Analisis profil produksi
Pada bagian ini akan dibahas profil produksi batik sebagai gambaran aktivitas produksi batik di klaster Trusmi. Dikenal sebagai kawasan wisata belanja batik di kabupaten Cirebon, klaster Trusmi merupakan sentra produksi batik tradisional yang terdapat di kecamatan Plered. Berdasarkan data yang didapatkan dari program CBI tahun 2011, hampir semua pengrajin yang ada di klaster Trusmi pola produksi batiknya dilakukan dengan cara tradisional.
22
Sejarah Batik Trusmi
Secara umum batik Cirebon dipengaruhi asimilasi budaya pendatang. Berdasarkan Jusri dan Idris (2012) pelabuhan Muara Jati Cirebon yang menjadi persinggahan pedagang Tiongkok, Arab, Persia dan India merupakan tempat terjadinya proses asimilasi dan akulturasi beragam budaya termasuk budaya keraton Cirobon.
Pembatik Cirebon pada masa itu banyak yang tinggal di desa Trusmi. Oleh sebab itu batik Cirebon identik dengan batik Trusmi. Daerah Trusmi terletak 7 kilometer dari pusat Kota Cirebon. Awal berkembangnya Desa Trusmi terpusat di area makam ki buyut Trusmi. Seiiring dengan pertumbuhan permukiman di desa ini menyebabkan wilayah desa secara administrasi dibagi menjadi dua desa, yaitu desa Trusmi Kulon dan desa Trusmi Wetan (Suyatno E 17 September 2014, komunikasi pribadi). Batik Trusmi saat ini telah berkembang pesat ke berbagai desa di sekitarnya yang berada di Kecamatan Plered, Weru, Tengah Tani hingga Kecamatan Ciwaringin yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Majalengka.
Menurut Jusri dan Idris (2012) motif batik Trusmi Cirebon dilandasi pada 2 (dua) kesultanan yaitu (1) motif batik kesultanan kasepuhan yang bernuansa religius islami serta melarang membuat bentuk gambar binatang dan (2) motif batik kesultanan kanoman yang didominasi alam lingkungan dengan warna dominan merah, biru, violet dan keemasan. Batik Cirebon mengalami masa keemasan setelah kemerdekaan (1950- 1968). Motif-motif yang terkenal di masyarakat dan berkembang hingga saat ini antara lain dapat dilihat pada Gambar 12 (Susanto 1973).
(a) (b) (c)
(d) (e) (f)
(g) (h)
Gambar 12 Motif batik cirebon (a) Mega mendung (b) Paksi naga liman (c) Singa barong (d) Ayam alas (e) Taman arum sunyaragi (f) Supit urang (g) Piring aji (h) Wadasan
23 Terkait dengan penggunaan batik di lingkungan masyarakat Trusmi, terdapat adat kebiasaan yang disebut "Ngobeng" dimana masyarakat ikut berpartisipasi dan bergotong royong dalam suatu acara hajatan seperti pernikahan, syukuran atau acara berkabung (tahlilan). Pada saat ngobeng untuk acara pernikahan, khususnya remaja wanita dan ibu-ibu memakai sarung batik selama tiga hari sebagai bentuk partisipasi masyarakat kepada yang punya hajat.
Gambaran Umum
Berdasarkan data primer yang diperoleh dari Disperindagkop Kabupaten Cirebon pada tahun 2014 terdapat 493 IKM batik yang tersebar di tiga kecamatan. Dari sebelas desa penghasil batik di Kabupaten Cirebon, terdapat empat desa yang memiliki 55% populasi IKM terbesar yaitu Desa Trusmi Wetan (76 IKM), Desa Trusmi Kulon (88 IKM), Kali Tengah (85 IKM), Wotgali (53 IKM) dengan total produksi 454.625 meter per tahun. Bila membandingkan data tersebut dengan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Perindutrian dalam Jusri dan Idris (2012) yang berjumlah 527 unit usaha, maka terdapat pengurangan jumlah IKM sebesar 34 unit atau sebesar 6,5% selama 2 tahun.
Seperti halnya tipikal industri rumah tangga pada umumnya, IKM batik Trusmi memiliki keterbatasan dalam upaya pengelolaan lingkungan, khususnya dalam menangani limbah batik. Keterbatasan tersebut meliputi: kondisi ekonomi, kondisi produksi dan dukungan kelembagaan.
Kondisi Ekonomi
Semenjak tahun 2009, daerah Trusmi berubah menjadi kawasan wisata belanja batik di Kabupaten Cirebon. Dengan munculnya kawasan wisata belanja batik Trusmi, kegiatan pembatikan di Klaster Trusmi juga semakin meningkat. Namun perbaikan kondisi ini tidak selalu berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan pengerajin batik di Klaster Trusmi. Hal ini terjadi karena, produk batik yang ada di butik batik (showroom) tidak hanya berasal dari daerah Trusmi saja. Selain itu banyaknya produk tekstil bermotif batik (batik printing) dengan harga murah membuat penjualan produk batik lokal menjadi semakin sulit.
Kondisi ekonomi IKM batik di klaster Trusmi cukup beragam. Bila dilihat dari data primer dari Disperindagkop Kab Cirebon (2014) kapasitas produksi IKM batik di klaster Trusmi (Desa Trusmi Wetan, Trusmi Kulon, Wotgali, dan Kali Tengah) berkisar antara 500 hingga 12500 meter per tahun. Ketersediaan modal produksi umumnya ditentukan oleh karakteristik dan daya saing IKM. IKM dengan akses pasar yang luas pada umumnya memiliki ketersediaan modal yang relatif lebih besar bila dibandingkan dengan IKM yang hanya memproduksi batik berdasarkan pesanan. Pada umumnya IKM batik yang memiliki keterbatasan modal menggantungkan produksinya pada pesanan dari showroom atau butik. Mengingat komponen termahal adalah kain mori, maka pada umumnya bahan baku tersebut juga disediakan oleh pemesan dalam hal ini butik.
Menurut Hunga (2014), salah satu cara IKM batik untuk meminimisasi resiko produksi adalah dengan melakukan Putting-Out System (untuk selanjutnya ditulis POS). POS diartikan sebagai upaya melakukan produksi di luar area IKM, yaitu dengan cara men-subkontrakkan kegiatan produksi ke tempat lain. POS dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi biaya produksi sekaligus
24
memindahkan beban pencemar ke tempat lain. Pemindahan beban pencemar ini berpotensi menimbulkan dampak sosial di tempat yang lain.
Pada umumnya sistem POS di Cirebon dilakukan oleh pemilik showroom batik. Namun beberapa IKM batik Trusmi juga melakukan POS pada proses pembatikan yaitu dengan membiarkan proses pembatikan dibawa pulang oleh pekerja. Dengan cara ini, IKM akan diuntungkan karena tidak terpapar oleh limbah ceceran lilin dan asap dari proses pembatikan. Menurut Hunga (2014), POS dapat menimbulkan dampak sosial negatif untuk pekerja, dimana pekerja hanya dibayar secara borongan dengan upah yang minim namun tetap harus menanggung resiko kerja yang sama.
Berdasarkan data dari 100 IKM yang mengikuti program CBI tahun 2011 terdapat 75,5 % tenaga kerja pembatikan yang dibayar secara borongan. Walaupun demikian, pekerjaan membatik bagi sebagian warga Desa Trusmi merupakan suatu kebanggaan. Hal ini dikarenakan dalam membuat batik, baik proses pembatikan khususnya tulis halus maupun pewarnaan dibutuhkan ketrampilan khusus yang tidak mudah untuk dikuasai. Bila dibandingkan dengan produk batik tulis yang dibuat di desa Ciwaringin, batik yang dibuat oleh IKM Desa Trusmi harganya lebih tinggi tiga sampai tujuh kali lipat. Hal ini dikarenakan tingkat kehalusan (detail motif) produk IKM batik Trusmi relatif lebih tinggi. Namun terdapat juga IKM batik Trusmi yang memproduksi batik dengan tingkat kehalusan sedang atau kasar.
Berdasarkan pengakuan (Burhanuddin 1 November 2014, komunikasi pribadi) ongkos kerja yang diterima oleh IKM perlembar kain batik yang dikerjakan adalah Rp 120.000 (kain disediakan oleh pemesan). Biaya tersebut harus diatur sedemikian rupa untuk membeli lilin, membayar tenaga kerja pembatikan, zat pewarna, dan bahan bakar untuk produksi. Terkadang pengerajin tidak mengalokasikan biaya untuk depresiasi alat maupun tenaganya sendiri. Sehingga dengan minimnya keuntungan yang didapat mengakibatkan pengelolaan limbah tidak lagi menjadi prioritas.
Sebagai bagian dari karya seni, proses pembuatan produk batik menuntut kreatifitas dari para pengerajinnya. Kreatifitas ini dituangkan dalam desain dan komposisi warna pada kain batik. Walaupun motif tradisional Trusmi telah ada sejak dulu, namun kreasi dari para pengerajin dalam mengembangkan motif terus berjalan. Namun sayangnya, kurangnya kesadaran akan hak cipta membuat persaingan dalam hal kreasi desain batik menjadi tidak sehat. Desain batik yang dibuat oleh seorang pengerajin batik Trusmi hingga kini belum memiliki perlindungan hak cipta. Terkadang untuk mendapatkan desain motif, pengerajin dapat membeli gambar dengan harga yang sangat murah ataupun meniru motif batik yang diproduksi oleh IKM lain. Selain itu, terkait dengan merek dagang, beberapa IKM yang memiliki akses pasar dapat membuat merek dagangnya sendiri, namun sebagian besar IKM menyerahkan pelabelan produknya kepada pemesan dalam hal ini butik. Hal ini membuat keberadaan IKM sulit untuk diketahui secara luas.
Kondisi Produksi
Berdasarkan keterangan yang didapat dari Balai Besar Kerajinan Batik Yogyakarta, pewarnaan batik di Indonesia termasuk di Cirebon pada awalnya menggunakan pewarna alami yang berasal dari tumbuh tumbuhan seperti pohon
25 mengkudu untuk warna merah mahoni untuk warna coklat dan tarum (Iindigofera) untuk warna biru. Menurut Clean Batik Initiative (2011) pewarnaan dengan menggunakan bahan dari alam ini relatif lebih ramah lingkungan karena limbah cairnya mudah terdegradasi secara alami. Namun sayangnya pewarnaan dengan menggunakan bahan alami pada batik ini hampir tidak pernah lagi dipergunakan, hal ini dikarenakan proses pewarnaan menggunakan bahan alami lebih rumit, lama, dan cepat luntur. Semenjak diperkenalkannya zat warna sintetis oleh pedagang dari Eropa, pemakaian zat warna alam semakin ditinggalkan.
Ketergantungan IKM akan zat warna sintetis ini membuat beban pencemaran dari limbah cair sisa proses produksi batik menjadi meningkat. Namun kondisi ini telah dianggap biasa oleh masyarakat di sekitar tempat produksi. Pada umumnya masyarakat tersebut telah memaklumi bahwa desa Trusmi memang merupakan desa tempat pembuatan batik, sehingga selokan yang berwarna merupakan konsekuensi yang harus dihadapi. Untuk memahami bagaimana IKM batik Trusmi memproduksi batik, maka rangkaian proses produksi digambarkan sebagai berikut:
Setelah menentukan jumlah dan jenis batik yang akan dibuat, maka umumnya pemilik IKM batik memulai dengan memperhitungkan kebutuhan bahan baku yang diperlukan untuk membuat batik. Resep obat (zat warna dan bahan kimia pendukung) serta kain mori dan lilin dibeli di pengecer sesuai perhitungan dari pemilik. Bahan baku batik di Trusmi didatangkan dari Pekalongan oleh pengecer yang umumnya juga IKM batik dengan kapasitas produksi yang cukup besar. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan salah satu pemilik toko pengecer bahan baku batik yang ada di Trusmi, pembelian bahan kimia dan zat warna batik hanya dilakukan seperti perdagangan pada umumnya dan tidak pernah disertai dengan keterangan terkait aspek keselamatan maupun resiko bahan kimia (MSDS). Pengetahuan pengecer terkait dengan bahan yang dijualnya hanya didasarkan pada pengalaman saja.
Setelah itu bahan baku kain mori dan lilin yang telah dibeli oleh pemilik IKM kemudian didistribusikan kepada pekerja di proses pembatikan (baik batik tulis maupun batik cap). Proses pembatikan dapat dilakukan didalam IKM maupun di sub-kontrakkan ke pekerja untuk dikerjakan di rumah pekerja dengan sistem borongan. Pembatikan di Klaster Trusmi dikenal dengan kualitas pembuatan batik dengan latar belakang putih. Sehingga malam batik yang digunakan untuk proses pembatikan cukup bayak dan ditampung dalam wadah yang cukup besar di atas kompor minyak tanah. Proses pembatikan ini berlangsung antara satu hari (batik cap / tulis kasar) hingga waktu beberapa bulan (batik halus). Hasil dari proses pembatikan sering disebut kain batikan.
Kain batikan yang sudah selesai, kemudian diwarnai dengan cara dicolet atau dicelup. Umumnya warna coletan dilakukan menggunakan pasta zat warna dengan bantuan kuas, kemudian setelah kering ditutup dengan malam. Setelah ditutup baru kain batikan diwarna dengan cara dicelup. Proses ini bisa berlangsung sebaliknya (celup dulu baru colet) tergantung warna yang diinginkan. Proses penutupan dimaksudkan untuk mempertahankan warna yang telah masuk dalam serat kain, sehingga bila dilakukan pencelupan menggunakan warna lain, warna yang telah ditutup malam tidak akan berubah. Untuk mendapatkan banyak warna dalam satu kain batik, proses pewarnaan dan pembatikan (penutupan) dapat dilakukan secara berulang.
26
Di Trusmi, proses pencelupan dapat dilakukan dengan menggunakan dua macam alat, yaitu bak celup (terbuat dari kayu yang dilapisi terpal) dan juga kenceng (terbuat dari logam berbentuk seperti wajan besar). Perbedaan penggunaan alat ini hanya dikarenakan ketersediaan ruang yang ada di tempat kerja IKM dan tidak berpengaruh pada kualitas pewarnaan, Setiap kali selesai melakukan pencelupan warna, selalu diikuti dengan proses fiksasi dan dilakukan secara berulang (2-3 kali) dimana setiap kali diantara kedua proses tersebut, kain umumnya ditiriskan terlebih dahulu.
Pada proses pencelupan, para pekerja pada umumnya tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) berupa sarung tangan, celemek, maupun masker. Hal ini dikarenakan para pekerja tidak terbiasa dan merasa terganggu oleh sarung tangan ketika melakukan proses pencelupan. Walaupun pekerja telah mendapatkan sosialisasi dari salah satu program pembinaan baik yang dilakukan oleh Disperindag maupun dari Lembaga Swadaya Masyarakat seperti Clean batik Initiative, namun berkaca pada kondisi kesehatan para pembatik senior yang telah melakukan pencelupan sejak dulu mereka menganggap bahaya bahan kimia yang disosialisasikan tidak nyata. Pekerjaan sebagai pembatik merupakan kebanggaan bagi sebagian warga Trusmi (Suyatno E 17 September 2014, komunikasi pribadi). Bukti zat warna yang menempel pada tangan terkadang sengaja dipamerkan untuk menunjukkan bahwa orang tersebut merupakan pengerajin batik.
Proses pewarnaan umumnya tidak dilakukan setiap hari, kecuali oleh IKM dengan kapasitas yang besar. Proses pewarnaan dilakukan umumnya dua kali seminggu, menunggu kain batikan terkumpul cukup banyak. Pada proses pewarnaan, zat warna ditimbang sesuai dengan kebutuhan kain batik yang akan diwarnai. Proses pencelupan warna untuk setiap lembar kain batikan dilakukan antara 1 - 3 menit. Pewarnaan kain batikan dilakukan dengan prinsip warna tumpangan, yaitu menghasilkan warna berdasarkan gabungan warna. Karena umumnya, batik yang diproduksi oleh IKM adalah pesanan, maka resep sedapat mungkin diingat terkadang ada pula yang mencatat. Walaupun demikian, akan sangat sulit untuk mendapatkan warna yang sama pada batch yang berbeda. Karena intensitas warna sangat ditentukan oleh kualitas zat warna, cara mencelup, bahkan untuk warna Indigosol tergantung dengan cuaca.
Pada umumnya setelah kain selesai diwarnai, sebelum kembali ke proses pembatikan atau dilanjutkan ke proses pelorodan, kain dibilas menggunakan air bersih didalam ember atau bak pencucian. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan sisa zat warna yang tidak masuk ke dalam serat kain. Seperti pada sisa larutan pewarna, air sisa proses pencucian ini biasanya langsung dibuang ke lingkungan.
Di proses pelorodan, pelepasan lilin batik pada umumnya dilakukan menggunakan dua drum berisi air panas yang ditambahkan soda abu. Banyaknya penambahan soda abu sangat tergantung pada banyaknya kain batik yang akan dilorod. Terdapat pula IKM yang melakukan pelorodan panas dan dingin, yaitu setelah merebus kain batik dalam larutan soda abu, kain batik dicuci menggunakan natrium silikat atau kanji. Hal ini biasa dilakukan untuk batik yang diproduksi dengan menggunakan kualitas lilin yang jelek, sehingga sulit lepas.
Proses pelorodan memakan waktu sekitar dua jam (tergantung jumlah air dan jumlah kain batikan warna yang akan dilorod). Proses paling lama adalah ketika memanaskan air yang cukup banyak dalam drum pelorodan. Pada umumnya air bekas pelorodan dapat dipakai dua kali, dengan penambahan air
27 setiap kali air pelorodan berkurang hingga setengahnya. Umumnya produktivitas air IKM ditentukan oleh proses ini, karena untuk IKM batik tulis halus, walaupun hanya memproduksi satu potong kain batik tetap dilorod dengan menggunakan air sesuai dengan kapasitas drum pelorodan serta air yang digunakan untuk melorod selalu baru.
Setelah kain batik yang telah diwarnai selesai dilorod, maka proses akhir adalah pencucian. Pada proses ini, kain yang sudah dilorod dibilas dengan air bersih yang cukup banyak untuk menghilangkan sisa lilin. Proses pencucian ini memakan waktu sekitar 3-5 menit untuk setiap lembar kain batik, kemudian setelah itu air cucian dibuang langsung ke lingkungan. Setelah dicuci, kain batik di jemur dan dihaluskan dengan cara disetrika kemudian siap dijual.
Dukungan Kelembagaan
Sebagai bagian dari sektor unggulan yang ada di Kabupaten Cirebon, pembinaan IKM merupakan tugas dari Pemerintah Kabupaten Cirebon. Instansi Pembina terdapat di SKPD Disperindagkop dan terkait masalah pencegahan pencemaran ditangani oleh BLH Kab Cirebon. Namun permasalahan pembinaan IKM Batik Trusmi khususnya dalam pengelolaan limbah batik bukanlah perkara yang mudah.
Disahkannya undang undang nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menganut azas polluter pay principal tidak serta merta menurunkan beban pencemar yang dibuang ke lingkungan. Penerapan dari undang-undang ini dirasakan sulit bila bersinggungan dengan sektor IKM termasuk IKM batik. Dengan alasan keterbatasan ekonomi, sarana dan prasarana, IKM batik sulit sekali untuk diajak berpartisipasi dalam mengelola limbah cair sisa produksinya. Pada tahun 2007, Dinas Lingkungan Hidup telah membuat kajian dampak pencemaran limbah batik sebagai upaya persiapan pembuatan IPAL komunal, dan dilanjutkan dengan pembuatan naskah detail engineering design (DED) pada tahun 2012, namun permasalahan sosial terkait lahan selalu menjadi kendala.
Adapun badan hukum yang mengikat para pengusaha IKM ini adalah koperasi batik dan Asosiasi Pengerajin dan Pengusaha Batik. Kedua badan hukum ini umumnya hanya berperan sebagai wadah pengerajin dalam melakukan pemasaran seperti pameran maupun mendapatkan bantuan baik pelatihan maupun alat-alat produksi. Pada tahun 2011-2012, IKM batik Trusmi telah mendapatkan pelatihan pewarnaan menggunakan bahan alam dari program Clean Batik Initiative yang diklaim lebih ramah lingkungan bila dibandingkan dengan zat warna sintetis. Namun dari 100 IKM yang menerima pelatihan, saat ini tinggal satu IKM yang benar-benar beralih menggunakan warna alam dengan meninggalkan pewarna sintetis, serta 17 IKM yang memproduksi warna alam berdasarkan pesanan.
Analisis Beban Pencemaran
Limbah cair yang dikeluarkan oleh IKM batik pada umumnya dibuang dan langsung masuk ke dalam badan air tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu. Bahkan di beberapa sentra, IKM batik melakukan pencucian langsung di badan sungai atau empang dan mengakibatkan warna sungai berubah-ubah seiring
28
dengan zat warna yang digunakan oleh IKM dalam memproduksi batik. Sebagai pendekatan untuk mengkaji beban pencemaran yang ditimbulkan oleh kegiatan sektor ini, maka dilakukan analisis faktor beban pencemar serta estimasi total beban pencemar dengan hasil sebagai berikut.
Analsis Faktor Beban Pencemar
Analisis faktor beban pencemar merupakan salah satu pendekatan yang dilakukan untuk mengetahui nilai konstanta yang dapat dipakai untuk mengetahui besarnya beban per unit produk. Dengan mengetahui nilai faktor beban pencemar dari limbah cair untuk parameter BOD5, COD, dan TSS diharapkan dapat membantu pembuat kebijakan untuk mengestimasi total beban pencemar secara cepat hanya dengan merujuk pada data total kapasitas produksi IKM batik.
Dalam sektor batik unit yang umum digunakan oleh pengerajin batik tradisional Trusmi adalah satuan potong, hal ini disebabkan oleh panjang kain batik yang diproduksi berbeda-beda ukurannya. Namun menurut Susanto (1973) luas kain merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sedikit banyaknya zat warna yang terserap, sehingga apabila satuan potong digunakan sebagai unit perhitungan faktor beban pencemar maka konsentrasi zat warna dalam limbah cair per potong kain menjadi tidak terkendali dan dapat menimbulkan bias. Oleh karena itu penentuan faktor beban pencemar pada penelitian ini ditetapkan dalam satuan gram/meter kain dengan asumsi lebar kain dianggap sama (110 cm).
Tahapan awal dalam melakukan analisis beban pencemar adalah dengan meminta 12 IKM batik yang dipilih secara acak untuk memproduksi kain batik masing- masing sebanyak 3 potong (warna merah, biru, dan hitam) dengan panjang 2 meter. Pada proses pembuatannya, IKM diminta melakukannya sesuai dengan kebiasaan yang dilakukan, kecuali untuk bahan baku produksi semua disiapkan oleh penulis (Gambar 13).
29
Setelah proses produksi dengan empat macam perlakuan, saat pengambilan contoh, sampel limbah cair dikondisikian sesuai dengan persyaratan parameter yang akan diuji (Gambar 14) dan menghasilkan produk batik dengan 4 kelompok perlakuan (Gambar 15).
Setelah dianalisis di laboratorium (Tabel 5) terdapat variasi yang cukup besar walaupun pada perlakuan yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa, tiap IKM memiliki kebiasaan cara kerja yang berbeda-beda termasuk dalam jumlah pengulangan celupan hingga perbedaan waktu pencelupan.
Gambar 15 Hasil produksi batik dengan variabel jenis kain dan jenis zat warna
(a) (b) (c)
Gambar 14 Contoh limbah cair IKM batik (a) sisa zat warna (b)homogenisasi (c) pengawetan contoh
30
Terdapat IKM yang memiliki kebiasaan melakukan proses pewarnaan dengan cara merendam kain cukup lama serta melakukan proses pencelupan berulang kali ada yang sebentar dan hanya satu kali pencelupan. Menurut Susanto (1973), proses penyerapan zat warna pada kain dapat dipengaruhi oleh cara pengadukan atau gerakan pada proses pencelupan. Selain itu konsentrasi limbah juga dipengaruhi oleh volume air yang ditambahkan pada tiap-tiap proses (Tabel 6).
Tabel 6 Data volume limbah cair pada tiap proses pembuatan batik
Kode IKM a) Volume (L)
Pewarnaan Pelorodan Pencucian
1 34.8 18.0 53.4 2 36.0 25.1 161 3 27.0 29.0 28.0 4 16.0 28.0 56.0 5 25.2 45.0 38.6 6 24.0 15.6 27.6 7 16.8 30.0 27.0 8 48.9 33.4 46.7 9 28.8 61.6 66.5 10 20.0 20.0 62.5 11 26.1 73.9 29.0 12 21.0 20.0 47.0
a) IKM 1-3 (Katun Naphtol), IKM 4-6 (Katun Indigosol), IKM 7-9 (Sutra Naphtol), IKM 10-12 (Sutra Indigosol).
Tabel 5 Hasil analisis limbah cair IKM batik KODE
IKMa) Pewarnaan (mg/L) Pelorodan (mg/L) Pencucian (mg/L)
BOD5 COD TSS BOD5 COD TSS BOD5 COD TSS
1 1823.92 26448.00 928 1434.32 3757.44 816 22.31 820.07 76 2 2390.40 19152.00 800 2629.42 30096.60 580 478.24 996.00 64 3 956.28 19152.00 168 434.02 2814.00 160 418.48 2247.84 632 4 478.24 14212.61 408 388.61 1890.00 44.0 59.95 2247.84 12 5 269.10 1638.00 224 657.51 4410.00 460 141.82 924.00 172 6 336.62 1155.84 532 3528.14 22267.39 2040 119.71 1364.16 380 7 2987.00 60556.80 2540 717.26 33561.60 360 119.71 16853.76 52 8 418.48 2142.00 532 4063.55 12287.52 4176 134.65 1134.00 152 9 239.22 13132.00 2068 3736.09 33780.48 250 59.95 903.00 108 10 149.59 1302.00 300 1912.36 3612.00 836 2091.63 17328.00 20 11 388.61 2919.84 132 3226.97 8375.81 1270 82.06 1112.52 24 12 171.70 1344.00 480 3198.29 21888.00 1760 836.77 1585.92 208
a) IKM 1-3 (Katun Naphtol), IKM 4-6 (Katun Indigosol), IKM 7-9 (Sutra Naphtol), IKM 10-12 (Sutra Indigosol). (sertifikat analisis dapat dilihat pada Lampiran 1)
31 Perbandingan pengaruh perlakuan dapat dihitung setelah data konsentrasi diubah menjadi data beban pencemar. Dengan mempergunakan persamaan (1) pada bagian metode analisis, maka didapatkan beban untuk tiap produk seperti pada (Tabel 7).
Hasil perhitungan beban pencemar untuk keseluruhan proses berdasarkan hasil analisis kualitas limbah cair dan volume limbah disetiap proses adalah berupa rata-rata dan standar deviasi (Tabel 8).
Nilai rata-rata faktor beban pencemar limbah cair batik (Tabel 8) merupakan nilai umum yang dapat digunakan untuk mengestimasi secara kasar total beban pencemaran dari limbah cair IKM batik tanpa memperhitungkan proporsi jenis kain dan jenis zat warna yang digunakan. Untuk memastikan bahwa data faktor beban pencemar tersebut dapat digunakan untuk perhitungan beban pencemar maka dilakukan uji validasi terhadap data tersebut. Profil contoh limbah cair