• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Jenis

Sebanyak 1535 individu ikan dari 32 jenis, 29 marga dan 26 suku diperoleh dari kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) (Tabel 4). Hasil tersebut menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis ikan di SMMA termasuk rendah (sesuai dengan indeks keanekaragaman jenis yang terlihat di Tabel 5) dibanding ikan di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Jawa Barat, yang mencapai 59 jenis, 34 suku, 48 marga dari 1151 individu (sesuai dengan indeks keanekaragaman jenis di lampiran 3). Bahkan masih lebih rendah dibanding keanekaragaman ikan di perairan mangrove sungai Mahakam, Kalimantan Timur terkoleksi 80 jenis ikan yang mewakili 44 suku (Genisa, 2006). Rendahnya jumlah jenis ikan di SMMA disebabkan oleh kondisi perairannya yang relatif tercemar dan vegetasi mangrove relatif terbuka. Kondisi serupa terjadi di Segara Anakan Cilacap, akibat eksploitasi besar-besaran hutan mangrove yang dikonversi menjadi tambak perikanan dan pemukiman, serta pendangkalan akibat lumpur dari erosi beberapa sungai di sekitarnya (BDISDA, 2010). Secara tidak langsung kondisi tersebut mempengaruhi keanekaragaman fauna akuatik, khususnya ikan yang menggunakan perairan mangrove sebagai habitat. Menurut Genisa (2006) tinggi rendahnya keanekaragaman jenis ikan dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya kualitas lingkungan. Keberadaan mangrove mampu menopang fauna akuatik yang hidup dan berasosiasi di dalamnya (Dorenbosch dalam Genisa 2006).

Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa dari 26 suku ikan yang diperoleh, suku Gobiidae memiliki anggota jenis tertinggi yaitu 3 jenis (9,37%), diikuti oleh Hemiramphidae, Chandidae dan Cichlidae yang masing-masing diwakili 2 jenis (6,25%). Sedangkan suku lainnya hanya diwakili 1 jenis (3,13%). Kondisi hampir sama terjadi di TNUK, Gobiidae menyumbang anggota jenis tertinggi yaitu 14 jenis (23,73%), kemudian Mugillidae, Leiognathidae, Lutjanidae dan Eleotrididae masing-masing diwakili 3 jenis (5,08%). Dominansi jenis gobi juga terjadi di perairan mangrove Rio Palmar dan Rio Javita Ekuador, yang mencapai 7 jenis dari 36 jenis ikan yang terkoleksi (Shervette et al., 2007). Hal ini terjadi karena

Gobiidae merupakan jenis penetap dengan kemampuan adaptasi yang baik pada ekosistem mangrove.

Tabel 4. Keanekaragaman Jenis Ikan Di SM.Muara Angke

No Suku Jenis Sta.1 Sta.2 Sta.3 Sta.4

1 Megalopidae Megalops cyprinoides 19 26 24 0

2 Clupeidae Sardinella fimbriata 5 28 19 1

3 Engraulididae Stolephorus commersonii 7 26 28 0

4 Chanidae Chanos chanos 0 11 9 0

5 Bagridae Mystus gulio 3 0 0 6

6 Clariidae Clarias batrachus 1 0 0 3

7 Loricariidae Liposarcus pardalis 1 0 0 7

8 Hemiramphidae Dermogenys pussila 13 17 0 34

9 Zenarchopterus dispar 2 6 4 2

10 Aplocheilidae Aplocheilus panchax 83 0 0 190

11 Poeciliidae Xiphophorus hellerii 92 0 0 226

12 Synbranchidae Monopterus albus 4 0 0 4

13 Chandidae Ambassis gymnocephalus 21 50 36 16

14 A. interrupta 7 9 25 0

15 Carangidae Caranx sexfasciatus 5 11 11 3

16 Leiognathidae Leiognathus equulus 59 233 84 0 17 Lutjanidae Lutjanus argentimaculatus 0 1 0 0

18 Gerreidae Gerres kapas 0 3 2 0

19 Sciaenidae Johnius belengerii 0 0 1 0

20 Scatophagidae Scatophagus argus 1 4 5 0

21 Cichlidae Oreochromis mossambicus 11 0 0 5

22 Oreochromis niloticus 6 0 0 3

23 Mugillidae Liza subviridis 22 42 26 11

24 Liza sp. 1 7 9 0

25 Eleotrididae Ophiocara porocephala 18 0 0 15

26 Gobiidae Drombus kranjiensis 4 0 0 8

27 Boleopthalmus boddarti 3 14 4 2

28 Periophtalmodon schlosseri 20 36 27 11

29 Anabantiidae Anabas testudineus 28 0 0 21

30 Belontiidae Trichogaster trichopterus 54 0 0 63

31 Channidae Channa striata 15 0 0 21

32 Triacanthidae Triacanthus biaculeatus 0 3 2 0

Jumlah Jenis 505 527 316 652

Keterangan: 1.Danau;2.Pesisir;3.Muara;4.Suaka

Ciri khusus ikan suku Gobiidae adalah sirip perutnya yang bersatu, berbentuk seperti piringan pencengkeram yang berfungsi untuk melekatkan

dirinya pada substrat (Kottelat et al., 1993). Pramudji (2005) melaporkan bahwa di kawasan pesisir Delta Mahakam ditemukan Gobiidae dalam stadium larva dan juvenile. Ikan belodok (mudskipper) dapat hidup di air dan permukaan lumpur di sekitar mangrove dan memiliki kemampuan berjalan dan memanjat dengan menggunakan sirip dadanya. Dalam keadaan bahaya, ikan belodok akan bersembunyi di sekitar tanaman mangrove. Dewantoro et al. (2005) melaporkan bahwa di Cagar Alam Leuweung Sancang Garut jenis belodok P.schlosseri terlihat mendominasi dari berbagai ukuran.

Ditinjau dari kelimpahannya, Leiognathus equulus mendominasi dengan 376 individu, Xiphophorus hellerii 318 individu, dan Aplocheilus panchax 273 individu (Gambar 8). Ketiga jenis ikan tersebut terlihat sering berenang secara berkelompok di setiap stasiun penelitian. Di perairan mangrove TNUK Liza subviridis merupakan jenis yang mendominasi dengan 110 individu (Wahyudewantoro, 2008. belum dipublikasikan).

Gambar 8. Kelimpahan Jenis dan Jumlah Individu Ikan yang diperoleh dari SM. Muara Angke

Leiognathus equulus banyak terkoleksi di pesisir dan di sekitar mulut muara SMMA. Hal tersebut sesuai dengan Kottelat et al. (1993) dan Peristiwady

2006) yang menyatakan bahwa L.equulus merupakan jenis ikan yang mendiami perairan dangkal dan muara-muara sungai. Sedangkan Xiphophorus hellerii dan Aplocheilus panchax ditemukan melimpah di danau dan kawasan perairan Suaka. Kedua jenis ini merupakan predator larva nyamuk yang efisien. Keberadaan X. hellerii sebagai ikan introduksi terkadang berdampak negatif bagi ikan asli (Kottelat et al., 1993). Menurut Rachmatika dan Wahyudewantoro (2006) ikan introduksi memiliki preferensi hidup di lingkungan yang kualitas habitatnya umumnya sudah menurun. Chong et al. (1990) menambahkan bahwa komunitas ikan di perairan mangrove umumnya didominasi oleh beberapa jenis ikan, meskipun jenis ikan yang tertangkap relatif banyak. Seluruh jenis ikan yang tertangkap di stasiun penelitian SMMA relatif berukuran juvenile. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Odum (1971) bahwa ekosistem mangrove adalah daerah asuhan nursery dan feeding ground. Di perairan mangrove Bahama sampel ikan tertangkap sebagian besar berukuran juvenile (Wilcox et al., 1975).

Perbandingan Antar stasiun

Danau Angke memiliki indeks keanekaragaman jenis (H) tertinggi yaitu 2.673, kemerataan jenis 0.830 (E), dan kekayaan jenis 3.391 (d) dibandingkan stasiun lainnya (Tabel 5). Sedangkan jumlah jenis ikan yang terkoleksi di Danau Angke lebih rendah dibandingkan pesisir, namun dilihat dari indeks kemerataan, danau angke lebih tinggi dibandingkan dengan pesisir. Sejalan dengan itu Ludwig dan Reynolds (1988) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis suatu komunitas ditentukan oleh kekayaan jenis dan kemerataan jenis. Indeks kemerataan menjadi tinggi, apabila tidak terjadi pemusatan individu pada suatu jenis tertentu (Odum 1971).

Tabel 5. Analisis indeks keragaman jenis (H), indeks kemerataan (E) dan indeks kekayaaan jenis (d) di lokasi penelitian SMMA

Indeks Danau Pesisir Muara Suaka Keanekaragaman Jenis (H) 2.673 2.062 2.272 1.939 Kemerataan Jenis (E) 0.83 0.713 0.819 0.637 Kekayaan Jenis (d) 3.391 2.717 2.65 3.101

Tingginya nilai indeks kekayaan jenis di Danau Angke dikarenakan kondisi lingkungannya masih dapat dikatakan cukup baik dibanding pesisir,

muara dan suaka. Substrat dasar dari Danau tersebut yaitu lumpur dan berpasir. Menurut Gunarto (2004) daerah atau substrat lumpur merupakan habitat berbagai jenis nekton, yang menandakan bahwa daerah tersebut kaya akan sumber pakan. Adanya variasi habitat (substrat) seperti kondisi fisik dan lingkungan sekitar mempengaruhi keragaman jenis-jenis ikan (Yustina dan Arnentis, 2002).

Sebaran Populasi dan Karakter

Analisis Komponen Utama (PCA) Truss Morfometrik

Analisis komponen utama atau Principal Component Analysis (PCA) dipergunakan untuk mereduksi banyaknya peubah (variabel) yang digunakan dalam sejumlah data, sehingga akan diperoleh komponen utama yang dapat menggambarkan informasi yang diukur menggunakan keragaman total yang terkandung di dalam sejumlah variabel. Konsep dasar PCA adalah analisis kelompok, karakter yang sama akan dikelompokkan pada satu kelompok dan kelompok yang berbeda dipisahkan menjadi kelompok yang berbeda (Ubaidillah dan Sutrisno, 2009). Penelitian kali ini membandingkan 3 jenis ikan yang sama (Periophthalmodon schlosseri, Ambassis gymnocephalus dan Liza subviridis) di lokasi yang berbeda yaitu SMMA dan TNUK.

Pada P.schlosseri hasil PCA terhadap matrik korelasi data karakter morfometrik dari 178 spesimen (94 spesimen dari SMMA dan 84 spesimen TNUK), dan 21 karakter menghasilkan ragam pada komponen utama 1, 2 dan 3 masing-masing 60,90%, 17,57% dan 11,25 % dengan total ragam yang dapat dijelaskan dari kedua komponen tersebut sebesar 89,72% (Lampiran 4). Untuk ikan A.gymnocephalus Hasil PCA terhadap matrik korelasi data karakter morfometrik dari 219 spesimen (123 spesimen dari SMMA dan 96 spesimen TNUK), dan 21 karakter menghasilkan ragam pada komponen utama 1, 2 dan 3 masing-masing 69,81%, 17,91% dan 6,84% dengan total ragam yang dapat dijelaskan dari kedua komponen tersebut sebesar 94,56% (Lampiran 5). Hasil PCA L.subviridis terhadap matrik korelasi data karakter morfometrik dari 211 spesimen (101 spesimen dari SMMA dan 110 spesimen TNUK), dan 21 karakter menghasilkan ragam pada komponen utama 1, 2 dan 3 masing-masing 70.44%, 9.28% dan 5,91% dengan total ragam yang dapat dijelaskan dari kedua komponen tersebut sebesar 85.63% (Lampiran 6).

Total ragam dari ketiga jenis ikan yang diujikan menunjukkan hasil yang dapat dijelaskan kedua komponen utama dari hasil PCA, maka kedua komponen utama tersebut mampu memberikan atau mempertahankan informasi yang diukur. Selanjutnya data diolah dengan menggunakan analisis diskriminan untuk menentukan karakter truss morfometrik yang paling berpengaruh dalam persebaran ketiga jenis ikan tersebut.

Analisis Diskriminan

Secara umum analisa diskriminan dipergunakan untuk mengetahui peubah- peubah penciri yang membedakan kelompok populasi yang ada, selain itu juga sebagai kriteria pengelompokan yang dilakukan berdasarkan perhitungan statistik terhadap kelompok yang terlebih dahulu diketahui secara jelas pengelompokannya (Rosy, 2010).

Analisis diskriminan Periophthalmodon schlosseri

Berdasarkan analisis diskriminan dari P.schlosseri secara statistik terpilih 4 karakter utama yang membedakan yaitu jarak antara titik di akhir sirip punggung dengan titik di awal sirip anal, jarak antara titik di akhir sirip perut dengan titik di awal sirip anal, jarak antara titik di akhir sirip punggung dengan titik di akhir sirip anal dan jarak antara titik di ujung mulut dengan titik di ujung bagian bawah insang dengan koefisien kanonikal seperti pada Tabel 6. Selanjutnya hasil plotting berdasarkan karakter yang diamati, menunjukkan bahwa P.schlosseri di SMMA terpisah dengan di TNUK (Gambar 9).

Tabel 6. Standar dan (bukan standar) nilai koefisien kanonikal diskriminan karakter pembeda utama pada P.schlosseri.

Karakter Fungsi 1 Fungsi 2 Fungsi 3

Jarak antara titik di akhir sirip punggung dengan titik di awal sirip anal.

0.416 (8.642) -0.533 (-11.071) -0.240 (-4.984) Jarak antara titik di akhir sirip perut

dengan titik di awal sirip anal

1.194 (6.583) 0.118 (0.651) -1.928 (-10.631) Jarak antara titik di akhir sirip punggung

dengan titik di akhir sirip anal.

0.671 (8.553) 0.502 (6.397) 0.139 (1.769) Jarak antara titik di ujung mulut dengan

titik di ujung bagian bawah insang

0.635 (3.644) -1.515 (-8.690) 0.092 (0.528)

Variasi yang dijelaskan 99,6 0,2 0,1

Konstanta -314.190 -8.062 0.915

Berdasarkan hasil analisis tersebut, variasi yang dapat dijelaskan sebesar 45,5%. Pada garis fungsi 1, 2 dan 3 yang bisa diterangkan (eigenvalue) sangat tinggi yaitu 99,6% (tabel 5). Melihat rendahnya nilai yang bisa dijelaskan, walaupun terdapat 2 populasi P.schlosseri yang berbeda (SMMA dan TNUK) namun dapat dikatakan pembedanya sangat kecil yaitu hanya 45,5%, hal tersebut diduga jenis ini merupakan jenis penetap dan kosmopolit sehingga secara umum tersebar luas hampir di seluruh P. Jawa. Selain itu kemampuan adaptasi dari jenis belodok sudah tidak diragukan lagi, jadi diduga tidak terjadi variasi yang cukup jelas sebagai pembeda untuk P.schlosseri. Karakter kuat yang menjadi pembeda yaitu jarak antara titik di akhir sirip punggung dengan titik di awal sirip anal, di SMMA terlihat garis yang ditarik dari titik akhir sirip punggung dengan titik di awal sirip anal cenderung lebih panjang dibandingkan di TNUK (Lampiran 7a). Karakter pembeda tersebut muncul diduga akibat adanya pengaruh lingkungan, sehingga belodok di SMMA mampu bergerak bebas didalam lingkungan yang penuh limbah.

Gambar 9. Sebaran Karakter Truss Morfometrik P.schlosseri berdasarkan hasil analisis diskriminan.

Analisis diskriminan Ambassis gymnocephalus

Hasil analisis diskriminan dariA.gymnocephalus terdapat 4 karakter utama yang membedakan. Karakter yang dimaksud adalah jarak antara titik di awal sirip ekor bagian atas dengan sirip ekor bagian bawah, jarak antara titik di akhir sirip punggung dengan titik di awal sirip anal, jarak antara titik di awal sirip punggung dengan akhir sirip perut dan jarak antara titik di akhir sirip perut dengan titik di awal sirip anal dengan koefisien kanonikal seperti pada Tabel 7. Hasil ploting berdasarkan karakter yang diamati tersebut, terlihat bahwa A.gymnocephalus di SMMA terpisah dengan di TNUK (Gambar 10).

Tabel 7. Standar dan (bukan standar) nilai koefisien kanonikal diskriminan karakter pembeda utama pada A.gymnocephalus.

Karakter Fungsi 1 Fungsi 2 Fungsi 3

Jarak antara titik di awal sirip ekor bagian atas dengan sirip ekor bagian bawah

1.016 (3.254) 0.237 (0.758) 1.600 (5.123) Jarak antara titik di akhir sirip punggung

dengan titik di awal sirip anal

-1.795 (-18.334) 1.694 (17.306) -1.340 (-13.688) Jarak antara titik di awal sirip punggung

dengan akhir sirip perut

3.299 (26.739) 0.657 (5.325) 0.697 (5.650) Jarak antara titik di akhir sirip perut

dengan titik di awal sirip anal

-0.944 (-1.199) -1.302 (-1.654) 1.223 (1.554)

Variasi yang dijelaskan 98,8 0,5 0,5

Konstanta 1,126 -29,096 -31,472

Gambar 10. Sebaran Karakter Truss Morfometrik A.gymnocephalus berdasarkan hasil analisis diskriminan

Berdasarkan hasil analisis tersebut, variasi yang dapat dijelaskan sebesar 59,8%. Pada garis fungsi 1, 2 dan 3 yang bisa diterangkan (eigenvalue) sangat tinggi yaitu 98,8% (Tabel 7). Karakter pembeda yang tertinggi adalah jarak antara titik di awal sirip ekor bagian atas dengan sirip ekor bagian bawah, terlihat bahwa di SMMA cenderung lebih rendah atau tipis dibandingkan TNUK (Lampiran 7b). Hal tersebut diduga kuat terkait dengan kondisi habitat yang didiaminya. Menurut Nuryanto (2001) faktor lingkungan yang paling berpengaruh terhadap variasi

morfologi suatu jenis ikan adalah faktor fisik perairan terutama arus. Arus yang terukur di TNUK (pengukuran di S.Cikawung) relatif lebih deras dibandingkan di SMMA, sejalan dengan hal itu Lowe-Mc Connel (1987) dan Nuryanto (2001) menyatakan bahwa arus merupakan faktor fisik yang penting dalam membentuk variasi bentuk dan ukuran tubuh. Oleh karena itu diduga terjadi sedikit adaptasi terhadap tinggi batang ekor (agak sedikit memipih) di SMMA, sedangkan di TNUK batang ekor relatif lebih tebal.

Analisis diskriminan Liza subviridis

Berdasarkan hasil analisis diskriminan dari L.subviridis secara statistik terpilih 4 karakter utama yang membedakan, yaitu jarak antara titik di awal sirip ekor bagian atas dengan sirip ekor bagian bawah, jarak antara titik di ujung bagian bawah insang dengan titik di awal sirip perut, jarak antara titik di awal sirip punggung dengan akhir sirip punggung dan jarak antara titik di akhir sirip perut dengan titik di awal sirip anal, dan dapat dilihat dengan koefisien kanonikal pada tabel 8. Sama halnya dengan 2 jenis sebelumnya bahwa berdasarkan keempat karakter-karakter yang ada, terlihat bahwa A.gymnocephalus di SMMA terpisah dengan di TNUK (Gambar 11).

Tabel 8. Standar dan (bukan standar) nilai koefisien kanonikal diskriminan karakter pembeda utama pada L.subviridis.

Karakter Fungsi 1 Fungsi 2 Fungsi 3

Jarak antara titik di awal sirip ekor bagian atas dengan sirip ekor bagian bawah

0.791 (5.460) -0.161 (-1.109) 0.064 (0.443) Jarak antara titik di ujung bagian bawah

insang dengan titik di awal sirip perut

1.172 (7.063) -0.496 (-2.986) -0.288 (-1.734) Jarak antara titik di awal sirip punggung

dengan akhir sirip punggung

1.726 (7.948) 0.859 (3.954) 0.878 (4.041) Jarak antara titik di akhir sirip perut

dengan titik di awal sirip anal

1.196 (2.683) 0.769 (1.726) 0.440 (0.987)

Variasi yang dijelaskan 98,0 0,9 0,6

Konstanta -96.973 23.638 -4.972

Berdasarkan hasil analisis tersebut, variasi yang dapat dijelaskan sebesar 64,5%. Pada garis fungsi 1, 2 dan 3 yang bisa diterangkan (eigenvalue) sangat tinggi yaitu 98,0% (Tabel 8). Karakter utama yang membedakan yang tertinggi adalah jarak antara titik di awal sirip ekor bagian atas dengan sirip ekor bagian bawah. Di SMMA jaraknya lebih pendek dibandingkan TNUK (Lampiran 7c), hal

tersebut juga diduga sebagai akibat pengaruh lingkungan sehingga ikan beradaptasi untuk dapat mengimbangi kondisi sekitarnya. Di TNUK, rata-rata aliran sungainya relatif deras (tercatat di muara sungai Cikawung 30,41 m/det) diduga disebabkan oleh kemiringan dari arah hulu sungainya. Lowe-Mc Connel (1987) berpendapat bahwa peningkatan keragaman ukuran tubuh ikan ditentukan kenaikan aliran air. Pada jenis ikan tertentu perbedaan geografis juga dapat mempengaruhi variasi morfometrik (Yamazaki dan Goto, 1997).

Gambar 11. Sebaran Karakter Truss Morfometrik L.subviridis berdasarkan hasil analisis diskriminan

Adanya beberapa variasi morfologi pada ketiga jenis ikan yang diujikan menunjukkan bahwa SMMA diduga membentuk karakter morfologi yang berbeda dengan di TNUK. Menurut Tzeng et al. (2001) bahwa variasi morfologi suatu populasi pada kondisi geografi yang berbeda dapat disebabkan oleh perbedaan struktur genetik dan kondisi lingkungan. Sedangkan Affandi et al. (1992) berpendapat bahwa perbedaan ukuran perbandingan dapat disebabkan oleh umur, jenis kelamin dan lingkungan hidupnya seperti makanan, suhu, pH dan salinitas. Perbedaan kondisi lingkungan perairan dapat berdampak terhadap pola adaptasi.

Diantaranya adaptasi dalam bentuk tubuh dan ukuran atau jumlah beberapa bagian tubuh.

Variasi morfologi ini dapat terjadi pada individu individu dalam satu jenis yang hidup dalam kondisi lingkungan yang berbeda (Defira, 2004). Oleh karena itu sebaran dan variasi yang muncul merupakan respon terhadap lingkungan fisik tempat hidup jenis tersebut. Kajian secara molukuler (DNA) sangat perlu untuk dilakukan dalam hal melengkapi hasil-hasil di atas.

Meristik

Hasil pengamatan secara meristik yang mengacu kepada Smith (1945) dan Haryono (2001), yaitu terhadap jari-jari pada sirip dorsal, sirip anal, sirip ventral, dan sirip dada pectoral, maupun jumlah sisik pada linea lateralis dan batang sirip ekor (caudal peduncle), sedikit menunjukkan variasi karakter meristik antara masing-masing jenis ikan (P.schlosseri, A.gymnocephalus dan L.subviridis) yang diujikan (Tabel 10). Karakter pembeda dari dua lokasi pada P. schlosseri terlihat di sirip anal (P=0,001<0,05). Hadie et al, (2002) berpendapat bahwa pada ukuran bagian tubuh tertentu perkembangannya tidak dipengaruhi oleh lingkungan, sedangkan beberapa ukuran tubuh lainnya berkembang sesuai dengan tekanan lingkungan di tempat hidupnya. Pola warna abu-abu gelap lebih ditunjukkan oleh P.schlosseri dari SMMA, sedangkan di TNUK pola warnanya lebih cerah (lampiran 7a).

Tabel 9. Karakter Meristik 3 Jenis Ikan Yang Diujikan

Jenis P. schlosseri A.gymnocephalus L.subviridis

Karakter SMMA TNUK SMMA TNUK SMMA TNUK

Sirip Dorsal D VIII-IX; I, 12 D IX; I, 12- 13 VII;I,10-11 VII;I, 10-12 IV,9-10 IV,8-9 Sirip Pektoral 16-17 16-17 15-17 15-16 15-17 15-16 Sirip Ventral 10-11 10-11 I, 5-6 I, 4-6 I, 4-5 I,4-5 Sirip Anal I, 12-13 I, 13-14 III,10-11 III,9-10

III, 9- 10 III, 9-10 Linea Lateralis 55-57 55-57 24-26 25-26 30-32 30-31 Sisik pangkal S. Ekor 8-10 9-10 6-8 7-8 6-8 6-8

Sedangkan A.gymnocephalus terdapat perbedaan pada sirip pektoral (P=0,001<0,05), sirip anal (P=5,08E-06<0,05) dan sisik pangkal sirip ekor (P=8,10E-10<0,05) (Tabel 9), serta pola warna terlihat lebih kuning kehitam-

hitaman (agak gelap) di SMMA dibanding dari TNUK (Lampiran 7b). Pada L.subviridis, variasi meristik yang terlihat jelas adalah jari-jari sirip dorsal (P=0,02<0,05), sirip anal (P=0,01<0,05) dan sisik pada pangkal sirip ekor (P=1,02E-06<0,05) (Tabel 10). Pola warna L.subviridis di SMMA berwarna keperakan dan pada bagian dorsal dan ventra lebih terlihat gelap, sedangkan di TNUK bagian dorsal dan ventral lebih cerah dan sedikit kehijauan (Lampiran 7c). Secara umum bagian dorsal L.subviridis berwarna kehijauan dan keperakan, serta bagian ventral putih keperakan. Pada L.subviridis terdapat perbedaaan pada sirip dorsal

Beberapa penelitian juga telah mengindikasikan bahwa perbedaan karakter meristik antara lain karena pengaruh lingkungan seperti cahaya, suhu dan kandungan oksigen terlarut (Tanning, 1955 dalam Wibowo et al, 2007), ada dugaan umur dan ukuran specimen yang bervariasi. Bailey dan Gosline (1995) berpendapat bahwa perbedaan karakter meristik diantara populasi jenis ikan mungkin saja dipengaruhi oleh faktor genetik atau lingkungan, mungkin keduanya. Yamazaki dan Goto (1997) menginformasikan bahwa pada jenis ikan tertentu perbedaan geografis juga dapat mempengaruhi variasi meristik. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Haryono (2001) bahwa pada umumnya semakin jauh jarak suatu daerah akan semakin ekstrim perbedaannya. Namun demikian, adanya variasi antara populasi jenis ikan P. shclosseri, A. gymnocephalus dan L. subviridis bukan berarti bahwa jenis-jenis tersebut merupakan ikan yang berbeda.

Fluktuasi Asimetri

Pada Tabel 10 menunjukkan karakter tapis insang (gill rakers) P.schlosseri mempunyai nilai fluktuasi besaran lebih tinggi (-0,440 hingga -1,074) dibandingkan karakter lainnya. Demikian pula nilai fluktuasi bilangan P.schlosseri, karakter tapis insang juga lebih tinggi (0,119 sampai dengan 0,234) dibandingkan karakter lainnya. Pada A.gymnocephalus, karakter tapis insang juga mempunyai nilai fluktuasi besaran tertinggi (-0,083 sampai dengan -0,285) dibandingkan karakter lainnya, semahalnya untuk nilai fluktuasi bilangan juga mempunyai nilai tertinggi (0,073 sampai dengan 0,187). Begitu pula L.subviridis, baik fluktuasi besaran (-1,261 sampai dengan 1,278) maupun fluktuasi bilangan

(0,173 sampai dengan 0,228) menunjukkan nilai tertinggi untuk karakter tapis insang. Penelitian Nurhidayat et al (2003) pada ikan lele dumbo (Clarias sp.) juga menunjukkan bahwa karakter tapis insang mengalami fluktuasi asimetri besaran dan bilangan (6,97 dan 0,96) yang paling tinggi dibandingkan karakter lainnya.

Tabel 10. Nilai Fluktuasi asimetri besaran (FAM) dan bilangan (FAN) pada 3 jenis ikan yang sama di lokasi penelitian (SMMA dan TNUK).

Jenis P. schlosseri A.gymnocephalus L.subviridis

FAM FAN FAM FAN FAM FAN

Lokasi I II I II I II I II I II I II P LL GR ED V -0.191 -0.202 -1.074 -0.002 - -0.036 -0.298 -0.440 -0.001 - 0.223 0.170 0.234 0.170 - 0.048 0.107 0.119 0.059 - -0.138 -0.049 -0.285 -0.003 -0.081 -0.042 -0.021 -0.083 -0.001 -0.031 0.154 0.158 0.187 0.175 0.098 0.091 0.104 0.073 0.072 0.083 -0.148 -0.099 1.278 -0.024 -0.069 -0.027 -0.054 -1.261 -0.004 -0.045 0.158 0.158 0.228 0.217 0.129 0.091 0.109 0.173 0.082 0.073

Keterangan: I. SMMA;II. TNUK;P. Pectoral; LL. Linea Lateralis; GR. Gill Rakers; ED. Eye Diameter;V. Ventral.

Tingginya nilai fluktuasi baik besaran dan bilangan pada karakter tapis insang diduga akibat lebih banyaknya fungsi tapis insang, antara lain osmoregulasi, respirasi, metabolisme dan ekresi bahan-bahan yang kurang berguna. Berbeda dengan sirip dada dan sirip perut yang hanya berfungsi untuk bergerak atau berenang. Beragamnya fungsi insang mengakibatkan tapis insang lebih peka terhadap berbagai perubahan dalam proses perkembangannya (Nurhidayat et al, 2003). Heath (1987) menginformasikan bahwa insang menjadi titik lemah dalam menghadapi ancaman lingkungan luar karena tidak memiliki mekanisme perlindungan seperti halnya kulit yang memiliki lendir (mucus). Fungsinya yang menyerap toksikan air menyebabkan insang mudah terkena dampak toksikan dengan konsekuansinya. Akibatnya fungsi penting insang menjadi terganggu dan dapat membahayakan kondisi ikan (Wood, 2001). Insang (bagian filament) di SMMA mempunyai warna cenderung lebih hitam dibanding TNUK, kondisi tersebut diduga akibat adanya pengaruh lingkungan (salah satunya nilai turbiditas 12,59±2,42) dan terdeteksinya logam berat timbal (Pb) dan cadmium (Cd) di perairan tersebut (Gambar 12).

a b

Gambar 12. Insang L.subviridis dari TNUK (a) dan SMMA (b)

Hasil yang diperoleh juga menunjukkan bahwa nilai fluktuasi asimetri di SMMA lebih tinggi dibandingkan dengan TNUK. Hal tersebut diduga terkait dengan tekanan di dalam kondisi lingkungan di SMMA mempunyai tingkat stress yang tinggi, antara lain kondisi perairan yang relatif tercemar, sehingga jenis-jenis ikan yang mendiami kawasan tidak mampu berkembang secara normal.

a b

Gambar 13. Hati A.gymnocephalus dari SMMA (a) dan TNUK (b)

Almeida et al. (2008) menyatakan bahwa lingkungan dengan stress yang tinggi dapat mengurangi kesehatan ikan tersebut. Hati ikan dari SMMA terlihat berwarna kehitaman dibanding TNUK yang berwarna kecoklatan, hal ini diduga terkait dengan kondisi perairan di SMMA yang tercemar (Gambar 13). Fluktuasi asimetri semakin meningkat dengan meningkatnya inbreeding, mutasi, kondisi fisik yang ekstrim, pencemaran atau kerusakan habitat (Almeida et al, 2008). Hubungan Panjang dan Berat

Analisis hubungan panjang-berat ikan bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan dengan menggunakan parameter panjang dan berat. Berat dianggap

sebagai suatu fungsi dari panjang. Nilai yang didapat dari perhitungan panjang dengan berat dapat digunakan sebagai pendugaan berat dari panjang. Selain itu, keterangan mengenai pertumbuhan, kemontokan, dan perubahan lingkungan terhadap ikan dapat diketahui (Effendie, 1997).

Hasil hubungan panjang berat ikan jantan P.schlosseri di SMMA menunjukkan koefisien korelasi (r) 0,948, hal ini menjelaskan bahwa model dugaan mampu menjelaskan model sebenarnya sebesar 94,8% dan terdapat hubungan yang erat antara panjang dengan berat pada P.schlosseri jantan. Pada ikan betina koefisien korelasi (r) 0,969, hal ini menunjukkan bahwa model dugaan mampu menjelaskan model sebenarnya sebesar 96,9% dan terdapat hubungan yang erat antara panjang dengan berat pada P.schlosseri betina. Hal yang sama

Dokumen terkait