• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN DAN METODE

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi Pseudomonas kelompok fluorescens dari rizosfer bambu, rumput gajah dan gelagah.

Hasil isolasi P. fluorescens dari tiga rizosfer yaitu bambu, rumput gajah dan gelagah, sebelum dan sesudah menggunakan sinar ultraviolet dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1 : Pseudomonas yang diisolasi dari rizosfer bambu, rumput gajah, dan gelagah.

A = sebelum disinari dengan UV. B = setelah disinari dengan UV.

A

B

Bambu

Gelagah Rumput gajah

Dari Gambar 1 terlihat bakteri kelompok pseudomonas yang diisolasi dari ketiga rizosfer tanaman bambu, rumput gajah dan gelagah masuk dalam golongan

fluorescens. Hal ini ditandai dengan ke-3 isolat mempunyai koloni bentuk bulat, tepi rata, fluidal dan berpendar di media King’s B setelah disinari UV 620 nm (Gambar 1 B). Pijaran yang dihasilkan P. fluorescens berasal dari pigmen pyoverdin dan atau

fenazin yang dihasilkan bakteri di dalam medium King’s B, sehingga terlihat berpijar bila terkena sinar UV.

Menurut Todar (2004), bakteri Pseudomonas paling dominan menghasilkan

pyocyanin yang merupakan pigmen biru-hijau, sedangkan non patogen saprofit P. fluorescens memproduksi pigmen fluorescent yang dapat larut dan kehijauan.

Uji Pewarnaan Gram

Gambar 2 Pewarnaan gram ketiga isolate P.fluorescens asal : a. bambu, b. rumput gajah, c. gelagah.

Hasil ini diperkuat dengan pengujian pewarnaan gram yang dilakukan. Pada pengujian pewarnaan gram diperoleh ketiga isolat yang didapat masuk dalam kelompok bakteri gram negatif. Hal ini dilihat ketiga isolat berwarna merah (Gambar 2). Bakteri ini berbentuk batang lurus atau lengkung, ukuran tiap sel bakteri 0.5-0.1

1μm x 1.5-4.0 μm, tidak membentuk spora dan bereaksi negatif terhadap pewarnaan

gram (Brock & Madigan 1988 dalam Hasanuddin, 2003). Begitu pula menurut Meera dan Balabaskar (2012), dari hasil uji biokimia untuk identifikasi P. fluorescens

dengan pewarnaan gram menghasilkan gram negatif.

Uji Kemampuan Menfiksasi Nitrogen (N) Bebas.

Pengujian kemampuan menfiksasi N bebas dari ketiga isolat dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1: Uji kemampuan menfiksasi nitrogen (N) bebas

Perlakuan Respon pada pengamatan

4 hsi 8 hsi 12 hsi

P.fluorescens asal bambu (+) (+) (-)

P.fluorescens asal rumput gajah (-) (-) (-)

P.fluorescens asal gelagah (-) (-) (-)

Keterangan :

+ = hidup.

- = mati

hsi = hari setelah inkubasi

Pengujian kemampuan menfiksasi N bebas dari ketiga isolat dapat dilihat pada Tabel 1. Dari Tabel 1 dapat dilihat pada pengamatan 4 hsi dan 8 hsi P. fluorescens

asal bambu memiliki kemampuan menfiksasi N bebas. Hal ini ditandai dengan terjadinya pertumbuhan bakteri (+). Sedangkan P. fluorescens asal rumput gajah dan gelagah mulai 4 hsi sampai 12 hsi tidak memiliki kemampuan menfiksasi N bebas ditandai dengan tidak terjadinya pertumbuhan bakteri (-). Pseudomonas fluorescens

yang hidup di daerah perakaran tanaman dapat berperan sebagai jasad renik pelarut fosfat, mengikat nitrogen dan menghasilkan zat pengatur tumbuh bagi tanaman (Farvel, 1988 dalam Baharudin et al., 2005) sehingga dengan kemampuan tersebut

dapat dimanfaatkan sebagai pupuk biologis yang dapat menyediakan hara untuk pertumbuhan tanaman.

Selanjutnya Susilowati et al. (2007) menyatakan tanaman membutuhkan hara N yang cukup besar, dan kebutuhan ini dapat dipenuhi dari aktivitas bakteri penambat N2

Fiksasi nitrogen sangat penting untuk lingkungan dan pertanian berkelanjutan. Sebagian besar tanaman mengasimilasi nitrogen hanya dari tanah melalui penambahan pupuk. Sumber alternatif lain adalah rhizobia yang mampu menyebabkan pembentukan nodula pada akar dari tanaman legum sebagai tanaman inang. Organ tanaman khusus diserang oleh bakteria yang menfiksasi nitrogen dalam keadaan bakteroid endosimbiotik dalam sel tanaman. Proses ini melibatkan pengenalan spesifik dan diferensiasi berkembang baik bakteri dan sel tanaman inang. Rhizobia berhadapan dengan bermacam-macam kondisi lingkungan seperti bakteria yang hidup bebas dalam tanah, selama proses infeksi dan seperti diferensiasi bakteroid dalam sel tanaman (Dewi, 2007).

, baik yang berada di sekitar perakaran dan bintil akar (rhizosfer) maupun di dalam jaringan tanaman (diazotrof endofit).

Uji Aktivitas Selulosa

Hasil uji coba analisis aktivitas selulosa dapat dilihat pada Tabel 2 berikut :

Tabel 2 : Uji aktifitas selulosa

Perlakuan Pengamatan

3 hsi

P.fluorescens asal bambu (+)

P.fluorescens asal rumput gajah (-)

Keterangan :

+ = terbentuk halo

- = tidak terbentuk halo

Dari Tabel 2, didapat P. fluorescens asal bambu dan gelagah membentuk zona bening di sekitar daerah pertumbuhan bakteri pada 3 hsi, yang menunjukkan Selulosa telah dihidrolisis oleh bakteri menjadi sakarida yang lebih sederhana. Sedangkan uji

P. fluorescens asal rumput gajah memberikan hasil yang sebaliknya yakni tidak terbentuk zona bening (-).

Menurut Yuliar (2008), zona bening (halo) yang terbentuk karena adanya aktivitas selulosa yang mengandung surfaktin dapat berperan sebagai anti jamur dengan cara membentuk misel dengan komponen membran sel jamur.

Benhamou (1996) melaporkan enzim selulase dan pektinase yang dihasilkan

P. fluorescens dapat digunakan oleh bakteri tersebut untuk mengkolonisasi daerah interselluler jaringan korteks akar, sehingga terjadi penghambatan invasi patogen. Kemampuan P.fluorescens memproduksi enzim selulosa menjadikan mikroorganisme tersebut mampu menghidrolisa selulosa menjadi glukosa atau gula-gula yang lain yang larut dan dapat digunakan sebagai sumber carbon bagi pertumbuhannya.

Persentase Perkecambahan Benih Cabai

Persentase perkecambahan benih dihitung pada umur 3, 6, 9 hari setelah semai (hss) dalam polibek. Perhitungan berdasarkan persentase jumlah benih berkecambah (BK) pada pengamatan pertama (3 hss), kedua (6 hss) dan ketiga (9 hss), per 100 benih. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 : Persentase perkecambahan benih cabai

Perlakuan Pengamatan

3 hss 6 hss 9 hss

C0 = Kontrol (tanpa P. fluorescens) 44.44 a (13.33)

55.00 c (16.67)

80.00 c (24.00) C1= P. fluorescens asal bambu 32.22 b

(9.67) 65.56 b (20.00) 87.78 b (26.33) C2 22.22 c (6.67)

= P. fluorescens asal rumput gajah 67.78 b (20.67)

88.89 b (26.67)

C3 35.56 b

(10.67)

= P. fluorescens asal gelagah 98.89 a (29.67)

100 a (30.00) Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada

taraf 5%.

Dari Tabel 3 di atas dapat dilihat persentase perkecambahan yang dimulai pada 3 hari setelah semai, terlihat persentase tertinggi terlihat pada perlakuan C3

(seed coating + P. fluorescens asal gelagah) diikuti C0 (kontrol), C1 (seed coating +

P. fluorescens asal bambu) dan C2 (seed coating + P. fluorescens asal rumput gajah). Perlakuan dengan pemberian P.fluorescens dengan pertambahan umur, maka semakin meningkat daya kecambah cabai. Sedangkan pada kontrol (tanpa pemberian

P.fluorescens) sekalipun meningkat, tetapi masih di bawah daya kecambah dari pemberian P. fluorescens. Daya kecambah paling tinggi yaitu dengan pemberian P. fluorescens asal gelagah yang lebih efektif dari P. fluorescens asal bambu dan rumput gajah. Sejalan dengan hasil penelitian Taufik (2005), yang melaporkan terjadi peningkatan pertumbuhan pada benih cabai Tit Segitiga yang diberi perlakuan PGPR

dibanding tanpa perlakuan. Sutariati et al. (2006), mengatakan perlakuan benih

dengan berbagai isolat rizobakteri (P. fluorescens) memberikan dampak positif terhadap perkecambahan benih (daya kecambah) dan pertumbuhan bibit cabai.

Menurut Parjono (2008) kemampuan isolat Pseudomonas sp Crb97, Crb102 dan Crb106 untuk memacu pertumbuhan kecambah kemungkinan karena isolat

Pseudomonas sp. tersebut memproduksi hormon tumbuh yang dapat dimanfaatkan oleh kecambah. Keterlibatan hormon merupakan salah satu faktor penting dalam pemacuan pertumbuhan.

Wuryandari (2003) menyebutkan memperlakukan biji menggunakan metode penyelimutan biji dengan bakteri P. fluorescens akan memberikan kesempatan bakteri tersebut untuk berkembang menyelimuti biji. Kondisi ini akan meningkatkan populasi P. fluorescens sebelum disemai dan bila biji berkecambah mengandung P. fluorescens yang selanjutnya berkembangbiak mengkoloni sistem akar atau rizosfer. Menurut Rao et al. (2004), pemberian P. chlamydosporia dan P. fluorescens

meningkatkan pertumbuhan bibit dari paprika, dimana terjadi kolonisasi oleh bio agens dari kombinasi kedua bakteri tersebut dan mengkolonisasi akar saat pindah ke lapangan. Selanjutnya Gholami et al. (2009) menyatakan, PGPR meningkatkan perkecambahan benih hingga 18,5%.

Periode Inkubasi

Pada Tabel 4 di bawah, terlihat terdapatnya perbedaan gejala virus pada tanaman dari setiap perlakuan. Munculnya gejala dari yang paling cepat sampai paling lambat dari setiap perlakuan berturut-turut adalah kontrol (8,67 hst), A2C2 (32,00 hst), A1C2 (32,83 hst), A1C1 (33,67 hst), A2C1 (34,08 hst), A2C3 (34,33 hst), dan A1C3 (37,33 hst). Antar perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, tetapi dari hasil analisis statistik P. fluorescens asal gelagah memperlihatkan gejala

lebih lama dibanding dengan tanaman yang diberi P.fluorescens asal bambu dan asal rumput gajah. Artinya P. fluorescens asal gelagah lebih efektif dalam memperlambat perkembangan penyakit virus atau menunda pemunculan gejala awal sehingga ekspresi gejala yang muncul lebih lama dari tanaman dengan pemberian bakteri P. fluorescens asal bambu dan rumput gajah.

Tabel 4. Periode inkubasi penyakit akibat virus pada tanaman cabai.

PERLAKUAN Periode Inkubasi

(hari) Aplikasi A1 34.61 A2 33.47 Seed Coating (SC) C1 33.88 ab C2 32.42 b C3 35.83 a Interaksi A1C1 33.67 a A1C2 32.83 a A1C3 37.33 a A2C1 34.08 a A2C2 32.00 a A2C3 34.33 a Kontrol 8.67 b

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5%.

Menurut Soesanto (2000) dan Rokhlani (2005) sistem ketahanan yang dimiliki oleh tiap-tiap tanaman akan menunjukkan perbedaan masa inkubasi dan tingkat virulensi virus yang menginfeksi. Cepatnya periode inkubasi diduga pada tanaman yang tidak diberi P.fluorescens (kontrol) karena beberapa faktor, seperti tidak adanya penghambatan patogen yang bergerak sangat agresif oleh mikroba lain. Selain itu

dapat juga dikarenakan kesesuaian hidup patogen dengan cabai tanpa pemberian P. fluorescens. Sedangkan lebih lamanya periode inkubasi pada tanaman yang diberi P. fluorescens dikarenakan kemampuannya dalam menghambat patogen.

Metabolit sekunder yang dihasilkan bakteri P. fluorescens sangat berperan dalam periode inkubasi, seperti siderofor yang memiliki kemampuan menghambat perkembangan patogen. Menurut Kanimozhi dan Perinbam (2011), P. fluorescens

LP1 menghasilkan metabolit sekunder siderofor sebagai agens phytophatogen. Hal yang sama juga diutarakan oleh Prashant et al. (2009), pemurnian siderofor dari

Acinetobacter calcoaceticus pada 500 ug / mL konsentrasi menghambat pertumbuhan

Aspergillus niger sampai dengan 30,00%, A. flavus hingga 10,71%, Colletotrichum

paprika hingga 21,57%, dan Fusarium oxysporum hingga 15,12%. Hal ini

menunjukkan bahwa kedua supernatan siderofor kaya metabolit yang memiliki potensi penghambatan terhadap jamur pytopatogenik.

Persentase kejadian penyakit

Pengamatan persentase kejadian penyakit pada 1 mst sampai 8 mst dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini. Persentase kejadian penyakit virus pada perlakuan pemberian P. fluorescens asal gelagah lebih rendah dibanding P. fluorescens asal bambu dan rumput gajah, berturut-turut A1C3 (2 mst), A1C3 (3,67 mst), A2C1 (3,67 mst), A1C1 (3.33 mst), A1C2 (4mst), A2C2 (4 mst). Pada kontrol tanpa pemberian P. fluorescens menunjukkan persentase serangan yang mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya umur tanaman (8 mst).

Persentase kejadian penyakit dapat dilihat pada Tabel 5 berikut :

Tabel 5. Persentase kejadian penyakit

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5%.

Pseudomonas fluorescens asal gelagah lebih efektif dibanding P. fluorescens

asal bambu dan rumput gajah. Hal ini menunjukkan P. fluorescens mempunyai kemampuan untuk menghambat infeksi patogen. Perbedaan kejadian penyakit ini dapat disebabkan perbedaan ketahanan yang dimiliki oleh tanaman. Selain itu kejadian penyakit dapat lebih tinggi akibat serangan ganda dari jenis virus dan sangat berbeda bila tanaman mendapat serangan satu jenis virus saja.

Pada tanaman yang terinfeksi ganda terjadi interaksi antara kedua virus yang bersifat meningkatkan kemampuan salah satu atau kedua virus dalam proses perkembangan dan penyebarannya di dalam sel tanaman terinfeksi. Virus bergerak ke

Perlakuan Pengamatan ke- … (Minggu Setelah Tanam)

1 2 3 4 5 6 7 8 Aplikasi A1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.67 1.67 2.56 b 3.11 b A2 0.00 0.00 0.00 0.00 1.00 2.00 3.00 a 3.78 a Seed Coating C1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.83 1.83 2.83 3.50 a C2 0.00 0.00 0.00 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 b C3 0.00 0.00 0.00 0.00 0.67 1.67 2.50 2.83 c Interaksi A1C1 0.00 a 0.00 a 0.00 a 0.00 a 0.67 a 1.67 a 2.67 a 3.33 a A1C2 0.00 a 0.00 a 0.00 a 0.00 a 1.00 a 2.00 a 3.00 a 4.00 a A1C3 0.00 a 0.00 a 0.00 a 0.00 a 0.33 a 1.33 a 2.00 a 2.00 a A2C1 0.00 a 0.00 a 0.00 a 0.00 a 1.00 a 2.00 a 3.00 a 3.67 a A2C2 0.00 a 0.00 a 0.00 a 0.00 a 1.00 a 2.00 a 3.00 a 4.00 a A2C3 0.00 a 0.00 a 0.00 a 0.00 a 1.00 a 2.00 a 3.00 a 3.67 a Kontrol 1.33 b 2.33 b 3.33 b 4.33 b 5.33 b 6.33 b 7.33 b 8.00 b

jaringan tanaman melalui pembuluh floem dan akan tersebar ke seluruh bagian tanaman bersamaan dengan peredaran hasil fotosintat (Martin et al., 2004). Semakin cepat proses perkembangan dan penyebaran virus di dalam sel tanaman, maka gejala sistemik muncul semakin cepat dan tingkat keparahannya semakin tinggi.

Hasil yang sama disampaikan oleh Wardanah (2007), bahwa pemberian

campuran (P. fluorescens saja atau B. polymixa) keduanya menurunkan tingkat kejadian penyakit mosaik pada tanaman cabai yang disebabkan oleh TMV.

Anti mikrobia yang dihasilkan oleh kelompok P. fluorescens antara lain

pioluteorin, pirolnitrin, fenazines dan fusarisidin (Beatty dan Susan 2002). Menurut Ongena et al., (1999), siderophore berperan dalam mekanisme induced systemic resistance (ISR). Pada kondisi ini, siderophore menghasilkan senyawa pyoverdin,

pyocelin dan asam salisilat. Asam salisilat tersebut berperan sebagai transinduksi signal yang mengaktifkan gen-gen penginduksi pembentukan systemic acquered resistant (SAR) (Wahyuni, 2001), Ketahanan yang terbentuk tersebut efektif menekan perkembangan patogen termasuk cendawan, bakteri, dan virus (Chivasa et al., 1997). Banyak kajian menyatakan bahwa akumulasi asam salisilat berasosiasi dengan respon fisiologi tanaman terhadap serangan penyakit (Saikia et al., 2006).

Parjono (2008) menyatakan Pseudomonas sp Crb3 mampu menekan kejadian

penyakit sebesar 83.33%.

Disamping itu kemampuan P. fluorescens dalam menghasilkan senyawa antimikrobia 2,4-diacetylphloroglucinol (DAPG), phenazines, hidrogen sianida dan surfaktan (Haas dan De'fago, 2005).

Tinggi Tanaman (cm)

Hasil pengamatan terhadap tinggi tanaman dengan pemberian bakteri P. fluorescens dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan tinggi tanaman (cm) pengamatan I sampai dengan pengamatan XII.

Perlakuan Pengamatan ke- … (Minggu Setelah Tanam)

2 4 6 8 10 12 Aplikasi A1 23.08 42.66 68.48 89.22 a 104.78 118.05 A2 21.83 41.59 64.88 83.34 b 98.48 111.34 Seed Coating (SC) C1 21.02 a 41.44 67.68 87.62 105.54 120.35 C2 24.75 b 44.38 67.17 86.88 101.86 113.59 C3 21.58 b 40.58 65.18 84.34 97.49 110.15 Interaksi A1C1 20.79 a 39.62 a 65.97 a 88.53 a 106.74 a 122.11 a A1C2 25.51 a 45.52 a 71.00 a 91.04 a 108.06 a 118.37 a A1C3 22.93 a 42.85 a 68.46 a 88.08 a 99.55 a 113.67 a A2C1 21.25 a 43.25 a 69.39 a 86.70 a 104.33 a 118.58 a A2C2 24.00 a 43.23 a 63.33 a 82.72 a 95.67 a 108.82 a A2C3 20.23 a 38.30 a 61.90 a 80.60 a 95.43 a 106.63 a Kontrol 10.57 b 25.84 b 38.10 b 49.45 b 52.37 b 53.86 b

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5%.

Hasil uji statistik aplikasi P.fluorescens tidak menunjukkan hasil yang nyata terhadap tinggi tanaman. Tetapi P. fluorescens asal bambu lebih efektif dibanding dengan P. fluorescens asal rumput gajah dan gelagah. Berturut-turut dapat dilihat A1C1 (122,11 cm), A2C1 (118,58 cm), A1C2 (118,37 cm), A1C2 (108,82 cm), A1C3 (113,67 cm), A2C2 (108,82 cm), A2C3

Ilyas (2003) menambahkan bahwa penggunaan seed coating dalam industri benih sangat efektif karena dapat memperbaiki penampilan benih, meningkatkan daya

simpan, mengurangi resiko tertular penyakit dari benih disekitarnya, dan dapat digunakan sebagai pembawa zat aditif, misalnya antioksidan, anti mikroba, repellent, mikroba antagonis, zat pengatur tumbuh dan lain-lain. Menurut Sutariati et al. (2006), aplikasi P. fluorescens nyata meningkatkan tinggi tanaman cabai. Selanjutnya menurut Sutariati et al. (2006), perlakuan dengan isolat P. fluorescens PG01, PG22, dan PG07 secara nyata meningkatkan tinggi dan jumlah daun bibit cabai dibandingkan dengan perlakuan standar. Ashrafuzzaman et al. (2009), juga mengatakan bahwa isolat PGPR berpengaruh signifikan terhadap tinggi tanaman padi dibanding dengan perlakuan tanpa pemberian PGPR.

Tanaman yang terinfeksi virus akan terjadi penurunan zat pengatur tumbuh (hormon) dan peningkatan kadar senyawa penghambat pertumbuhan (Agrios 1997). Menurut Semangun (2000), TMV yang menginfeksi tanaman cabai dapat menghambat pertumbuhan tinggi tanaman sampai mengakibatkan tanaman kerdil.

Pseudomonas sp. banyak dilaporkan sebagai penghasil fitohormon dalam jumlah besar khususnya IAA. IAA merupakan hormon pertumbuhan kelompok auksin yang berguna untuk merangsang pertumbuhan tanaman. Auksin berfungsi untuk meningkatkan pertumbuhan sel batang, menghambat proses pengguguran daun, merangsang pembentukan buah, serta merangsang pertumbuhan kambium dan menghambat pertumbuhan tunas ketiak (Tjondronegoro et al., 1989). Katiyar dan Goel (2003), P. fluorescens dengan kode CRPF2 bisa melarutkan P ke tingkat yang lebih tinggi ditandai dengan meningkatnya panjang tunas dan panjang akar. Hal ini dapat meningkatkan tinggi tanaman.

Produksi cabai per tanaman (gram)

Tabel 7. Rataan produksi tanaman (gram) pengamatan I sampai dengan

pengamatan VI.

Perlakuan Pengamatan ke- … (Minggu Setelah Tanam)

1 2 3 4 5 6 Aplikasi A1 27.78 70.43 120.00 177.78 284.58 258.33 A2 28.47 73.61 123.06 177.22 288.89 260.83 Seed Coating (SC) C1 27.92 73.75 124.17 178.96 296.46 269.17 C2 26.67 67.08 111.46 162.71 262.71 239.58 C3 29.79 75.23 128.96 190.83 301.04 270.00 Interaksi A1C1 28.33 a 74.58 a 123.75 a 180.42 a 301.67 a 275.00 a A1C2 24.58 a 60.83 a 101.67 a 149.17 a 240.83 a 220.42 a A1C3 30.42 a 75.88 a 134.58 a 203.75 a 311.25 a 279.58 a A2C1 27.50 a 72.92 a 124.58 a 177.50 a 291.25 a 263.33 a A2C2 28.75 a 73.33 a 121.25 a 176.25 a 284.58 a 258.75 a A2C3 29.17 a 74.58 a 123.33 a 177.92 a 290.83 a 260.42 a Kontrol 11.25 b 25.83 b 47.92 b 95.00 b 125.42 b 107.50 b

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5%.

Dari Tabel 7 dapat dilihat produksi tanaman cabai pada tanaman yang mendapat perlakuan pemberian P. fluorescens dan tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Tetapi bila dilihat dari hasil analisis statistik, P. fluorescens asal gelagah lebih efektif dalam meningkatkan produksi tanaman dibanding dengan P. fluorescens asal bambu dan rumput gajah berturut-turut sebagai berikut A1C3 (279,58 gr), A2C3 (260,42 gr), A1C1 (275.00 gr), A2C1 (263,33 gr), A2C2 (258,75 gr), A1C2

Wardanah (2007), menyatakan P. fluorescens, B. polymixa, dan campuran keduanya dapat berfungsi sebagai PGPR pada tanaman cabai karena dapat

meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman. Kombinasi kedua bakteri dapat mengkompensasi tanaman dari infeksi TMV sehingga tanaman cabai masih dapat tumbuh dan memproduksi buah dengan baik.

Inokulasi P. fluorescens meningkatkan produksi hingga 100% dan juga bakteri pelarut Posfat yang diisolasi dari rizosfer padi dapat meningkatkan produksi 5,4-21,6% (Thakuria et al., 2004). Kemampuan isolat bakteri rizosfer sebagai pemacu pertumbuhan tanaman ditunjukkan dengan kemampuan dalam menyediakan dan memobilisasi penyerapan berbagai unsur hara dalam tanah serta mensintesis dan mengubah konsentrasi berbagai fitohormon pemacu pertumbuhan tanaman (Kloepper, 2003; Timmusk & Wagner, 2004). Menurut Sutariati (2006), P. fluorescens sebagai PGPR dapat meningkatkan ketersediaan nutrisi tanaman (biofertilizer). Hal ini sangat berpengaruh pada peningkatan produksi tanaman.

Menurut Kusumadewi (1999) rizobakteri memungkinkan penyediaan unsur hara tertentu dari lingkungannya yaitu menambat N2

Senyawa fosfat yang ada dalam lingkungan tumbuh tanaman tidak selalu dapat mencukupi kebutuhan bagi tanaman sehingga keberadaan bakteri pelarut fosfat di rizosfer tanaman membantu menyediakan senyawa fosfat bagi tanaman (Sutariati. 2006). Strain P. fluorescens melalui mutagenesesis dapat digunakan sebagai pupuk posfat untuk meningkatkan produksi tanaman pada suhu rendah (Katiyar et al., 2003).

dan mensuplai ketanaman. Rizobakteri juga mampu menghasilkan siderofor yang dapat melarutkan dan memisahkan besi dari tanah serta menyediakannya untuk tanaman. Genus yang banyak diketahui sebagai pemacu pertumbuhan antara lain Pseudomonas sp., Bacillus

Bakteri P. fluorescens memiliki kemampuan untuk melarutkan posfat dan penghasil siderofor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Parani et al., 2012). Strain PSB (Phosphate Solubilizing Bacteria) terisolasi mampu melarutkan P, menghasilkan asam organik, enzim, IAA, dan siderophore kompeten untuk efek antagonis terhadap patogen R. solani. Karakteristik ini menguntungkan akan dianggap sebagai pupuk hayati (Panhwar et al., 2012).

Dokumen terkait