BEBAN PENCEMARAN LIMBAH CAIR INDUSTRI
KECIL MENENGAH (IKM) BATIK DI KLASTER TRUSMI
KABUPATEN CIREBON
ADI SULAKSONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI
TESIS
DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
1Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Fungsi Biaya dalam Beban Pencemaran Limbah Cair Industri Kecil Menengah (IKM) Batik di Klaster Trusmi Kabupaten Cirebon adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015 Adi Sulaksono NIM P052137594
RINGKASAN
ADI SULAKSONO. Beban Pencemaran Limbah Cair Industri Kecil Menengah (IKM) Batik di Klaster Trusmi Kabupaten Cirebon. Dibimbing oleh HEFNI EFFENDI dan BUDI KURNIAWAN.
Tumbuhnya jumlah IKM batik di Indonesia dimulai sejak UNESCO menetapkan batik sebagai warisan budaya dunia asal Indonesia sejak 2009. Sayangnya keadaan ini juga memberikan dampak negatif terkait dengan pencemaran lingkungan. Dalam rangka upaya pengendalian pencemaran air dari sektor IKM, perlu dilakukan inventarisasi besarnya beban pencemar termasuk dari sektor batik. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung total beban pencemar limbah cair yang dikeluarkan oleh klaster Trusmi Kabupaten Cirebon dengan cara menentukan faktor beban pencemar per unit produk untuk parameter kunci limbah cair untuk industri tekstil yaitu BOD5, COD dan TSS.
Dengan mempertimbangkan jenis zat warna yang biasa digunakan di Cirebon (golongan Naphtol, dan golongan Indigosol) dan juga jenis kain (katun dan sutra), faktor beban pencemar dihitung berdasarkan kualitas dan kuantitas limbah cair yang dikeluarkan di setiap tahapan proses produksi batik (pewarnaan, pelorodan dan pencucian). Limbah cair yang diambil mewakili produksi 2 meter kain batik dengan tiga warna (merah, hitam, dan biru), yang mana resep pewarnaannya ditentukan berdasarkan konsensus terhadap kebiasaan yang paling umum dilakukan oleh pengerajin yang ada di klaster Trusmi. Nilai beban pencemar dihitung dengan cara mengalikan konsentrasi dengan volume limbah di setiap proses kemudian dibagi dengan panjang kain yang diproduksi.
Dengan melakukan rancangan percobaan dua faktor dengan tiga kali pengulangan kemudian dilanjutkan dengan analisis ANOVA dua arah pada selang kepercayaan 90%, maka dapat diketahui faktor beban pencemar untuk parameter BOD5 dan TSS dipengaruhi oleh variabel jenis kain, sedangkan untuk parameter COD dipengaruhi oleh variabel jenis zat warna. Sedangkan nilai faktor beban pencemar untuk parameter BOD5 adalah 41,6 ± 37,5 g/m untuk kain katun dan
84,0 ± 35,1 g/m untuk kain sutra; nilai faktor beban pencemar untuk parameter TSS adalah19,0 ± 9,29 g/m untuk katun dan 40,5 ± 25,8 g/m untuk kain sutra; dan faktor beban pencemar untuk parameter COD adalah sebesar 739 ± 436 g/m untuk zat warna Naphtol dan 295 ± 164 g/m untuk zat warna Indigosol. Dengan mengalikan nilai faktor beban pencemar dan total kapasitas produksi batik di klaster Trusmi, maka diketahui bahwa total nilai beban pencemar limbah cair terhitung sebesar 5,9-39,5 ton/tahun untuk BOD5, 112-426 ton/tahun untuk COD,
dan 4,88-16,3 ton/tahun untuk TSS.
SUMMARY
ADI SULAKSONO. Wastewater Pollution Load from Batik Small Medium Enterprises (SMEs) In Trusmi Cluster, Cirebon District. Supervised by HEFNI EFFENDI and BUDI KURNIAWAN.
Growing number of Batik SMEs in Indonesia is started since UNESCO announced batik as world heritage in 2009. However, this condition lead to some negative impact including water pollution. In order to enhance wastewater pollution prevention management from batik SMEs, yet pollution load inventory data is needed. This research aimed to estimate total wastewater pollution load generated from Trusmi cluster at Cirebon district by calculating pollution load factor per unit product of some key parameters such as BOD5, COD, and TSS.
Considering the type of dyestuff (Naphtol and Indigosol) and also type of fabric (Cotton and Silk), pollution load factor can be calculated based on the quantity and quality of all batik production processes (coloring, wax removal, and rinsing). The collected wastewater represent two meter of batik product that have three colors (red, black and blue). The coloring recipes of each color decided trough consensus of batik producers which represent the most common recipes used by Trusmi clusters SMEs. The value of wastewater pollution load calculated by multiplying wastewater concentration with the volume in each processes, and then divided by the long of the fabric that produced.
By using experimental design with two variables and three time repetition, and followed by two ways ANOVA with 90% confidential level, it can be known that the variable that affect the value of BOD5 and TSS pollution load parameters
is type of fabric, and COD pollution load value affected by the type of dyestuff variable. Therefore the values of wastewater pollution load factors for BOD5
parameter is 41,6 ± 37,5 g/m for cotton material and 84,0 ± 35,1 g/m for silk material; the value of wastewater pollution load factors for TSS parameter is 19,0 ± 9,29 g/m for cotton material and 40,5 ± 25,8 g/m for silk material; the pollution load factors for COD parameter is 739 ± 436 g/m for Naphtol dyestuff and 295 ± 164 g/m Indigosol dyestuff. By multiplying these pollution load factor with the overall capacity of batik production in Trusmi Cluster, it can be estimated that the total wastewater pollution load from batik production in Trusmi Cluster are 5,9-39,5 ton/year for BOD5 parameter, 112-426 ton/year for COD parameter, and
4,88-16,3 ton/year for TSS parameter.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
KAJIAN BEBAN PENCEMARAN LIMBAH CAIR
INDUSTRI KECIL MENENGAH (IKM) BATIK DI KLASTER
TRUSMI KABUPATEN CIREBON
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2015
Judul Tesis : Beban Pencemaran Limbah Cair Industri Kecil Menengah (IKM) Batik Klaster Trusmi Kabupaten Cirebon
Nama : Adi Sulaksono NIM : P052137594
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Hefni Effendi, MPhil
Ketua Dr Ir Budi Kurniawan, MEng Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2014 ini ialah beban pencemaran limbah cair, dengan judul Kajian Beban Pencemaran Limbah Cair Industri Kecil Menengah (IKM) Batik Klaster Trusmi Kabupaten Cirebon.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Hefni Effendi MPhil dan Bapak Dr Ir Budi Kurniawan MEng selaku pembimbing, serta Bapak Sulaeman, Bapak Djambrung dan Bapak Nuraidi yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Erona dan Bapak Sumiskad dari Klaster Trumsi, Ibu Ari dari BLH Kabupaten Cirebon, Bapak Dani Hendratno dari Disperindag Kab Cirebon serta Reza Mulyawan beserta staf Laboratorium Uji AKA Bogor yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayahanda Alm. Soedijono bin Martosentono dan Ibunda tercinta Nunuk Regowati, Istri tersayang Ely Rahmy Tapriziah, Anak-anak Eldi Ahsan Alamgir, Adly Shabran Al Klalifi, Dide Baik Mikail, seluruh keluarga serta sahabat atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xiii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 3
Ruang Lingkup Penelitian 3
TINJAUAN PUSTAKA 3
Batik 3
Zat Warna Batik 7
Kain Batik 12
Pencemaran Air 13
Klaster Industri Kecil Menengah 15
METODE 17
Waktu dan Tempat 17
Bahan dan Alat 17
Prosedur Analisis Data 17
HASIL DAN PEMBAHASAN 21
Analisis profil produksi 21
Analisis Beban Pencemaran 27
Sintesis 42
SIMPULAN DAN SARAN 48
Kesimpulan 48
Saran 49
DAFTAR PUSTAKA 50
LAMPIRAN 54
DAFTAR TABEL
1 Baku mutu limbah cair industri tekstila) 15
2 Kriteria usaha mikro, kecil, dan menengah 16
3 Jenis zat warna yang digunakan dalam proses pewarnaan batika) 19
4 Metode analisis kualitas limbah cair 20
5 Hasil analisis limbah cair IKM batik 30
6 Data volume limbah cair pada tiap proses pembuatan batik 30 7 Nilai beban pencemar limbah cair IKM batik dalam (g/m) 31 8 Rata-rata nilai faktor beban pencemar untuk 3 parameter untuk
keseluruhan proses dalam gram/meter 31
9 Profil contoh limbah cair untuk validasi 32
10 Nilai faktor beban pencemar contoh validasi 32
11 Faktor beban pencemar limbah cair IKM batik Trusmi untuk
parameter BOD5, COD, dan TSS (g/m) 35
12 Estimasi total beban pencemar limbah cair ikm batik Trusmi 36 13 Kisaran beban pencemar yang dikeluarkan tiap ikm batik per tahun 36
14 Berat jenis kain batik 36
15 Nilai beban pencemar per ton produk untuk parameter BOD5, COD,
dan TSS 37
3 Proses pewarnaan (a) pencelupan (b) penirisan zat warna 6
4 Proses pelorodan 6
5 Proses Pencucian 7
6 Struktur zat warna Naphtol AS-BO 9
7 Reaksi pewarnaan Naphtol dalam serat katun (Susanto, 1973) 10
8 Struktur Indigosol 11
9 Reaksi pewarnaan Indigosol 11
10 Struktur kimia dari serat selulosa 12
11 Skema hubungan zat warna dan serat pada kain katun 12 12 Motif batik cirebon (a) Mega mendung (b) Paksi naga liman (c) Singa
barong (d) Ayam alas (e) Taman arum sunyaragi (f) Supit urang (g)
Piring aji (h) Wadasan 22
13 Bahan untuk pembuatan sampel produk batik 28
14 Contoh limbah cair IKM batik (a) sisa zat warna (b)homogenisasi
(c) pengawetan contoh 29
15 Hasil produksi batik dengan variabel jenis kain dan jenis zat warna 29 16 Grafik rata-ratafaktor beban pencemar parameter BOD5 (g/m) untuk
setiap tahapan proses, (KN) Katun Naphtol, (KI) Katun Indigosol,
17 Grafik rata-ratafaktor beban pencemar parameter COD (g/m) untuk setiap tahapan proses, (KN) Katun Naphtol, (KI) Katun Indigosol,
(SN) Sutra Naphtol, (SI) Sutra Indigosol 34
18 Grafik faktor beban pencemar parameter TSS (g/m) per tahapan proses, (KN) Katun Naphtol, (KI) Katun Indigosol, (SN) Sutra
Naphtol, (SI) Sutra Indigosol 35
19 Sebaran beban pencemar limbah cair IKM batik Trusmi 38 20 Pekerja yang terpapar bahan kimia pada proses pewarnaan 39 21 Saluran pembuangan air yang tercemar limbah batik 41 22 Aplikasi kalkulator beban pencemaran limbah cair IKM batik 42 23 Pengendapan sisa zat warna Naphtol yang dicampur dengan Garam
Diazonium 44
24 Konsep rancangan bak pengendap sisa zat warna Naphtol 45 25 Tanaman Pristia stratioles untuk minimisasi beban pencemar limbah
cair IKM batik 46
DAFTAR LAMPIRAN
1 Sertifikat analisis kualitas limbah cair IKM batik parameter BOD 55 2 Hasil laboratorium kualitas limbah parameter BOD5 untuk uji
validasi 58
3 Analisis ANOVA dua arah terhadap nilai beban pencemaran total keseluruhan proses untuk parameter BOD COD dan TSS 60 4 Tabel atribut sebaran beban pencemaran limbah cair IKM batik
Klaster Trusmi 62
5 Hasil analisis kualitas limbah Naphtol parameter COD (dalam mg/L)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Setelah mendapatkan pengakuan dari UNESCO sebagai warisan dunia pada tahun 2009, industri batik di Indonesia makin berkembang pesat. Pada akhir tahun 2010 usaha Industri Kecil Menengah (IKM) pembatikan di Indonesia berjumlah 55.778 unit dengan total tenaga kerja yang terserap mencapai 916.783 orang (Jusri dan Idris 2012). Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian tahun 2010, Industri batik di Indonesia selama lima tahun terakhir memiliki nilai produksi rata-rata mencapai Rp 3,94 triliun dan nilai ekspor rata-rata mencapai US$ 65,58 juta.
Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cirebon, pada tahun 2013 terdapat 530 IKM batik yang menyerap 4.408 tenaga kerja. Sebagian besar pengerajin batik tradisional tersebut terdapat di Desa Trusmi Wetan dan Trusmi Kulon, sehingga daerah ini berkembang menjadi Obyek Wisata belanja Batik Trusmi.
Limbah cair dari industri tekstil memiliki dampak buruk terhadap lingkungan karena beberapa diantaranya bersifat tidak dapat diurai secara alami dan karsinogenik sehingga harus dikelola secara benar (Babu et al. 2007). Terlebih proses pewarnaan dengan teknik pencelupan seperti yang dilakukan di Cirebon lebih rendah produktivitas airnya dibandingkan dengan pewarnaan dengan teknik padding seperti yang dilakukan di Pekalongan (Sari et al. 2012). Buangan sisa zat warna merupakan pencemar yang dampaknya paling cepat terdeteksi secara kasat mata walaupun kadarnya dibawah 1 ppm (Pareira dan Alves 2012). Minimnya modal usaha, tekanan ekonomi pengerajin dan kesadaran lingkungan dari pemilik IKM batik yang telah beroperasi sejak lama membuat upaya pengolahan limbah cair belum menjadi prioritas.
Walaupun limbah cair dari IKM batik hanya dikeluarkan dari proses pewarnaan, pelepasan lilin (pelorodan), dan pencucian, namun variasi kualitas limbah cair yang dikeluarkan dari IKM batik sangat besar. Kondisi ini tentunya menyulitkan pembuat kebijakan untuk menetapkan besarnya faktor beban pencemar dari sektor ini (UGM 2013). Berdasarkan Chakraborty (2014) terdapat ribuan variasi warna yang dapat dihasilkan dari satu kelompok jenis zat warna Naphtol dan garam diazoniumnya saja, sedangkan pada proses pewarnaan di IKM batik terdapat 12 kelompok jenis zat warna. Selain dari sisa zat warna, limbah cair yang dikeluarkan oleh IKM batik juga mengandung bahan kimia pendukung proses produksi seperti NaOH, NaNO2, HCl, Na2CO3, dan Na2O3Si dengan
konsentrasi yang bervariasi tergantung warna batik yang ingin dihasilkan.
Langkah awal dalam strategi pencegahan pencemaran sumber daya air adalah dengan melakukan audit dan karakterisasi dari limbah cair yang berasal dari kegiatan industri (Rathore 2012). Informasi terkait dengan faktor beban pencemar per unit produk dapat digunakan untuk mengestimasi secara cepat total beban pencemaran yang ada di suatu daerah sehingga bermanfaat untuk memecahkan masalah pengendalian pencemaran dari sektor tertentu (Kung dan Yu 2000). Kajian tentang faktor beban pencemar limbah cair IKM batik perlu dilakukan dengan mempertimbangkan variabel produksi yang dapat memengaruhi
2
besaran beban pencemar (Correia et al. 1994). Besarnya beban pencemaran dari jenis industri tekstil sangat bervariasi dan tergantung dari jenis dan jumlah bahan kimia yang digunakan. Selain itu tiap jenis serat kain memiliki karakteristik daya serap yang berbeda terhadap zat warna (Susanto 1973).
Berdasarkan Peraturan Menteri LH No 1 Tahun 2010 tentang tata laksana pengendalian pencemaran air, tahapan awal dalam pengendalian pencemaran air adalah dengan melakukan inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar air. Dalam rangka inventarisasi terkait dengan beban pencemaran air dari sektor IKM batik yang merupakan salah satu sektor unggulan di Kabupaten Cirebon, kajian mengenai total beban pencemar limbah cair perlu dilakukan.
Perumusan Masalah
Pengendalian pencemaran limbah cair di IKM tidak mungkin dapat dilakukan dengan pendekatan yang sama seperti pada industri skala besar. Kesadaran lingkungan, keterbatasan finansial dan sebaran lokasi IKM merupakan beberapa faktor penghambat dalam upaya pengendalian limbah cair. Trusmi merupakan sentra batik tradisional yang terdapat di Kabupaten Cirebon. Dengan lokasinya yang relatif dekat dengan ibukota, klaster ini telah menjadi sentra wisata batik dan memiliki potensi pertumbuhan produksi serta pencemaran limbah cair yang tinggi. Selain permasalahan pencemaran, IKM batik Trusmi juga dihadapi dengan tantangan produk batik printing dari luar daerah serta fluktuasi harga bahan baku, sehingga permasalahan sosial ekonomi yang ada juga dapat mempengaruhi kapasitas produksi hingga kesadaran dalam mengelola lingkungan.
Pada umumnya proses pembuatan batik hampir sama dengan proses produksi di industri tekstil, namun pada IKM batik terdapat komponen lilin/malam sebagai zat perintang. Limbah cair yang muncul akibat proses produksi batik dihasilkan dari proses pewarnaan, pelorodan, dan pencucian. Variasi terkait dengan jumlah zat warna, jenis zat warna air, jenis kain, jumlah lilin, dan bahan kimia pendukung mengakibatkan konsentrasi maupun beban pencemaran dari limbah cair IKM batik menjadi sangat beragam. Hal ini tentu saja menyulitkan pemerintah dalam menghitung beban pencemaran yang terjadi dari sektor ini.
Permasalahan yang perlu dikaji adalah :
1. Bagaimana profil produktivitas dan pencemaran limbah cair IKM batik di Klaster Trusmi?
2. Berapa besar beban pencemar limbah cair yang dihasilkan oleh seluruh IKM batik di Klaster Trusmi?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini mencoba menghitung faktor beban pencemar per unit produk untuk parameter kunci limbah cair untuk industri tekstil yaitu BOD5, COD dan
3 kapasitas produksi yang berasal dari profil IKM batik klaster Trusmi maka estimasi dari total beban pencemar limbah cair dapat diketahui.
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis profil IKM batik di klaster Trusmi Kabupaten Cirebon.
2. Menganalisis faktor beban pencemar limbah cair IKM serta mengestimasi total beban pencemaran akibat limbah cair dari industri batik Klaster Trusmi.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat:
1. Sebagai dasar untuk pengambilan kebijakan terkait dengan pengendalian pencemaran dari sektor IKM.
2. Sebagai informasi kepada IKM batik terkait besarnya beban pencemaran yang disumbangkan serta alternatif pengelolaan limbah cair untuk kelestarian sumber daya air.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah mengkaji beban pencemaran limbah cair yang dihasilkan dari aktivitas produksi IKM batik yang masuk dalam klaster Trusmi Kabupaten Cirebon dengan menggunakan pendekatan simulasi rancangan percobaan terhadap contoh limbah cair yang diambil dari tiap proses produksi pada perwakilan IKM batik tulis dan cap.
TINJAUAN PUSTAKA
Batik
Menurut Jusri dan Idris (2012) secara terminologi, batik berasal dari kata “mba” (dari bahasa Jawa) artinya menulis dan “tik” (dari bahasa melayu) yang berarti tik-tik atau tetes, sehingga batik didefinisikan sebagai menulis titik-titik yang dibuat dengan menggunakan alat canting atau cap menggunakan malam/lilin sebagai bahan perintang warna di atas media kain. Pada tanggal 2 Oktober 2009, badan PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya (UNESCO) mengukuhkan batik sebagai warisan budaya dunia asli Indonesia. Oleh sebab itulah setiap tanggal 2 Oktober diperingati hari batik di Indonesia.
Menurut SNI No 41/st/74 dalam Nurdalia (2006), batik adalah bahan kain tekstil hasil pewarnaan menurut motif khas batik Indonesia yang pembuatannya menggunakan malam/lilin sebagai zat perintang. Perkembangan produk batik sangat dipengaruhi oleh selera konsumen dan perubahan waktu maupun model. Hingga saat ini teknik membatik tidak hanya diaplikasikan di media kain saja, namun juga di berbagai media lainnya seperti kayu dan kulit.
4
kerokan, batik lorodan, batik remukan, batik lukis, dan sebagainya (ProLH-GTZ, 2007).
Teknik membatik telah dikenal sejak rubuan tahun silam, sayangnya tidak ada yang mengetahui secara pasti tentang asal usul batik. Namun Menurut Nurainun et al. (2008) ada yang menduga teknik ini berasal dari Sumeria dan dikembangkan di Jawa setelah dibawa oleh pedagang India. Saat ini pembuatan batik terdapat di banyak negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Sri Langka, India bahkan hingga beberapa negara di Benua Afrika. Walaupun demikian batik yang paling terkenal di dunia adalah batik yang berasal dari Indonesia khususnya dari Jawa. Hal ini mungkin disebabkan oleh rumitnya proses pembuatan batik serta desainnya yang spesifik (Nurainun et al. 2008).
Proses Pembuatan Batik
Secara umum pembuatan batik dilakukan dengan beberapa tahapan proses. Dimulai dari proses persiapan, kemudian dilanjutkan dengan proses pembatikan, pewarnaan, pelorodan, dan diakhiri dengan proses pencucian (Gambar 1).
5
Penjelasan untuk tiap tahapan proses produksi batik adalah sebagai berikut: 1. Pembatikan
Pada proses ini kain yang telah diberi motif menggunakan pensil ditutup dengan malam atau lilin batik menggunakan alat yang disebut canting (Gambar 2). Canting dapat berupa cap (untuk menghasilkan batik cap) maupun canting tulis (untuk membuat batik tulis). Suhu lilin batik pada waktu dilekatkan berkisar antara 100 - 110 °C untuk batik tulis dan sekitar 150 °C untuk batik cap (Nurdalia, 2006). Bagian kain yang ditutup dengan malam tidak akan terwarnai pada saat proses pewarnaan.
Menurut Kudiya et al (2014) komposisi lilin yang digunakan untuk proses pembatikan terdiri dari mata kucing, gondorukem, mikro wax, parafin, kote, dadu, kendal. Komposisi komponen malam ini dibuat sedemikian rupa agar dapat sesuai dengan jenis batik yang ingin dibuat.
2. Pewarnaan
Proses pewarnaan adalah pemasukan zat pewarna ke dalam serat-serat kain, sehingga diperoleh warna-warna yang bersifat kuat. Pada umumnya proses pewarnaan melalui dua tahap, yaitu pewarnaan (memasukkan zat warna ke dalam serat kain) dan fiksasi (mengubah struktur zat warna sehingga terikat dengan serat kain). Zat fiksator yang digunakan sangat tergantung pada spektrum warna yang diinginkan jenis zat warna yang digunakan.
Pewarnaan pada pembatikan dilakukan secara pencelupan (Gambar 3). Celupan batik pada umumnya dilakukan sesuai dengan kondisi dan keadaan batik, yaitu:
 Dilakukan pada suhu dingin, agar lilin batik yang menempel tidak meleleh.
 Perbandingan air larutan kecil dan konsentrasinya dibuat tinggi, karena menggunakan alat celup sederhana.
(a) (b)
6
 Pencelupan dilakukan dalam waktu yang singkat, bila dikehendaki
warna yang lebih tua, maka proses pencelupan tetap dilakukan dengan waktu yang singkat namun dengan pengulangan yang lebih banyak.
3. Pelorodan
Proses pelepasan lilin dilakukan melalui dua cara yaitu melepas sebagian lilin (kerokan) dan seluruhnya (melorod). Kerokan yaitu melepas lilin dengan alat cawuk setelah kain batik direndam dalam air selama satu malam. Setelah dikerok kain batik disikat sambil dibasahi dengan larutan NaOH. Sedangkan pada proses melorod, kain batik dimasukkan ke dalam air mendidih yang ditambah tepung tapioka atau soda abu (Na2CO3).
Penambahan soda abu yang bersifat basa dimaksudkan untuk menimbulkan reaksi penyabunan pada lilin yang menempel, sehingga mudah terlepas dari kain. Pada umumnya proses pembuatan batik di Cirebon menggunakan teknik lorodan (Gambar 4) untuk melepaskan lilin.
(a) (b)
Gambar 3 Proses pewarnaan (a) pencelupan (b) penirisan zat warna
7
4. Pencucian
Merupakan salah satu proses pembuatan batik yang dilakukan untuk menghilangkan sisa zat warna yang tidak masuk pada serat kain dan juga sisa lilin yang menempel dari proses pelorodan. Proses pencucian (Gambar 5) umumnya dilakukan hanya menggunakan air bersih tanpa ditambah dengan detergen.
Pada proses pembuatan batik terdapat dua fasa proses pencucian, yaitu:
a. Pencucian setelah proses pewarnaan yang bertujuan untuk menghilangkan sisa zat warna yang tidak masuk ke dalam serat kain
b. Pencucian setelah proses pelorodan yang bertujuan untuk menghilangkan sisa lilin yang masih menempel pada kain.
Zat Warna Batik
Penggunaan zat warna pada batik sangat bervariasi. Bahkan hampir semua IKM selalu berupaya membuat batik dengan warna yang berbeda. Hal ini dilakukan agar batik yang diproduksi tidak dapat ditiru oleh IKM lain. Oleh sebab itu, terkadang resep pewarnaan dari suatu batik menjadi rahasia diantara sesama pengerajin. Tidak hanya perbedaan resep dalam menghasilkan suatu warna, jumlah dan kombinasi warna dari satu produk dapat berbeda dengan produk yang lain. Hal inilah yang menyebabkan beban pencemaran dari proses pewarnaan batik menjadi sulit diprediksi. (prinsip perbandingan konsentrasi zat warna) terhadap arah warna adalah: 1 g/L untuk warna muda, 2 g/L untuk warna sedang, dan 3 g/L untuk warna tua (Suleman 3 November 2014, melalui komunikasi pribadi).
Sejarah zat warna batik
Dahulu sebelum Indonesia dibanjiri dengan zat zat warna sintetis, para pengrajin batik di Indonesia menggunakan bahan alam (terutama tumbuhan) untuk proses pewarnaannya. Namun setelah zat warna sintetis ditemukan oleh William
8
Henry Perkin pada tahun 1856 (Parreira dan Alves 2012), penggunaan zat pewarna dari bahan alam untuk pembatikan mulai tergantikan. Penggunaan zat warna sintetis ini lebih disukai oleh pengrajin batik karena memiliki ketahanan luntur yang lebih baik dibandingkan dengan warna dari bahan alam. Sebagai contoh untuk warna biru yang awalnya menggunakan daun indigofera diganti dengan indigo sintetis yang dibuat dari anilin dan monochlor asetat, untuk warna kuning yang awalnya menggunakan kunir atau tegeran berubah menjadi auramin (suatu cat basis), dan untuk warna merah mengkudu diganti dengan Naphtol dan garam diazonium (Susanto 1973).
Penggunaan zat warna di Trusmi
Menurut Balai Besar Kerajinan dan Batik dalam Nurdalia (2006) zat warna berdasarkan sumbernya dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu zat warna alam dan zat warna sintetis. Menurut American Association of Textile Chemist and Colorists (1956) zat warna sintetis berdasarkan cara penggunaannya dapat dibagi kedalam beberapa golongan yang meliputi: zat warna asam, zat warna basa, zat warna, zat warna direk, zat warna mordan, zat warna bejana, zat warna azoic, zat warna reaktif, zat warna pigmen, zat warna sulfur dan zat warna dispersi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Clean Batik Initiative (CBI) pada tahun 2011, zat warna yang lazim dipergunakan pada IKM batik cap dan tulis di klaster Trusmi adalah zat warna Naphtol dari golongan azoic dan Indigosol dari golongan soluble vat dyes (bejana larut). Jenis pewarna ini didapatkan dari kota pekalongan melalui jalur pengecer skala kecil yang berada di Trusmi. Selain itu, pada umumnya IKM batik di Trusmi rata-rata memproduksi tiap lembar kain batik dengan 3 warna.
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan di Yogyakarta oleh UGM pada tahun 2013, konsentrasi limbah cair sisa proses pewarnaan untuk parameter BOD untuk zat warna biru tua dari jenis Naphtol lebih tinggi dibandingkan warna merah. Untuk zat warna Indigosol memiliki konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan dengan zat warna Naphtol (UGM 2013).
Tantangan dalam menentukan faktor beban pencemar dari produk batik terdapat pada variabel jumlah warna yang terdapat dalam produk batik. Semakin banyak jumlah warna dari kain batik mengakibatkan makin besar volume limbah cair sisa zat warna yang digunakan.
9
Zat Warna Naphtol
Menurut Susanto (1973) zat warna Naphtol ditemukan oleh Griesheim dari Jerman pada tahun 1911 dan mulai digunakan di Indonesia sekitar tahun 1930. Zat warna jenis ini banyak disukai oleh IKM batik maupun di kalangan pertekstilan karena mudah cara pemakaiannya dan memiliki ketahanan yang baik. Faktor-faktor yang menyebabkan zat warna Naphtol disukai oleh IKM batik adalah: Dapat dipakai untuk mencelup secara dingin walaupun menurut William (1934) pewarnaan menggunakan zat warna Naphtol paling baik dilakukan pada suhu 100
oC., ketahanan dalam proses pelorodan, warna yang dihasilkan sesuai yang
dikehendaki (warna soga, wedelan, merah mengkudu, dll), dan proses pewarnaanya tidak memakan waktu lama (Susanto 1973). Contoh struktur zat warna Naphtol dapat dilihat pada Gambar 6.
Pada aplikasi dalam pembatikan, Menurut Susanto (1973) zat warna Naphtol terdiri dari dua komponen. Komponen pertama disebut Azoic Kopling Component (Naphtol-AS) dan kedua adalah komponen Azoic Diazo Component (Garam Diazonium). Bila kedua komponen ini bertemu dalam bentuk larutan maka akan menghasilkan senyawa berwarna yang disebut warna Napthol. Menrurut Cristy (2001), senyawa Naphtol-AS merupakan senyawa yang tidak larut air, sehingga harus dirubah menjadi bentuk Naphtolat yang larut air dengan penambahan NaOH. Menurut Susanto (1973) senyawa Naptholat ini kemudian masuk ke dalam serat kain dan bersenyawa atau kopling dengan Garam Diazonium membentuk senyawa Naphtol yang berwarna. Reaksi pewarnaan serat katun dengan zat warna Naphtol dapat dilihat pada Gambar 7.
Warna Napthol adalah suatu senyawa yang tidak larut air sehingga memiliki ketahanan cuci yang baik. Di Cirebon, komponen Naphtol-AS yang dilarutkan dengan bantuan NaOH (Senyawa Naphtolat) dikenal sebagai obat 1, dan Garam diazo dikenal sebagai obat 2. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada tahun 2010 melalui program CBI, proses pewarnaan Napthol pada batik di Cirebon dilakukan secara celupan yang dilakukan dengan empat tahapan, yaitu:
10
1. Merendam kain dalam obat 1, dengan tujuan memasukan larutan Naphtolat ke dalam kain yang tidak tertutup lilin. Selama di rendam biasanya ada gerakan meratakan zat warna dengan cara diraba dengan tangan.
2. Mengatuskan kain, dengan tujuan memastikan larutan obat 1 yang tidak masuk dalam serat kain lepas dari kain.
3. Membangkitkan warna, dengan cara merendam kain yang telah dihatuskan kedalam obat 2. Karena reaksi pembangkitan warna berlangsung cepat maka volume dan konsentrasi unsur garam diazonium harus lebih besar dua sampai tiga kali lipat dari konsentrasi obat 1. 4. Pencucian dan membilasan, dilakukan dua kali yaitu setelah pencelupan
obat 2 dan setelah proses pelorodan.
Zat warna Indigosol
Sejatinya zat warna bejana tidak larut air, namun menurut Susanto (1973) Indigosol merupakan zat warna Bejana (vat dyes) yang telah dibuat bentuk leko ester sehingga dapat larut dalam air. Struktur zat warna Indigosol dapat dilihat pada Gambar 8.
11
Dalam kondisi larut air, zat warna Indigosol masuk ke dalam serat kain melalui proses pencelupan. Menurut Susanto (1973) Proses pembangkitan warna Indigosol terjadi di dalam serat kain melalui proses oksidasi dengan bantuan natrium nitrit (NaNO2) dan asam klorida (HCl), sehingga menjadi bentuk
berwarna dan tidak larut dalam air (Gambar 9).
Warna Indigosol banyak digunakan IKM untuk menghasilkan warna- warna muda dan lembut. Berdasarkan (Sumiskad 17 September 2014, komunikasi pribadi) di Trusmi warna Indigosol banyak dikombinasikan dengan zat warna Naphtol dalam satu kain untuk menghasilkan variasi terang gelap. Karena karakteristik warnanya yang muda, maka penggunaan warna Indigosol tidak dapat menghasilkan warna hitam seperti pada naftol. Menurut Susanto (1973) perbandingan zat warna Indigosol dan zat pengoksidasi yang digunakan untuk pencelupan menggunakan Indigosol adalah 1 : 2-3 bagian.
Menurut Susanto (1973) Proses pewarnaan Indigosol umumnya dilakukan dengan cara:
 Bubuk cat dipasta dengan sedikit air sampai rata basah.
 Dituangi air panas (50o – 60oC) secukupnya, diaduk hingga menjadi
larutan jernih. natrium nitrit dilarutkan, lalu dimasukkan (dicampur dengan larutan cat).
 Tambahkan air dingin yang diperlukan, dan kemudian celup kain kedalam larutan.
 Kain celupan diangkat dan diatuskan di atas bak (sebentar) dan dijemur pada sinar matahari dengan dibuka rata.
 Kain kemudian dibangkitkan warnanya dengan larutan asam klorida dalam keadaan dingin, kemudian dicuci dengan air bersih.
Gambar 8 Struktur Indigosol
12
Kain Batik
Sebagai bahan dasar pembuatan batik, kain putih yang siap masuk ke proses produksi batik sering disebut dengan mori. Menurut Susanto (1973) kata mori berasal dari salah satu jenis ulat sutra yaitu bombyx mori yang menghasilkan sutra putih dan halus. Dilihat dari bahan dasarnya, kain mori dapat berasal dari katun, sutra atau sutera tiruan.
Kain katun
Menurut Susanto (1973), serat katun atau selulosa terdiri dari polimer lurus dari glukosa, letak glukosa berselang-seling, dalam rendaman air mengembang cukup besar sehingga pori pori dapat dimasuki zat warna, memiliki banyak gugus OH, dimana O bersifat elektronegatif kuat dan H bersifat elektropositif lemah sehingga serat katun dalam rendaman air bermuatan negatif. Sebuah serat katun terdiri dari banyak sekali deretan selulosa (Gambar 10).
Mekanisme masuknya zat warna pada serat katun ditentukan oleh besarnya substansivitas zat warna. Substansivitas ini bergantung pada susunan molekul zat warna yang linier dan koplaner, ikatan rangkap terpanjang yang terkonjugasi, atom H dalam ikatan sisi (OH, NH2) dan berat molekul yang tinggi (Susanto
1973). Berdasarkan teori struktur katun dan struktur zat warna, maka hubungan katun- zat warna pada pewarnaan dapat dilihat pada Gambar 11.
Menurut Susanto (1973) proses pewarnaan pada bahan yang diwarna dianggap selesai dan sempurna bila tercapai keadaan keseimbangan, yaitu pada saat zat warna yang masuk ke dalam bahan yang diwarna mencapai titik maksimum. Terjadinya keseimbangan pada proses pewarnaan tergantung pada beberapa faktor, antara lain:
Gambar 10 Struktur kimia dari serat selulosa (Sumber : Fesenden 1999)
Gambar 11 Skema hubungan zat warna dan serat pada kain katun
13 1. Suhu larutan pencelupan
2. Pengadukan atau gerakan pada pencelupan 3. Keadaan bahan yang diwarna
4. Konsentrasi larutan celup 5. Afinitas dari zat warna
6. Elektrolit dalam larutan dan pH larutan celup.
Kain sutra
Sutra sebagai bahan batik sering juga disebut sutra mori, merupakan kain sutra yang digunakan untuk memproduksi batik. Menurut Susanto (1973) karakteristik serat sutra alam belum dapat ditiru oleh serat sintetis. Bila ditinjau dari proses pembuatan batik menggunakan kain sutra, maka ada tiga macam proses utama yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Penempelan lilin batik pada kain sutra
Lilin batik dalam keadaan panas dan cair dapat menempel pada kain sutra tanpa menyebabkan perubahan yang nyata pada kain. Hal ini tidak seperti serat protein yang lain seperti serat rambut bila terkena panas akan menjadi mengkerut.
2. Pewarnaan sutera secara proses batik
Secara prinsip hampir semua warna yang biasa dipakai dalam pembatikan, dapat digunakan untuk mewarnai sutra. Namun oleh karena pada saat proses penghilangan lilin pada kain sutra lebih sulit, maka sebaiknya untuk sudah dipakai warna warna yang memiliki ketahanan yang baik seperti Napthol dan Indigosol.
3. Masalah menghilangkan lilin pada batik
Pada kain sutra, lilin mempunyai tendensi melekat lebih kuat dibandingkan pada kain katun. Oleh sebab itu terdapat beberapa cara untuk menghilangkan lilin dari kain sutra, yaitu:
a) Cara pelepasan dengan air panas alkali. Cara ini dapat dipergunakan apabila lilin batik yang dipakai memiliki campuran khusus untuk mengurangi bahan pokok lilin yang mengakibatkan sukar lepas (seperti lilin bekas, mata kucing dan paraffin kasar). Dalam air lorodan ini ditambahkan soda abu sehingga error dan menjadi alkalis (pada pH tidak lebih dari 9.5 atau tidak lebih dari 0.1 %)
b) Cara melarutkan lilin. Cara ini memiliki resiko yang cukup besar, karena lilin pada kain batik dilarutkan dengan menggunakan pelarut organik (bensin).
c) Kombinasi antara pelepasan dan pelarutan. Cara ini merupakan kombinasi dari kedua cara sebelumnya, dimana pelarut organik ditambahkan kedalam larutan air panas pada proses pelepasan lilin untuk menghindari bahaya kebakaran.
Pencemaran Air
14
dengan peruntukannya”. Berdsarkan uraian definisi tersebut maka pengertian pencemaran air secara operasional mengandung tiga aspek pokok yaitu: (1) Aspek kejadian, dalam artiankejadiannya bisa disengaja atau tidak disengaja ; (2) Aspek penyebab, dimana dalam definisi pencemaran air terdapat kata oleh manusia; dan (3) Aspek akibat, dimana kata sehingga turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai peruntukannya, istilah tingkat tertentu mengandung makna terdapat batasan apakah suatu sumber air kualitasnya telah tercemar. Istilah tingkatan tertentu tersebut terkait dengan pengertian baku mutu.
Berdasarkan hasil kajian dampak lingkungan sentra Industri Batik Tradisional Kabupaten Cirebon yang dikeluarkan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Cirebon pada tahun 2007, kualitas air tanah di Kecamatan Plered masih berada di bawah baku mutu air bersih dari KepmenKes No 907/MENKES/SK/VII/2002. Hal ini menunjukkan air bersih yang digunakan oleh IKM batik, kualitasnya baik. Namun seiring dengan aktivitas kegiatan produksi batik yang dilakukan di Trusmi, maka pencemaran terhadap sumber daya air juga terus meningkat.
Beban Pencemar
Menurut Donald et al. (2013) beban (load) adalah berat suatu zat yang masuk melalui suatu titik tertentu ke dalam badan air. Semakin besar jumlah zat yang masuk ke dalam badan air, semakin besar pula bebannya. Zat yang dimaksud dapat berbentuk padat, cair maupun gas. Masuknya zat-zat ini tentu saja memengaruhi kesetimbangan yang ada di dalam badan air.
Berdasarkan PermenLH Nomor 01 Tahun 2010 Tentang Tata Laksana Pengendalian Pencemaran Air, yang dimaksud dengan Beban pencemaran air adalah “Jumlah suatu unsur pencemar yang terkandung dalam air atau air limbah". Berdasarkan definisi tersebut, maka informasi beban pencemaran oleh satu atau sekumpulan kegiatan aktivitas manusia dapat digunakan untuk memrediksi sejauh mana dan seberapa lama suatu sumber air dapat tetap memenuhi fungsinya.
Mekanisme penetapan daya tampung beban pencemar suatu sumber air (danau/sungai) telah diatur dalam permenLH Nomor 01 Tahun 2010, dimana sumber air yang melintas antar provinsi atau Negara harus menunjukkan besarnya kontribusi beban pencemar air dari masing-masing sumber pencemar air terhadap sumber air. Atas dasar pertimbangan bahwa karakteristik air limbah dari suatu kegiatan berbeda dengan kegiatan lainnya, maka baku mutu air limbah ditetapkan dengan memertimbangkan aspek karakteristik air limbah yang dihasilkan. Tidak semua parameter yang ada pada air limbah digunakan sebagai baku mutu air limbah. Hanya parameter-parameter pokok saja yang diatur dalam baku mutu air limbah.
Menghitung kontribusi sumber pencemar air tak tentu dalam rangka inventarisasi sumber pencemar air nasional sangatlah diperlukan untuk memperoleh gambaran total secara nasional. Beberapa kota yang memiliki industri kecil yang beroperasi di antara daerah pemukiman maka inventarisasi sumber pencemar air tak tentu membutuhkan pendekatan yang berbeda dengan sumber pencemar air tentu.
15 langsung dibuang ke saluran pembuangan tanpa diolah terlebih dahulu agar dapat diketahui strategi penanganan yang paling efektif dalam mengendalikan pencemaran. Untuk industri tekstil, parameter penentuan baku mutu ditetapkan berdasarkan KepmenLH No 51 tahun 1995 lampiran A IX (Tabel 1) tentang Baku Mutu Limbah Cair Industri Tekstil yang meliputi BOD5, COD, TSS, Fenol, Cr
total, Minyak Lemak, dan pH.
Namun pada kajian ini beban pencemar limbah cair IKM batik Trusmi dihitung hanya untuk tiga dari tujuh parameter yang dipersyaratkan dalam KepmenLH No 51 Tahun 1995 yaitu BOD5, COD, dan TSS yang menyatakan
bahwa ketiga parameter tersebut merupakan parameter kunci limbah batik yang kadarnya sering kali melampaui baku mutu yang ditetapkan pemerintah (Dinas Lingkungan Hidup Kab Cirebon, 2007). Berdasarkan Indriyani (2004) pengukuran parameter BOD5 dan COD sangat penting untuk mengetahui tingkat
biodegradativitas dari limbah cair, sedangkan parameter TSS diperlukan untuk mengetahui jumlah padatan baik yang terendapkan secara alami maupun tidak dapat diendapkan. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kab. Cirebon (2007) konsentrasi limbah cair untuk parameter Minyak-Lemak, Fenol, Cr total, pH pada umumnya berada di bawah nilai baku mutu yang ditetapkan. Hal ini dikarenakan Minyak-Lemak dan Fenol dari malam dari proses pelorodan pada umumnya di-recovery untuk digunakan kembali pada proses pembatikan. Untuk parameter Cr total, menurut Cristy (2001) pada zat warna jenis Naphtol dan Indigosol tidak mengandung logam Cr seperti jenis zat warna mordan yang digunakan dalam produk tekstil di industri besar. Sedangkan parameter pH hanya merupakan parameter indikator derajat keasaman limbah, dan tidak digunakan dalam perhitungan beban pencemaran.
Klaster Industri Kecil Menengah Klaster
Dalam beberapa kegiatan, klaster IKM sering juga disebut sebagai Sentra Industri, Sentra Produksi, Kawasan ataupun Lingkungan Industri Kecil. Berdasarkan KNLH (2009) definisi klaster IKM adalah “Sekelompok usaha yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi dengan komoditas yang sejenis, dalam
Tabel 1 Baku mutu limbah cair industri tekstila)
Parameter Kadar maksimum
(mg/L) Maksimum (kg/ton) Beban pencemaran
16
lokasi yang saling berdekatan dan terjadi suatu kerjasama. Kebersamaan dan kerjasama antara pelaku dalam klaster dibangun melalui pembentukan wadah yaitu forum ataupun paguyuban.” Adapun komponen pembentuk klaster terdiri dari: (1) adanya unit-unit usaha, (2) adanya institusi-institusi penunjang, dan (3) adanya wadah organisasi.
Dari definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara klaster dengan sentra adalah adanya suatu kesiapan kelembagaan, sedangkan sentra lebih merupakan obyek dengan pelaku yang bergerak secara individual. Di Kabupaten Cirebon terdapat dua klaster IKM batik yaitu Klaster Trusmi dan Klaster Ciwaringin. Klaster Trusmi dikuatkan melalui kelembagaan koperasi batik Budi Tresna, Asosiasi Pengerajin dan Pengusahan Batik yang terbentuk sejak 2009 serta paguyuban pengerajin batik warna alam. Sedangkan klaster Ciwaringin baru membentuk koperasi batik Ciwaringin pada tahun 2012.
Industri Kecil Menengah (IKM)
Sektor IKM di Indonesia telah diakui sebagai salah satu sektor yang memiliki kemampuan untuk menghadapi krisis ekonomi. IKM selalu digambarkan sebagai sektor yang mempunyai peran penting karena mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan juga berperan dalam pendistribusian hasil – hasil pembangunan (Aldida dan Santosa 2013). Di Indonesia IKM yang memproduksi barang-barang kebutuhan akhir (final demand) maupun barang-barang kebutuhan pendukung produksi (intermediate demand) tetap mengalami pertumbuhan walaupun menghadapi persaingan dari industri besar. Hal ini dikarenakan produk yang dihasilkan oleh IKM memiliki cita rasa yang unik baik dari segi warna, bentuk, kemasan, harga maupun pelayanan.
Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM, yang dimaksud dengan usaha mikro, kecil dan menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha milik warga negara Indonesia yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Besar yang memenuhi kriteria seperti pada Tabel 2.
Namun menurut UU Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, pengertian industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah bahan baku dan
Tabel 2 Kriteria usaha mikro, kecil, dan menengah
Kriteria Usaha Mikro Usaha Kecil Usaha
17 /atau memanfaatkan sumber daya industri sehingga menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi, termasuk jasa industri. Oleh sebab itu, tidak semua UMKM termasuk kedalam kategori IKM yang mempersyaratkan adanya kegiatan pengolahan bahan mentah menjadi barang jadi. Sebagai contoh, di Trusmi terdapat UKM batik yang bukan merupakan IKM batik, yang mana kegiatan usahanya hanya meliputi penjualan (showroom) batik saja dan proses produksi batiknya dilakukan oleh IKM diluar usahanya.
Menurut Nurdalia (2006) sebagian besar IKM batik di Indonesia belum menganggap pencemaran limbah sebagai suatu permasalahan. Rendahnya tingkat kesadaran lingkungan yang dimiliki IKM dapat berpotensi menimbulkan dampak negatif yang besar, sehingga perlu pendekatan khusus untuk meminimalisir dampak negati terhadap lingkungan.
Menurut [BPS] dalam Nurainun (2008) penggolongan kelas IKM dilakukan berdasarkan jumlah tenaga kerja sebagai berikut: (i) industri dengan tenaga kerja 1-4 orang digolongkan pada industri rumah tangga (IRT); (ii) 5-9 orang digolongkan pada industri kecil; (iii) 20-99 orang digolongkan pada industri menengah; dan (iv) lebih dari 100 orang digolongkan pada industri besar.
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di sentra IKM Batik Trusmi Kabupaten Cirebon Jawa Barat. Wilayah penelitian melimputi empat wilayah Desa yang meliputi Desa Trusmi Kulon, Desa Trusmi Wetan, Desa Wotgali, dan Desa Kali Tengah. Untuk analisis kualitas limbah cair dilakukan di laboratorium terakreditasi Akademi Kimia Analisis Bogor. Penelitian ini telah selesai dilakukan pada bulan Juni - Desember 2014.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan meliputi kain katun tipe G dan sutra tipe super yang telah dipotong 2 meter sebanyak 18 potong. Zat warna untuk menghasilkan warna merah, biru dan hitam dari jenis Naphtol dan Indigosol serta bahan laboratorium untuk menganaisis kualitas limbah parameter BOD5, COD, dan TSS. Sedangkan
alat yang digunakan meliputi peralatan produksi batik milik 12 IKM, peralatan sampling limbah cair termasuk pH meter, pengawet sampel dan GPS Android (software GPS Test Plus ver 1.5). Peralatan laboratorium untuk menganaisis kualitas limbah parameter BOD5, COD, TSS. Serta alat ukur volume, panjang dan
waktu.
Prosedur Analisis Data
Penelitian ini dilaksanakan melalui dua tahapan analisis, yaitu:
18
2. Analisis beban pencemar limbah cair IKM batik, dilakukan untuk mengetahui nilai beban pencemar limbah cair yang dikeluarkan untuk periode satu tahun berdasarkan tiap tahapan proses yang mengeluarkan limbah cair.
Analisis Profil Produksi Batik
Untuk mendapatkan profil produksi batik skala klaster Trusmi, pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan data primer dan data sekunder adalah dengan cara pengamatan langsung di lapangan, wawancara dengan stakeholder, serta studi literatur. Analisis profil dilakukan secara deskriptif yang ada pada IKM batik di klaster Trusmi.
a) Pengamatan langsung dilapangan,
Pengamatan dilakukan langsung ke tempat produksi, untuk melihat kondisi proses pembuatan batik termasuk kendala- kendala yang ditemui pengerajin.
b) Wawancara,
Wawancara dilakukan kepada narasumber yang merupakan tokoh masyarakat serta beberapa pengerajin batik perwakilan dari Desa Trusmi, serta kepada perwakilan SKPD dari Disperindagkop dan BLH Kabupaten Cirebon.
c) Studi literatur,
Studi literatur yang dilakukan mencakup kajian yang pernah dilakukan di desa Trusmi melalui Program CBI, Kabupaten Cirebon dalam Angka 2014, serta RJMD Kabupaten Cirebon 2014-2019.
Analisis Beban Pencemar
Dalam rangka mengendalikan pencemaran limbah cair IKM batik yang ada di klaster Trusmi, inventarisasi terkait dengan besarnya beban pencemar dapat dilakukan melalui pendekatan faktor beban pencemar. Pada umumnya, beban pencemar dihitung dengan cara mengompositkan limbah cair dari keseluruhan proses kemudian dirata-ratakan dan dibagi dengan kapasitas produksinya (Rathore, 2012). Namun pendekatan ini tidak mampu memberikan gambaran karakteristik beban pencemar per tahapan proses.
Analisis ini dilakukan melalui empat tahapan, yaitu: Analisis Faktor Beban Pencemar (AFB), estimasi total nilai beban pencemar, analisis sebaran beban pencemar serta analisis dampak beban pencemar. Analissis faktor beban pencemar bertujuan untuk menyederhanakan perhitungan total beban pencemar dengan cara membuat rancangan percobaan untuk mendapatkan nilai faktor yang dapat mewakili nilai beban pencemar limbah cair per meter batik di klaster Trusmi. Pengujian terhadap nilai faktor beban pencemar dilakukan terhadap sampel acak untuk memastikan bahwa nilai faktor tersebut dapat mewakili populasi limbah cair di klaster Trusmi.
19 dianalisis dari besaran dan sebaran beban pencemar dan dibandingan dengan persepsi masyarakat di lapangan.
Analisis Faktor Beban Pencemar
Nilai faktor beban pencemar didapatkan melalui Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor. Faktor pertama adalah jenis kain (Katun tipe G dan Sutra tipe Super) dan faktor kedua adalah jenis zat warna (Naphtol dan Indigosol). Setiap perlakuan dilakukan di tiga IKM sebagai ulangan dimana setiap IKM akan diberikan tiga potong kain sepanjang 2 meter yang sudah dibatik cap dengan motif ceplis, dengan demikian rancangan ini memiliki 36 unit percobaan untuk 3 parameter. Tiap IKM diminta mewarnai tiga potong kain masing-masing 1 warna (merah, biru, dan hitam) (UGM 2013). Zat warna yang akan digunakan untuk percobaan disiapkan berdasarkan hasil berdiskusi dengan IKM batik dengan mempertimbangkan kebiasaan yang paling sering dilakukan oleh IKM (Tabel 3).
Limbah cair kemudian diambil sampel air limbahnya dari:
 Proses pewarnaan (bak warna dan bak fiksasi) masing-masing 500 mL sehingga didapatkan total 3L komposit sampel limbah proses pewarnaan.  Proses pelorodan (setelah dingin dan lilin yang terapung disingkirkan)
sebanyak 2L.
 Proses pencucian (cuci warna dan cuci lorod dikompositkan) sebanyak 2L. Sampel di setiap proses kemudian dibagi dua, dimasukan kedalam jerigen 1L, diberi label, dan dipisahkan untuk dipreservasi menggunakan bahan pengawet yang berbeda. Sisa sampel 1 L dari proses pewarnaan dikembalikan ke tempat produksi untuk kemudian dibuang. Untuk parameter BOD5 dan TSS didinginkan,
dan parameter COD di tambahkan H2SO4 pekat sampai pH < 3. Proses sampling
dilakukan pada hari yang sama dan ditransportasikan ke laboratorium uji AKA Bogor sehari sesudahnya. Analisis kualitas limbah untuk 3 parameter dilakukan dengan metode pada Tabel 4.
Tabel 3 Jenis zat warna yang digunakan dalam proses pewarnaan batika)
Jenis bahan
a) Hasil diskusi dengan perwakilan IKM batik Trusmi; b) Jumlah perbandingan
Naphtol dan garam Diazonium adalah 15 g : 30 g;. BS, D, BO, AS-G merupakan kode nama dagang zat warna Naphtol; R, BB, AS-G. Hitam AS-G. Biru merupakan kode nama dagang garam diazonium; c) Jumlah perbandingan
Indigosol dan NaNO2 adalah 10 g: 20 g; Sol pada Sol. Abang, Sol Biru dan Sol.
20
Faktor beban pencemaran dihitung berdasarkan beban pencemaran aktual dalam berat parameter (gram) per satuan produk (meter) yang disesuaikan untuk per tahapan proses. Hasil uji kualitas limbah kemudian dikalikan dengan volume limbah tiap proses untuk didapatkan nilai beban pencemar di masing-masing proses yang kemudian dianalisis dengan anova dua arah dengan selang kepercayaan 90% menggunakan software minitab versi 15 untuk melihat ada tidaknya pengaruh perlakuan pada tiap proses. Berdasarkan penurunan persamaan yang dilakukan oleh Suhubawa (2008), perhitungan beban pencemar terhadap parameter yang tidak dipengaruhi oleh variabel perlakuan, maka faktor beban pencemar dihitung dengan persamaan (1) sebagai berikut:
FBPj = { ∑ [Cij x Vi x f] }/ n……….……....… (1)
Namun apabila terdapat pengaruh akibat faktor maka untuk mendapatkan nilai faktor beban pencemar ditentukan berdasarkan rata-rata variabel yang berpengaruh (Hanafiah 2005). Untuk memastikan nilai faktor beban pencemar yang didapatkan untuk tiap variabel adalah benar, maka dilakukan validasi dengan cara cara menguji secara acak limbah cair IKM batik dari tiap tahapan proses. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa dugaan kisaran nilai faktor beban pencemar yang dihasilkan dapat mewakili populasi beban limbah cair IKM batik yang ada di klaster Trusmi. Validasi untuk nilai faktor beban pencemaran pada penelitian ini dilakukan dengan langkah langkah sebagai berikut:
1. Memilih IKM secara acak untuk diambil limbah cairnya di seluruh tahapan produksi
2. Mencatat profil limbah cair pada tiap tahapan proses, yang meliputi: banyaknya warna yang digunakan, panjang kain yang diproduksi, volume limbah cair.
3. Mengambil limbah cair pada tiap tahapan proses untuk diukur konsentrasinya. 4. Menghitung beban pencemaran untuk tiap meter kain yang dihasilkan,
kemudian dibandingkan dengan nilai faktor beban pencemar limbah cair IKM batik di Klaster Trusmi.
Tabel 4 Metode analisis kualitas limbah cair
Parameter Metode Uji Prinsip Metode BOD5 SNI 6989.72-2009 Titrimetri
21 Analisis estimasi total beban pencemar
Estimasi total beban pencemar ditentukan dari hasil perkalian faktor beban pencemar dengan total kapasitas produksi yang ada berdasarkan data sekunder yang didapat dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cirebon. Dengan menggunakan asumsi tiap potong kain batik memiliki panjang 2,5 meter dengan rata- rata 3 warna di setiap potongnya.
Status beban pencemar di klaster Trsumi dapat diketahui dengan membandingkan nilai beban pencemar yang ada didapatkan dari hasil estimasi dengan nilai baku mutu yang ada di KepMenLH no 51 Tahun 1995 Lampiran A IX tentang baku mutu limbah cair industri tekstil.
Analisis sebaran beban pencemar
Informasi tentang sebaran beban pencemar limbah cair IKM batik diperlukan untuk membuat perencanaan strategis terkait upaya pengendalian pencemaran. Dengan menggunakan informasi faktor beban pencemar dan kapasitas produksi dari masing- masing IKM yang ada di klaster Trusmi, maka sebaran beban pencemar dapat diketahui dengan memproyeksikan nilai beban pencemar pada koordinat lokasi produksi IKM batik. Pada analisis sebaran beban pencemar ini dipilih 60 IKM dari tempat produksi batik yang tersebar pada 4 desa yang tercakup dalam klaster Trusmi.
Analisis dampak beban pencemar
Analisis dampak beban pencemar limbah cair dilakukan dengan cara menggambarkan besaran beban yang dikeluarkan oleh tiap IKM terhadap dampak kesehatan lingkungan, dampak sosial dan ekonomi baik tenaga kerja maupun masyarakat yang tinggal di sekitar tempat produksi.
Dampak kesehatan lingkungan dianalisis berdasarkan jumlah paparan bahan kimia terhadap pekerja yang bersentuhan langsung serta potensi bahaya bahan kimia yang digunakan pada proses pembuatan batik terhadap pekerja yang terpapar. Dampak sosial dianalisis berdasarkan hasil wawancara dengan pengerajin dan beberapa warga yang tinggal di dekat IKM batik. Dampak ekonomi dihitung berdasarkan asumsi total kerugian penurunan produktivitas padi yang tercemar limbah batik (Suryotomo 2011).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis profil produksi
22
Sejarah Batik Trusmi
Secara umum batik Cirebon dipengaruhi asimilasi budaya pendatang. Berdasarkan Jusri dan Idris (2012) pelabuhan Muara Jati Cirebon yang menjadi persinggahan pedagang Tiongkok, Arab, Persia dan India merupakan tempat terjadinya proses asimilasi dan akulturasi beragam budaya termasuk budaya keraton Cirobon.
Pembatik Cirebon pada masa itu banyak yang tinggal di desa Trusmi. Oleh sebab itu batik Cirebon identik dengan batik Trusmi. Daerah Trusmi terletak 7 kilometer dari pusat Kota Cirebon. Awal berkembangnya Desa Trusmi terpusat di area makam ki buyut Trusmi. Seiiring dengan pertumbuhan permukiman di desa ini menyebabkan wilayah desa secara administrasi dibagi menjadi dua desa, yaitu desa Trusmi Kulon dan desa Trusmi Wetan (Suyatno E 17 September 2014, komunikasi pribadi). Batik Trusmi saat ini telah berkembang pesat ke berbagai desa di sekitarnya yang berada di Kecamatan Plered, Weru, Tengah Tani hingga Kecamatan Ciwaringin yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Majalengka.
Menurut Jusri dan Idris (2012) motif batik Trusmi Cirebon dilandasi pada 2 (dua) kesultanan yaitu (1) motif batik kesultanan kasepuhan yang bernuansa religius islami serta melarang membuat bentuk gambar binatang dan (2) motif batik kesultanan kanoman yang didominasi alam lingkungan dengan warna dominan merah, biru, violet dan keemasan. Batik Cirebon mengalami masa keemasan setelah kemerdekaan (1950- 1968). Motif-motif yang terkenal di masyarakat dan berkembang hingga saat ini antara lain dapat dilihat pada Gambar 12 (Susanto 1973).
(a) (b) (c)
(d) (e) (f)
(g) (h)
23 Terkait dengan penggunaan batik di lingkungan masyarakat Trusmi, terdapat adat kebiasaan yang disebut "Ngobeng" dimana masyarakat ikut berpartisipasi dan bergotong royong dalam suatu acara hajatan seperti pernikahan, syukuran atau acara berkabung (tahlilan). Pada saat ngobeng untuk acara pernikahan, khususnya remaja wanita dan ibu-ibu memakai sarung batik selama tiga hari sebagai bentuk partisipasi masyarakat kepada yang punya hajat.
Gambaran Umum
Berdasarkan data primer yang diperoleh dari Disperindagkop Kabupaten Cirebon pada tahun 2014 terdapat 493 IKM batik yang tersebar di tiga kecamatan. Dari sebelas desa penghasil batik di Kabupaten Cirebon, terdapat empat desa yang memiliki 55% populasi IKM terbesar yaitu Desa Trusmi Wetan (76 IKM), Desa Trusmi Kulon (88 IKM), Kali Tengah (85 IKM), Wotgali (53 IKM) dengan total produksi 454.625 meter per tahun. Bila membandingkan data tersebut dengan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Perindutrian dalam Jusri dan Idris (2012) yang berjumlah 527 unit usaha, maka terdapat pengurangan jumlah IKM sebesar 34 unit atau sebesar 6,5% selama 2 tahun.
Seperti halnya tipikal industri rumah tangga pada umumnya, IKM batik Trusmi memiliki keterbatasan dalam upaya pengelolaan lingkungan, khususnya dalam menangani limbah batik. Keterbatasan tersebut meliputi: kondisi ekonomi, kondisi produksi dan dukungan kelembagaan.
Kondisi Ekonomi
Semenjak tahun 2009, daerah Trusmi berubah menjadi kawasan wisata belanja batik di Kabupaten Cirebon. Dengan munculnya kawasan wisata belanja batik Trusmi, kegiatan pembatikan di Klaster Trusmi juga semakin meningkat. Namun perbaikan kondisi ini tidak selalu berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan pengerajin batik di Klaster Trusmi. Hal ini terjadi karena, produk batik yang ada di butik batik (showroom) tidak hanya berasal dari daerah Trusmi saja. Selain itu banyaknya produk tekstil bermotif batik (batik printing) dengan harga murah membuat penjualan produk batik lokal menjadi semakin sulit.
Kondisi ekonomi IKM batik di klaster Trusmi cukup beragam. Bila dilihat dari data primer dari Disperindagkop Kab Cirebon (2014) kapasitas produksi IKM batik di klaster Trusmi (Desa Trusmi Wetan, Trusmi Kulon, Wotgali, dan Kali Tengah) berkisar antara 500 hingga 12500 meter per tahun. Ketersediaan modal produksi umumnya ditentukan oleh karakteristik dan daya saing IKM. IKM dengan akses pasar yang luas pada umumnya memiliki ketersediaan modal yang relatif lebih besar bila dibandingkan dengan IKM yang hanya memproduksi batik berdasarkan pesanan. Pada umumnya IKM batik yang memiliki keterbatasan modal menggantungkan produksinya pada pesanan dari showroom atau butik. Mengingat komponen termahal adalah kain mori, maka pada umumnya bahan baku tersebut juga disediakan oleh pemesan dalam hal ini butik.
24
memindahkan beban pencemar ke tempat lain. Pemindahan beban pencemar ini berpotensi menimbulkan dampak sosial di tempat yang lain.
Pada umumnya sistem POS di Cirebon dilakukan oleh pemilik showroom batik. Namun beberapa IKM batik Trusmi juga melakukan POS pada proses pembatikan yaitu dengan membiarkan proses pembatikan dibawa pulang oleh pekerja. Dengan cara ini, IKM akan diuntungkan karena tidak terpapar oleh limbah ceceran lilin dan asap dari proses pembatikan. Menurut Hunga (2014), POS dapat menimbulkan dampak sosial negatif untuk pekerja, dimana pekerja hanya dibayar secara borongan dengan upah yang minim namun tetap harus menanggung resiko kerja yang sama.
Berdasarkan data dari 100 IKM yang mengikuti program CBI tahun 2011 terdapat 75,5 % tenaga kerja pembatikan yang dibayar secara borongan. Walaupun demikian, pekerjaan membatik bagi sebagian warga Desa Trusmi merupakan suatu kebanggaan. Hal ini dikarenakan dalam membuat batik, baik proses pembatikan khususnya tulis halus maupun pewarnaan dibutuhkan ketrampilan khusus yang tidak mudah untuk dikuasai. Bila dibandingkan dengan produk batik tulis yang dibuat di desa Ciwaringin, batik yang dibuat oleh IKM Desa Trusmi harganya lebih tinggi tiga sampai tujuh kali lipat. Hal ini dikarenakan tingkat kehalusan (detail motif) produk IKM batik Trusmi relatif lebih tinggi. Namun terdapat juga IKM batik Trusmi yang memproduksi batik dengan tingkat kehalusan sedang atau kasar.
Berdasarkan pengakuan (Burhanuddin 1 November 2014, komunikasi pribadi) ongkos kerja yang diterima oleh IKM perlembar kain batik yang dikerjakan adalah Rp 120.000 (kain disediakan oleh pemesan). Biaya tersebut harus diatur sedemikian rupa untuk membeli lilin, membayar tenaga kerja pembatikan, zat pewarna, dan bahan bakar untuk produksi. Terkadang pengerajin tidak mengalokasikan biaya untuk depresiasi alat maupun tenaganya sendiri. Sehingga dengan minimnya keuntungan yang didapat mengakibatkan pengelolaan limbah tidak lagi menjadi prioritas.
Sebagai bagian dari karya seni, proses pembuatan produk batik menuntut kreatifitas dari para pengerajinnya. Kreatifitas ini dituangkan dalam desain dan komposisi warna pada kain batik. Walaupun motif tradisional Trusmi telah ada sejak dulu, namun kreasi dari para pengerajin dalam mengembangkan motif terus berjalan. Namun sayangnya, kurangnya kesadaran akan hak cipta membuat persaingan dalam hal kreasi desain batik menjadi tidak sehat. Desain batik yang dibuat oleh seorang pengerajin batik Trusmi hingga kini belum memiliki perlindungan hak cipta. Terkadang untuk mendapatkan desain motif, pengerajin dapat membeli gambar dengan harga yang sangat murah ataupun meniru motif batik yang diproduksi oleh IKM lain. Selain itu, terkait dengan merek dagang, beberapa IKM yang memiliki akses pasar dapat membuat merek dagangnya sendiri, namun sebagian besar IKM menyerahkan pelabelan produknya kepada pemesan dalam hal ini butik. Hal ini membuat keberadaan IKM sulit untuk diketahui secara luas.
Kondisi Produksi
25 mengkudu untuk warna merah mahoni untuk warna coklat dan tarum (Iindigofera) untuk warna biru. Menurut Clean Batik Initiative (2011) pewarnaan dengan menggunakan bahan dari alam ini relatif lebih ramah lingkungan karena limbah cairnya mudah terdegradasi secara alami. Namun sayangnya pewarnaan dengan menggunakan bahan alami pada batik ini hampir tidak pernah lagi dipergunakan, hal ini dikarenakan proses pewarnaan menggunakan bahan alami lebih rumit, lama, dan cepat luntur. Semenjak diperkenalkannya zat warna sintetis oleh pedagang dari Eropa, pemakaian zat warna alam semakin ditinggalkan.
Ketergantungan IKM akan zat warna sintetis ini membuat beban pencemaran dari limbah cair sisa proses produksi batik menjadi meningkat. Namun kondisi ini telah dianggap biasa oleh masyarakat di sekitar tempat produksi. Pada umumnya masyarakat tersebut telah memaklumi bahwa desa Trusmi memang merupakan desa tempat pembuatan batik, sehingga selokan yang berwarna merupakan konsekuensi yang harus dihadapi. Untuk memahami bagaimana IKM batik Trusmi memproduksi batik, maka rangkaian proses produksi digambarkan sebagai berikut:
Setelah menentukan jumlah dan jenis batik yang akan dibuat, maka umumnya pemilik IKM batik memulai dengan memperhitungkan kebutuhan bahan baku yang diperlukan untuk membuat batik. Resep obat (zat warna dan bahan kimia pendukung) serta kain mori dan lilin dibeli di pengecer sesuai perhitungan dari pemilik. Bahan baku batik di Trusmi didatangkan dari Pekalongan oleh pengecer yang umumnya juga IKM batik dengan kapasitas produksi yang cukup besar. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan salah satu pemilik toko pengecer bahan baku batik yang ada di Trusmi, pembelian bahan kimia dan zat warna batik hanya dilakukan seperti perdagangan pada umumnya dan tidak pernah disertai dengan keterangan terkait aspek keselamatan maupun resiko bahan kimia (MSDS). Pengetahuan pengecer terkait dengan bahan yang dijualnya hanya didasarkan pada pengalaman saja.
Setelah itu bahan baku kain mori dan lilin yang telah dibeli oleh pemilik IKM kemudian didistribusikan kepada pekerja di proses pembatikan (baik batik tulis maupun batik cap). Proses pembatikan dapat dilakukan didalam IKM maupun di sub-kontrakkan ke pekerja untuk dikerjakan di rumah pekerja dengan sistem borongan. Pembatikan di Klaster Trusmi dikenal dengan kualitas pembuatan batik dengan latar belakang putih. Sehingga malam batik yang digunakan untuk proses pembatikan cukup bayak dan ditampung dalam wadah yang cukup besar di atas kompor minyak tanah. Proses pembatikan ini berlangsung antara satu hari (batik cap / tulis kasar) hingga waktu beberapa bulan (batik halus). Hasil dari proses pembatikan sering disebut kain batikan.
26
Di Trusmi, proses pencelupan dapat dilakukan dengan menggunakan dua macam alat, yaitu bak celup (terbuat dari kayu yang dilapisi terpal) dan juga kenceng (terbuat dari logam berbentuk seperti wajan besar). Perbedaan penggunaan alat ini hanya dikarenakan ketersediaan ruang yang ada di tempat kerja IKM dan tidak berpengaruh pada kualitas pewarnaan, Setiap kali selesai melakukan pencelupan warna, selalu diikuti dengan proses fiksasi dan dilakukan secara berulang (2-3 kali) dimana setiap kali diantara kedua proses tersebut, kain umumnya ditiriskan terlebih dahulu.
Pada proses pencelupan, para pekerja pada umumnya tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) berupa sarung tangan, celemek, maupun masker. Hal ini dikarenakan para pekerja tidak terbiasa dan merasa terganggu oleh sarung tangan ketika melakukan proses pencelupan. Walaupun pekerja telah mendapatkan sosialisasi dari salah satu program pembinaan baik yang dilakukan oleh Disperindag maupun dari Lembaga Swadaya Masyarakat seperti Clean batik Initiative, namun berkaca pada kondisi kesehatan para pembatik senior yang telah melakukan pencelupan sejak dulu mereka menganggap bahaya bahan kimia yang disosialisasikan tidak nyata. Pekerjaan sebagai pembatik merupakan kebanggaan bagi sebagian warga Trusmi (Suyatno E 17 September 2014, komunikasi pribadi). Bukti zat warna yang menempel pada tangan terkadang sengaja dipamerkan untuk menunjukkan bahwa orang tersebut merupakan pengerajin batik.
Proses pewarnaan umumnya tidak dilakukan setiap hari, kecuali oleh IKM dengan kapasitas yang besar. Proses pewarnaan dilakukan umumnya dua kali seminggu, menunggu kain batikan terkumpul cukup banyak. Pada proses pewarnaan, zat warna ditimbang sesuai dengan kebutuhan kain batik yang akan diwarnai. Proses pencelupan warna untuk setiap lembar kain batikan dilakukan antara 1 - 3 menit. Pewarnaan kain batikan dilakukan dengan prinsip warna tumpangan, yaitu menghasilkan warna berdasarkan gabungan warna. Karena umumnya, batik yang diproduksi oleh IKM adalah pesanan, maka resep sedapat mungkin diingat terkadang ada pula yang mencatat. Walaupun demikian, akan sangat sulit untuk mendapatkan warna yang sama pada batch yang berbeda. Karena intensitas warna sangat ditentukan oleh kualitas zat warna, cara mencelup, bahkan untuk warna Indigosol tergantung dengan cuaca.
Pada umumnya setelah kain selesai diwarnai, sebelum kembali ke proses pembatikan atau dilanjutkan ke proses pelorodan, kain dibilas menggunakan air bersih didalam ember atau bak pencucian. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan sisa zat warna yang tidak masuk ke dalam serat kain. Seperti pada sisa larutan pewarna, air sisa proses pencucian ini biasanya langsung dibuang ke lingkungan.
Di proses pelorodan, pelepasan lilin batik pada umumnya dilakukan menggunakan dua drum berisi air panas yang ditambahkan soda abu. Banyaknya penambahan soda abu sangat tergantung pada banyaknya kain batik yang akan dilorod. Terdapat pula IKM yang melakukan pelorodan panas dan dingin, yaitu setelah merebus kain batik dalam larutan soda abu, kain batik dicuci menggunakan natrium silikat atau kanji. Hal ini biasa dilakukan untuk batik yang diproduksi dengan menggunakan kualitas lilin yang jelek, sehingga sulit lepas.