasi kejadian kekeringan.

Di dataran rendah, periode MAM dan JJA mendeteksi perbedaan indeks > 0,1 antara SPI dan SPEI. Pada MAM, SPEI lebih mendeteksi tingkat kekeringan yang lebih parah melalui indeks yang lebih kecil. Sementara pada JJA, SPI mendeteksi tingkat kekeringan yang lebih tinggi daripada SPEI. Sedangkan di dua periode lainnya, kedua indeks cenderung setara dalam mengidentifikasi tingkat kekeringan. Di dataran menengah, hanya satu periode yang mendeteksi selisih hasil indeks antara SPI dan SPEI lebih dari 0,1, yaitu pada periode JJA. Pada periode ini, hasil identifikasi kekeringan melalui SPI lebih tinggi yang diperlihatkan dengan lebih kecilnya hasil SPI daripada SPEI. Sementara di dataran tinggi, hanya periode SON yang mengidentifikasi bahwa hasil SPI lebih kecil daripada SPEI dengan selisih lebih dari 0,1. Oleh karena itu, SPI dianggap mampu mendeteksi kekeringan lebih tinggi daripada SPEI pada periode dan lokasi tersebut. Sedangkan pada periode lainnya, hasil identifikasi kekeringan melalui SPI dan SPEI cenderung setara atau sebanding.

Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa SPI dianggap mengindikasikan kekeringan lebih parah di beberapa periode dibandingkan SPEI. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa curah hujan merupakan faktor iklim yang memiliki porsi pengaruh terbesar dalam menentukan kekeringan yang terjadi di lokasi ini. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Chang dan Kleopa (1991) serta Heim (2002) bahwa curah hujan merupakan variabel utama dalam menentukan awal, durasi, intensitas, serta akhir dari suatu periode kekeringan. Namun dengan adanya SPEI, indeks kekeringan menjadi lebih lengkap dan dapat mengkoreksi tingkat kekeringan pada periode dan lokasi tertentu dengan perubahan suhu udara yang besar. SPEI juga dapat menambah opsi pengawasan terhadap potensi kejadian kekeringan seperti halnya pada dataran rendah di periode MAM di Jawa Barat.

Analisa Hasil SPI dan SPEI Lokasi Pengamatan pada Kejadian ENSO

ENSO merupakan salah satu fenomena iklim yang memengaruhi variabilitas iklim di Indonesia. Kejadian ENSO terbagi ke dalam dua macam berdasarkan dampaknya, yaitu El Nino dan La Nina. Sebagai suatu proses fisis di alam, ENSO dapat diukur tingkat kejadiannya melalui berbagai parameter, di antaranya melalui besaran anomali suhu permukaan laut (SPL) di Samudera Pasifik. Dari besaran anomali SPL tersebut, tingkat kejadian El Nino maupun La Nina diklasifikasikan ke dalam 3 skala, yaitu ringan, sedang, dan kuat. Setiap kejadian El Nino dan La Nina memiliki dampak dan pengaruh yang berbeda terhadap kondisi iklim di Indonesia, termasuk kekeringan.

Tabel 8 menjelaskan kondisi kejadian kekeringan tahunan di tiga lokasi yang mewakili perbedaan ketinggian tempat, yaitu Sukamandi (dataran rendah), Kuningan (dataran menengah), dan Citeko (dataran tinggi), serta kejadian ENSO berdasarkan anomali SPL di Nino 3.4. Pengambilan anomali SPL di Nino 3.4 dikarenakan wilayah ini dianggap paling dekat dan mempengaruhi variabilitas iklim di Indonesia (Nur’utami β014). Selama tahun β000-2010 diketahui terjadi bermacam-macam fenomena ENSO, yaitu mulai dari La Nina Sedang (ML), La

25

Nina Lemah (WL), Normal (N), El Nino Lemah (WE), hingga El Nino Sedang (ME).

Tabel 8 Kejadian ENSO serta kondisi kekeringan berdasarkan SPI dan SPEI 12 bulanan di Sukamandi (16 mdpl), Kuningan (520 mdpl), dan Citeko (920 mdpl).

Nino

3.4 Tahun

Sukamandi Kuningan Citeko

SPEI SPI SPEI SPI SPEI SPI

WL 2000 - 2001 -0,500 -0,482 1,127 0,998 0,377 1,173 N 2001 - 2002 1,755 2,340 0,107 -0,071 -0,846 -0,711 ME 2002 - 2003 -1,252 -0,792 -1,364 -1,048 -1,356 -1,335 N 2003 - 2004 0,709 0,574 0,021 -0,116 0,001 0,072 WE 2004 - 2005 -0,679 -0,631 -0,170 -0,235 -1,468 -1,613 WL 2005 - 2006 -0,361 -0,364 0,380 0,226 0,815 0,651 WE 2006 - 2007 -0,680 -0,655 -0,686 -0,698 1,470 1,057 ML 2007 - 2008 0,960 0,699 -1,485 -1,322 -0,207 -0,147 WL 2008 - 2009 0,638 0,338 -0,026 -0,274 0,935 0,735 ME 2009 - 2010 -1,031 -1,005 0,793 0,623 0,003 0,205 * Label abu-abu menunjukkan indeks yang kering (di bawah normal).

Selama 10 tahun terakhir, terdeteksi 4 kejadian El Nino dengan skala sedang dan lemah masing-masing sebanyak 2 kali. Pada kejadian El Nino skala lemah, SPI dan SPEI di 3 lokasi tidak menunjukkan tingkat kekeringan yang tinggi. Hal ini terlihat di lokasi Sukamandi dan Citeko dengan indeks kekeringan yang berada dalam kelas normal. Bahkan pada 2006-2007, SPI dan SPEI di Citeko menunjukkan tingkat kebasahan yang agak tinggi. Namun pada 2004-2005, Citeko justru mengalami kekeringan dengan skala rendah dan sedang menurut SPEI dan SPI.

Sementara pada kejadian El Nino skala sedang pada 2002-2003, kejadian kekeringan terjadi di semua lokasi. Sedangkan pada 2009-2010, kekeringan berdasarkan SPI dan SPEI hanya terjadi di Sukamandi. Uniknya, pada 2007-2008 di Kuningan terdeteksi mengalami kekeringan dengan skala rendah. Padahal saat itu indeks ENSO menunjukkan kejadian La Nina berskala sedang. Terjadinya perbedaan ini dapat diakibatkan beberapa kemungkinan, salah satunya yaitu pengaruh iklim lokal yang besar.

Meski terdapat beberapa ketidakcocokan antara indeks ENSO dan kondisi kekeringan menurut SPI dan SPEI, kejadian kekeringan di 3 lokasi tersebut kebanyakan terjadi pada saat El Nino dengan total 9 kejadian. Sementara kejadian kekeringan menurut SPI dan SPEI di luar fenomena El Nino hanya 2 kejadian dari total keseluruhan 11 kejadian kekeringan. Hal ini menunjukkan bahwa ENSO dapat menjadi indikator terhadap kejadian kekeringan, meski SPI dan SPEI sanggup mengidentifikasinya secara lebih terperinci.

26

Korelasi antara SPI dan SPEI dengan ENSO diperlihatkan oleh gambar 14. Pada gambar 14, nilai korelasi bersifat negatif karena nilai SPI/SPEI dan anomali SPL Nino 3.4 memiliki intrepretasi nilai yang berbanding terbalik. Berdasarkan gambar 14 terlihat bahwa korelasi terbesar antara SPI dengan ENSO adalah -0,676 yang terdapat di Citeko dengan skala waktu 24 bulanan. Sementara korelasi antara SPEI dengan ENSO adalah sebesar -0,612, juga berada di Citeko dengan skala waktu 24 bulanan.

Berdasarkan gambar 14 juga dapat diketahui bahwa analisis kekeringan pada skala waktu pendek memperlihatkan korelasi yang rendah antara SPI/SPEI dan ENSO. Korelasi yang rendah ini menunjukkan bahwa selain ENSO, masih terdapat faktor lain yang mempengaruhi kondisi kekeringan meteorologis di lokasi-lokasi pengukuran, misalnya faktor curah hujan lokal, topografi, dan kondisi urban.

Gambar 15 Korelasi Pearson antara SPI (atas) dan SPEI (bawah) dengan anomali SPL Nino 3.4 pada beberapa multi-scale period.

27

Tabel 9 Data kerusakan lahan akibat kekeringan selama 2003-2008 di sebagian Jawa Barat (BNPB 2014).

Tahun Lokasi Luas (Ha) SPI SPEI

2003 Subang 10315 -0,67 -1,35 2003 Bogor 48000 -1,43 -1,27 2004 Cianjur 1327 -1,42 -1,20 2004 Kuningan 1025 0,18 0,09 2004 Purwakarta 478 0,71 0,55 2004 Subang 1027 0,66 0,77 2005 Purwakarta 22 -0,84 -1,03 2005 Subang 1441 -0,47 -0,55 2005 Bogor 60 0,64 0,16 2005 Cianjur 58 0,56 0,59 2005 Kuningan 108 0,24 0,50 2006 Kuningan - 0,14 0,14 2006 Purwakarta - -0,70 -0,84 2006 Bogor - -0,75 -1,26 2006 Subang - -0,93 -1,08 2006 Cianjur - 1,18 1,48 2007 Subang - 1,35 1,49 2007 Kuningan - 0,75 0,79 2007 Cianjur - -1,25 -1,20 2007 Purwakarta - -0,03 -0,33 2007 Bogor - 0,80 0,89 2008 Cianjur 3134 -0,67 -0,82 2008 Purwakarta 438 1,00 1,14 2008 Kuningan 1765 0,91 0,79 2008 Subang 13 1,35 1,49 2008 Bogor 1116 -1,01 -0,99

Berdasarkan analisis kekeringan antara ENSO dengan SPI/SPEI terlihat bahwa pada 2003 merupakan periode paling kering di antara periode lainnya. Hal ini kemudian dicocokkan dengan data kerusakan lahan akibat kekeringan yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Menurut BNPB, ternyata pada periode 2003 memang terjadi kerusakan lahan yang sangat besar dengan luas lahan rusak total mencapai 58.315 ha. Sementara pada periode 2004 dan 2005, kerusakan lahan total hanya sebesar 3.857 ha dan 1.689 ha. Sedangkan pada 2006-2007, BNPB juga mendeteksi adanya kekeringan di semua lokasi pengamatan, namun total luas kerusakan lahan tidak diketahui datanya (no data). Kemudian pada 2008, total kerusakan lahan mencapai 6.466 ha yang terjadi di 5 kabupaten/kota lokasi pengamatan. Secara keseluruhan, total kerusakan lahan akibat kekeringan di 5 kabupaten/kota lokasi pengamatan sebesar 70.327 ha dalam

28

kurun waktu 2003-2008. Periode-periode di luar kurun waktu tersebut tidak dimasukkan dan dianalisis karena tidak ada data yang disediakan oleh BNPB.

Dokumen terkait