• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Daging Ayam Beku, Alat Angkut dan Profil Pengemudi

Sebanyak 53 sampel daging ayam beku yang dilalulintaskan melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak pada Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon Banten telah diambil sebagai bahan penelitian. Daerah asal sampel tersebut adalah Jakarta (16 sampel), Bekasi (11 sampel), Bogor (8 sampel) dan Serang (18 sampel).

Berdasarkan pengamatan pada kemasan, sampel dari 4 daerah asal menunjukkan kemasan yang utuh, rapi dan bersih (100%). Semua sampel dikemas dengan plastik tertutup. Sampel daging ayam beku yang diambil mempunyai warna dan bau khas daging ayam (100%). Alat angkut yang digunakan berupa mobil boks berpendingin dengan suhu rata-rata -200C. Delapan puluh persen alat angkut yang digunakan dalam kondisi bersih.

Tabel 7 Kondisi daging ayam, alat angkut dan profil pengemudi

Kondisi Daging Ayam Alat Angkut Profil Pengemudi

Kemasan Warna Bau Suhu Kebersihan Pendidikan Pengetahuan Higiene N TN N TN N TN N TN N TN SD SM P SMA T TH Jakarta Bekasi Bogor Serang 5 3 4 3 0 0 0 0 5 3 4 3 0 0 0 0 5 3 4 3 0 0 0 0 5 3 4 3 0 0 0 0 4 3 3 2 1 0 1 1 1 0 1 2 2 2 2 1 2 1 1 0 2 0 1 1 3 3 3 2 Keterangan:

N : normal (kemasan bersih & tertutup rapat, bau & warna khas daging, suhu -18 s/d -400C, alat angkut bersih)

TN : menyimpang/tidak normal T : tahu

TH : tidak tahu

Pengemudi alat angkut daging ayam rata-rata berpendidikan SMP (46.67%), SD (26.67%) dan lulusan SMA (26.67%). Berdasarkan wawancara mengenai pengetahuan tentang higiene daging, 73.33 % pengemudi dari keempat daerah asal menyatakan tidak tahu, sementara yang mengaku tahu sebanyak 26.67%. Untuk

lebih mengetahui secara lengkap kondisi daging ayam, alat angkut serta profil pengemudi dapat dilihat pada Tabel 7.

Pengujian Mikrobiologis

Hasil pengujian jumlah total kuman (TPC), E. coli, S. aureus dan keberadaan

Salmonella dalam daging ayam beku ditampilkan pada Tabel 8. Sampel dari daerah Bogor memiliki rata-rata jumlah total kuman tertinggi, yaitu 1.00 x 108 ± 1.50 x 107 cfu/g dan jumlah total kuman terendah berasal dari daerah Jakarta yaitu sebesar 3.19 x 106 ± 2.13 x 106 cfu/g. Berdasarkan standar SNI 01-6366-2000, rataan jumlah total kuman(TPC) sampel daging ayam beku yang berasal dari Jakarta, Bekasi, Bogor dan Serang semuanya melebihi batas cemaran mikroba yang diperbolehkan ada dalam bahan makanan asal hewan yaitu sebesar 1 x 104 cfu/g.

Hasil pengujian E. coli dalam daging ayam beku menunjukkan bahwa sampel dari daerah Serang memiliki rataan tingkat cemaran tertinggi yaitu sebesar 6.45 ± 2.25 mpn/g. Sampel dari ke 4 daerah asal secara rata-rata memiliki tingkat cemaran

E. coli di bawah batas SNI 01-6366-2000.

Hasil analisis terhadap cemaran S. aureus menunjukkan bahwa sampel dari daerah Jakarta memiliki rataan tingkat cemaran tertinggi, yaitu sebesar 1.00 x 108 ± 2.50 x 107 cfu/g dan yang terendah adalah sampel daging ayam beku yang berasal dari daerah Serang yaitu sebesar 9.64x102 ± 3.32x102 cfu/g. Namun secara rataan sampel dari setiap daerah melebihi batas SNI 01-6366-2000 yaitu sebesar 1 x 102 cfu/g.

Sementara pengujian terhadap keberadaan Salmonella menunjukkan bahwa hanya 2 sampel yang berasal dari daerah Serang yang tercemar Salmonella.

Tabel 8 Rataan jumlah total kuman (TPC), E. coli, S. aureus dan keberadaan

Salmonella dalam daging ayam berdasarkan daerah asal

Daerah Asal

Jumlah Total Kuman (cfu/g) Jumlah E. coli (mpn/g) Jumlah S. aureus (cfu/g) Keberadaan Salmonella Jakarta 3.19x106 ± 2.13x106 4.28 x 100 ± 7.00 x 10-1 1.00x108 ± 2.50x107 negatif Bekasi 1.00x107 ± 7.72x106 4.40 x 100 ± 1.92 x 100 1.10x106± 9.00x105 negatif Bogor 1.00x108 ± 1.50x107 2.80 x 100 ± 8.00 x 10-1 3.90x104 ± 2.50x104 negatif Serang 3.64x106 ± 1.63x106 6.45 x 100 ± 2.25 x 100 9.64x102 ± 3.32x102 2 Keterangan : batas maksimal menurut SNI

TPC: < 1 x 104 cfu/g Salmonella : negatif

E. coli: < 5 x 101 mpn/g S. aureus : <1 x 102 cfu/g

Rataan jumlah total kuman, E. coli, S. aureus dan keberadaan Salmonella

berdasarkan daerah asal diperlihatkan pada Gambar 4.

Gambar 4 Log rataan jumlah total kuman (TPC), E. coli, S. aureus dan keberadaan

Salmonella per daerah asal

Seratus persen sampel daging ayam beku yang berasal dari daerah Bogor memiliki jumlah total kuman (TPC) di atas standar SNI 01-6366-2000, kemudian berturut-turut diikuti dengan sampel daging ayam beku yang berasal dari daerah Serang (94.4%), Bekasi (63.6%) dan Jakarta (62.5%) (Tabel 9).

Tabel 9 Prevalensi jumlah sampel yang mengandung cemaran mikroba melebihi batas SNI 01 – 6366 – 2000

Asal N

Pengujian

TPC E. coli S. aureus Salmonella

Jakarta 16 62.5 31.3 87.5 0

Bekasi 11 63.6 27.3 54.5 0

Bogor 8 100 12.5 62.5 0

Serang 18 94.4 27.8 100 11.1

Rata-Rata 80.125 24.725 76.125 2.775

Prevalensi sampel daging ayam beku asal daerah Jakarta, Bekasi, Bogor dan Serang dengan cemaran E. coli melebihi batas standar yang diperbolehkan berdasar SNI 01-6366-2000 berturut-turut masing-masing sebesar 31.3% ; 27.3% ; 12.5% dan 27.8%.

Seratus persen sampel daging ayam beku yang berasal dari Serang memiliki cemaran S. aureus melebihi batas yang diperbolehkan berdasar SNI 01-6366-2000. Kemudian diikuti sampel daging ayam beku yang berasal dari daerah Jakarta sebesar 87.55%, dari Bogor sebesar 62.5% dan dari Bekasi sebesar 54.5%. Sementara sampel daging ayam beku yang tercemar Salmonella hanya berasal dari daerah Serang yaitu sebesar 11.1%.

Gambar 5 menunjukkan prevalensi jumlah sampel daging ayam beku yang mengandung cemaran mikroba melebihi batas SNI 01-6366-2000 berdasarkan daerah asal.

Gambar 5 Prevalensi jumlah sampel daging ayam beku yang mengandung cemaran mikroba melebihi batas SNI 01 – 6366 - 2000

Pengujian makanan yang kita konsumsi terhadap keberadaan cemaran mikroba sangat penting, karena banyak kasus keracunan akibat mengkonsumsi bahan makanan yang tercemar mikroba penyebab penyakit. Menurut Kozacinski et al. (2006), jumlah total kuman yang ditemukan pada daging ayam adalah selalu tinggi, hal ini mengakibatkan tingginya resiko pembusukan yang menyebabkan pangan tidak layak dikonsumsi. Sebuah penelitian yang dilakukan di Malang menunjukkan jumlah bakteri pada daging ayam yang dijual di Pasar Dinoyo adalah 2.35x 109 koloni/gram, sedangkan jumlah bakteri pada daging ayam yang dijual di Pasar Besar Malang adalah 36,4 x 106 koloni/gram (Wahyudi 2004).

Kozacinski et al. (2006) dalam penelitiannya mengenai kualitas mikrobiologis daging ayam di Kroasia menyebutkan bahwa jumlah total kuman (TPC) yang ditemukan pada potongan daging ayam berkisar antara 2.30-5.41 x 1010 cfu/g, lebih tinggi pada fillets yang berkisar antara 4.72 ± 0.38 x 1010 cfu/g dan lebih rendah pada dada ayam dengan kulit yaitu sebesar 3.67 ± 0.88 x 1010 cfu/g. Kim et al. (2003) pada penelitiannya menyatakan bahwa dari 165 sampel daging ayam yang diteliti,

jumlah total kuman yang <102 cfu/g sebanyak 18.2%, 103-104 cfu/g sebanyak 59.4% dan 104–105 cfu/g sebanyak 22.4%.

Menurut Nugroho (2004), tahap-tahap yang berpotensi terjadinya pencemaran silang mikroba pada pemrosesan karkas ayam di RPA dapat terjadi pada saat penerimaan dan penggantungan ayam, penyembelihan, scalding dan pencabutan bulu, pengeluaran jerohan, pendinginan, grading serta pemotongan.

Dalam bidang mikrobiologi pangan dikenal istilah bakteri indikator sanitasi. Bakteri indikator sanitasi adalah bakteri yang keberadaannya dalam pangan menunjukkan bahwa pangan tersebut pernah tercemar oleh kotoran manusia atau hewan, karena bakteri-bakteri tersebut umumnya adalah bakteri yang lazim hidup pada usus manusia dan hewan. Bakteri yang paling banyak digunakan sebagai indikator sanitasi adalah E. coli karena bakteri ini adalah bakteri komensal pada usus manusia dan hewan dan umumnya bukan patogen. E. coli adalah bakteri Gram negatif berbentuk batang, tidak membentuk spora dan merupakan flora normal di usus. Meskipun demikian, beberapa jenis E. coli dapat bersifat patogen, yaitu serotipe E. coli Enteropatogenik, E. coli Enteroinvasif, E. coli Enterotoksigenik dan

E. coli Enterohemoragik.

Menurut Sudarwanto (2007), E. coli selalu diperiksa dalam bidang higiene pangan karena E. coli merupakan mikroorganisme yang keberadaannya dalam makanan menjadi parameter penanganan yang tidak higienis.

Hasil pengujian sampel daging ayam beku yang dilalulintaskan melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak terhadap cemaran S. aureus tidak jauh berbeda dengan penelitian Harmayani et al. (1996) dalam Djaafar dan Rahayu (2007) yang menyebutkan daging ayam mentah yang digunakan sebagai bahan sate pada suatu industri jasa boga telah tercemar S. aureus sebanyak 1.60 x 106 cfu/g. Selain itu, Kozacinski et al. (2006) dalam penelitiannya mengenai kualitas mikrobiologis daging ayam di Kroasia menemukan prevalensi S. aureus sebesar 30.30%.

S. aureus merupakan bakteri yang selalu ada di mana-mana seperti udara, debu, air, susu, makanan dan peralatan makan, tubuh manusia dan hewan seperti kulit, rambut/bulu, bahkan di dalam saluran pernafasan individu sehat (Stehulak 1998).

Kejadian kontaminasi S. aureus pada pangan asal hewan sangat memungkinkan, mengingat bakteri agen penyakit ini dijumpai di mana-mana. Menurut Soejoedono (1997), pada manusia S. aureus dijumpai pada permukaan kulit, saluran pencernaan maupun saluran pernafasan. Sudarwanto (2007) juga menyatakan bahwa sumber S. aureus terbanyak adalah dari manusia karena 50% dari jumlah orang sehat mengandung S. aureus pada rongga hidung.

Adanya sejumlah besar S. aureus dalam produk makanan mengindikasikan jeleknya penanganan dan sanitasi (Anonim 2001). Pencemaran S. aureus pada daging ayam dapat terjadi pada berbagai tahap pemrosesan. Sebelum ayam disembelih, maka

S. aureus terdapat pada permukaan kaki, bulu dan kulit yang merupakan bagian tubuh yang kontak dengan tanah, debu dan feses. Selain itu S. aureus juga ditemukan pada berbagai lokasi saluran pernafasan ayam hidup. Tahap-tahap yang berpotensi terjadinya kontaminasi S. aureus adalah pada saat penerimaan dan penggantungan ayam, penyembelihan, scalding dan pencabutan bulu, pengeluaran jeroan dan pendinginan (Bailey et al. 1987).

Pada tahap scalding, Staphylococcus dapat diisolasi agak sering dari air untuk

scalding maupun karkasnya walaupun dalam jumlah sedikit. Namun demikian pada tahap scalding peluang pencemaran silang lebih kecil kejadiannya dibandingkan tahap tahap berikutnya seperti pencabutan bulu, pengeluaran jerohan dan tangki pendinginan. Selain itu, pencemaran Staphylococcus dapat pula terjadi pada tahap pengolahan/pemasakan. Pencemaran pada tahap ini dapat terjadi pada saat pemotongan, deboning, penggilingan, atau penanganan lain oleh peralatan maupun operator yang menjadi sumber pencemar (Nugroho 2004).

S. aureus memproduksi toksin yang disebut enterotoksin karena menimbulkan radang lambung usus (gastroenteritis). Bakteri S. aureus mudah mati oleh panas 66 0

C dalam 12 menit. Namun penghancuran enterotoksinnya memerlukan panas yang tinggi, pada 120 0C selama 30 menit (Forrest et al. 1975). Batas minimal jumlah toksin S. aureus yang dapat menyebabkan keracunan atau penyakit pada manusia adalah 1µ g (FDA 2008). Untuk membentuk toksin yang dapat meracuni bahan makanan diperlukan minimal 106 kuman/g makanan (Sudarwanto 2007).

Ditemukannya Salmonella pada sampel daging ayam beku yang berasal dari Serang dapat terjadi melalui 2 jalur, yang pertama merupakan kontaminasi primer yang berasal dari hewan potong terinfeksi intravital. Sementara yang kedua adalah kontaminasi sekunder melalui tangan pekerja, peralatan, air maupun limbah cair. Dosis minimal infeksi Salmonella adalah sebesar 105 – 106 sel hidup/g makanan (Sudarwanto 2007).

Beberapa penelitian terhadap cemaran Salmonella pada daging ayam juga telah dilakukan di beberapa negara. Sebuah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui prevalensiSalmonella pada daging ayam yang dijual di Hanoi yang dilakukan oleh Huong et al. (2006) menunjukkan bahwa dari 262 sampel yang diambil, 48.9% ditemukan terkontaminasi Salmonella. Selain itu Beli et al. (2001) menyebutkan bahwa Salmonella ditemukan pada 6.5% sampel daging ayam yang diperiksa selama kurun waktu 1996–1998 di Albania. Goncagul et al. (2005) dalam penelitiannya yang mengambil tema tentang prevalensi Salmonella dalam daging ayam di Turki menyebutkan bahwa dari 315 sampel daging ayam diperoleh prevalensi sebesar 18.09%. Selain itu juga didapatkan prevalensi Salmonella sebesar 10.60% oleh Kozacinski et al. (2006) dalam penelitiannya mengenai kualitas mikrobiologis daging ayam di Kroasia.

Dari hasil penelitian-penelitian tersebut, prevalensi Salmonella dalam daging ayam berkisar antara 6.5-48.9%. Tingginya prevalensi Salmonella dalam daging ayam menyebabkan peluang terjadinya infeksi cukup tinggi.

Salmonella adalah bakteri Gram negatif berbentuk batang bukan pembentuk spora yang terdiri lebih dari 2.500 serotipe yang semuanya diketahui bersifat patogen baik pada manusia maupun pada hewan. Oleh karenanya Salmonella disebut zero tolerance organism in food (Sunil et al. 2008). Salmonella adalah bakteri indikator keamanan pangan. Artinya, karena semua serotipe Salmonella yang diketahui di dunia ini bersifat patogen, maka adanya bakteri ini di dalam makanan dianggap membahayakan kesehatan manusia. Oleh karenanya SNI 01-6366-2000 mensyaratkan tidak adanya bakteri ini dalam daging ayam.

Hasil pengujian daging ayam beku yang dilalulintaskan melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak menunjukkan bahwa sebagian besar mutu mikrobiologis daging ayam di bawah standar SNI 01-6366-2000. Sehubungan dengan hal itu, hal- hal yang dapat dilakukan konsumen pada saat berbelanja adalah membeli daging pada kios atau toko yang resmi, memilih daging yang berwarna cerah (segar, tidak gelap, kehitaman), lembab dan tidak bau. Daging dipilih yang mempunyai kemasan utuh, bersih dan berlabel, sebaiknya juga memilih daging yang disimpan pada lemari pendingin (show case) atau freezer. Selain itu, daging dibeli pada akhir berbelanja dan segera dibawa ke rumah untuk langsung dimasak/diolah atau disimpan dalam

freezer.

Konsumen juga diharapkan menyimpan daging pada suhu di bawah 40C (masa simpan daging pada suhu -1 – 20C selama 1- 2 hari, sedangkan daging beku bisa disimpan pada suhu dibawah -180C selama 6 bulan). Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah cuci tangan sebelum menangani, mempersiapkan, mengolah/memasak makanan. Menggunakan pakaian yang bersih (apron) untuk menghindari pencemaran, menutup luka pada tangan dengan plester yang kedap air. Konsumen juga sebaiknya menghindari bersin dan batuk langsung di depan makanan, mengusahakan ruang tempat mengolah makanan (dapur) bebas dari insekta dan rodensia (lalat, kecoa, tikus) serta menggunakan peralatan yang bersih untuk menyimpan, mempersiapkan, mengolah dan memasak makanan.

Sementara bagi produsen diharapkan dapat menerapkan prinsip – prinsip

Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). Selain itu produsen juga bisa melakukan klorinasi sesuai dengan aturan yang diijinkan pada proses pencucian karkas dengan tujuan mengurangi jumlah kuman yang terdapat dalam daging ayam.

Hubungan Tingkat Cemaran Mikroba dengan Kondisi Daging Ayam, Alat Angkut dan Profil Pengemudi

Untuk melihat keterkaitan antara tingkat cemaran mikroba dengan kondisi daging ayam, alat angkut dan profil pengemudi, dilakukan kategorisasi. Berdasarkan kuisioner, didapatkan hasil yang yang seragam tentang kondisi daging ayam yaitu

mengenai kemasan, warna dan bau, demikian pula dengan suhu alat angkut, sehingga hanya digunakan peubah pendidikan, pengetahuan tentang higiene daging dan kebersihan alat angkut yang dilihat hubungannya dengan tingkat cemaran mikroba (TPC, E. coli, S. aureus dan Salmonella).

Tabel 10 Hubungan tingkat cemaran mikroba terhadap pendidikan, pengetahuan dan kebersihan alat angkut

Peubah TPC E. coli Salmonella S. aureus

Pendidikan 3.165 8.535* - 0.395** 3.167 10.033* 0.100** Pengetahuan 0.147 2.764 0.981 0.024 Kebersihan 0.302 6.183* - 0.342** 6.395* 0.347** 1.405

Keterangan: * Terdapat asosiasi pada α = 0.05 ** Nilai koefisien Spearman

Dari Tabel 10 dapat dilihat adanya hubungan (p<0.05) antara pendidikan dengan tingkat cemaran E. coli, namun hubungan yang terjadi tidak terlalu besar (0.395). Hubungan yang terjadi adalah persentase jumlah cemaran E. coli di atas standar SNI 01-6366-2000 pada pendidikan SD yaitu sebesar 62.5%, dibandingkan pada pendidikan SMP (29.2%) dan SMA (9.5%). Hal ini menunjukkan semakin rendahnya tingkat pendidikan maka semakin tinggi tingkat cemaran E. coli. Selain itu dapat juga dilihat adanya hubungan (p<0.05) antara peubah pendidikan dengan jumlah cemaran S. aureus, namun hubungan yang terjadi juga tidak kuat yaitu sebesar 0.100. Hubungan yang terjadi adalah persentase jumlah cemaran S. aureus di atas standar SNI 01-6366-2000 pada pendidikan SD yaitu sebesar 100%, dibandingkan pada pendidikan SMP (62.5%) dan SMA (95.2%).

Sementara pada peubah pengetahuan tentang higiene daging tidak ditemukan adanya hubungan dengan TPC, E. coli, S. aureus maupun dengan Salmonella.

Berdasarkan Tabel 10 juga terlihat adanya hubungan antara peubah kebersihan alat angkut dengan tingkat cemaran E. coli namun hubungan yang terjadi tidak terlalu besar (- 0.342). Hubungan yang terjadi adalah persentase jumlah cemaran E. coli di

atas standar SNI 01-6366-2000 pada alat angkut yang bersih sebesar 35%, dibandingkan dengan alat angkut yang kurang bersih yaitu sebesar 0%. Hal ini bisa terjadi karena pada alat angkut yang terlihat bersih, sebelumnya telah dibersihkan dengan air yang banyak mengandung bakteri E. coli.

Selain itu dapat juga dilihat adanya hubungan (p<0.05) antara peubah kebersihan alat angkut dengan dengan cemaran Salmonella, namun hubungan yang terjadi kurang kuat yaitu sebesar 0.347. Hubungan yang terjadi adalah persentase cemaran Salmonella di atas standar SNI 01-6366-2000 pada alat angkut yang kurang bersih sebesar 15.4% dibandingkan dengan alat angkut yang bersih sebesar 0%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin kurang bersihnya alat angkut maka semakin tinggi tingkat cemaran Salmonella.

Hubungan yang dimaksud antara pengemudi (pendidikan dan pengetahuan tentang higiene daging) dengan mutu mikrobiologis daging ayam beku yang meliputi jumlah total kuman (TPC), jumlah cemaran E. coli, S. aureus dan keberadaan

Salmonella adalah hubungan tidak langsung. Hal ini dikarenakan sebenarnya pengemudi tidak melakukan hal-hal yang berhubungan secara langsung dengan daging ayam beku (hanya membawa/mengangkut).

Dokumen terkait