• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Siswa

Contoh dalam penelitian ini adalah siswa kelas 8 SMP Negeri 1 Jati yang mewakili perkotaan dan SMP Negeri 2 Undaan yang mewakili perdesaan Kabupaten Kudus. Jumlah contoh masing-masing sekolah yaitu 73 orang dan 72 orang. Berikut adalah sebaran siswa berdasarkan karakteristik siswa yang disajikan pada Tabel 4.

12

Tabel 4 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik siswa

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa sebagian besar siswa di perkotaan dan perdesaan berada pada rentang usia 10 13 tahun atau termasuk kategori remaja awal. Siswa perempuan lebih banyak jumlahnya dibandingkan siswa laki-laki, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Sebagian besar siswa di perkotaan dan perdesaan memiliki uang saku yang berada pada rentang antara Rp3 762 9 060 atau termasuk kategori sedang. Hasil uji beda independent sample t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata uang saku siswa di perkotaan dan perdesaan. Hal ini dapat disebabkan oleh pendapatan orang tua siswa, baik di perkotaan maupun di perdesaan tidak memiliki perbedaan yang nyata. Sebagian besar pendapatan orang tua siswa di perkotaan dan perdesaan berada pada kategori tinggi (> Rp 1 000 000).

Karakteristik Keluarga

Karakteristik keluarga yang diamati meliputi besar keluarga, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan pendapatan orang tua. Berikut adalah sebaran siswa berdasarkan karakteristik keluarga yang disajikan pada Tabel 5 dan 6.

Tabel 5 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik keluarga

Karakteristik Siswa

Perkotaan Perdesaan T-test

n % n % t p Uang Saku Rendah (≤ Rp3 761) 5 6.85 1 1.39 Sedang (Rp3 762 9 060) 56 76.71 55 76.39 Tinggi (≥ Rp9 061) 12 16.44 16 22.22 Rata-rata ± SD Rp6 221 ± 2 895 Rp6 604 ± 2 365 -0.872 0.385 Usia Remaja awal (10 13) 71 97.26 64 88.89 Remaja tengah (14 16) 2 3.74 8 11.11 Remaja akhir (17 19) 0 0 0 0 Jenis Kelamin Laki-laki 30 41.10 35 48.61 Perempuan 43 58.90 37 51.39 Karakteristik Keluarga

Perkotaan Perdesaan Uji chi square

n % n % X2 Pendidikan ayah 0.000** SD 18 24.66 40 55.56 SMP 12 16.44 22 30.56 SMA 34 46.58 8 11.11 Diploma 3 4.11 1 1.39 Sarjana/pascasarjana 6 8.22 1 1.39 Pendidikan ibu 0.000** Tidak tamat SD 0 0 1 1.39 SD 18 24.66 48 66.67 SMP 16 21.92 18 25 SMA 30 41.10 4 5.56 Diploma 5 6.85 0 0 Sarjana/pascasarjana 4 5.48 1 1.39

13 Tabel 5 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik keluarga (lanjutan)

Keterangan: ** menunjukkan terdapat keterkaitan proporsi

Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan ayah dan ibu siswa di perkotaan sebagian besar adalah SMA. Sementara itu, tingkat pendidikan ayah dan ibu siswa di perdesaan sebagian besar adalah SD. Hasil uji chi-square

menunjukkan terdapat keterkaitan antara proporsi pendidikan orang tua di perkotaan dan perdesaan (X2<0.05). Tingkat pendidikan orang tua siswa di perkotaan menyebar dari SMA sampai sarjana/pascasarjana, sedangkan di perdesaan menyebar dari SD sampai SMP. Hal ini dapat disebabkan akses, fasilitas serta sarana dan prasarana di perkotaan lebih mudah dan baik dibandingkan di perdesaan.

Sebanyak 28.77% jenis pekerjaan ayah siswa di perkotaan adalah buruh/tani dan jenis pekerjaan ayah siswa di perdesaan sebagian besar (66.67%) juga buruh/tani. Sementara itu, sebanyak 41.10% pekerjaan ibu siswa di perkotaan dan 43.06% pekerjaan ibu di perdesaan adalah ibu rumah tangga. Hasil uji chi-square

menunjukkan terdapat keterkaitan antara proporsi pekerjaan orang tua di perkotaan dan perdesaan (X2 < 0.05). Pekerjaan orang tua siswa di perkoraan menyebar pada pegawai swasta, buruh/tani, dan wiraswasta. Sementara, pekerjaan orang tua siswa di perdesaan sebagian besar adalah buruh/tani.

Tabel 6 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik keluarga

Keterangan: ** berbeda sangat nyata Karakteristik

Keluarga

Perkotaan Perdesaan Uji chi-square

n % n % X2 Pekerjaan ayah 0.000** PNS/TNI 7 9.59 0 0 Pegawai swasta 16 21.92 7 9.72 Buruh/tani 21 28.77 48 66.67 Wiraswasta 20 27.40 13 18.06 Lainnya 9 12.33 4 5.56 Pekerjaan ibu 0.000** PNS/TNI 6 8.22 0 0 Pegawai swasta 11 15.07 10 13.89 Buruh/tani 11 15.07 20 27.78 Wiraswasta 15 20.55 11 15.28

Ibu rumah tangga 30 41.10 31 43.06

Karakteristik Keluarga

Perkotaan Perdesaan T-test

n % n % t p Besar keluarga Kecil (≤ 4) 38 52.05 38 52.78 Sedang (4 6) 33 45.21 30 41.67 Besar (≥ 7) 2 2.74 4 5.56 Rata-rata ± SD 4.64 ± 1.07 4.60 ± 1.03 0.267 0.926

Pendapatan orang tua

<Rp1 000 000 14 19.18 18 25

>Rp1 000 000 59 80.82 54 75

14

Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa besar keluarga siswa, baik di perkotaan maupun perdesaan sebagian besar termasuk kategori keluarga kecil (≤4 orang). Hasil uji beda independent sample t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara besar keluarga siswa di perkotaan dan perdesaan (t=0.267;p=0.926).

Rata-rata pendapatan orang tua siswa di perkotaan lebih besar dibandingkan di perdesaan. Hasil uji beda independent sample t-test menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata pendapatan orang tua siswa di perkotaan dan perdesaan (t=2.133;p=0.035). Hasil ini sejalan dengan penelitian Astuti dan Handarsari (2010) yang menyatakan terdapat perbedaan yang nyata pada rata-rata pendapatan orang tua remaja di pusat kota dan di pinggir kota, dimana pendapatan orang tua di pusat kota lebih tinggi dibandingkan di pinggir kota. Hal ini dapat disebabkan oleh tingkat pendidikan orang tua siswa di perkotaan lebih baik dibandingkan di perdesaan. Pendidikan yang lebih baik akan memungkinkan seseorang memiliki pekerjaan dengan pendapatan yang lebih tinggi pula.

Asupan Gizi

Asupan gizi adalah jumlah energi, protein, vitamin A, vitamin C, dan Fe yang masuk ke dalam tubuh siswa, diukur dengan metode daily food recall. Berikut pada Tabel 7 disajikan rata-rata asupan dan tingkat kecukupan gizi siswa dalam sehari.

Tabel 7 Rata-rata asupan dan tingkat kecukupan gizi siswa (per kapita/ hari)

Zat gizi Asupan TKG (%) T-test

Perkotaan Perdesaan Perkotaan Perdesaan t p Energi 1771 kkal 1728 kkal 85.65 82.90 0.466 0.642 Protein 36.6 g 37.6 g 59.31 59.66 -0.080 0.936 Vit A 2352.14mcg 1667.21mcg 376.45 277.87 2.420 0.017** Vit C 17.32 mg 17.11 mg 27.48 25.21 0.605 0.546 Fe 10.87 mg 11.70 mg 50.51 56.25 -1.013 0.313

Keterangan:** berbeda sangat nyata

Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa rata-rata asupan energi siswa di perdesaan lebih rendah dibandingkan di perkotaan. Hal ini sejalan dengan penelitian Dwiningsih dan Pramono (2013) dimana asupan energi remaja di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di perdesaan. Asupan energi di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di perdesaan dapat disebabkan oleh alokasi uang saku untuk membeli makanan pada siswa di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di perdesaan. Asupan protein siswa di perdesaan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Hal ini disebabkan oleh berdasarkan hasil daily food recall konsumsi pangan sumber protein hewani sebagian besar siswa di perdesaan ditambah dengan pangan sumber protein nabati, sehingga akan berkontribusi terhadap peningkatan tingkat kecukupan proteinnya. Asupan vitamin A siswa di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di perdesaan. Hal ini dapat disebabkan oleh konsumsi pangan hewani siswa di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di perdesaan, dimana sumber vitamin A sebagian besar terdapat pada pangan hewani seperti daging sapi,

15 daging ayam, dan kuning telur (Beck 2011). Asupan vitamin C siswa di perkotaan dan perdesaan jumlahnya sama. Asupan zat besi (Fe) di perdesaan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Hal ini disebabkan asupan protein sebagian besar siswa di perdesaan juga lebih tinggi dibandingkan di perkotaan, dimana sebagian besar pangan sumber protein juga merupakan sumber zat besi (Almatsier 2009).

Sebanyak 38.36% siswa di perkotaan dan 33.33% siswa di perdesaan memiliki tingkat kecukupan energi dalam kategori defisit berat. Sementara itu, sebagian besar siswa baik di perkotaan maupun di perdesaan memiliki tingkat kecukupan protein dalam kategori defisit berat. Hasil uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata tingkat kecukupan energi (t=0.466;p=0.642) dan protein (t=−0.080;p=0.936) siswa di perkotaan dan perdesaan. Hasil ini sejalan dengan penelitian Dwiningsih dan Pramono (2013) bahwa tidak ada perbedaan tingkat kecukupan energi dan protein pada remaja di perkotaan dan perdesaan.

Tingkat kecukupan vitamin A sebagian besar siswa di perkotaan dan perdesaan tergolong normal. Tingkat kecukupan vitamin A siswa, baik diperkotaan maupun di perdesaan tergolong normal dapat dikarenakan hasil wawancara daily food recall menunjukkan bahwa sebagian besar siswa sering mengonsumsi telur, dimana kuning telur merupakan salah satu sumber vitamin A (Almatsier 2009). Hasil uji beda independent sample t-test menunjukkan terdapat perbedaan nyata tingkat kecukupan vitamin A siswa (t=2.420;p=0.017) di perkotaan dan perdesaan. Tingkat kecukupan vitamin A di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di perdesaan, karena konsumsi pangan hewani sumber vitamin A di perkotaan lebih sering dibandingkan di perdesaan berdasarkan hasil wawancara

daily food recall. Sementara, sumber terbesar vitamin A berasal dari protein hewani (Beck 2011).

Tingkat kecukupan vitamin C dan Fe sebagian besar siswa di perkotaan dan perdesaan temasuk kategori defisit. Konsumsi buah siswa sangat kurang berdasarkan hasil wawancara daily food recall. Sementara itu, sumber terbesar vitamin C berasal dari buah-buahan yang masih segar maupun yang sudah berupa minuman sari buah (Khomsan 2002). Sementara itu, kurangnya kecukupan Fe dapat disebabkan oleh tingkat kecukupan protein sebagian besar siswa tergolong defisit berat. Pada umumnya masyarakat yang cukup asupan proteinnya, maka asupan zat besinya juga akan terpenuhi, karena sebagian besar sumber zat besi juga merupakan sumber protein, seperti daging ayam, daging sapi, telur, dan kacang-kacangan. Semua zat besi yang terdapat dalam tubuh berkombinasi dengan protein (Muchtadi 2009). Hasil uji beda independent sample t-test

menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat kecukupan vitamin C (t=0.605;p=0.546) dan Fe (t=−1.013;p=0.313) siswa, baik di perkotaan maupun perdesaan. Hal ini dapat disebabkan oleh tingkat kecukupan vitamin C dan Fe sebagian besar siswa, baik di perkotaan maupun perdesaan tergolong defisit, sehingga tidak ditemukan perbedaan pada keduanya.

Status Gizi

Status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang

16

lama. Berikut disajikan pada Tabel 8 sebaran siswa berdasarkan status gizi menurut kategori WHO (2007).

Tabel 8 Sebaran siswa berdasarkan status gizi

Status Gizi Perkotaan Perdesaan T-test

n % n % t p Sangat kurus 0 0 0 0 Kurus 6 8.22 5 6.94 Normal 61 83.56 61 84.72 Gemuk 3 4.11 3 4.17 Sangat gemuk 3 4.11 3 4.17 Z-Score -0.20± 1.51 -0.21 ± 1.59 0.043 0.966

Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa sebagian besar siswa, baik di perkotaan maupun di perdesaan memiliki status gizi normal. Hal ini dapat disebabkan oleh pola makan sehari-hari sebagian besar siswa baik di perkotaan dan di perdesaan dilihat dari hasil daily food recall dapat dikatakan teratur, yaitu 2 3 kali sehari dengan disisipi selingan pagi dan sore. Sementara itu asupan gizinya termasuk lengkap (karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral), tetapi jenis pangannya kurang beragam tiap hari. Hasil uji beda independent sample t-test

menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara status gizi siswa (t=0.043;p=0.966) di perkotaan dan di perdesaan. Perbedaan status gizi tidak ditemukan pada kedua sekolah dikarenakan sebagian besar siswa, baik di perkotaan maupun di perdesaan memiliki status gizi dalam kategori normal.

Kebugaran Fisik

Kebugaran fisik adalah kemampuan tubuh untuk menyesuaikan fungsi fisiologisnya terhadap keadaan lingkungan dan atau terhadap tugas fisik yang memerlukan kerja otak secara efisien, tidak mengalami kelelahan yang berlebihan, dan memperoleh pemulihan secara cepat (Nurhasan & Cholil 2007). Berikut adalah sebaran siswa berdasarkan tingkat kebugaran fisik yang disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Sebaran siswa berdasarkan tingkat kebugaran fisik

Keterangan: ** berbeda sangat nyata

Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui bahwa sebanyak 32.88% siswa di perkotaan memiliki tingkat kebugaran fisik dengan kategori baik, sedangkan di

Tingkat Kebugaran

Perkotaan Perdesaan T-test

n % n % t p Baik sekali 11 15.07 11 15.28 Baik 24 32.88 9 12.50 Cukup 10 13.70 4 5.56 Kurang 7 9.59 1 1.39 Kurang sekali 21 28.77 47 65.28 Rata-rata ± SD 67.04 ± 24.33 48.04 ± 29.64 4.225 0.000**

17 perdesaan sebagian besar siswa (65.28%) memiliki tingkat kebugaran fisik dengan kategori kurang sekali. Tingkat kebugaran fisik siswa di perkotaan lebih baik dibandingkan di perdesaan. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Rosmalina dan Permaesih (2010) yang menyatakan bahwa proporsi siswa SMP di perkotaan dengan tingkat kebugaran fisik kategori kurang lebih banyak dibandingkan siswa SMP di perdesaan. Penyebab dari kebugaran fisik siswa di perkotaan yang lebih baik dibandingkan di perdesaan dimungkinkan akibat aktivitas fisik siswa di perkotaan lebih baik dibandingkan di perdesaan. Aktivitas fisik siswa dapat diketahui dari hasil wawancara aktivitas belajar yang salah satu pertanyaannya adalah frekuensi ekstrakurikuler olahraga. Frekuensi ekstrakurikuler olahraga siswa di perkotaan lebih sering (3 5 kali seminggu) dibandingkan di perdesaan (1 3 kali seminggu). Kebiasaan berolahraga sudah terbukti memliki banyak manfaat bagi kesehatan, seperti menjaga berat badan ideal dan meningkatkan daya tahan kardiorespirasi yang menjadi indikator kebugaran (Fett et al. 2013). Selain itu, asupan energi siswa di perkotaan juga lebih tinggi dibandingkan di perdesaan, sehingga dapat berkontribusi pada kebugaran fisik siswa di perkotaan lebih baik dibandingkan di perdesaan. Pengaturan pola makan yang baik tidak hanya diperlukan sebagai bagian dari perilaku hidup sehat, tetapi juga untuk memperoleh derajat kebugaran (Penggalih & Huriyati 2007). Hasil uji beda independent sample t-test menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara kebugaran fisik siswa (t=4.225;p=0.000) di perkotaan dan perdesaan.

Aktivitas Belajar

Aktivitas belajar adalah aktivitas belajar yang dilakukan siswa baik di sekolah maupun di luar sekolah, yang meliputi kebiasaan belajar di rumah, frekuensi les dan ekstrakurikuler. Berikut adalah sebaran siswa berdasarkan aktivitas belajar yang disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Sebaran siswa berdasarkan aktivitas belajar

Kategori Perkotaan Perdesaan T-test

n % n % t p

Kurang (≤ 54) 3 4.11 29 40.28

Cukup (55 – 71) 50 68.49 35 48.61

Baik (≥ 72) 20 27.40 8 11.11

Rata-rata ± SD 66.88 ± 7.20 58.53 ± 9.13 6.120 0.000**

Keterangan: ** berbeda sangat nyata

Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa sebagian besar (68.49%) aktivitas belajar siswa di perkotaan termasuk dalam kategori cukup dan sebanyak 48.61% siswa di perdesaan juga memiliki aktivitas belajar dalam kategori cukup. Namun, aktivitas belajar siswa di perkotaan yang tergolong pada kategori baik lebih banyak dibandingkan di perdesaan, dengan persentase di perkotaan ialah 27.40% dan di perdesaan ialah 11.11%. Hasil uji beda independent sample t-test

menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara aktivitas belajar siswa (t=6.120;p=0.000) di perkotaan dan perdesaan. Hal ini dapat disebabkan oleh aktivitas belajar pada poin frekuensi les dan ekstrakurikuler siswa di perkotaan

18

lebih sering dibandingkan di perdesaan, sebagai contoh frekuensi ekstrakurikuler olahraga siswa di perkotaan lebih sering (3 5 kali seminggu) dibandingkan di perdesaan (1 3 kali seminggu).

Prestasi Belajar

Prestasi belajar adalah hasil penilaian pendidik terhadap proses belajar siswa di sekolah yang dilihat dari rata-rata nilai rapor mata pelajaran Matematika, IPA, IPS, dan Bahasa Indonesia. Berikut disajikan pada Tabel 11 sebaran siswa berdasarkan prestasi belajar.

Tabel 11 Sebaran siswa berdasarkan prestasi belajar

Prestasi belajar Perkotaan Perdesaan T-test

n % n % t p Sangat baik 45 61.64 72 100 Baik 28 38.36 0 0 Cukup 0 0 0 0 Kurang 0 0 0 0 Rata-rata ± SD 81.32 ± 5.14 83.22 ± 3.25 -2.656 0.009**

Keterangan: ** berbeda sangat nyata

Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa sebagian besar siswa, baik di perkotaan mapun di perdesaan memiliki prestasi belajar yang termasuk dalam kategori sangat baik. Hasil uji beda independent sample t-test menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara prestasi belajar siswa (t=−2.656;p=0.009) di perkotaan dan perdesaan. Siswa di perkotaan ada yang prestasi belajarnya temasuk dalam kategori baik yaitu sebanyak 38.36%, sedangkan keseluruhan siswa di perdesaan (100%) prestasi belajarnya termasuk dalam kategori sangat baik. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan pemberian nilai oleh guru mata pelajaran antara siswa di perkotaan dan perdesaan. Selain itu, standar nilai masing-masing sekolah juga dapat mempengaruhi nilai rapor siswa.

Hubungan Karakteristik Siswa dan Keluarga dengan Asupan Gizi Uang Saku dengan Asupan Gizi

Berdasarkan Lampiran 2, Tabel 12 dan 14 dapat diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara uang saku dengan asupan gizi siswa, baik di perkotaan maupun perdesaan. Hal ini dapat disebabkan sebagian besar jarak rumah siswa di perdesaan jauh dari sekolah, sehingga siswa lebih mengalokasikan uang sakunya untuk transportasi dibandingkan jajan di sekolah. Namun, terdapat hubungan positif nyata antara uang saku dengan tingkat kecukupan protein siswa (rs=0.231;p=0.049) di perkotaan. Sebagian besar siswa di perkotaan memiliki alokasi uang saku untuk makanan lebih besar dibandingkan alokasi uang saku untuk non makanan. Berdasarkan hasil wawancara, sekitar 80% uang saku siswa baik di perkotaan dialokasikan untuk membeli makanan. Menurut Syafitri et al.

19 jajanan dengan jumlah dan jenis makanan jajanan yang dibeli siswa. Artinya, semakin besar alokasi uang saku untuk membeli jajanan, maka jumlah jenis jajanan yang dibeli akan semakin baik pula. Selain itu, hasil uji hubungan rank spearman menunjukkan terdapat hubungan positif nyata antara pendapatan orang tua dengan uang saku siswa di perkotaan (rs=0.539; p=0.000), dimana semakin tinggi pendapatan orang tua, maka uang saku yang diberikan kepada siswa juga semakin tinggi. Rata-rata pendapatan orang tua siswa di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di perdesaan.

Tingkat Pendidikan Orang Tua dengan Asupan Gizi

Berdasarkan Lampiran 2, Tabel 12 dan 14 dapat diketahui tingkat pendidikan orang tua, baik ayah maupun ibu berdasarkan uji hubungan rank spearman menunjukkan tidak ada hubungan dengan asupan gizi siswa di perkotaan dan perdesaan, kecuali tingkat kecukupan vitamin C siswa (rs=0.253,0.243; p=0.032,0.040) di perdesaan. Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua, maka semakin baik tingkat kecukupan vitamin C siswa. Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak, pola konsumsi pangan, dan status gizi (Rahmawati 2006). Orang tua yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan memperhatikan konsumsi pangan anaknya, sehingga tingkat kecukupan gizi anak dapat terpenuhi. Menurut Sausenthaler et al. (2007), semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua, maka konsumsi buah-buahan segar pada anak juga semakin meningkat. Buah-buahan segar maupun minuman sari buah merupakan sumber vitamin C terbesar (Khomsan 2002).

Tingkat Pendapatan Orang Tua dengan Asupan Gizi

Berdasarkan Lampiran 2, Tabel 12 dan 14 dapat diketahui tidak ada hubungan antara tingkat pendapatan orang tua dengan asupan gizi siswa di perkotaan dan perdesaan, kecuali tingkat kecukupan vitamin C siswa (rs=−0.241;p=0.041) di perdesaan. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya keterkaitan antara pendidikan dengan pendapatan orang tua, dimana semakin baik pendidikan seseorang, maka pendapatan yang diperoleh juga akan semakin tinggi. Kedua aspek tersebut akan mempengaruhi konsumsi pangan siswa. Selain itu, orang tua dengan pendapatan rendah cenderung menyediakan lebih banyak sayur-sayuran daripada makanan sumber protein hewani, seperti daging sapi, ayam, ikan. Sementara, sayur-sayuran merupakan salah satu sumber vitamin C terbesar (Almatsier 2009).

Hubungan Status Gizi, Kebugaran Fisik, dan Aktivitas Belajar dengan Prestasi Belajar

Status Gizi dengan Prestasi Belajar

Hasil uji hubungan rank spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan antara status gizi dengan prestasi belajar siswa (rs=−0.218;p=0.066) di perdesaan. Namun, terdapat hubungan negatif nyata antara status gizi dengan prestasi belajar siswa (rs= 0.383;p=0.001) di perkotaan. Artinya, semakin tinggi status gizi siswa (kategori gemuk dan sangat gemuk), maka prestasi belajar akan semakin menurun. Status gizi yang baik akan menyebabkan siswa lebih mudah dalam menerima pelajaran di sekolah, sehingga siswa akan mendapat prestasi belajar yang memuaskan (Masdewi et al. 2011). IMT (Indeks Massa Tubuh) seseorang

20

merupakan salah satu perwujudan dari status kesehatan seseorang. Status kesehatan merupakan faktor internal yang mempengaruhi prestasi belajar (Zaeni & Subiono 2011). Menurut Djamarah (2002), kemampuan belajar anak-anak yang kekurangan gizi di bawah anak-anak yang tidak kekurangan gizi, mereka cepat lelah, mengantuk, dan sulit menerima pelajaran. Sementara itu, obesitas pada anak memiliki efek tidak langsung terhadap menurunnya fungsi kognitif diduga akibat dari dampak penyakit yang diderita oleh anak obesitas (diabetes, obstructive sleep apnea syndrome (OSAS), masalah repirasi), masalah psikososial (rendah diri, mengisolasi diri, dan depresi), dan kematangan sosial (Datar et al. 2004).

Kebugaran Fisik dengan Prestasi Belajar

Kebugaran fisik siswa baik di perkotaan (rs=0.056;p=0.640) maupun di perdesaan (rs=−0.217;p=0.067) tidak memiliki hubungan dengan prestasi belajar siswa. Hasil ini sejalan dengan penelitian Annas (2011) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara kesegaran jasmani dengan prestasi belajar siswa kelas II MTs Al Asror Kecamatan Gunungpati Kota Semarang. Namun, Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian. Namun, hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Lay (2013) yang menyatakan bahwa kesegaran jasmani merupakan salah satu faktor penyebab meningkatnya konsentrasi belajar, sehingga berdampak pada meningkatnya prestasi belajar siswa. Menurut Achmat dan Wahyuni (2013), kebugaran jasmani bukan satu-satunya faktor yang menentukan kenaikan maupun penurunan prestasi akademik siswa, banyak faktor yang dapat mempengaruhi, antara lain faktor internal yaitu kecerdasan, bakat, minat, motivasi, dan faktor eksternal yaitu keadaan keluarga, keadaan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Aktivitas Belajar dengan Prestasi Belajar

Berdasarkan hasil uji hubungan rank spearman dapat diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara aktivitas belajar dengan prestasi belajar siswa (rs=0.186;p=0.114) di perkotaan. Namun, terdapat hubungan positif nyata antara aktivitas belajar dengan prestasi belajar siswa (rs=0.612;p=0.000) di perdesaan. Artinya, semakin tinggi aktivitas belajar siswa, maka semakin baik pula prestasi belajarnya. Hal ini sejalan dengan penelitian Nafi’ah dan Suyanto (2014) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan positif nyata antara keaktifan siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler akademik dan non akademik terhadap prestasi belajar. Kegiatan ekstrakurikuler adalah salah satu penunjang proses pendidikan. Keikutsertaan siswa pada kegiatan ekstrakurikuler di sekolah diharapkan mampu mengembangkan potensi yang mereka miliki, baik dalam mengembangkan potensi dan bakat yang ada dalam diri mereka, maupun yang berkaitan dengan aplikasi ilmu pengetahuan yang diperoleh di kelas, sehingga diharapkan dapat membantu siswa untuk mencapai prestasi belajar yang maksimal.

21

Dokumen terkait