• Tidak ada hasil yang ditemukan

BERBAGAI UMUR PEMANENAN DENGAN PERBEDAAN VARIETAS DAN WAKTU FERMENTASI

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kualitas Fisik Silase

Kualitas silase dapat dilihat dari kualitas fisik silase yang dihasilkan (Ferreira and Mertens 2005). Kualitas fisik silase meliputi warna, bau, tekstur, dan keberadaan jamur serta suhu. Kualitas fisik silase tanaman sorgum manis dapat dilihat pada Tabel 3.1. Aroma silase tanaman sorgum manis menunjukkan aroma asam dan wangi fermentasi. Aroma silase yang dihasilkan termasuk kedalam kriteria kualitas silase yang baik. Silase berkualitas baik memiliki aroma asam dan wangi (Abdelhadi et al. 2005). Warna silase yang dihasilkan menunjukkan warna hijau atau sama dengan warna tanaman sorgum sebelum ensilase. Saun and Heinrichs (2008) menyatakan bahwa warna pada silase menggambarkan hasil fermentasi selama proses ensilase dan silase yang berkualitas baik adalah silase yang berwarna hampir sama dengan bahan sebelum ensilase.

Tekstur silase yang dihasilkan menunjukkan tekstur yang padat atau tidak menggumpal, tidak berlendir, dan remah. Silase yang baik memiliki tekstur lembut (Sandi et al. 2010). Persentase jamur berdasarkan rataan dari seluruh perlakuan menunjukkan kurang dari 10%. Menurut Davies (2007), persentase bagian berjamur pada silase berkualitas baik adalah kurang dari 10%. Faktor jenis sorgum menunjukkan bahwa secara rata-rata jenis sorgum yang menghasilkan

12

Tabel 4 Suhu silase tanaman sorgum

Peubah Efek Perlakuan

JS UP WF JS.UP JS.WF WF.UP JS.WF.UP

Suhu (1) 25.21 ± 1.15 (1) 24.86 ± 0.57 (1) 24.52 ± 1.00 ** ns ** ns (2) 25.31 ± 1.23 (2) 24.68 ± 1.15 (2) 25.37 ± 1.12

(3) 25.29 ± 1.13 (3) 26.26 ± 0.97 (3) 25.57 ± 1.39

(4) 25.61 ± 0.73

**P < 0.01, ns: P > 0.05, JS: jenis sorgum; (1): Samurai I (M17), (2): Patir 3.6, (3): Patir 3.7. UP: umur panen; (1): 85 hari, (2): 95 hari, (3): 105 hari. WF: waktu fermentasi; (1): 7 hari, (2): 14 hari, (3): 21 hari, (4): 28 hari.

persentase jamur paling sedikit adalah Samurai I (M17). Berdasarkan faktor umur panen dan waktu fermentasi, persentase jamur secara rata-rata semakin meningkat seiring semakin lamanya umur panen tanaman sorgum dan semakin lamanya waktu fermentasi silase tanaman sorgum. Suhu silase tanaman sorgum secara statistik menunjukkan adanya interaksi (P<0.01) antara JS dengan UP dan WF dengan UP. Interaksi antara JS dengan UP menghasilkan suhu tertinggi pada kombinasi JS(2)UP(3) dengan nilai 26.33oC, namun secara statistik nilai tersebut sama dengan kombinasi JS(1)UP(3) dan JS(3)UP(3) dengan nilai berturut-turut 26.25oC dan 26.21oC. Interaksi antara WF dengan UP menghasilkan suhu tertinggi pada kombinasi WF(3)UP(3) dengan nilai sebesar 27.39oC. Berdasarkan hasil yang didapatkan pada interaksi antara JS dan UP terlihat bahwa seluruh jenis sorgum yang diujikan pada UP(3) atau umur panen tanaman 105 hari menghasilkan suhu yang lebih tinggi dari pada kombinasi perlakuan lainnya. Hal demikian juga terlihat pada interaksi antara WF dan UP. Kombinasi UP(3) dengan WF(3) atau waktu fermetasi silase 21 hari menghasilkan suhu tertinggi dibandingkan dengan kombinasi perlakuan lainnya. Levital et al. (2009) menyatakan bahwa suhu maksimum yang dapat dihasilkan oleh silase adalah 30oC yang terjadi pada hari 4-14 ensilase kemudian akan mengalami penurunan seiring bertambah lamanya waktu fermentasi (ensilase).

Kualitas Kimiawi Silase

Kualitas kimiawi silase yang meliputi nilai pH, bahan kering (BK), dan nilai fleigh disajikan pada Tabel 3.3. Hasil pengukuran nilai pH menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0.01) untuk setiap faktor JS, UP, dan WF, namun tidak terdapat interaksi antara faktor-faktor tersebut (P>0.05). Silase yang dihasilkan dari sorgum jenis Samurai I (M17) memiliki pH terendah dibandingkan dua jenis sorgum lainnya (P<0.05). Pengaruh faktor WF terhadap pH disajikan pada Gambar 1. Lama fermentasi silase sorgum mempengaruhi pH silase yang dihasilkan secara kuadratik dengan nilai R2 sebesar 0.0325. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa faktor WF hanya dapat menjelaskan keragaman pH silase sebesar 3.25% sisanya 96.75% dijelaskan oleh faktor diluar WF. Pengaruh faktor UP terhadap pH disajikan pada Gambar 2. Lama pemanenan tanaman sorgum mempengaruhi pH silase yang dihasilkan secara kuadratik dengan nilai R2 sebesar 0.6895. Nilai tersebut berarti bahwa faktor UP dapat menjelaskan keragaman pH silase sebesar 68.95%. Berdasarkan pola kuadratik pada Gambar 2, nilai pH minimum didapatkan pada umur panen 101 hari. Rata-rata nilai pH yang

13

Gambar 1 Pola pengaruh waktu fermentasi silase tanaman sorgum terhadap pH silase yang dihasilkan

Tabel 5 Kualitas kimiawi (pH, BK, dan nilai fleigh) silase tanaman sorgum

Faktor Kualitas Kimiawi Silase

pH BK (%) Nilai Fleigh

Jenis Sorgum (JS)

Samurai I (M17) 3.51 ± 0.41a 16.48 ± 1.99 97.72 ± 18.21b Patir 3.6 3.72 ± 0.41b 15.88 ± 1.67 88.12 ± 17.73a Patir 3.7 3.67 ± 0.35b 15.56 ± 1.88 89.17 ± 15.51a

Umur Panen (UP)

85 hari 4.10 ± 0.33b 14.98 ± 1.49a 71.00 ± 13.55a 95 hari 3.40 ± 0.13a 15.54 ± 1.51a 100.19 ± 6.31b 105 hari 3.40 ± 0.15a 17.40 ± 1.72b 103.83 ± 7.36b Waktu Fermentasi (WF) 7 hari 3.64 ± 0.40b 15.90 ± 1.94 91.09 ± 17.46ab 14 hari 3.75 ± 0.47c 16.09 ± 1.57 87.18 ± 19.91a 21 hari 3.61 ± 0.35ab 16.11 ± 2.01 92.94 ± 15.88b 28 hari 3.52 ± 0.35a 15.80 ± 2.01 95.49 ± 16.70b Angka-angka pada faktor dan kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

dihasilkan berkisar antara 3.51 - 4.10 yang termasuk kategori silase baik sekali. Wilkins (1988) menyatakan bahwa kualitas silase dapat digolongkan menjadi empat kategori, yaitu baik sekali (pH 3.2 - 4.2), baik (pH 4.2 - 4.5), sedang (pH 4.5 - 4.8), dan buruk (pH >4.8).

Kandungan bahan kering (BK) merupakan aspek penting penentuan kualitas silase. Hasil pengukuran kadar BK pada Tabel 3.3 menunjukkan perbedaan (P<0.05) pada faktor UP, sedangkan faktor JS dan WF tidak berbeda (P>0.05). Gambar 3 menunjukkan pola hubungan linear antara lama panen tanaman sorgum setelah panen dan BK silase yang dihasilkan dengan nilai R2 sebesar 0.2794. Pola pada Gambar 3 menunjukkan bahwa semakin lama umur pemanenan tanaman sorgum maka semakin tinggi pula BK silase yang dihasilkan. Secara keseluruhan,

14

Gambar 2 Pola pengaruh umur panen tanaman sorgum terhadap pH silase yang dihasilkan

Gambar 3 Pola pengaruh umur panen tanaman sorgum terhadap BK silase yang dihasilkan

BK silase tanaman sorgum yang dihasilkan masih lebih rendah dari yang dilaporkan oleh Podkowka dan Podkowka (2011) yang menyatakan bahwa dalam silase sorgum biasanya terdapat hanya sekitar 20.88% BK. .

Nilai fleigh merupakan perhitungan yang digunakan untuk mengukur kualitas silase berdasarkan nilai kandungan bahan kering (BK) dan pH silase. Hasil perhitungan nilai fleigh menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0.01) untuk setiap faktor JS, UP, dan WF, namun tidak terdapat interaksi antara faktor-faktor tersebut (P>0.05. Nilai fleigh yang didapatkan berdasarkan rataan nilai secara keseluruhan berkisar antara 71.00 – 100.83. Ozturk (2005) mengklasifikasikan kualitas silase berdasarkan nilai fleigh. Silase dengan nilai fleigh lebih dari 85 dikategorikan silase berkualitas sangat baik sedangkan silase dengan nilai fleigh 60 - 80 dikategorikan silase berkulitas baik.

15

Gambar 4 Pola pengaruh umur panen tanaman sorgum terhadap PK silase yang dihasilkan

Tabel 6 Protein kasar silase tanaman sorgum

Peubah Efek Perlakuan

JS UP WF JS.UP JS.WF WF.UP JS.WF.UP

PK (1) 8.14 ± 1.26 (1) 10.65 ± 1.10b (1) 9.53 ± 1.46 ns * ns ns (2) 9.67 ± 1.22 (2) 8.55 ± 0.97a (2) 9.06 ± 1.40

(3) 9.87 ± 1.17 (3) 8.49 ± 1.01a (3) 9.08 ± 1.40

(4) 9.24 ± 1.51

*: P < 0.05, ns: P > 0.05, JS: jenis sorgum; (1): Samurai I (M17), (2): Patir 3.6, (3): Patir 3.7. UP: umur panen; (1): 85 hari, (2): 95 hari, (3): 105 hari. WF: waktu fermentasi; (1): 7 hari, (2): 14 hari, (3): 21 hari, (4): 28 hari. Angka-angka pada faktor dan kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Kualitas kimiawi selanjutnya yang disajikan pada Tabel 3.4 adalah protein kasar (PK). PK silase tanaman sorgum secara statistik menunjukkan adanya interaksi (P<0.05) antara JS dan WF. Nilai PK tertinggi didapatkan dari kombinasi perlakuan JS(3)WF(1) dengan nilai 10.30%. Pola hubungan antara UP dengan PK silase dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4 menunjukkan pola hubungan kuadratik antara lama pemanenan tanaman sorgum terhadap PK silase yang dihasilkan dengan nilai R2 sebesar 0.496. Besarnya kandungan protein silase dipengaruhi oleh besarnya kandungan protein bahan dan juga perombakan protein kasar. Protein bahan akan mengalami penguraian pada saat ensilase, protein akan dirombak menjadi asam amino dan polipetida yang kemudian diurai lebih lanjut menjadi amonia, VFA, dan CO2. Kondisi ini akan terjadi secara intensif apabila suplai oksigen mencukupi.

Kualitas kimiawi berupa amonia (NH3) dan total volatile fatty acid (TVFA) disajikan pada Tabel 3.5. Perombakan protein menjadi ammonia nitrogen (NH3) pada silase tanaman sorgum manis menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada faktor UP (P<0.01) dan WF (P<0.05) tetapi faktor JS dan interaksi antar faktor menunjukkan hasil tidak berbeda (P>0.05). Pola pengaruh faktor WF terhadap NH3 dapat dilihat pada Gambar 5. Pengaruh lama fermentasi mempengaruhi NH3 secara lineardengan nilai R2 sebesar 0.0271. Pola pengaruh faktor UP terhadap

16

Tabel 7 Kualitas kimiawi silase (NH3 dan TVFA) tanaman sorgum

Perlakuan Kualitas Kimiawi Silase

NH3 (%) TVFA (mM)

Jenis Sorgum (JS)

Samurai I (M17) 3.43 ± 1.88 120.42 ± 38.65

Patir 3.6 3.99 ± 2.22 116.86 ± 44.93

Patir 3.7 3.74 ± 1.32 126.34 ± 39.85

Umur Panen (UP)

85 hari 5.49 ± 1.88c 120.42 ± 38.65 95 hari 2.34 ± 0.74a 121.94 ± 39.30 105 hari 3.33 ± 0.97b 122.96 ± 44.63 Waktu Fermentasi (WF) 7 hari 3.22 ± 1.90a 115.62 ± 38.21 14 hari 3.83 ± 1.89ab 116.29 ± 50.53 21 hari 3.65 ± 1.50ab 131.88 ± 37.48 28 hari 4.18 ± 2.01b 123.29 ± 34.34

TVFA: total volatile fatty acid. Angka-angka pada faktor dan kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Gambar 5 Pola pengaruh waktu fermentasi silase tanaman sorgum terhadap NH3 silase yang dihasilkan

NH3 diwakili oleh kurva kuadratik (Gambar 6) dengan nilai R2 sebesar 0.5151. Berdasarkan rataan setiap faktor, nilai NH3 berkisar antara 3-6%. Menurut Chamberlain and Wilkinson (1996), konsentrasi NH3 kurang dari 5% dikategorikan dalam silase yang sangat baik, sedangkan silase berkualitas baik mempunyai konsentrasi NH3 antara 5 - 10%.

Asam lemak terbang (VFA) merupakan hasil dari penguraian bahan organik selama ensilase. Konsentrasi VFA silase yang dihasilkan menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0.05) untuk setiap faktor. Variasi konsentrasi total VFA silase

17

Gambar 6 Pola pengaruh umur panen tanaman sorgum terhadap NH3 silase yang dihasilkan

secara umum dipengaruhi beberapa faktor yaitu jenis tanaman, kadar bahan kering pada saat panen, populasi bakteri, kehilangan selama panen maupun saat proses ensilase, cuaca pada saat panen, kandungan karbohidrat bahan (Saun and Heinrichs 2008). Silase yang berkualitas baik adalah silase dengan dominasi asam laktat (>60%) pada komposisi total asam lemak terbang (VFA) silase.

SIMPULAN

Perbedaan jenis sorgum, waktu fermentasi silase, dan umur panen tanaman sorgum mempengaruhi kualitas silase yang dihasilkan. Jenis sorgum BMR Patir 3.7 menghasilkan kualitas silase yang lebih baik daripada jenis sorgum lainnya. Waktu fermentasi silase tanaman sorgum selama 28 hari menghasilkan kualitas silase yang lebih baik diantara waktu fermentasi lainnya. Umur panen terbaik untuk menghasilkan silase yang berkualitas baik adalah umur panen 95 hari setelah tanam.

4 PEMBAHASAN UMUM

Sorgum merupakan tanaman serealia yang berpotensi besar untuk dikembangkan di Indonesia karena toleran terhadap kekeringan dan genangan air, dapat berproduksi pada lahan marjinal, serta relatif tahan terhadap gangguan hama/ penyakit (Sirappa 2003). Klasifikasi utama tanaman sorgum secara umum dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu sorgum manis/ sweet sorghum (biasa digunakan sebagai hay, silase, maupun sirup), sorgum nonsakarik (biasa digunakan untuk produksi biji), broomcorn (pemanfaatan malainya sebagai bahan pembuat sapu), dan grass sorghum (dimanfaatkan sebagai hijauan dan pastura). Tanaman sorgum jenis sorgum manis/ sweet sorghum sangat palatabel sebagai hijauan pakan karena batangnya yang renyah dan manis (Ahlgren 1956).

Tanaman sorgum yang terdiri dari biji sorgum dan hijauan sorgum berpotensi sebagai pakan ternak. Selama ini, pengembangan sorgum untuk pakan

18

ternak masih menggunakan varietas konvensional yang didesain bukan untuk pakan karena memiliki kandungan lignin yang tinggi. Beberapa hasil penerapan teknologi mutasi serta persilangan pada tanaman sorgum menghasilkan galur sorgum dengan kandungan lignin yang lebih rendah dan kandungan nutrisi yang lebih tinggi. Sorgum jenis inilah yang dapat didesain sebagai sorgum khusus untuk pakan. Sorgum BMR merupakan jenis sorgum yang memiliki kandungan lignin lebih rendah, kandungan nutrisi yang lebih tinggi, dan produksi biomassa 12% lebih rendah dibandingkan dengan sorgum konvensional (Oliver et al. 2004; Mustafa et al. 2004).

Penelitian ini menggunakan 4 jenis sorgum, 1 jenis (sorgum manis varietas Numbu) digunakan pada penelitian tahap pertama dan 3 jenis (sorgum manis varietas Samurai I (M17), sorgum BMR galur Patir 3.6, dan sorgum BMR galur Patir 3.7) digunakan pada penelitian tahap kedua. Sorgum varietas Numbu merupakan varietas sorgum yang telah resmi dirilis yang diperuntukkkan sebagai varietas penghasil biji, sedangkan sorgum varietas Samurai I (M17) diperuntukkan sebagai varietas untuk bahan baku pembuatan bioetanol. Sorgum BMR Patir 3.6 dan Patir 3.7 merupakan jenis sorgum berupa galur yang masih dalam proses pengujian. Nama BMR adalah kependekan dari brown midrib yang merupakan suatu istilah dari hasil mutasi genetik beberapa spesies rerumputan yang menghasilkan tanaman dengan kandungan lignin yang rendah. Miller and Stroup (2003) menyatakan bahwa BMR telah diterapkan pada hijauan sorgum, sudan grass, dan jagung.

Tanaman sorgum varietas Numbu pada penelitian tahap pertama dipanen pada umur 70 hari. Hal ini mengacu pada BALITSEREAL (2013) yang melaporkan bahwa sorgum varietas Numbu berbunga 50% kurang lebih 69 hari setelah tanam. Menurut tingkat kematangan biji sorgum berdasarkan Owen and Webster (1963), umur 70 hari tersebut adalah fase milk to the soft-dough yang merupakan fase yang baik untuk hijauan sebagai bahan silase (Dogget 1970). Umur panen 70 hari atau fase berbunga 50% diartikan bahwa sebagian tanaman pada umur tersebut sudah memiliki bunga dan sebagian lainnya belum memiliki bunga.

Perbedaan ada dan tidak adanya rangkum bunga berdasarkan kualitas nutrisi telah ditampilkan pada Tabel 2.1. Seluruh peubah yang ditampilkan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0.05) berdasarkan Uji-T. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kualitas antara sorgum yang memiliki rangkum bunga dengan yang tidak memiliki rangkum bunga.

Silase merupakan suatu teknik pengawetan pakan atau hijauan pada kadar air tertentu melalui proses fermentasi mikrobial oleh bakteri asam laktat yang berlangsung di dalam tempat yang disebut silo (McDonald et al. 2002). Jenis tanaman hijauan yang cocok sebagai bahan baku silase hendaknya memiliki produksi BK dan kecernaan yang tinggi, memiliki kapasitas buffer yang rendah, dan memiliki kandungan WSC yang tinggi pula (Demirel 2011). Kandungan WSC sorgum yang ditampilkan pada Tabel 2.1 berkisar antara 9.15 – 10.69%. Nilai tersebut lebih tinggi dari syarat WSC bahan untuk pembuatan silase yaitu 3-5% (McDonald et al. 1991).

Proses ensilasi secara garis besar terbagi atas 4 fase yaitu (1) fase aerob, (2) fase fermentasi, (3) fase stabil dan (4) fase pemberian pada ternak (Moran 2005). Salah satu upaya mempercepat fase tersebut adalah dengan penambahan aditif

19 pada bahan sebelum dibuat silase. Menurut McDonald et al (2002) zat aditif yang dapat ditambahakan dalam silase terdiri atas 2 klasifikasi yaitu stimulan fermentasi seperti sumber gula, inokulan, dan ezim yang dapat mendorong pertumbuhan bakteri asam laktat dan inhibitor fermentasi seperti asam dan formalin yang dapat menghambat sebagian atau seluruh pertumbuhan mikroba. Penelitian tahap pertama menggunakan bahan aditif berupa dedak padi dan inokulan yang bersumber dari hasil ekstraksi tanaman sorgum yang difermentasi. Taraf penggunaan 3% pada penelitian ini adalah berdasarkan Ridwan et al. (2005) yang melaporkan bahwa penambahan dedak padi 1-5% pada pembuatan silase rumput gajah berpengaruh terhadap kualitas silase yang dihasilkan. Inokulum yang digunakan pada penelitian ini menggunakan hasil ekstrasi tanaman sorgum dan bukan inokulum komersial. Hal ini berdasarkan penelitian Ohshima et al. (1997) yang melaporkan bahwa penggunaan ekstraksi hijauan alfalfa yang difermentasi sebagai campuran pembuatan silase hijauan alfalfa menghasilkan kualitas silase yang lebih baik dibandingkan dengan inokulum yang berasal dari komersial. Taraf penggunaan 3% pada penelitian ini berdasarkan Santoso et al. (2009) yang melaporkan bahwa penambahan ekstraksi rumput tropika yang difermentasi sebanyak 3% pada pembuatan silase rumput tropika sejenis dapat meningkatkan kualitas silase yang dihasilkan.

Berdasarkan hasil yang didapatkan pada penelitian tahap pertama, silase tanaman sorgum yang dihasilkan dengan penambahan aditif memiliki kualitas yang sama baiknya dengan silase yang tidak ditambahkan aditif (kontrol). Hasil ini digunakan selanjutnya pada penelitian tahap kedua sehingga pada penelitian tahap kedua pembuatan silase tidak menggunakan tambahan aditif.

Penelitian pada tahap kedua lebih menekankan pada aspek hijauan dan proses ensilasenya sehingga rancangan penelitian dibuat faktorial dengan 3 faktor (jenis sorgum berbeda, waktu fermentasi berbeda, dan umur panen tanaman yang berbeda). Kondisi hijauan yang akan dibuat silase dan saat proses ensilase sangat penting untuk menentukan tercapainya kondisi optimum silase. Pada kondisi optimum, pertumbuhan bakteri yang diinginkan akan menghasilkan perubahan yang efisien pada gula tanaman sehingga silase yang dihasilkan berkualitas baik (Sapienza and Bolsen 1993).

Kualitas silase secara umum terbagi 3, yaitu kualitas silase berdasarkan fisik, kimiawi, dan biologi. Kualitas berdasarkan fisik meliputi warna, bau, tekstur, dan keberadaan jamur serta suhu. Kualitas kimiawi atau yang biasa disebut kualitas kimiawi meliputi kandungan nutrien berdasarkan analisis proksimat dan analisis van soest, nilai pH, asam lemak terbang/ volatile fatty acid (VFA), perombakan protein yang diukur sebagai amonia/ N-NH3, kandungan gula, serta perhitungan kualitas berdasarkan nilai fleigh. Kualitas yang ketiga adalah kualitas biologis meliputi kecernaan silase yang dapat diukur berdasarkan metode In Vitro atau In Vivo.

Penelitian ini hanya mengukur silase berdasarkan kualitas fisik dan kimiawi. Berdasarkan kualitas fisik, silas yang dihasilkan memiliki kualitas yang sangat baik untuk semua perlakuan yang diberikan. Berdasarkan kualitas kimiawi, pada penelitian tahap pertama dengan perlakuan pemberian aditif pada silase menghasilkan kualitas silase yang sama baiknya untuk semua perlakuan yang diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas silase tanaman sorgum manis tanpa penambahan aditif lebih efektif dari pada silase sorgum manis dengan

20

penambahan aditif. Pada penelitian tahap kedua, perbandingan jenis sorgum antara varietas sorgum manis dengan sorgum BMR menghasilkan kualitas sorgum BMR memiliki kualitas yang lebih baik daripada sorgum manis. Hal ini berarti bahwa sorgum BMR yang tujuan pemuliaannya sebagai bahan pakan efektif digunakan untuk menggantikan sorgum konvensional. Berdasarkan faktor peningkatan umur panen tanaman sorgum, semakin lama umur pemanenan tanaman sorgum maka akan meningkatkan suhu dan BK silase tetapi akan menurunkan pH, PK, dan NH3 silase. Sedangkan berdasarkan faktor peningkatan waktu fermentasi silase, semakin lama waktu fermentasi silase maka akan meningkatkan suhu dan NH3 silase tetapi akan menurunkan pH dan PK silase. Kualitas silase terbaik didapatkan dari kombinasi umur panen tanaman 95 hari setelah tanam dan waktu fermentasi selama 28 hari.

5 SIMPULAN

Kualitas silase tanaman sorgum manis dengan penambahan aditif berupa dedak padi dan ekstrak sorgum terfermentasi menghasilkan silase dengan kualitas yang sama baik dengan silase yang tidak ditambahkan aditif. Sorgum BMR efektif digunakan sebagai sorgum bahan pakan untuk menggantikan penggunaan sorgum konvensional. Kombinasi waktu fermentasi dan umur panen yang menghasilkan kualitas silase yang terbaik adalah waktu fermentasi 28 hari dan umur panen 95 hari setelah tanam.

Dokumen terkait