• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi SPEI dan SPI sebagai Indeks Kekeringan Meteorologis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aplikasi SPEI dan SPI sebagai Indeks Kekeringan Meteorologis"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

APLIKASI SPEI DAN SPI SEBAGAI INDEKS KEKERINGAN

METEOROLOGIS

REZA PUTRA NUGRAHA

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aplikasi SPEI dan SPI sebagai Indeks Kekeringan Meteorologis adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2014

(4)

ABSTRAK

REZA PUTRA NUGRAHA. Aplikasi SPEI dan SPI sebagai Indeks Kekeringan Meteorologis. Dibimbing oleh PERDINAN.

(5)

ABSTRACT

REZA PUTRA NUGRAHA. Application of SPEI and SPI as Meteorological Drought Index. Supervised by PERDINAN.

Drought is a phenomenon related to climate caused by water deficiency resulting some economic losses in Indonesia. The intensity of drought can be measured by drought index. This research is proposed to evaluate the application of SPI and SPEI as meteorological drought index in some areas of West Java. Additional analysis is conducted to evaluate the potential application of both indices to identify ENSO events. For the period of 2001-2010, SPEI indicates drought events more than SPI in time scale of 1-, 3-, 6-, and 12-month. By t-test in statistical method with significance level (α) 0,05, SPI and SPEI results are not significantly different. Drought indices application is also analyzed by the altitude. At the low and mid-altitude, SPI is consider to indicate the drought intensity higher than SPEI at dry season (JJA). While at the high-altitude, the index results by SPI and SPEI are not to different. The strong correlation between SPI and SPEI with ENSO in Pacific Ocean occurs at 24-month time scale are -0.676 and -0.612. The result of SPI and SPEI calculation, drought events are mostly occur during El Nino at moderate level, i.e 9 out of of 11 events at 3 locations. Thus, SPEI could become substitute or alternative of SPI as meteorological drought index to analyze drought in Indonesia.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

APLIKASI SPEI DAN SPI SEBAGAI INDEKS KEKERINGAN

METEOROLOGIS

REZA PUTRA NUGRAHA

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Aplikasi SPEI dan SPI sebagai Indeks Kekeringan Meteorologis Nama : Reza Putra Nugraha

NIM : G24100045

Disetujui oleh

Dr Perdinan, SSi MNRE Pembimbing I

Diketahui oleh

Dr Ir Tania June MSc Ketua Departemen

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik yang diambil dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini adalah kekeringan, dengan judul Aplikasi SPEI dan SPI sebagai Indeks Kekeringan Meteorologis.

Penulis sadar tanpa bantuan banyak pihak, karya ilmiah ini akan sulit diwujudkan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta Bapak Dr Perdinan SSi MNRE selaku pembimbing yang telah mengajarkan banyak hal baru demi kepentingan penulisan karya ilmiah ini. Di samping itu, penulis juga berterima kasih kepada Badan Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat) Bogor yang telah memberikan bantuan berupa data iklim hasil observasi yang sangat bermanfaat.

Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua M. Koesyanto dan Cony Nugraheni, Adinda Reina, Bulik Dian sebagai keluarga yang selalu mendukung dan mendoakan yang terbaik, Dhe Lisnawati Tri Hastuti atas segala kasih sayangnya, sahabat terbaik di GFM 47 khususnya Pak Haikal, Aa Dede, Om Aponk, Sob Fey, Indy-bol, Cak Indro, dan Prof Ryan serta teman-teman dari TPB A23-24 dan UKM IAAS yang telah memberikan warna selama berkuliah di kampus IPB.

Tidak lupa penulis juga ucapkan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh dosen dan staf Departemen Geofisika dan Meteorologi yang telah membantu dan menyalurkan ilmu yang tiada terhingga kepada penulis. Semoga kelak penulis dapat mengamalkan ilmu tersebut bagi kepentingan masyarakat.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih perlu pengembangan terutama dalam bentuk aplikasi di masyarakat, sehingga diharapkan ada pihak yang bersedia meneruskan dan mengaplikasikan penelitian ini agar dapat dimanfaatkan langsung oleh masyarakat luas. Semoga Tuhan memberkati kita semua.

Bogor, November 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Kekeringan 2

Kondisi Iklim dan Kekeringan 3

Indeks Kekeringan 4

Standardized Precipitation Index (SPI) 8

Standardized Precipitation Evapotranspiration Index (SPEI) 9

METODE 9

Waktu dan Tempat Penelitian 9

Alat dan Data 9

Prosedur Analisis Data 10

Profil Curah Hujan dan Suhu Udara Lokasi Pengamatan 13

HASIL DAN PEMBAHASAN 15

Analisa SPI dan SPEI di Pantura Jawa Barat berdasarkan 4 Skala Waktu 15 Analisa SPI dan SPEI Terhadap Ketinggian Lokasi Pengamatan 21 Analisa Hasil SPI dan SPEI Lokasi Pengamatan pada Kejadian ENSO 24

SIMPULAN DAN SARAN 28

Simpulan 28

Saran 28

DAFTAR PUSTAKA 29

LAMPIRAN 31

(12)

DAFTAR TABEL

1 Macam-macam indeks kekeringan sebelum Palmer’s Index (Heim β00β). 5 2 Macam-macam indeks kekeringan setelah kemunculan Indeks Palmer

dan pengembangannya (Heim 2002). 6

3 Macam-macam indeks kekeringan setelah kemunculan SPI (Heim 2002). 7 4 Klasifikasi nilai indeks kekeringan SPI (Hayes et al. 1998) 8 5 Klasifikasi nilai indeks kekeringan SPEI (Vicente-Serrano et al. 2010). 9 6 Jumlah kejadian kekeringan (SPI/SPEI < -0,99) di 8 lokasi pengamatan

selama tahun 2001 – 2010. 21

7 Tabel indeks kekeringan yang menunjukkan rata-rata indeks lebih kecil (selisih > 0,1) di lokasi ketinggian dan periode waktu tertentu. 23 8 Kejadian ENSO serta kondisi kekeringan berdasarkan SPI dan SPEI 12

bulanan di Sukamandi (16 mdpl), Kuningan (520 mdpl), dan Citeko

(920 mdpl). 25

9 Data kerusakan lahan akibat kekeringan selama 2003-2008 di sebagian

Jawa Barat (BNPB 2014). 27

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram prosedur penelitian. 12

2 Peta stasiun kajian yang berlokasi di Jawa Barat. 13 3 Profil curah hujan bulanan rata-rata di 8 wilayah pengukuran, Bogor, Pacet,

Kuningan, Sukamandi, Citalang, Citeko, Pusakanegara, dan Sukatani tahun

2000 – 2011. 14

4 Profil suhu udara bulanan rata-rata di 8 wilayah pengukuran, Bogor (1), Citalang (2), Citeko (3), Kuningan (4), Pacet (5), Pusakanegara (6),

Sukamandi (7), dan Sukatani (8). 14

5 Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6 (c), 12 (d)

bulanan Kota Bogor tahun 2001-2010. 15

6 Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6 (c), 12 (d)

bulanan Citalang tahun 2001-2010. 16

7 Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6 (c), 12 (d)

bulanan Citeko tahun 2000-2010. 16

8 Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6 (c), 12 (d)

bulanan Kuningan tahun 2000-2010. 17

9 Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6 (c), 12 (d)

bulanan Pacet tahun 2001-2010. 17

10 Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6 (c), 12 (d)

bulanan Sukamandi tahun 2001-2010. 18

11 Grafik time series indeks SPI dan SPEI di Sukatani skala 1 (a), 3 (b), 6 (c),

12 (d) bulanan tahun 2001-2010. 18

12 Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6 (c), 12 (d)

bulanan Pusakanegara tahun 2001-2010. 19

(13)

ketinggian di 8 lokasi observasi (sumbu x menunjukkan ketinggian lokasi

pengamatan). 22

14 Peta lokasi stasiun pengamatan dengan kondisi topografi beragam dalam

citra satelit Landsat oleh Google Earth. 23

15 Korelasi Pearson antara SPI (atas) dan SPEI (bawah) dengan anomali SPL

Nino 3.4 pada beberapa multi-scale period. 26

DAFTAR LAMPIRAN

1 Memuat SPEI Package di R x64 31

2 Script R menghitung SPI dan SPEI Bogor 31

3 Script R menghitung SPI dan SPEI Citalang 31

4 Script R menghitung SPI dan SPEI Citeko 32

5 Script R menghitung SPI dan SPEI Kuningan 32

6 Script R menghitung SPI dan SPEI Pacet 33

7 Script R menghitung SPI dan SPEI Pusakanegara 33

8 Script R menghitung SPI dan SPEI Sukamandi 34

(14)
(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kekeringan (drought) merupakan salah satu fenomena terkait iklim akibat defisitnya ketersediaan air yang kerap terjadi di wilayah Indonesia. Fenomena ini seringkali dianggap sebagai salah satu ancaman besar bagi kegiatan manusia seperti usaha pertanian, perikanan, peternakan, dan aktifitas sehari-hari lainnya. Berkurangnya ketersediaan air dalam tanah yang dibutuhkan dalam berbagai kegiatan menjadi penyebab utama kekeringan menjadi suatu ancaman.

Terjadinya kekeringan dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti faktor minimnya sumber air, kurangnya daerah tangkapan air, serta sedikitnya curah hujan yang turun. Namun sebagai fenomena iklim, pola curah hujan merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam terjadinya kekeringan. Oleh karena itu, untuk menekan ancaman kekeringan perlu dilakukan pemahaman terhadap karakteristik iklim di suatu lokasi dengan baik. Pemahaman karakteristik iklim tersebut dapat dimulai dengan analisis sifat fisik yang mewakili kondisi iklim dan kekeringan.

Dampak dari ancaman kekeringan telah dirasakan nyata oleh masyarakat. Contoh pada tahun 2012, BPS menyatakan produksi panen padi menurun di Jawa Barat. Bahkan kekeringan telah menyusutkan luas area panen padi hingga mencapai 17.656 hektar (PEMDA JABAR 2012). Pada sektor perikanan, ancaman kekeringan terasa pada menurunnya populasi plankton sebagai pakan ikan akibat meningkatnya suhu laut. Sementara pada perikanan budidaya, kekeringan juga menurunkan kuantitas pasokan air sehingga petani umumnya menurunkan areal produksi ikan (Arifin et al. 2001). Sementara pada usaha peternakan, kekeringan akan menurunkan jumlah pakan hijau bagi hewan ternak.

Terganggunya produksi usaha pertanian, perikanan, maupun peternakan kekeringan tentu saja berdampak pula pada skala ekonomi. Tercatat pada 2013, sebanyak 2,61 hektar sawah yang tersebar di 30 kecamatan Kabupaten Subang terancam mengalami kekeringan dan tidak dapat ditanami (Winarsih 2013). Sementara di Kabupaten Purwakarta, surutnya air Waduk Cirata dan Jatiluhur membuat para petani padi terpaksa mencabuti tanaman padinya kembali dan mengalami kerugian sekitar Rp 2,1 miliar (Sutisna 2008). Selain pertanian, kekeringan juga mengganggu sektor kelistrikan di Jawa – Bali. Pada 2011, menyusutnya debit air akibat kekeringan di Waduk Saguling dan Cirata membuat produksi listrik PLN melalui PLTA berkurang hingga 1.300 megawatt. Akibat hal tersebut, PLN diperkirakan kehilangan pendapatan sebesar Rp 5,5 triliun per bulannya (Auliani 2011).

(16)

2

koreksi SPI dengan penambahan variabel suhu akibat meningkatnya tren suhu global masa kini.

SPI merupakan indeks kekeringan yang hanya memerlukan satu parameter masukan, yaitu curah hujan. Menurut Hayes et al. (2011), saat ini SPI menjadi indeks yang paling direkomendasikan untuk menganalisis tingkat kekeringan di seluruh dunia. Bahkan World Meteorological Organization (WMO) telah merekomendasikan kepada setiap biro layanan meteorologi negara-negara di dunia agar menggunakan SPI dalam menganalisa tingkat kekeringan dengan mengeluarkan panduan penggunaan secara manual (WMO 2012). BMKG selaku biro meteorologi resmi Indonesia juga menggunakan SPI sebagai alat identifikasi kekeringan meteorologis di berbagai wilayah di Indonesia (BMKG 2013).

SPEI sendiri merupakan indeks kekeringan yang dikembangkan dari SPI. Indeks yang dikembangkan oleh Vicente-Serrano et al. (2010) ini menambahkan satu parameter tambahan sebagai bahan analisa kekeringan, yaitu suhu udara. Dengan menambahkan suhu udara sebagai variabel kalkulasi indeks, SPEI dianggap telah melengkapi SPI yang hanya menggunakan satu parameter saja. Di lain sisi, Abramopoulos et al. (1998) juga menambahkan bahwa suhu udara turut berpengaruh secara masif terhadap tingginya tingkat kekeringan di suatu lokasi.

Oleh karena itu, dikarenakan terdapat perbedaan variabel masukan dari kedua indeks tersebut, pada penelitian ini ingin diketahui perbedaan hasil dan analisa kekeringan dari SPI dan SPEI melalui data iklim di 5 kota/kabupaten di Jawa Barat. Selain itu, dengan melakukan analisa kekeringan melalui SPI dan SPEI, hasilnya diharapkan dapat mengidentifikasi seberapa besar tingkat kekeringan di 5 kota/kabupaten di Jawa Barat dalam 10 tahun terakhir.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui perbedaan hasil dan analisa kekeringan antara Standardized Precipitation Index (SPI) dan Standardized Precipitation Evapotranspiration Index (SPEI) melalui data iklim di Jawa Barat.

2. Menganalisis intensitas kekeringan di Jawa Barat dalam kurun waktu 10 tahun (2001-2010) menggunakan Standardized Precipitation Index (SPI) dan Standardized Precipitation Evapotranspiration Index (SPEI).

3. Menganalisis tingkat kekeringan berdasarkan klasifikasi topografi menggunakan Standardized Precipitation Index (SPI) dan Standardized Precipitation Evapotranspiration Index (SPEI) serta korelasinya dengan fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO).

TINJAUAN PUSTAKA

Kekeringan

(17)

3

merupakan suatu peristiwa cuaca kering abnormal yang menyebabkan berkurangnya curah hujan sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan ketersediaan air secara hidrologi. Wilhite dan Glantz (1985) sendiri mengklasifikasikan kekeringan ke dalam empat kategori, yaitu:

1. Kekeringan meteorologis (meteorological drought), yaitu berkurangnya presipitasi hingga di bawah normal dalam suatu waktu tertentu. Biasanya hal ini digambarkan sebagai penyebab utama terjadinya kekeringan.

2. Kekeringan hidrologis (hydrological drought), yaitu defisitnya ketersediaan air di permukaan maupun di dalam tanah. Biasanya hal ini digambarkan sebagai dampak dari kekeringan.

3. Kekeringan pertanian (agricultural drought), menjelaskan berkurangnya produksi pertanian akibat berkurangnya suplai air dan meningkatnya transpirasi tanaman.

4. Kekeringan sosio-ekonomi (socio-economic drought), menjelaskan kaitan kekeringan dengan permintaan dan penawaran pasar terhadap barang-barang bernilai ekonomi. Biasanya hal ini muncul setelah terjadi kekeringan meteorologi, hidrologi, dan pertanian.

Kekeringan meteorologi -sebagai kategori kekeringan yang dibahas dalam penelitian ini-, biasanya didasarkan atas perbandingan antara kejadian ekstrim dan kejadian normal serta periode terjadinya kekeringan. Tingkat kekeringan meteorologi dinyatakan sebagai suatu periode berupa tiga bulan atau lebih dengan curah hujan <100 mm/bulan dan <300 mm/3 bulan secara berturut-turut (Triatmoko 2012).

Kondisi Iklim dan Kekeringan

Terdapat berbagai kejadian ekstrim yang dapat menyebabkan kekeringan. Pada kekeringan meteorologi, minimnya curah hujan menjadi faktor utama terjadinya kekeringan. Di Indonesia, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi curah hujan di Indonesia, antara lain fenomena El-Nino Southern Oscillation (ENSO) dan monsun. Fenomena ENSO dapat dikatakan menjadi faktor utama yang mempengaruhi variabilitas iklim tahunan di Indonesia, sementara monsun memainkan pengaruh dalam variabilitas iklim musiman (Tjasyono dan Bannu 2003).

Peristiwa El Nino biasanya terjadi secara periodik dengan periode sekitar 5 tahunan. Peristiwa ini terjadi akibat melemahnya angin pasat dan menggeser awan-awan konvektif di Samudera Pasifik menjauh dari wilayah Indonesia. Hal ini menjadikan wilayah Indonesia miskin akan potensi hujan yang berdampak lanjut ke peristiwa kekeringan.

(18)

4

Selain peristiwa ENSO dan monsun, fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) juga mempengaruhi variabilitas iklim seperti curah hujan di Indonesia. Menurut Tjasyono et al. (2008), fenomena IOD ini disebabkan oleh interaksi antara atmosfer dengan laut di Samudera Hindia Ekuatorial. Dampak dari fenomena IOD ini adalah kenaikan curah hujan pada saat indeks IOD bernilai negatif atau IOD (-) dan penurunan curah hujan pada IOD (+).

Indeks Kekeringan

Indeks kekeringan merupakan salah satu cara dalam menginterpretasikan fenomena kekeringan di suatu lokasi. World Meteorological Organization (1992) mendefinisikan indeks kekeringan sebagai “sebuah indeks yang menghubungkan beberapa efek secara kumulatif dari minimnya kelengasan yang abnormal dan berkepanjangan”. Dalam penentuan indeks kekeringan, Hayes (β006) berpendapat bahwa nilai indeks kekeringan berciri angka/indeks tunggal dapat lebih berarti daripada data mentah.

Dalam suatu indeks kekeringan, Friedman (1957) mengidentifikasikan empat kriteria yang harus dimiliki, yaitu:

1. Dapat dianalisa dengan skala waktu.

2. Kuantitatif serta mampu dianalisa secara spasial, temporal, dan kontinu. 3. Aplikatif terhadap kasus yang berkembang.

4. Terdapat rekaman secara historis.

Selain 4 kriteria di atas, Heim (2002) menambahkan satu kriteria lagi yang harus dimiliki oleh suatu indeks kekeringan, yaitu indeks dapat dianalisa secara real-time dalam waktu yang dekat.

Tujuan penentuan kekeringan melalui indeks kekeringan sendiri sangat beragam. Namun Hounam et al. (1975) merangkumnya dalam 4 tujuan, yaitu: 1. Menganalisa tingkat kekeringan wilayah.

(19)

5

Tabel 1 Macam-macam indeks kekeringan sebelum Palmer’s Index (Heim 2002).

Indeks Kekeringan

Variabel Iklim

Masukan Kelebihan Kekurangan

Munger's dengan total CH < 6.25 mm.

-Secara konsep mudah dipahami dan sederhana.

-Definisi kekeringan sama dengan 30 hari kering berurutan

Jumlah hari di saat suhu udara > terjadi hujan > 2.54 mm dalam 48 jam

-Kurang akurat dalam mengukur kekeringan jangka panjang. Asumsi batas CH > 2.54 mm dalam 48

(20)

6

Tabel 2 Macam-macam indeks kekeringan setelah kemunculan Indeks Palmer dan pengembangannya (Heim 2002).

Indeks Kekeringan

Variabel Iklim

Masukan Kelebihan Kekurangan

Palmer's dua lapisan tanah.

-Paling sesuai

- Secara khusus dibuat untuk menganalisa

-Kurang fleksibel bila ingin digunakan

(21)

7

Tabel 3 Macam-macam indeks kekeringan setelah kemunculan SPI (Heim 2002). Indeks

Kekeringan

Variabel Iklim

Masukan Kelebihan Kekurangan

Standardized

-Sulit apabila tidak difasilitasi oleh

(22)

8

Dengan begitu bervariasinya metode dalam penentuan kekeringan, bervariasi pula hasil yang diperoleh meski dalam suatu wilayah kajian yang sama. Suryanti (2008) juga telah menjelaskan dalam penggunaan berbagai macam indeks kekeringan, dapat mempertimbangkan latar belakang dan kondisi, mulai dari topografi hingga karakteristik wilayah kajian, serta ketersediaan data serta tujuan analisa kekeringan. Namun meski memperoleh hasil yang bervariasi, secara keseluruhan hasil dari setiap indeks kekeringan tidak berbeda jauh.

Standardized Precipitation Index (SPI)

Indeks kekeringan Standardized Precipitation Index (SPI) dikenalkan pertama kali oleh McKee tahun 1993 di Colorado, AS. Tujuan awal dari diluncurkannya SPI ini adalah untuk meningkatkan kemampuan dalam memonitor dan mendeteksi kekeringan di AS. Kesederhanaan dan fleksibilitas secara temporal menjadi perbedaan SPI dibandingkan indeks-indeks kekeringan sebelumnya. Selain itu SPI juga mampu menganalisis kekeringan hanya dengan parameter input berupa presipitasi (Hayes et al. 1998).

SPI dikembangkan berdasarkan kuantifikasi defisit air pada berbagai skala waktu. Pada dasarnya SPI menstandarisasi dan mentransformasikan data presipitasi hasil observasi ke dalam skala indeks kekeringan. Analisis kekeringan menggunakan SPI ini dapat dilakukan dengan berbagai periode, mulai dari 3 bulanan, 6 bulanan, 12 bulanan, hingga seterusnya tergantung dengan kebutuhan analisis (Guttman 1998).

Tabel 4 Klasifikasi nilai indeks kekeringan SPI (Hayes et al. 1998)

SPI Kategori Jumlah Peluang Kejadian dalam

100 Tahun (Tahun)

≥ β.00 Sangat basah 2

1.50 - 1.99 Basah 5

1.00 - 1.49 Agak basah 10

(-0.99) - 0.99 Normal 66

(- 1.00) - (-1.49) Agak kering 10

(- 1.50) - (-1.99) Kering 5

≤ -2.00 Sangat kering 2

(23)

9

Standardized Precipitation Evapotranspiration Index (SPEI)

Standardized Precipitation Evapotranspiration Index (SPEI) merupakan indeks kekeringan berbasis data curah hujan dan suhu udara. SPEI diperkenalkan pertama kali oleh Vicente-Serrano et al. (2010) dengan mengembangkan indeks kekeringan SPI yang berbasis data curah hujan saja. Dengan mengambil kelebihan-kelebihan yang terdapat dalam SPI, SPEI juga melengkapinya dengan menambahkan pengaruh suhu udara untuk dikombinasikan dengan curah hujan dalam menganalisa tingkat kekeringan. Hal ini dilatarbelakangi oleh tren meningkatnya suhu udara pada beberapa periode belakangan akibat pemanasan global.

Secara matematik, SPEI memiliki prosedur yang tidak jauh berbeda dengan SPI dalam mengkalkulasi variabel masukan untuk dianalisa menjadi suatu indeks kekeringan. Namun dengan adanya parameter suhu udara, SPEI dapat menganalisa kekeringan melalui faktor water balance dimana suhu udara digunakan sebagai penduga evapotranspirasi potensial (ETp). Hal ini mirip dengan indeks kekeringan Palmer (Palmer Drought Severity Index/PDSI) yang menganggap besarnya tingkat kekeringan berhubungan dengan kebutuhan air (water demand) sebagai hasil dari evapotranspirasi (Vicente-Serrano et al. 2010).

Tabel 5 Klasifikasi nilai indeks kekeringan SPEI (Vicente-Serrano et al. 2010).

SPI Kategori Jumlah Peluang Kejadian dalam

100 Tahun (Tahun)

≥ β.00 Sangat basah 2

1.50 - 1.99 Basah 5

1.00 - 1.49 Agak basah 10

(-0.99) - 0.99 Normal 66

(- 1.00) - (-1.49) Agak kering 10

(- 1.50) - (-1.99) Kering 5

≤ -2.00 Sangat kering 2

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2014 sampai Juli 2014 di Laboratorium Klimatologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA IPB, Bogor dengan wilayah kajian penelitian adalah 8 lokasi stasiun cuaca di Jawa Barat.

Alat dan Data

(24)

10

wilayah Jawa Barat yang diperoleh dari Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi – Bogor, serta data anomali suhu permukaan laut (SPL) Nino 3.4 yang diperoleh dari laman National Weather Services (NWS) milik National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) yang dapat diakses melalui http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices/, serta data kerusakan lahan akibat kekeringan yang diperoleh dari Data dan Informasi Bencana Indonesia (DIBI) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer beserta perangkat lunak pembantu. Perangkat lunak yang digunakan antara lain Microsoft Office 2010 sebagai alat pengolah data dan software open source R x64 versi 3.0.3 dengan SPEI package serta MiniTab 14 sebagai alat untuk menguji signifikansi hasil antara SPI dan SPEI.

Prosedur Analisis Data

Penghitungan Standardized Precipitation Index (SPI)

Secara prinsip, SPI dibangun berdasarkan fungsi kepadatan peluang (FKP) dari distribusi gamma guna mencocokkan distribusi frekuensi dari jumlah curah hujan untuk tiap stasiun.

Namun dalam menentukan hasil SPI, sebaran gamma ditransformasikan ke dalam distribusi normal dengan menggunakan fungsi frekuensi kumulatif sebagai distribusi frekuensi curah hujan sebagai berikut.

Sehingga diperoleh indeks SPI (Z) melalui persamaan berikut.

Dimana C0 : 2.515517 d1 : 1.432788

C1 : 0.802853 d2 : 0.189269

C2 : 0.010328 d3 : 0.001308

H x = n+1k

t=√ln (H(x))1 β ; untuk 0 < H(x) ≤ 0.5

t=√ln((1-H x )1 β) ; untuk 0.5 < H(x) ≤ 1

Z=SPI=- t- c0+c1t+cβtβ

1+d1t+dβtβ+dγtγ ; Untuk 0 < H(x) ≤ 0.5

Z=SPI=+ t- c0+c1t+cβtβ

(25)

11

Penghitungan Standardized Precipitation Evapotranspiration Index (SPEI)

Sama halnya dengan SPI, SPEI juga distandarisasi berdasarkan fungsi kepadatan peluang (FKP) sebaran log-logistik yang diekspresikan dalam persamaan berikut.

Namun sebelum menstandarisasi, dalam analisa kekeringan SPEI perlu dilakukan pendugaan nilai evapotranspirasi potensial (ETp) melalui pendekatan Thornweith.

Dengan I (indeks bahang) yang merupakan akumulasi 12 bulanan dari nilai persamaan i, yaitu:

Dan m merupakan koefisien yang bervariabel terikat dengan I, dengan persamaan sebagai berikut.

Dimana, ETp = evapotranspirasi potensial (mm) T = suhu udara rata-rata bulanan (oC)

Dari hasil pendugaan ETp, ditentukan nilai D untuk bulan ke-i yang merupakan selisih dari ETp dengan curah hujan bulanan.

Setelah itu, nilai Di distandarisasi dengan sebaran log-logistik untuk kemudian ditransformasikan ke dalam sebaran normal menggunakan fungsi frekuensi kumulatif (FK). Hal ini dilakukan untuk mengetahui sebaran nilai Di tersebut.

Dengan,

Sehingga diperoleh indeks SPEI melalui persamaan berikut. f(x)=αα- ) -1[1+ χα- ]

ETp=16(10TI )m

i=(T5)1.514

m=6.75×10-7Iγ-7.71×10-5Iβ+1.79×10-βI+ 0.492

Di=Pi-ETpi

FK=F(x)= n+1k

W= √-β ln (P) ; Untuk P ≤ 0.5

W=√-β ln (1-P) ; Untuk P > 0.5

P=1-F(x)

(26)

12

Dimana C0 : 2.515517 d1 : 1.432788

C1 : 0.802853 d2 : 0.189269

C2 : 0.010328 d3 : 0.001308

Analisa Hasil SPI dan SPEI dengan ENSO, Elevasi, dan Waktu

Analisa hasil SPI dan SPEI dilakukan guna mengetahui tingkat kekeringan di sejumlah stasiun observasi serta hubungannya dengan faktor alam lain seperti ENSO, ketinggian lokasi, serta skala waktu tertentu. Pada analisa pengaruh ENSO terhadap tingkat kekeringan yang diperoleh melalui SPI dan SPEI digunakan metode korelasi Pearson. Korelasi Pearson merupakan salah satu metode statistika parametrik untuk mengetahui tingkat hubungan secara linier di antara dua variabel. Variabel yang digunakan dalam analisa ini adalah nilai SPI maupun SPEI yang dikaitkan dengan anomali SPL di Nino 3.4. Alasan digunakannya korelasi Pearson dikarenakan variabel SPI/SPEI dan anomali SPL memenuhi persyaratan dilakukannya analisa yaitu variabel yang sama-sama bebas (independen) serta bersifat interval.

Sementara pada analisa ketinggian lokasi, hasil SPI dan SPEI sejumlah stasiun pengamatan diplotkan ke dalam tiga kelas ketinggian tempat, yaitu dataran rendah untuk lokasi yang berada di 0 – 200 mdpl, dataran sedang (200 – 700 mdpl), dan dataran tinggi (lebih dari 700 mdpl). Pada analisa skala waktu, nilai SPI maupun SPEI dihitung berdasarkan 4 skala waktu, yaitu skala 1 bulanan, 3 bulanan, 6 bulanan, serta 12 bulanan.

Gambar 1 Diagram prosedur penelitian.

Nilai SPEI Nilai SPI

Analisa hasil SPI dan SPEI

ETp

Kalkulasi SPI di 8 lokasi pengamatan

Curah hujan Suhu Udara Temperature

(27)

13

Profil Curah Hujan dan Suhu Udara Lokasi Pengamatan

Secara geografis semua lokasi pengamatan termasuk ke dalam wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di antara 104o48’– 108o48’ Bujur Timur (BT) dan 5o50’ – 7o50’ Lintang Selatan (LS). Wilayah Jawa Barat memiliki karakteristik topografi yang beragam, mulai dari dataran rendah sampai pegunungan dengan sumber daya air besar yang dilihat dari ribuan sungai yang mengalir. Bila diklasifikasikan, sebagian besar (54.03%) wilayah Jawa Barat merupakan dataran rendah yang banyak tersebar di area pantai utara. Sedangkan 35.48% berupa lereng bukit landai dengan ketinggian antara 10 – 1500 mdpl serta sisanya merupakan pegunungan curam dengan ketinggian lebih dari 1500 mdpl (DIPERTA JABAR 2008).

Berdasarkan penelitian Aldrian dan Susanto (2003), pola curah hujan di Indonesia terbagi ke dalam 3 kelas, yaitu monsunal, ekuatorial, dan lokal. Seluruh wilayah Pulau Jawa termasuk Provinsi Jawa Barat di dalamnya termasuk ke dalam pola hujan tipe monsoonal.

(28)

14

Gambar 4 Profil suhu udara bulanan rata-rata di 8 wilayah pengukuran, Bogor (1), Citalang (2), Citeko (3), Kuningan (4), Pacet (5), Pusakanegara (6), Sukamandi (7), dan Sukatani (8).

Berdasarkan gambar 3 dapat terlihat karakteristik pola curah hujan tipe monsunal yang terlihat rata-rata di 8 wilayah pengukuran. Wilayah-wilayah yang terlihat secara jelas bertipe monsunal adalah Kuningan, Citalang, Citeko, Sukamandi, dan Pusakanegara. Tipe ini ditandai dengan satu puncak (titik tertinggi) pada rentang bulan Desember-Januari-Februari (DJF) yang biasa dianggap sebagai musim hujan, serta satu lembah (titik terendah) pada bulan Juni-Juli-Agustus (JJA) yang biasa dikatakan sebagai musim kemarau. Pada musim kemarau ini, potensi kejadian kekeringan semakin meningkat seiring dengan berkurangnya curah hujan yang turun. Tipe monsunal sendiri sangat erat dipengaruhi oleh fenomena monsun Asia dan monsun Australia yang melintas di atmosfer Indonesia (Tjasyono 2004).

Iklim Jawa Barat seperti pada umumnya wilayah Indonesia merupakan iklim tropis dengan rentang suhu 17.4 – 30.7oC. Bila dilihat dari gambar 4, semua wilayah Gambar 3 Profil curah hujan bulanan rata-rata di 8 wilayah pengukuran, Bogor,

(29)

15

dari 8 area pengukuran suhu udara termasuk ke dalam rentang tersebut. Suhu udara bulanan tertinggi dari 8 area tersebut tercatat terdapat di Citalang, Kab. Purwakarta sebesar 29.3oC. Sedangkan suhu udara bulanan terendah rata-rata terdapat di Citeko, Kab. Bogor sebesar 20.1oC yang terletak di ketinggian 920 mdpl.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisa SPI dan SPEI di Pantura Jawa Barat berdasarkan 4 Skala Waktu

Fleksibilitas SPI dan SPEI yang mampu mengidentifikasi kekeringan ke dalam berbagai skala waktu menjadi salah satu kelebihan dibandingkan indeks-indeks kekeringan lainnya. Oleh karena itu, awal mula dan durasi terjadinya kekeringan dapat diketahui secara lebih detil dengan melihat dinamika nilai indeks di saat bergerak turun maupun naik. Sehingga analisa kekeringan dapat dimanfaatkan ke dalam beragam kepentingan, baik yang membutuhkan analisa jangka pendek seperti pertanian dan kekeringan lahan, maupun jangka panjang seperti perubahan iklim dan kekeringan global.

Analisa kekeringan melalui SPI dan SPEI dengan berbagai skala waktu dilakukan di 8 lokasi observasi, yaitu Bogor, Citalang, Citeko, Kuningan, Pacet, Pusakanegara, Sukamandi, dan Sukatani. Skala waktu yang digunakan adalah skala 1, 3, 6, dan 12 bulanan. Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi serta membandingkan tingkat kekeringan dari setiap lokasi pengamatan dalam jangka pendek dan jangka panjang.

Gambar 5 Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6 (c), 12 (d) bulanan Kota Bogor tahun 2001-2010.

P Value = 0,746 P Value = 0,854

P Value = 0,941 P Value = 0,766

d c

(30)

16

Gambar 6 Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6 (c), 12 (d) bulanan Citalang tahun 2001-2010.

Gambar 7 Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6 (c), 12 (d) bulanan Citeko tahun 2000-2010.

P Value = 0,959 P Value = 0,896

P Value = 0,887 P Value = 0,951

P Value = 0,962 P Value = 0,967

P Value = 0,935 P Value = 0,908

d c

a b

d c

(31)

17

Gambar 8 Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6 (c), 12 (d) bulanan Kuningan tahun 2000-2010.

Gambar 9 Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6 (c), 12 (d) bulanan Pacet tahun 2001-2010.

P Value = 0,877 P Value = 0,955

P Value = 0,973 P Value = 0,720

P Value = 0,881 P Value = 0,523

P Value = 0,358 P Value = 0,689

d c

a b

d c

(32)

18

Gambar 10 Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6 (c), 12 (d) bulanan Sukamandi tahun 2001-2010.

Gambar 11 Grafik time series indeks SPI dan SPEI di Sukatani skala 1 (a), 3 (b), 6 (c), 12 (d) bulanan tahun 2001-2010.

P Value = 0,406 P Value = 0,767

P Value = 0,680 P Value = 0,652

P Value = 0,796 P Value = 0,960

P Value = 0,874 P Value = 0,796

d c

a b

d c

(33)

19

Hasil identifikasi kekeringan melalui SPI dan SPEI di 8 lokasi pengamatan mendeteksi beberapa peristiwa kekeringan, mulai dari klasifikasi sangat kering, kering, dan agak kering. Pada wilayah Bogor yang direpresentasikan dengan gambar 5, terlihat bahwa tingkat kekeringan terbesar berdasarkan SPI dan SPEI terjadi pada periode akhir 2009 serta awal 2010 baik pada skala 1, 3, 6, dan 12 bulanan. Pada periode tersebut, SPI menunjukkan indeks yang sangat kering yaitu dibawah -3,0. Sementara berdasarkan SPEI, indeks kekeringan yang terlihat berkisar -2,0.

Sementara itu, di wilayah dataran tinggi seperti Citeko dan Pacet, kejadian kekeringan terparah terdeteksi mencapai klasifikasi sangat kering yang direpresentasikan dengan gambar 7 dan 9. Klasifikasi tersebut dibuktikan dengan indeks sebesar -2,07 (SPEI) pada tahun 2002 dan -3,57 (SPI) pada tahun 2008 di Citeko serta -4,12 (SPEI) pada tahun 2002 dan -3.53 (SPI) pada tahun 2007 di Pacet. Indeks kekeringan yang parah tersebut diperoleh dari identifikasi kekeringan dengan skala waktu yang pendek, yaitu 1 dan 3 bulanan. Sementara pada skala waktu yang lebih panjang, indeks yang diperoleh cenderung lebih besar yang menjelaskan tingkat kekeringan lebih rendah.

Profil kekeringan di dataran rendah seperti Sukamandi, Pusakanegara, dan Citalang juga memperlihatkan tingkat kekeringan dengan klasifikasi sangat kering. Di Sukamandi, profil kekeringan terparah diperlihatkan pada gambar 10 dengan indeks sebesar -2,88 (SPEI) pada 2006 dan -2,75 pada 2000 (SPI). Hasil identifikasi kekeringan terparah ini juga terdeteksi pada analisa dengan periode 1 dan 3 bulanan. Di Pusakanegara, tingkat kekeringan tertinggi juga terdeteksi pada analisa periode waktu yang pendek, yaitu 3 bulanan. Hal ini diperlihatkan oleh gambar 12 dengan SPI dan SPEI sebesar -1,92 dan -3,86 pada tahun 2003. Hal yang sama juga terjadi pada hasil identifikasi kekeringan di Citalang yang direpresentasikan dengan gambar 6. Di Citalang, indeks kekeringan terparah terdeteksi pada hasil analisa Gambar 12 Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6

(c), 12 (d) bulanan Pusakanegara tahun 2001-2010. P Value = 0,774

P Value = 0,791 P Value = 0,228

P Value = 0,574

a b

(34)

20

dengan periode waktu 1 dan 3 bulanan dengan indeks sebesar -2,88 (SPEI) di tahun 2005 dan -3.31 (SPI) di tahun 2009.

Di Sukatani dan Kuningan yang berada pada ketinggian 230 dan 520 mdpl, kejadian kekeringan terparah terdeteksi pada analisa SPI dan SPEI dengan periode waktu 3 bulanan. Di Sukatani, kekeringan terparah ditunjukkan oleh gambar 11 dengan skala indeks sebesar -1,87 (SPEI) pada 2004 dan -2,52 (SPI) pada 2009. Sementara di Kuningan, indeks kekeringan terparah menunjuk pada skala -1,80 (SPEI) pada 2008 dan -3,76 (SPI) pada 2002 yang direpresentasikan dengan gambar 8. Dari beberapa tingkat kekeringan terparah tersebut, terlihat bahwa analisa kekeringan dengan SPI dan SPEI pada skala waktu 3 bulanan dapat mengidentifikasi kekeringan yang lebih tinggi dibandingkan dengan skala waktu lainnya. Selain itu, berdasarkan gambar-gambar hasil identifikasi kekeringan, terlihat bahwa pada analisa dengan skala waktu yang pendek diperoleh hasil yang sangat fluktuatif. Hal ini berbeda dengan grafik pada skala waktu 6 dan 12 bulanan yang cenderung lebih landai.

Perbedaan hasil antara SPI dan SPEI memang terlihat di setiap analisa dan identifikasi kekeringan, baik pada periode waktu 1, 3, 6, dan 12 bulanan. Dari sekian perbedaan hasil tersebut, terdapat beberapa perbedaan yang cukup signifikan berdasarkan klasifikasi dalam analisis kekeringan di SPI dan SPEI. Misalnya di Sukatani dan Kuningan, indeks kekeringan terparah yang diidentifikasi oleh SPI menunjukkan kondisi ekstrim, yaitu sangat kering. Sedangkan menurut SPEI kondisi kekeringan hanya diterjemahkan ke dalam situasi kering. Namun setelah dianalisis secara statistik menggunakan uji t dengan taraf signifikansi sebesar 0,05, tidak terdapat perbedaan yang signifikan dikarenakan p value yang diperoleh selalu lebih besar dari 0,05.

Menurut Vicente-Serrano et al. (2010), perbedaan hasil antara SPI dan SPEI adalah hal yang wajar mengingat kedua indeks tersebut dibangun oleh variabel yang berbeda. SPEI yang ditujukan untuk mengidentifikasi kekeringan dengan kondisi kenaikan suhu udara dunia tentu menerjemahkan kondisi yang lebih ekstrim apabila terdapat perubahan suhu yang cukup signifikan. Sementara pada SPI, hanya perubahan curah hujan signifikan yang diterjemahkan ke dalam kondisi ekstrim. Melihat profil suhu udara dan curah hujan di 8 lokasi pengamatan selama 2001-2010, terlihat bahwa fluktuasi curah hujan bulanan lebih besar daripada suhu udara. Hal ini lah yang membuat hasil identifikasi kekeringan dengan SPEI tidak selalu lebih ekstrim dibandingkan SPI.

(35)

21

Tabel 6 Jumlah kejadian kekeringan (SPI/SPEI < -0,99*) di 8 lokasi pengamatan selama tahun 2001 – 2010.

No Lokasi 1 bulanan 3 bulanan 6 bulanan 12 bulanan SPEI SPI SPEI SPI SPEI SPI SPEI SPI

1 Bogor 21 21 21 16 15 12 17 16

2 Citalang 19 16 21 16 20 15 16 16

3 Citeko 22 21 23 19 18 21 19 16

4 Kuningan 15 16 23 17 20 13 22 13

5 Pacet 22 13 11 12 11 6 13 6

6 Pusakanegara 20 10 21 16 21 20 22 17

7 Sukamandi 22 11 20 20 22 11 21 10

8 Sukatani 23 25 23 19 24 23 21 21

Rata-rata 20.5 16.6 20.4 16.9 18.9 15.1 18.9 14.4

*Nilai < -0,99 menunjukkan suatu lokasi mengalami kekeringan (di bawah kondisi normal) dalam klasifikasi SPI dan SPEI.

Fleksibilitas SPI dan SPEI yang mampu menganalisis kekeringan dalam berbagai skala waktu dapat dimanfaatkan ke berbagai praktik dalam kegiatan manusia. Pada kondisi meteorologis dan lengas tanah untuk pertanian yang cenderung mudah berubah dalam skala waktu yang pendek dapat digunakan analisis kekeringan SPI dan SPEI 1 dan 3 bulanan. Sementara itu, untuk analisis jangka panjang 6 dan 12 bulanan dapat dimanfaatkan ke dalam bidang hidrologis seperti kebutuhan air waduk dan PLTA serta perkebunan (WMO 2012).

Analisa SPI dan SPEI Terhadap Ketinggian Lokasi Pengamatan

(36)

22

diakibatkan penurunan suhu yang cukup drastis di pegunungan akibat beralihnya musim dari kemarau ke hujan. Sementara pada 8 mdpl, lebih basahnya indeks yang ditunjukkan SPI karena meningkatnya CH pada periode ini sebelum memasuki musim kemarau.

Periode basah yang terjadi pada periode Desember-Januari-Februari (DJF) tidak menunjukkan perbedaan hasil yang besar antara SPI dan SPEI. Hal ini dapat dilihat pada gambar 12.c yang memperlihatkan kedua indeks cenderung sama di setiap ketinggian lokasi pengamatan. Perbedaan terbesar dari kedua indeks bahkan tidak lebih dari 0,1. Ini menunjukkan bahwa pada periode ini di setiap lokasi mengalami musim hujan yang cukup merata diiringi dengan minimnya perubahan suhu secara drastis. Sehingga SPEI dan SPI cenderung bergerak di angka yang sama. Ini juga menunjukkan bahwa CH tetap menjadi faktor utama dalam penentuan tingkat kekeringan di suatu lokasi.

Meski CH tetap menjadi faktor utama, tidak dipungkiri bahwa ketinggian lokasi pengamatan juga mempengaruhi sifat kekeringan suatu lokasi. Hal ini yang diperlihatkan di Pacet pada periode SON. Selain itu, pada periode DJF ini terlihat bahwa hampir semua indeks berada di atas angka 0. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pada periode ini, tingkat kekeringan lebih rendah atau berpotensi lebih minimum dibandingkan periode lainnya.

Gambar 13 Grafik perbandingan nilai rata-rata SPI dan SPEI selama 2001-2010 pada periode 3 bulanan rata-rata, JJA (a), SON (b), DJF (c), dan MAM (d) dengan ketinggian di 8 lokasi observasi (sumbu x menunjukkan ketinggian lokasi pengamatan).

d c

(37)

23

Tabel 7 membagi kedelapan lokasi pengamatan ke dalam 3 kelas, yaitu dataran rendah, menengah, dan tinggi. Pada dataran rendah, lokasi yang termasuk adalah Pusakanegara (8 mdpl), Sukamandi (16 mdpl), dan Citalang (90 mdpl). Sementara pada dataran menengah, Bogor (210 mdpl), Sukatani (230 mdpl), dan Kuningan (520 mdpl) termasuk di dalamnya. Sedangkan lokasi lainnya yaitu Citeko (920 mdpl) dan Pacet (1280 mdpl) dikategorikan ke dalam dataran tinggi.

Berdasarkan perbedaan nilai indeks rata-rata SPI dan SPEI yang diperoleh, Tabel 7 merangkum jenis indeks yang dapat digunakan untuk mengindikasikan tingkat kekeringan lebih parah. Pembuatan tabel 7 didasari dari nilai indeks terendah yang diperoleh secara rata-rata dalam 10 tahun terakhir dengan perbedaan indeks > 0,1. Hal ini dikarenakan, semakin kecil nilai indeks, semakin besar tingkat kekeringan yang teridentifikasi oleh SPI atau SPEI. Selain itu, dengan dilandasi

Gambar 144 Peta lokasi stasiun pengamatan dengan kondisi topografi beragam dalam citra satelit Landsat oleh Google Earth.

Tabel 7 Tabel indeks kekeringan yang menunjukkan rata-rata indeks lebih kecil (selisih > 0,1) di lokasi ketinggian dan periode waktu tertentu.

Periode Rendah Menengah Tinggi

(0-200 mdpl) (200-700 mdpl) (>700 mdpl)

DJF SPI ≈SPEI SPI ≈ SPEI SPI ≈ SPEI

MAM SPEI SPI ≈ SPEI SPI ≈ SPEI

JJA SPI SPI SPI ≈ SPEI

SON SPI ≈ SPEI SPI ≈ SPEI SPI

(38)

24

nilai terkering, tingkat kewaspadaan terhadap potensi kekeringan dapat menjadi lebih tinggi. Sehingga hal ini akan berdampak kepada strategi dan kebijakan yang diambil untuk mengantisipasi kejadian kekeringan.

Di dataran rendah, periode MAM dan JJA mendeteksi perbedaan indeks > 0,1 antara SPI dan SPEI. Pada MAM, SPEI lebih mendeteksi tingkat kekeringan yang lebih parah melalui indeks yang lebih kecil. Sementara pada JJA, SPI mendeteksi tingkat kekeringan yang lebih tinggi daripada SPEI. Sedangkan di dua periode lainnya, kedua indeks cenderung setara dalam mengidentifikasi tingkat kekeringan. Di dataran menengah, hanya satu periode yang mendeteksi selisih hasil indeks antara SPI dan SPEI lebih dari 0,1, yaitu pada periode JJA. Pada periode ini, hasil identifikasi kekeringan melalui SPI lebih tinggi yang diperlihatkan dengan lebih kecilnya hasil SPI daripada SPEI. Sementara di dataran tinggi, hanya periode SON yang mengidentifikasi bahwa hasil SPI lebih kecil daripada SPEI dengan selisih lebih dari 0,1. Oleh karena itu, SPI dianggap mampu mendeteksi kekeringan lebih tinggi daripada SPEI pada periode dan lokasi tersebut. Sedangkan pada periode lainnya, hasil identifikasi kekeringan melalui SPI dan SPEI cenderung setara atau sebanding.

Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa SPI dianggap mengindikasikan kekeringan lebih parah di beberapa periode dibandingkan SPEI. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa curah hujan merupakan faktor iklim yang memiliki porsi pengaruh terbesar dalam menentukan kekeringan yang terjadi di lokasi ini. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Chang dan Kleopa (1991) serta Heim (2002) bahwa curah hujan merupakan variabel utama dalam menentukan awal, durasi, intensitas, serta akhir dari suatu periode kekeringan. Namun dengan adanya SPEI, indeks kekeringan menjadi lebih lengkap dan dapat mengkoreksi tingkat kekeringan pada periode dan lokasi tertentu dengan perubahan suhu udara yang besar. SPEI juga dapat menambah opsi pengawasan terhadap potensi kejadian kekeringan seperti halnya pada dataran rendah di periode MAM di Jawa Barat.

Analisa Hasil SPI dan SPEI Lokasi Pengamatan pada Kejadian ENSO

ENSO merupakan salah satu fenomena iklim yang memengaruhi variabilitas iklim di Indonesia. Kejadian ENSO terbagi ke dalam dua macam berdasarkan dampaknya, yaitu El Nino dan La Nina. Sebagai suatu proses fisis di alam, ENSO dapat diukur tingkat kejadiannya melalui berbagai parameter, di antaranya melalui besaran anomali suhu permukaan laut (SPL) di Samudera Pasifik. Dari besaran anomali SPL tersebut, tingkat kejadian El Nino maupun La Nina diklasifikasikan ke dalam 3 skala, yaitu ringan, sedang, dan kuat. Setiap kejadian El Nino dan La Nina memiliki dampak dan pengaruh yang berbeda terhadap kondisi iklim di Indonesia, termasuk kekeringan.

(39)

25

Nina Lemah (WL), Normal (N), El Nino Lemah (WE), hingga El Nino Sedang (ME).

Tabel 8 Kejadian ENSO serta kondisi kekeringan berdasarkan SPI dan SPEI 12 bulanan di Sukamandi (16 mdpl), Kuningan (520 mdpl), dan Citeko (920 mdpl).

Nino

3.4 Tahun

Sukamandi Kuningan Citeko

SPEI SPI SPEI SPI SPEI SPI

WL 2000 - 2001 -0,500 -0,482 1,127 0,998 0,377 1,173 N 2001 - 2002 1,755 2,340 0,107 -0,071 -0,846 -0,711 ME 2002 - 2003 -1,252 -0,792 -1,364 -1,048 -1,356 -1,335 N 2003 - 2004 0,709 0,574 0,021 -0,116 0,001 0,072 WE 2004 - 2005 -0,679 -0,631 -0,170 -0,235 -1,468 -1,613 WL 2005 - 2006 -0,361 -0,364 0,380 0,226 0,815 0,651 WE 2006 - 2007 -0,680 -0,655 -0,686 -0,698 1,470 1,057 ML 2007 - 2008 0,960 0,699 -1,485 -1,322 -0,207 -0,147 WL 2008 - 2009 0,638 0,338 -0,026 -0,274 0,935 0,735 ME 2009 - 2010 -1,031 -1,005 0,793 0,623 0,003 0,205 * Label abu-abu menunjukkan indeks yang kering (di bawah normal).

Selama 10 tahun terakhir, terdeteksi 4 kejadian El Nino dengan skala sedang dan lemah masing-masing sebanyak 2 kali. Pada kejadian El Nino skala lemah, SPI dan SPEI di 3 lokasi tidak menunjukkan tingkat kekeringan yang tinggi. Hal ini terlihat di lokasi Sukamandi dan Citeko dengan indeks kekeringan yang berada dalam kelas normal. Bahkan pada 2006-2007, SPI dan SPEI di Citeko menunjukkan tingkat kebasahan yang agak tinggi. Namun pada 2004-2005, Citeko justru mengalami kekeringan dengan skala rendah dan sedang menurut SPEI dan SPI.

Sementara pada kejadian El Nino skala sedang pada 2002-2003, kejadian kekeringan terjadi di semua lokasi. Sedangkan pada 2009-2010, kekeringan berdasarkan SPI dan SPEI hanya terjadi di Sukamandi. Uniknya, pada 2007-2008 di Kuningan terdeteksi mengalami kekeringan dengan skala rendah. Padahal saat itu indeks ENSO menunjukkan kejadian La Nina berskala sedang. Terjadinya perbedaan ini dapat diakibatkan beberapa kemungkinan, salah satunya yaitu pengaruh iklim lokal yang besar.

(40)

26

Korelasi antara SPI dan SPEI dengan ENSO diperlihatkan oleh gambar 14. Pada gambar 14, nilai korelasi bersifat negatif karena nilai SPI/SPEI dan anomali SPL Nino 3.4 memiliki intrepretasi nilai yang berbanding terbalik. Berdasarkan gambar 14 terlihat bahwa korelasi terbesar antara SPI dengan ENSO adalah -0,676 yang terdapat di Citeko dengan skala waktu 24 bulanan. Sementara korelasi antara SPEI dengan ENSO adalah sebesar -0,612, juga berada di Citeko dengan skala waktu 24 bulanan.

Berdasarkan gambar 14 juga dapat diketahui bahwa analisis kekeringan pada skala waktu pendek memperlihatkan korelasi yang rendah antara SPI/SPEI dan ENSO. Korelasi yang rendah ini menunjukkan bahwa selain ENSO, masih terdapat faktor lain yang mempengaruhi kondisi kekeringan meteorologis di lokasi-lokasi pengukuran, misalnya faktor curah hujan lokal, topografi, dan kondisi urban.

(41)

27

Tabel 9 Data kerusakan lahan akibat kekeringan selama 2003-2008 di sebagian Jawa Barat (BNPB 2014).

Tahun Lokasi Luas (Ha) SPI SPEI

2003 Subang 10315 -0,67 -1,35

2003 Bogor 48000 -1,43 -1,27

2004 Cianjur 1327 -1,42 -1,20

2004 Kuningan 1025 0,18 0,09

2004 Purwakarta 478 0,71 0,55

2004 Subang 1027 0,66 0,77

2005 Purwakarta 22 -0,84 -1,03

2005 Subang 1441 -0,47 -0,55

2005 Bogor 60 0,64 0,16

2005 Cianjur 58 0,56 0,59

2005 Kuningan 108 0,24 0,50

2006 Kuningan - 0,14 0,14

2006 Purwakarta - -0,70 -0,84

2006 Bogor - -0,75 -1,26

2006 Subang - -0,93 -1,08

2006 Cianjur - 1,18 1,48

2007 Subang - 1,35 1,49

2007 Kuningan - 0,75 0,79

2007 Cianjur - -1,25 -1,20

2007 Purwakarta - -0,03 -0,33

2007 Bogor - 0,80 0,89

2008 Cianjur 3134 -0,67 -0,82

2008 Purwakarta 438 1,00 1,14

2008 Kuningan 1765 0,91 0,79

2008 Subang 13 1,35 1,49

2008 Bogor 1116 -1,01 -0,99

(42)

28

kurun waktu 2003-2008. Periode-periode di luar kurun waktu tersebut tidak dimasukkan dan dianalisis karena tidak ada data yang disediakan oleh BNPB.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Secara konsep, indeks kekeringan meteorologi SPI dan SPEI adalah sama,. Berdasarkan hasil identifikasi kekeringan SPI dan SPEI di 5 kabupaten/kota di Jawa Barat dalam kurun waktu 2001-2010 menunjukkan kesamaan tren dan tingkat kekeringan. Hal ini dibuktikan dengan hasil uji signifikansi dengan p value yang lebih besar dari 0,05 atau taraf signifikansinya. SPI dan SPEI sangat fleksibel dalam mengidentifikasi dan menentukan awal kejadian serta skala waktu yang digunakan. Dari hasil analisis, analisis pada skala waktu 3 bulanan menunjukkan tingkat kekeringan meteorologis yang lebih tinggi daripada skala waktu lainnya. Selain itu, SPEI menunjukkan kejadian kekeringan yang lebih banyak dibandingkan SPI di 8 lokasi pengamatan selama 2001-2010. Pada skala waktu 1 dan 3 bulanan, kejadian kekeringan terdeteksi lebih banyak dibandingkan pada skala waktu 6 dan 12 bulanan.

Secara topografi, perbedaan nilai indeks rata-rata antara lokasi yang berada di ketinggian rendah, menengah, dan tinggi terlihat tidak berbeda jauh. Namun, SPI mengindikasikan kekeringan lebih tinggi daripada SPEI terutama pada periode kering (JJA) dengan selisih > 0,1 di dataran rendah dan menengah. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat penurunan jumlah curah hujan yang cukup signifikan di dataran rendah dan menengah pada musim kemarau sehingga berpengaruh terhadap kondisi kekeringan meteorologis. Selain itu, kondisi ini juga membuktikan bahwa curah hujan merupakan faktor iklim yang paling berpengaruh dalam menentukan kekeringan meteorologis. Sementara dalam kajian ENSO, kejadian kekeringan menurut SPI dan SPEI skala waktu 12 bulanan banyak terjadi pada kondisi El Nino skala sedang dengan jumlah 9 kejadian dari total 11 kejadian di 3 lokasi sampel. Korelasi antara SPI dan SPEI dengan ENSO terbesar terjadi pada jangka waktu yang panjang (24 bulanan) sebesar -0,676 dan -0,612. Pada tahun 2003, SPI, SPEI, dan ENSO mengindikasikan tingkat kekeringan yang cukup tinggi. Menurut data kerusakan lahan akibat kekeringan, pada tahun 2003 juga terjadi kerusakan lahan terbesar yaitu seluas 58.315 ha.

Saran

(43)

29

DAFTAR PUSTAKA

Abramopoulos F, C Rosenzweig, B Choudhury. 1988. Improved ground hydrology calculations for global climatemodels (GCMs): ENSOl water movement and evapotranspiration. J. of Climate, 1:921–941.a

Aldrian E dan RD Susanto. 2003. Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature. Inter. J. of Climatology, 23(12): 1435-1452.a

[AMS] American Meteorological Society. 1997. Meteorological drought - Policy statement. Bull. Amer. Meteor. Soc., 78:847–849.

Arifin Z, G Kartono, P Santoso, Suyamto. 2001. Analisis peluang dan antisipasi menghadapi kekeringan (el nino) tahun 2002 di Jawa Timur. Prosiding Seminar dan Ekspose Hasil Penelitian/Pengkajian, BPTP Jawa Timur.

Auliani PA. 2011 Mar 22. Kekeringan, potensi rugi PLN Rp 5,5 T. Republika. Nasional:1(kol 5).

[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Peta Kekeringan dengan Metode SPI Propinsi Jawa Timur tahun 2013. Malang (ID): BMKG.

[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2014. Data dan informasi bencana Indonesia. [dilihat pada 2014 Desember 3]. Terdapat pada: http://dibi.bnpb.go.id/DesInventar/dashboard.jsp.

Chang TJ, dan XA Cleopa. 1991. A proposed method for drought monitoring. Water Resour. Bull., 27:275–281.

[DIPERTA JABAR] Dinas Pertanian Jawa Barat. 2008. Provinsi profil kehutanan. [dilihat pada 2014 Huli 4]. Terdapat pada: diperta.jabarprov.go.id/assets/data /menu/3._POTENSI_.pdf.

Friedman DG. 1957. The prediction of long-continuing drought in south and southwest Texas. Occasional Papers in Meteorology, No. 1, The Travelers Weather Research Center, Hartford, CT, 182 pp.

Guttman NB. 1998. Comparing the Palmer Drought Index and the Standardized Precipitation Index. J Amer. Water Resour. Assoc., 34(1):113-121.

Hayes MJ, MD Svoboda, DA Wilhite, OV Vanyarkho. 1998. Monitoring the 1996 drought using the Standardized Precipitation Index. Bull. Amer. Meteor. Soc., 80(3):429-438.

Hayes MJ. 2006. Drought indices. USA: QuickLink. http://www.drought.unl.edu [25 Januari 2014].

Hayes MJ, MD Svoboda, N Wall, danM Widhalm. 2011. The Lincoln Declaration on drought indices: universal meteorological drought index recommended. Bull.Amer. Meteor. Soc., 92(4):485-488.

Heim RR. 2002. A Review of twentieth century drought indices used in the United States. Bull. Amer. Meteor. Soc., 83:1149–1165.

Hounam CE,Burgos JJ, Kalik MS, Palmer WC, dan Rodda J. 1975. Drought and Agriculture. Technical note no.138. World Meteorological Organization. Julian PR, HC Fritts. 1968. On the possibility ofquantitatively extending climatic

(44)

30

McKee TB, NJ Doesken, dan J Kleist. 1993. The relationship of drought frequency and duration of time scales. Eighth Conference on Applied Climatology, Anaheim, CA, Amer. Meteor. Soc., 179-186.

Nur’utami MN. β014. Keragaman Curah Hujan Indonesia saat Fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) dan El Nino Southern-Oscillation (ENSO) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[PEMDA JABAR] Pemerintah Daerah Jawa Barat. 2012. Produksi Padi Jabar Kemungkinan Turun. Jabarprov [Internet]. [dilihat pada 2014 Mei 2]. Terdapat pada: http://jabarprov.go.id/index.php/news/5359/Produksi_Padi_Jabar_Kemun gkinan_Turun.

Suryanti I. 2008. Analisis hubungan antara sebaran kekeringan menggunakan indeks Palmer dengan karakteristik kekeringan (Studi Kasus: Provinsi Banten) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sutisna N. 2008. Areal Sawah di Jatiluhur Kekeringan. Tempo [Internet]. [dilihat 2014 Jun 24]. Tersedia pada: http://www.tempo.co/read /news/2008/06/29/058127034/Areal-Sawah-Sekitar-Jatiluhur-Kekeringan. Svoboda M. 2002. An Introduction to the Drought Monitor. Drought Network News,

12:15-20.

Tjasyono BHK dan Bannu. 2003. Dampak ENSO pada faktor hujan di Indonesia. Jurnal Matematika dan Sains 8(1):15-22.

Tjasyono BHK. 2004. Klimatologi. Bandung (ID): Penerbit ITB.

Tjasyono BHK dan Harijono SWB. 2006. Meteorologi Indonesia Volume 2. Jakarta (ID): Penerbit Badan Meteorologi dan Geofisika.

Tjasyono BHK. 2007. Variasi Iklim Musiman dan Non Musiman di Indonesia. Disampaikan pada Lokakarya Meteorologi, Geofisika, dan Klimatologi untuk Media dan Pengguna Jasa, 4-5 September 2007, Jakarta.

Tjasyono BHK, Ruminta, Lubis A, Harijono SWB, Juaeni I. 2008. Dampak variasi temperatur Samupdra Pasifik dan Hindia Ekuatorial terhadap curah hujan di Indonesia. Jurnal Sains Dirgantara, 5(2):83-95.

Triatmoko D. 2012. Penggunaan metode Standardized Precipitation Index untuk identifikasi kekeringan meteorologi di wilayah Pantura Jawa Barat [skripsi]. Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung.

Vicente-Serrano SM, S Begueria, JI Lopez-Moreno. 2010. A Multiscalar drought index sensitive to global warming: The standardized precipitation evapotranspiration index. J. of Climate, 23:1696-1718.

Wilhite DA dan Glantz MH. 1985. Understanding the drought phenomenon: The role of definitions. Water Internat., 10(3):111-120.

Winarsih IN. 2013. Lahan Sawah di Subang Tak Bisa Ditanami Akibat Minim Air. Republika Online [Internet]. [dilihat pada 2014 Jun 24]. Terdapat pada: http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-barat-nasional/13/

09/10/msx3k0-lahan-sawah-di-subang-tak-bisa-ditanami-akibat-minim-air. [WMO] World Meteorological Organization. 1992. International Meteorological

Vocabulary.2d ed. WMO No. 182, WMO, 784 pp.

(45)

31

LAMPIRAN

Lampiran 1 Memuat SPEI Package di R x64

> local({pkg <- select.list(sort(.packages(all.available = TRUE)),graphics=TRUE) + if(nchar(pkg)) library(pkg, character.only=TRUE)})

Loading required package: lmomco

# Package lmomco (2.0.1) loaded [try lmomcoNews()]. Loading required package: parallel

# Package SPEI (1.6) loaded [try SPEINews()]. Lampiran 2 Menghitung SPI dan SPEI Bogor > #input data iklim Bogor

> load("D:\\Kuliah\\Skripsi\\Proposal Reza\\Data Reza\\Data Run\\Bogor.txt") > #menghitung ETp dengan pendekatan Thornthwaite

> bogor$PET = thornthwaite (bogor$TMED, -6,57) # -6,57 adalah posisi lintang dan TMED adalah suhu udara rata-rata

> #mencari nilai SPI Bogor dalam berbagai skala waktu

> spi_bogor1 = spi(bogor$PRCP, 1) #PRCP = variabel curah hujan

> spi_bogor3 = spi(bogor$PRCP, 3) # angka 3 merupakan skala 3 bulanan > spi_bogor6 = spi(bogor$PRCP, 6)

> spi_bogor9 = spi(bogor$PRCP, 9) > spi_bogor12 = spi(bogor$PRCP, 12) > spi_bogor18 = spi(bogor$PRCP, 18) > spi_bogor24 = spi(bogor$PRCP, 24)

> #mencari nilai SPEI Bogor dalam berbagai skala waktu > spei_bogor1 = spei(bogor$PRCP – bogor$PET, 1) > spei_bogor3 = spei(bogor$PRCP – bogor$PET, 3) > spei_bogor6 = spei(bogor$PRCP – bogor$PET, 6) > spei_bogor9 = spei(bogor$PRCP – bogor$PET, 9) > spei_bogor12 = spei(bogor$PRCP – bogor$PET, 12) > spei_bogor18 = spei(bogor$PRCP – bogor$PET, 18) > spei_bogor24 = spei(bogor$PRCP – bogor$PET, 24) Lampiran 3 Menghitung SPI dan SPEI Citalang > #input data iklim Citalang

> load("D:\\Kuliah\\Skripsi\\Proposal Reza\\Data Reza\\Data Run\\Citalang.txt") > #menghitung ETp dengan pendekatan Thornthwaite

> citalang$PET = thornthwaite (citalang$TMED, -6,54) > #mencari nilai SPI Citalang dalam berbagai skala waktu > spi_citalang1 = spi(citalang$PRCP, 1)

> spi_citalang3 = spi(citalang$PRCP, 3) > spi_citalang6 = spi(citalang$PRCP, 6) > spi_citalang9 = spi(citalang$PRCP, 9) > spi_citalang12 = spi(citalang$PRCP, 12) > spi_citalang18 = spi(citalang$PRCP, 18) > spi_citalang24 = spi(citalang$PRCP, 24)

(46)

32

> spei_citalang1 = spei(citalang$PRCP – citalang$PET, 1) > spei_citalang3 = spei(citalang$PRCP – citalang$PET, 3) > spei_citalang6 = spei(citalang$PRCP – citalang$PET, 6) > spei_citalang9 = spei(citalang$PRCP – citalang$PET, 9) > spei_citalang12 = spei(citalang$PRCP – citalang$PET, 12) > spei_citalang18 = spei(citalang$PRCP – citalang$PET, 18) > spei_citalang24 = spei(citalang$PRCP – citalang$PET, 24) Lampiran 4 Menghitung SPI dan SPEI Citeko

> #input data iklim Citeko

> load("D:\\Kuliah\\Skripsi\\Proposal Reza\\Data Reza\\Data Run\\Citeko.txt") > #menghitung ETp dengan pendekatan Thornthwaite

> citeko$PET = thornthwaite (citeko$TMED, -6,7) > #mencari nilai SPI Citeko dalam berbagai skala waktu > spi_citeko1 = spi(citeko$PRCP, 1)

> spi_citeko3 = spi(citeko$PRCP, 3) > spi_citeko6 = spi(citeko$PRCP, 6) > spi_citeko9 = spi(citeko$PRCP, 9) > spi_citeko12 = spi(citeko$PRCP, 12) > spi_citeko18 = spi(citeko$PRCP, 18) > spi_citeko24 = spi(citeko$PRCP, 24)

> #mencari nilai SPEI Citeko dalam berbagai skala waktu > spei_citeko1 = spei(citeko$PRCP - citeko$PET, 1) > spei_citeko3 = spei(citeko$PRCP - citeko$PET, 3) > spei_citeko6 = spei(citeko$PRCP - citeko$PET, 6) > spei_citeko9 = spei(citeko$PRCP - citeko$PET, 9) > spei_citeko12 = spei(citeko$PRCP - citeko$PET, 12) > spei_citeko18 = spei(citeko$PRCP - citeko$PET, 18) > spei_citeko24 = spei(citeko$PRCP - citeko$PET, 24) Lampiran 5 Menghitung SPI dan SPEI Kuningan > #input data iklim Kuningan

> load("D:\\Kuliah\\Skripsi\\Proposal Reza\\Data Reza\\Data Run\\Kuningan.txt") > #menghitung ETp dengan pendekatan Thornthwaite

> kuningan$PET = thornthwaite (kuningan$TMED, -6,98) > #mencari nilai SPI Kuningan dalam berbagai skala waktu > spi_kuningan1 = spi(kuningan$PRCP, 1)

> spi_kuningan3 = spi(kuningan$PRCP, 3) > spi_kuningan6 = spi(kuningan$PRCP, 6) > spi_kuningan9 = spi(kuningan$PRCP, 9) > spi_kuningan12 = spi(kuningan$PRCP, 12) > spi_kuningan18 = spi(kuningan$PRCP, 18) > spi_kuningan24 = spi(kuningan$PRCP, 24)

(47)

33

> spei_kuningan12 = spei(kuningan$PRCP - kuningan$PET, 12) > spei_kuningan18 = spei(kuningan$PRCP - kuningan$PET, 18) > spei_kuningan24 = spei(kuningan$PRCP - kuningan$PET, 24)

Lampiran 6 Menghitung SPI dan SPEI Pacet > #input data iklim Pacet

> load("D:\\Kuliah\\Skripsi\\Proposal Reza\\Data Reza\\Data Run\\Pacet.txt") > #menghitung ETp dengan pendekatan Thornthwaite

> pacet$PET = thornthwaite (pacet$TMED, -6,75) > #mencari nilai SPI Pacet dalam berbagai skala waktu > spi_pacet1 = spi(pacet$PRCP, 1)

> spi_pacet3 = spi(pacet$PRCP, 3) > spi_pacet6 = spi(pacet$PRCP, 6) > spi_pacet9 = spi(pacet$PRCP, 9) > spi_pacet12 = spi(pacet$PRCP, 12) > spi_pacet18 = spi(pacet$PRCP, 18) > spi_pacet24 = spi(pacet$PRCP, 24)

> #mencari nilai SPEI Pacet dalam berbagai skala waktu > spei_pacet1 = spei(pacet$PRCP - pacet$PET, 1) > spei_pacet3 = spei(pacet$PRCP - pacet$PET, 3) > spei_pacet6 = spei(pacet$PRCP - pacet$PET, 6) > spei_pacet9 = spei(pacet$PRCP - pacet$PET, 9) > spei_pacet12 = spei(pacet$PRCP - pacet$PET, 12) > spei_pacet18 = spei(pacet$PRCP - pacet$PET, 18) > spei_pacet24 = spei(pacet$PRCP - pacet$PET, 24) Lampiran 7 Menghitung SPI dan SPEI Pusakanegara > #input data iklim Pusakanegara

> load("D:\\Kuliah\\Skripsi\\Proposal Reza\\Data Reza\\Data Run\\Pusaka.txt") > #menghitung ETp dengan pendekatan Thornthwaite

> pusaka$PET = thornthwaite (pusaka$TMED, -6,28)

> #mencari nilai SPI Pusakanegara dalam berbagai skala waktu > spi_pusaka1 = spi(pusaka$PRCP, 1)

> spi_pusaka3 = spi(pusaka$PRCP, 3) > spi_pusaka6 = spi(pusaka$PRCP, 6) > spi_pusaka9 = spi(pusaka$PRCP, 9) > spi_pusaka12 = spi(pusaka$PRCP, 12) > spi_pusaka18 = spi(pusaka$PRCP, 18) > spi_pusaka24 = spi(pusaka$PRCP, 24)

> #mencari nilai SPEI Pusakanegara dalam berbagai skala waktu > spei_pusaka1 = spei(pusaka$PRCP - pusaka$PET, 1)

(48)

34

Lampiran 8 Menghitung SPI dan SPEI Sukamandi > #input data iklim Sukamandi

> load("D:\\Kuliah\\Skripsi\\Proposal Reza\\Data Reza\\Data Run\\Sukamandi.txt")

> #menghitung ETp dengan pendekatan Thornthwaite

> sukamandi$PET = thornthwaite (sukamandi$TMED, -6,36) > #mencari nilai SPI Sukamandi dalam berbagai skala waktu > spi_sukamandi1 = spi(sukamandi$PRCP, 1)

> spi_sukamandi3 = spi(sukamandi$PRCP, 3) > spi_sukamandi6 = spi(sukamandi$PRCP, 6) > spi_sukamandi9 = spi(sukamandi$PRCP, 9) > spi_sukamandi12 = spi(sukamandi$PRCP, 12) > spi_sukamandi18 = spi(sukamandi$PRCP, 18) > spi_sukamandi24 = spi(sukamandi$PRCP, 24)

> #mencari nilai SPEI Sukamandi dalam berbagai skala waktu > spei_sukamandi1 = spei(sukamandi$PRCP - sukamandi$PET, 1) > spei_sukamandi3 = spei(sukamandi$PRCP - sukamandi$PET, 3) > spei_sukamandi6 = spei(sukamandi$PRCP - sukamandi$PET, 6) > spei_sukamandi9 = spei(sukamandi$PRCP - sukamandi$PET, 9) > spei_sukamandi12 = spei(sukamandi$PRCP - sukamandi$PET, 12) > spei_sukamandi18 = spei(sukamandi$PRCP - sukamandi$PET, 18) > spei_sukamandi24 = spei(sukamandi$PRCP - sukamandi$PET, 24) Lampiran 9 Menghitung SPI dan SPEI Sukatani

> #input data iklim Sukatani

> load("D:\\Kuliah\\Skripsi\\Proposal Reza\\Data Reza\\Data Run\\Sukatani.txt") > #menghitung ETp dengan pendekatan Thornthwaite

> sukatani$PET = thornthwaite (sukatani$TMED, -6,6) > #mencari nilai SPI Sukatani dalam berbagai skala waktu > spi_sukatani1 = spi(sukatani$PRCP, 1)

> spi_sukatani3 = spi(sukatani$PRCP, 3) > spi_sukatani6 = spi(sukatani$PRCP, 6) > spi_sukatani9 = spi(sukatani$PRCP, 9) > spi_sukatani12 = spi(sukatani$PRCP, 12) > spi_sukatani18 = spi(sukatani$PRCP, 18) > spi_sukatani24 = spi(sukatani$PRCP, 24)

(49)

35

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cilacap pada tanggal 11 April 1993 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan ayahanda M. Koesyanto dan ibunda Cony Nugraheni. Penulis menempuh pendidikan di SMAN 1 Parung pada tahun 2007-2010. Sejak tahun 2010, penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor sebagai mahasiswa Departemen Geofisika dan Meteorologi, Mayor Meteorologi Terapan melalui jalur tanpa tes atau USMI. Selama berkuliah di IPB, penulis memperoleh beasiswa pendidikan yaitu beasiswa Program Peningkatan Prestasi (PPA) 2011-2014 yang diselenggarakan oleh DIKTI.

Gambar

Tabel indeks kekeringan yang menunjukkan rata-rata indeks lebih kecil
Tabel 1  Macam-macam indeks kekeringan sebelum Palmer’s Index (Heim
Tabel 2  Macam-macam indeks kekeringan setelah kemunculan Indeks Palmer
Tabel 3  Macam-macam indeks kekeringan setelah kemunculan SPI (Heim 2002).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang diatas, maka perlu adanya analisa kekeringan dan prediksi kekeringan dengan metode Standarized Precipitation Index (SPI) berdasarkan data

Analisis ngkat kekeringan dan kebasahan dengan menggunakan indeks SPI untuk akumulasi curah hujan ga bulanan Agustus - Oktober 2015 di wilayah Propinsi Banten dan DKI Jakarta

Analisis kekeringan dalam penelitian ini menggunakan data hujan bulanan, karena itu data satelit PERSIANN bulanan dapat digunakan untuk analisis kekeringan dengan metode

Hujan Bulanan Dan 15 Harian Berdasarkan hasil penggambaran peta tingkat kekeringan, dapat dilihat wilayah- wilayah yang mengalami tingkat kekeringan dengan kriteria

Analisis tingkat kekeringan dan kebasahan dengan menggunakan indeks SPI untuk akumulasi curah hujan tiga bulanan Oktober - Desember 2016 di wilayah Kep.. Bangka Belitung

Dalam penelitian ini digunakan indeks kekeringan SPI dan penerapan model Vector Autoregressive Moving Average (VARMA) dalam mengolah data kekeringan sehingga

kekeringan terparah selama 10 tahun pengamatan dengan kriteria amat sangat kering terbanyak untuk curah hujan bulanan adalah stasiun Gumarang dengan 4 kali

Berdasarkan grafik nilai SPI tersebut dapat disimpulkan bahwa indeks kekeringan setiap stasiun hujan hampir sama atau perbedaannya tidak signifikan, dimana tidak