Karakteristik Anak SD
Karakteristik anak SD yang diamati meliputi jenis kelamin, usia, berat badan, tinggi badan dan jenjang pendidikan. Anak SD yang memenuhi kriteria inklusi adalah 31 anak, terdiri anak perempuan sebanyak 16 anak (51.6%) dan anak laki-laki sebanyak 15 anak (48.4%) . Jumlah anak SD berjenis kelamin perempuan lebih besar daripada jumlah anak SD berjenis kelamin laki-laki. Sebaran anak SD berdasarkan jenis kelamin disajikan pada Tabel 4.
Angka Kecukupan zat gizi (AKG) (2012) menunjukkan bahwa anak SD tergolong dalam satu kategori usia (7 sampai 9 tahun) sehingga memiliki angka kecukupan zat gizi dalam jumlah yang sama. Kebutuhan zat gizi anak usia 7 sampai 9 tahun sebagian besar digunakan untuk aktivitas pembentukan dan pemeliharaan jaringan (Alatas 2011). Selain itu, kebutuhan zat gizi diperlukan oleh anak usia sekolah dasar untuk memenuhi kebutuhan dalam pembentukan kualitas fisik di tahapan usia selanjutnya, yaitu masa remaja. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pertumbuhan dan perkembangan tahapan anak usia sekolah memerlukan berbagai kombinasi zat gizi yang berkesinambungan, baik dari zat gizi makro maupun mikro, serta faktor lingkungan sosial ekonomi dimana mereka tinggal (Rahman et al. 2004). Dari data yang diperoleh, hampir separuh anak SD berusia 8 tahun, yaitu 13 anak (41.9%) sedangkan anak SD yang berusia 7 tahun berjumlah 10 anak (32.3%) dan yang berusia 9 tahun berjumlah 8 anak (25.8%). Sebaran anak SD berdasarkan usia disajikan pada Tabel 4.
Menurut UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang akan dikembangkan. Jenjang pendidikan formal di Indonesia yaitu pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI), atau bentuk lain yang sederajat dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan
11
Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat. Anak SD pada penelitian ini merupakan siswa-siswi kelas 2 dan kelas 3 dari sekolah SDN Angsana I dan SDN Angsana II. Lebih dari separuh anak SD berada pada jenjang pendidikan kelas 2 sekolah dasar yaitu 17 anak (54.8%), sementara itu anak SD yang berada di jenjang pendidikan kelas 3 berjumlah 14 anak (45.2%). Keberhasilan anak dapat ditentukan oleh faktor pendapatan keluarga, pada keluarga yang ekonominya kurang, dapat menyebabkan anak kekurangan gizi, kebutuhan anak tidak terpenuhi, suasana rumah menjadi muram, dan gairah belajar tidak ada (Mustamin 2013). Sebaran anak SD berdasarkan jenjang pendidikan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Sebaran anak SD berdasarkan jenis kelamin, usia dan jenjang pendidikan
Jenis Kelamin n % Laki-laki 15 48.4 Perempuan 16 51.6 Total 31 100.0 Usia n % 7 tahun 10 32.3 8 tahun 13 41.9 9 tahun 8 25.8 Total 31 100.0 Rata-rata±SD 7.9±0.8 Jenjang pendidikan n % Kelas 2 17 54.8 Kelas 3 14 45.2 Total 31 100.0 Karakteristik Keluarga Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu aspek pembangunan untuk mewujudkan pembangunan nasional. Menurut UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dalam Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa Pendidikan di Indonesia dibagi menjadi tiga kelompok yang menyelenggarakan pendidikan, yaitu pendidikan informal, nonformal dan formal. Pendidikan informal adalah pendidikan jalur keluarga dan lingkungan; Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan diluar pendidikan diluar pendidikan formal yang dpat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang; Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
Tingkat pendidikan orang tua terdiri dari pendidikan ibu dan pendidikan ayah dari anak SD. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa sebagian besar ibu anak SD memiliki tingkat pendidikan Sekolah Dasar yaitu 27 orang (87.1%) dan masih terdapat ibu anak SD yang tidak sekolah (9.7 %). Sama halnya dengan tingkat pendidikan ibu, tingkat pendidikan ayah sebagian besar berada
12
pada kategori Sekolah Dasar yaitu 26 orang (83.6%), dan terdapat 6.4 persen ayah anak SD yang tidak sekolah. Pendidikan paling tinggi yang ditempuh ibu paling tinggi berada di tingkat SMP (3.2 %), sedangkan pendidikan tertinggi ayah secara keseluruhan berada di tingkat SMA (6.4 %). Dari hasil tersebut, dapat dilihat bahwa pendidikan di Desa Cibeber masih belum memenuhi program pemerintah wajib belajar 12 tahun (UU no. 47 tahun 2008 tentang wajib belajar). Masalah pendidikan di Indonesia yang dihadapi yaitu, taraf pendidikan yang rendah, tidak meratanya pendidikan, tingginya angka putus sekolah, kehilangan kepercayaan pada lembaga kependidikan, sulit mendapatkan layanan pendidikan (Puspitarini 2013). Sebaran tingkat pendidikan ibu dan ayah anak SD dapat dilihat dalam Tabel 5.
Tabel 5 Sebaran anak SD berdasarkan tingkat pendidikan ibu dan ayah anak SD
Tingkat Pendidikan Ibu n %
Tidak sekolah 3 9.7
SD 27 87.1
SMP 1 3.2
Total 31 100.0
Rata-rata±SD 5.2±1.9
Tingkat Pendidikan Ayah n %
Tidak sekolah 2 6.4 SD 26 83.9 SMP 1 3.2 SMA 2 6.4 Total 31 100.0 Rata-rata±SD 6.0±2.2
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendidikan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan zat gizi yang diperoleh anak. Dalam penelitian Saputra dan Nurrizka (2012) diperoleh hasil bahwa pendidikan orang tua berpengaruh signifikan terhadap gizi dan kesehatan anak. Hal ini disebabkan oleh pendidikan yang berpengaruh signifikan terhadap pengetahuan mengenai gizi dan kesehatan, sehingga orang tua memiliki dasar dalam pemilihan makanan yang baik bagi anak-anaknya. Dengan dasar pengetahuan tersebut, ketercapaian anak dalam hal asupan gizi akan semakin optimal dan kebutuhan gizi anak akan terpenuhi. Sudirman dalam Hidayati (2010) menunjukkan bahwa terkadang faktor pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki orang tua menjadi lebih penting dibanding pendapatan yang dimiliki oleh suatu keluarga. Tingkat pendidikan orang tua dianggap faktor yang paling berpengaruh terhadap tingkat pendidikan anak, sebab semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua, semakin positif sikapnya terhadap peranan sekolah (Mustamin 2013).
Pekerjaan
Pekerjaan diperlukan setiap orang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari baik individu maupun dalam suatu keluarga. Jenis pekerjaan di Indonesia beragam, mulai dari sektor pertanian maupun perindustrian. Dalam penelitian, pekerjaan orang tua anak SD dibagi menjadi beberapa kelompok pekerjaan. Berdasarkan hasil penelitian, ibu anak SD yang bekerja sebagai ibu rumah tangga
13
memiliki persentase terbesar, yaitu 77.4 persen. Sementara itu, lebih dari separuh ayah anak SD bekerja sebagai buruh tani (54.8%). Hal tersebut diduga karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh orang tua, akibat rendahnya tingkat pendidikan yang ditempuh. Tabel 6 menunjukkan sebaran anak SD berdasarkan pekerjaan ibu dan ayah anak SD.
Tabel 6 Sebaran anak SD berdasarkan pekerjaan ibu dan ayah anak SD.
Pekerjaan Ibu n %
Pedagang 4 12.9
Buruh tani 2 6.5
Ibu rumah tangga 24 77.4
Lainnya (wiraswasta, guru honorer, dll.) 1 3.2
Total 31 100.0
Pekerjaan Ayah n %
Petani 1 3.2
Pedagang 2 6.5
Buruh tani 17 54.8
Buruh non tani 6 19.4
Jasa (tukang ojek, tukang cukur, dll.) 2 6.5 Lainnya (wiraswasta, guru honorer, dll.) 3 9.7
Total 31 100.0
Pendapatan dan Kondisi Ekonomi Keluarga
Pendapatan merupakan jumlah penghasilan seseorang yang diperoleh dari berbagai sumber secara berkelanjutan baik dari hasil pekerjaan maupun dari sumber lainnya. Pendapatan dalam suatu keluarga pada umumnya diperoleh dari anggota keluarga yang bekerja.
Pendapatan keluarga yang tergolong pendapatan rendah lebih besar dibandingkan kategori lainnya. Sebanyak 23 keluarga (74.2%) berada pada golongan pendapatan rendah (Tabel 7). Hal tersebut disebabkan karena sebagian besar ayah dan ibu dari responden bekerja sebagai buruh tani dan ibu rumah tangga, sehingga pendapatan yang diperoleh relatif sedikit. Tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang pada umumnya dapat mengindikasi pekerjaan orang tersebut, yang selanjutnya akan berdampak pada pendapatannya. Semakin tinggi pendidikan yang ditempuh seseorang, maka status pekerjaannya semakin baik, dan selanjutnya semakin tinggi pula pendapatannya. Hasil penelitian Suranadi dan Chandradewi (2008) menunjukkan bahwa pengeluaran unuk makanan dan pekerjaan kepala keluarga berpengaruh secara signifikan terhadap anak dengan masalah gizi. Tabel 7 menunjukkan bahwa terdapat 1 keluarga terdapat pada pendapatan dengan kategori sangat tinggi, hal tersebut diduga karena pendidikan kedua orangtua yang tinggi sehingga pendapatan yang diperoleh tinggi.
Pendapatan keluarga berdampak pada kondisi ekonomi suatu keluarga. Kondisi ekonomi keluarga adalah gambaran umum kemampuan suatu keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidup yang dilihat dari pendapatan perkapita dan dibandingkan dengan garis kemiskinan. Garis kemiskinan merupakan representasi dari jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum makanan setara dengan 2100 kkal/kapita/hari dan kebutuhan pokok bukan makanan (BPS 2013). Keluarga responden dikategorikan dalam keluarga
14
miskin atau tidak miskin berdasarkan pendapatan/kapita/bulan yang dibandingkan dengan garis kemiskinan wilayah tersebut.
Kondisi ekonomi keluarga yang termasuk dalam kategori miskin lebih besar dibandingkan dengan kategori tidak miskin (Tabel 7). Pada kategori kondisi ekonomi keluarga miskin terdapat 21 keluarga (67.7%) sedangkan pada kategori kondisi ekonomi keluarga tidak miskin yaitu 10 keluarga (32.3%). Hal tersebut disebabkan oleh pendapatan keluarga yang diperoleh masih banyak yang tergolong rendah, sehingga pendapatan per kapita yang diperoleh juga rendah. Suryawati (2005) menyatakan bahwa kondisi perekonomian keluarga yang rendah disebabkan oleh adanya keterbatasan aset yang dimiliki, baik aset secara fisik maupun aset yang menyangkut kualitas sumber daya manusia. Dengan pendidikan yang kurang serta pekerjaan yang tidak memadai maka pendapatan yang diperoleh pun rendah, sehingga menyebabkan kemiskinan. Kemiskinan yang dialami selanjutnya akan memberikan dampak terhadap kebutuhan zat gizi yang diberikan orang tua kepada anak. Arnelia (2011) menunjukkan bahwa gangguan pertumbuhan dipengaruhi oleh tiga faktor penting yaitu konsumsi zat gizi, infeksi, dan interaksi ibu dan anak, yang sebagian besar tergantung pada tingkat pendidikan serta tingkat sosial ekonomi keluarga. Conroy et al. (2010) mengemukakan bahwa keadaan sosial ekonomi pada masa anak-anak dapat mempengaruhi kesehatan mereka pada tahapan usia selanjutnya.
Tabel 7 Sebaran anak SD berdasarkan pendapatan keluarga dan kondisi ekonomi keluarga. Pendapatan Keluarga n % Rendah ( < Rp 1 500 000) 23 74.2 Sedang (Rp. 1 500 000 – 2 500 000 5 16.1 Tinggi (Rp. 2 500 000 - 3 500 000) 2 6.5 Sangat tinggi (> Rp. 3 500 000) 1 3.2 Total 31 100.0 Rata-rata±SD (Rupiah) 1 254 580.6±1 472 255.7
Kondisi Ekonomi Keluarga n %
Miskin ( < Rp. 268 251) 21 67.7
Tidak Miskin ( > Rp. 268 251) 10 32.3
Total 31 100.0
Rata-rata±SD (Rupiah) 338 428.6±488 467.4 Asupan Energi, Protein, Lemak dan Vitamin A
Zat gizi adalah bahan kimia yang terdapat dalam bahan pangan yang dibutuhkan tubuh untuk menghasilkan energi, membangun dam memelihara jaringan, serta mengatur proses kehidupan (Almatsier 2011). Asupan zat gizi diperoleh tubuh dari konsumsi makanan sehari-hari. Asupan zat gizi sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan zat gizi perhari. Kebutuhan zat gizi terdapat didalam Angka Kecukupan Gizi (2012) yang dibedakan berdasarkan usia. Angka kecukupan zat gizi untuk usia anak sekolah yang berusia 7 sampai 9 tahun yaitu, energi 1850 kkal, protein 49 gram, dan Vitamin A 500 RE. Kebutuhan energi, protein diperoleh dengan melihat status gizi anak SD, jika anak SD memiliki status gizi tidak normal (kurang atau lebih) maka digunakan kebutuhan energi, protein dan vitamin A sesuai angka kecukupan gizi, tetapi jika anak SD memiliki
15
status gizi normal, maka angka kecukupan gizi dikalikan dengan berat badan aktual dibagi dengan berat badan ideal. Perhitungan tingkat kecukupan gizi ditentukan dengan membandingkan antara asupan zat gizi dengan angka kecukupan zat gizi masing–masing anak usia 7 sampai 9 tahun. Kebutuhan lemak dengan satuan gram, dihitung berdasarkan 20 persen dari kebutuhan energi kemudian dibagi dengan 9.
Energi
Asupan energi anak SD berkisar dari 522 kkal sampai 2270 kkal dan angka kecukupan energi anak SD berkisar dari 1096 kkal sampai 1850 kkal. Nilai rata-rata±stdev asupan energi dan angka kecukupan energi anak SD yaitu 1302±418 kkal dan 1348±159 kkal. Nilai rata-rata±stdev dari tingkat kecukupan energi anak SD yaitu 98.0±34.0 persen dari 36.6 persen sampai 179.1 persen. Rata-rata tingkat kecukupan energi sebesar 98.0 persen dan termasuk dalam kategori normal (90 - 119 %) (Depkes 1996). Hal tersebut diduga karena porsi makan anak SD yang sudah baik sehingga kebutuhan energi terpenuhi, tetapi jenis makanan yang dikonsumsi kurang beragam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak SD pada tingkat kecukupan energi dengan kategori normal memiliki persentase yang lebih besar dibandingkan dengan kategori lainnya. Anak SD dengan tingkat kecukupan energi kategori normal yaitu 13 anak (41.9%). Sementara itu, masih terdapat anak SD pada tingkat kecukupan energi dengan kategori defisit berat, yaitu sebanyak 7 anak (22.6%). Hal ini diduga karena frekuensi makan anak hanya 1 sampai 2 kali sehari sehingga angka kecukupan tidak terpenuhi. Sementara itu, terdapat 6 anak (19.4 %) anak SD yang memiliki tingkat kecukupan energi kategori lebih. Hal ini diduga karena anak memiliki nafsu makan yang tinggi serta didukung dengan ketersediaan pangan sumber energi yang lebih mudah didapat. Sebaran anak SD berdasarkan tingkat kecukupan energi disajikan dalam Tabel 8.
Tabel 8 Sebaran anak SD berdasarkan Tingkat Kecukupan Energi
Tingkat Kecukupan Energi n %
Defisit berat (<70%) 7 22.6 Defisit sedang (70-80%) 2 6.5 Defisit ringan (80-90%) 3 9.7 Normal (90-110%) 13 41.9 Lebih (>110%) 6 19.4 Total 31 100
Data pada Tabel 9 menunjukkan bahwa lebih dari separuh anak SD (67.7%) berada pada kondisi ekonomi keluarga dengan kategori miskin, yaitu sebanyak. Pada kondisi sosial ekonomi keluarga kategori miskin, sebagian besar anak SD memiliki tingkat kecukupan energi defisit berat yaitu 7 anak (33.3%). Hal tersebut diduga karena keterbatasan ekonomi sehingga ketersediaan pangan sumber energi kurang. Selain itu, adanya anak SD (23.8%) dengan kondisi ekonomi keluarga miskin yang memiliki tingkat kecukupan energi lebih diduga karena banyaknya ketersediaan pangan sumber energi yang didapat dari hasil berkebun. Hampir separuh anak SD memiliki tingkat kecukupan energi normal, yaitu sebanyak 13 anak (41.4%). Namun, lebih dari separuh anak SD (58.6%) yang berada pada
16
kondisi ekonomi keluarga miskin atau tidak miskin masih memiliki tingkat kecukupan energi kurang dan lebih. Hal tersebut diduga karena adanya ketersediaan pangan sumber energi yang diperoleh dari hasil berkebun. Sebaran anak SD berdasarkan tingkat kecukupan energi dan status gizi disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Sebaran anak SD berdasarkan tingkat kecukupan energi dan kondisi ekonomi keluarga
Variabel
Kondisi ekonomi keluarga
Total Miskin Tidak miskin
n % n % n % Tingkat kecukupan energi Defisit berat 7 22.6 0 0.0 7 22.6 Defisit sedang 1 3.2 1 3.2 2 6.4 Defisit ringan 2 6.4 1 3.2 3 9.7 Normal 6 19.4 7 22.7 13 41.9 Lebih 5 16.1 1 3.2 6 19.4 Total 21 67.7 10 32.3 31 100.0 Protein
Asupan protein anak SD berkisar dari 14.8 gram sampai 73.4 gram dan angka kecukupan protein anak SD berkisar dari 29.0 gram sampai 49.0 gram. Nilai rata-rata±stdev asupan protein dan angka kecukupan energi anak SD yaitu 29.1±11.2 gram dan 35.6±4.3 gram. Nilai rata-rata±stdev tingkat kecukupan protein yaitu 82.6±33.6 persen. Rata-rata dari tingkat kecukupan protein yaitu 82.6 persen dan termasuk dalam kategori defisit ringan (80-<90%) (Depkes 1996). Hal tersebut diduga karena kurangnya konsumsi makanan sumber protein tinggi (protein hewani) antara lain susu, ikan, telur dan daging ayam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi anak yang kekurangan protein masih lebih besar dibandingkan dengan anak yang memiliki kecukupan protein dalam kategori normal. Jumlah anak SD terbesar berada dalam tingkat kecukupan protein dengan kategori defisit berat yaitu 12 anak (38.6%), sedangkan anak yang memiliki tingkat kecukupan protein dalam kategori normal hanya 11 anak (35.5%). Ini menunjukkan bahwa asupan protein pada anak SD tersebut secara umum masih kurang. Berdasarkan hasil recall 2x24 jam, hal tersebut diduga karena frekuensi makan anak yang hanya 1 sampai 2 kali dalam sehari. Selain itu, diduga karena ketersediaan pangan sumber protein yang kurang sehingga anak SD jarang mengkonsumsi pangan sumber protein. Sebaran anak SD berdasarkan tingkat kecukupan protein disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Sebaran anak SD berdasarkan tingkat kecukupan protein
Tingkat Kecukupan Protein n %
Defisit berat (<70%) 12 38.6 Defisit sedang (70-80%) 4 12.9 Defisit ringan (80-90%) 2 6.5 Normal (90-110%) 11 35.5 Lebih (>110%) 2 6.5 Total 31 100
17
Data pada Tabel 11 menunjukkan bahwa lebih dari separuh anak SD (67.7%) berada pada kondisi ekonomi keluarga dengan kategori miskin. Pada kondisi sosial ekonomi keluarga kategori miskin, sebagian besar anak SD memiliki tingkat kecukupan protein defisit berat yaitu 9 anak (42.9%). Hal tersebut diduga karena keterbatasan ekonomi sehingga ketersediaan pangan sumber protein kurang. Secara keseluruhan, jumlah terbesar anak SD berada pada tingkat kecukupan protein defisit berat, yaitu sebanyak 12 anak (38.7%). Namun, lebih dari separuh anak SD (61.3%) yang berada pada kondisi ekonomi keluarga miskin dan tidak miskin masih memiliki tingkat kecukupan protein kurang dan lebih. Hal tersebut diduga karena nafsu makan dari anak yang didukung dengan ketersediaan pangan sumber protein di rumah. Sebaran anak SD berdasarkan tingkat kecukupan energi dan status gizi disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Sebaran anak SD berdasarkan tingkat kecukupan protein dan kondisi ekonomi keluarga
Variabel Kondisi ekonomi keluarga Total Miskin Tidak miskin
n % n % n % Tingkat kecukupan protein Defisit berat 9 29.0 3 9.7 12 38.7 Defisit sedang 2 6.4 2 6.5 4 12.9 Defisit ringan 1 3.2 1 3.2 2 6.5 Normal 7 22.7 4 12.9 11 35.5 Lebih 2 6.4 0 0.0 2 6.5 Total 21 67.7 10 32.3 31 100.0 Lemak
Asupan lemak anak SD berkisar dari 20.7 gram sampai 108.6 gram. Tingginya asupan lemak tersebut dikarenakan beberapa makanan yang dikonsumsi berupa makanan yang diolah dengan cara digoreng antara lain telur goreng, tempe goreng, tahu goreng dan ayam goreng. Angka kecukupan lemak anak SD berkisar dari 24.4 gram sampai 41.1 gram. Nilai rata-rata±stdev asupan lemak dan angka kecukupan lemak anak SD yaitu 45.9±18.2 gram dan 29.9±3.5 gram. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar anak SD memiliki asupan lemak pada kategori >20% dari kebutuhan energi yaitu 25 anak (80.6%). Sebaran anak SD berdasarkan asupan lemak disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12 Sebaran anak SD berdasarkan asupan lemak
Asupan Lemak n %
<20% kebutuhan energi 6 19.4
>20% kebutuhan energi 25 80.6
Total 31 100
Vitamin A
Vitamin merupakan ikatan-ikatan organik yang membantu atau mengatalisis berbagai reaksi biokimia dalam tubuh. Vitamin dibutuhkan tubuh dalam jumlah sangat kecil untuk mengatur proses metabolisme. Vitamin digolongkan dalam dua golongan, yaitu vitamin larut lemak dan vitamin larut air. Vitamin larut lemak
18
adalah vitamin A, D, E, dan K, sedangkan vitamin larut air adalah vitamin B kompleks dan vitamin C. Vitamin A terdapat pada makanan dalam dua bentuk, di dalam makanan hewani berbentuk vitamin A yang sudah jadi, dan di dalam makanan nabati berbentuk prekursor yang akan diubah menjadi vitamin A ketika di dalam tubuh. Fungsi dari vitamin A adalah untuk penglihatan, pembentukan dan pemeliharaan jaringan epitel (Almatsier 2011).
Asupan vitamin A anak SD berkisar dari 45.2 RE sampai 1378.9 RE dan angka kecukupan vitamin A anak SD berkisar dari 296.3 RE sampai 500 RE. Nilai rata-rata±stdev asupan vitamin A dan angka kecukupan vitamin A anak SD yaitu 416.0±342.6 RE dan 364.3±43.0 RE. Nilai rata-rata±stdev tingkat kecukupan vitamin A yaitu 112.3±86.5 RE. Nilai rata-rata tingkat kecukupan vitamin A adalah 112.3 persen dan berada dalam kategori cukup (lebih dari 77 persen) (Gibson 2005).
Berdasarkan hasil penelitian, anak SD yang termasuk pada tingkat kecukupan vitamin A kategori cukup memiliki persentase yang lebih besar daripada kategori kurang. Anak SD pada kategori cukup yaitu 17 anak (54.8%), sedangkan pada kategori kurang yaitu 14 anak (45.2%). Masih terdapat anak SD pada kategori kurang diduga karena frekuensi makan dari anak yang hanya 1 sampai 2 kali dalam sehari sehingga angka kecukupan tidak terpenuhi. Sebaran anak SD berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13 Sebaran anak SD berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A
Tingkat Kecukupan Vitamin A n %
Kurang (<77%) 14 45.2
Cukup (>77%) 17 54.8
Total 31 100
Sebagian besar anak SD terdapat pada tingkat kecukupan vitamin A dengan kategori cukup. Hal ini diduga karena ketersediaan pangan sumber vitamin A dan karoten mudah didapat dan harganya terjangkau. Menurut Almatsier (2011), vitamin A terdapat dalam pangan hewani sedangkan karoten di dalam pangan nabati. Sumber vitamin A adalah hati, kuning telur, susu dan mentega. Sumber karoten adalah sayuran berwarna hijau tua serta sayur dan buah yang berwarna kuning jingga seperti daun singkong, daun kacang, kangkung, bayam, kacang panjang, buncis wortel, tomat, jagung kuning, papaya, mangga, nangka masak dan jeruk. Pangan sumber vitamin A yang dikonsumsi hampir seluruh anak SD dalam penelitian ini yaitu telur ayam. Pangan sumber karoten yang dikonsumsi hampir seluruh anak SD yaitu, bayam, kangkung, daun singkong, wortel dan kacang panjang.
Data pada Tabel 14 menunjukkan bahwa lebih dari separuh anak SD (67.7%) berada pada kondisi ekonomi keluarga dengan kategori miskin. Pada kondisi sosial ekonomi keluarga kategori miskin, sebagian besar anak SD memiliki tingkat kecukupan vitamin A kurang yaitu 12 anak (57.1%). Hal tersebut diduga karena keterbatasan ekonomi sehingga ketersediaan pangan sumber vitamin A kurang. Secara keseluruhan, lebih dari separuh anak SD berada pada tingkat kecukupan vitamin A cukup, yaitu sebanyak 17 anak (54.8%). Namun, hampir separuh anak SD (45.2%) yang berada pada kondisi ekonomi keluarga
19
miskin dan tidak miskin masih memiliki tingkat kecukupan vitamin A kurang. Hal tersebut diduga karena nafsu makan dari anak yang didukung dengan ketersediaan pangan sumber protein di rumah masih kurang. Sebaran anak SD berdasarkan tingkat kecukupan energi dan status gizi disajikan pada Tabel 15.
Tabel 14 Sebaran anak SD berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A dan kondisi ekonomi keluarga
Variabel Kondisi ekonomi keluarga Total Miskin Tidak miskin
n % n % n % Tingkat kecukupan vitamin A Kurang 12 38.7 2 6.4 14 45.2 Cukup 9 29.0 8 25.9 17 54.8 Total 21 67.7 10 32.3 31 100 Status Gizi
Penilaian status gizi dikembangkan untuk membantu negara-negara berkembang dalam menentukan status gizi penduduk serta mengidentifikasi masalah gizi dan mencari cara mengatasi masalah gizi. Status gizi adalah suatu ukuran yang digunakan untuk mengetahui kondisi tubuh seseorang yang dilihat dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat gizi di dalam tubuh. Status gizi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu status gizi kurang, gizi normal, dan gizi lebih (Almatsier 2006). Status gizi kurang merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari yang dikeluarkan. Status gizi lebih adalah keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh lebih besar dari jumlah energi yang dikeluarkan (Nix 2005).
Penilaian status gizi anak digunakan beberapa indeks, yaitu : Berat Badan