• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biodiversity, Morphological Character and Reproduction Aspect of Mangrove Fish at Muara Angke Conservation Wildlife, Penjaringan North Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Biodiversity, Morphological Character and Reproduction Aspect of Mangrove Fish at Muara Angke Conservation Wildlife, Penjaringan North Jakarta"

Copied!
236
0
0

Teks penuh

(1)

MARGASATWA MUARA ANGKE, PENJARINGAN JAKARTA UTARA

GEMA WAHYUDEWANTORO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Biodiversitas, Karakter Morfologis dan Aspek Reproduksi Jenis Ikan Khas Perairan Mangrove Di Suaka Margasatwa Muara Angke, Penjaringan Jakarta Utara adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2013

(4)
(5)

Reproduction Aspect of Mangrove Fish at Muara Angke Conservation Wildlife, Penjaringan North Jakarta. Under Direction of M.Mukhlis Kamal, Ridwan Affandi and Mulyadi.

The research was conducted in Muara Angke Wildlife Conservation, Penjaringan, North Jakarta. The aim of this study was to determine fish diversity in mangrove ecosystem, morphological character, and reproduction aspect (P. schlosseri, A. Gymnocephalus, and L. subviridis). Furthermore, those were compared with the same fish species in Ujung Kulon National Park. The result showed that there were 32 spesies belongs to 29 genera and 24 families were found in Muara Angke Wildlife Conservation. Based on PCA analysis, P. schlosseri has variance that can be explained 45.5%, L. subviridis 59.8%, and A. gymnocephalus 64.5%. The highest fluctuating asymmetry character is located in gill rakers. P. schlosseri supposedly better able to adapt to the pattern in the SMMA positive allometric growth (b> 3). Fecundity of this three species is vary and depend on environmental factors.

(6)
(7)

Aspek Reproduksi Jenis Ikan Khas Perairan Mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke, Penjaringan Jakarta Utara. Dibimbing M.Mukhlis Kamal, Ridwan Affandi dan Mulyadi.

.

Ekosistem mangrove merupakan sistem peralihan terjadinya pertukaran material dan energi dari wilayah sekitar laut, perairan tawar dan ekosistem terestrial. Berdasarkan hal tersebut kawasan mangrove dapat memberi dukungan terhadap keragaman jenis flora dan fauna laut, perairan tawar dan juga ekosistem darat. Mangrove merupakan sumberdaya laut yang memiliki fungsi dan peran sangat penting, baik secara ekologis, sosial maupun ekonomis yang mendukung kehidupan masyarakat di wilayah pesisir. Peran dan fungsi ekologis dari hutan mangrove antara lain sebagai tempat tinggal sementara atau tetap, mencari makan, bereproduksi, memijah dan membesarkan anak bagi berbagai biota yang berasosiasi dengan habitat di sekitarnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap dan menginformasikan biodiversitas ikan perairan mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA). Selanjutnya akan menganalisis karakter morfologis (morfometrik, meristik dan fluktuasi asimetri) dan aspek reproduksi ikan khas (belodok Periophthalmodon schlosseri, serinding Ambassis gymnocephalus dan belanak Liza subviridis) penghuni SMMA, kemudian membandingkannya dengan ketiga jenis ikan yang sama di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK).

Penelitian dilaksanakan di Suaka Margasatwa Muara Angke, Penjaringan Jakarta Utara, pada bulan Februari 2012 sampai April 2012. Stasiun pengambilan contoh ikan merupakan muara sungai dan sekitarnya yang merupakan kawasan mangrove, sebagai data sekunder dibandingkan dengan penelitian pada tahun 2008 di TNUK. Pengkoleksian ikan dilakukan dengan beberapa alat tangkap, yang kemudian dilakukan pengamatan untuk data populasi, karakter morfologis, pola pertumbuhan, faktor kondisi dan aspek reproduksi. Data dianalisis dengan mempergunakan program SPSS versi 16.

(8)

pangkal sirip ekor (P=1,02E-06<0,05), yang kesemuanya tersebut disebabkan akibat jumlah spesimen yang tidak sama dan pengaruh lingkungan.

Berdasarkan hasil analisis hubungan panjang berat P.schlosseri (jantan dan betina) di SMMA dan TNUK memperlihatkan pola pertumbuhan alometrik positif (b>3) yang berarti pertambahan berat ikan tidak sebanding dengan pertambahan panjangnya. Untuk A.gymnocephalus (jantan dan betina) di SMMA memperlihatkan pola pertumbuhan alometrik negatif (b<3) yaitu pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan berat, namun di TNUK (jantan dan betina) pola pertumbuhan alometrik positif (b>3). Selanjutnya L.subviridis di SMMA dan TNUK, baik betina maupun jantan menunjukkan pola pertumbuhan alometrik negatif (b<3).

Berdasarkan nilai Indeks Kematangan Gonad (IKG) pada Tingkat Kematangan Gonad IV, P.schlosseri jantan di SMMA adalah 1,95±0,02 dan betina 4,87±0,07. Sedangkan di TNUK untuk jantan 1,68±0,05 dan betina 3,74±0,31. Pada jantan dan betina A.gymnocephalus di SMMA berkisar 0,85±0,07 dan 2,53±0,17, di TNUK jantan dan betina berkisar 2,53±0,17 dan 1,64 ±0,59. L.subviridis di SMMA berkisar 3,34±0,18 dan betina 10,50±1,62, untuk jantan di TNUK adalah 3,46±0,15 dan betina 14,64±2,33. Fekunditas ketiga jenis ikan di SMMA lebih rendah dibandingkan di TNUK, hal tersebut merupakan strategi reproduksi akibat dari buruknya kualitas perairan di habitatnya.

(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tujuan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(10)
(11)

MARGASATWA MUARA ANGKE, PENJARINGAN JAKARTA UTARA

GEMA WAHYUDEWANTORO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis :

(13)

Nama : Gema Wahyudewantoro

NIM : C251100091

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Mohammad Mukhlis Kamal, MSc Ketua

Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA Prof. Dr. Mulyadi, MSc

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:

(14)
(15)

yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya, serta shalawat dan salam tetap tercurah pada junjungan kita Nabi Muhammad Sallalahu Alaihi Wasallam beserta para sahabatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang

berjudul “Biodiversitas Karakter Morfologis dan Aspek Reproduksi Jenis Ikan Khas Perairan Mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke, Penjaringan Jakarta Utara”. Dalam penyelesaian tesis ini, berbagai pihak telah membantu dari awal penelitian hingga penulisan. Oleh karena itu, perkenankan pada kesempatan ini penulis mengaturkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada:

Dr. Ir. Mohammad Mukhlis Kamal, MSc selaku ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA dan Prof. Dr. Mulyadi, MSc selaku anggota komisi pembimbing yang telah mencurahkan banyak waktu dan tenaganya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga selaku ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan yang selalu memberikan nasehat dan perhatiannya serta kemudahan selama menempuh perkuliahan.

Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc selaku penguji luar komisi atas semua saran dan masukannya demi penyempurnaan penulisan tesis ini.

Kementrian Riset dan teknologi yang telah mensponsori beasiswa sehingga penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan pascasarjana di IPB.

BKSDA Jakarta dalam hal ini petugas (karyawan dan Polhut Suaka Margasatwa Muara Angke atas kerjasama dan bantuannnya di lapangan.

Rekan-rekan mahasiswa SDP angkatan 2010 (Aliati Iswantari, Anti Landu, Darwin Syah Putra, Munirah Tuli, Haiatus Shohihah, Robin, Sri Wahyuni dan Dyah Muji Rahayu) atas dukungan semangat dan rasa kekeluargaannya.

Drs. Haryono, MSi, Rahmi Dina, MSi dan Dewi Citra Murniati, MSi atas bantuan dalam mengolah data, dan Rudi Hermawan atas bantuan di lapangan.

Terkhusus Kedua orang tua, istri dan adik yang selalu memberikan semangat dan doa kepada penulis untuk tetap berjuang menempuh pendidikan tinggi sehingga dapat berbakti pada agama dan tanah airnya.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi perbaikan tulisan ini.

Bogor, Maret 2013

(16)
(17)
(18)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI……….…….. xii

DAFTAR TABEL………..………. xv

DAFTAR GAMBAR……….. xvi

PENDAHULUAN………..………… 1

Latar Belakang………..………... 1

Perumusan Masalah……….………. 3

Tujuan Penelitian……….………. 4

Manfaat Penelitian……….……….. 4

Hipotesis……….………. 4

TINJAUAN PUSTAKA……….. 7

Suaka Margasatwa Muara Angke……….…….……….. 7

Keanekaragaman Jenis Ikan……… 8

Jenis Ikan Perairan Mangrove………. 9

Ikan Belodok Periophthalmodon schlosseri (Pallas, 1770)…. 9

Serinding Ambassis gymnocephalus(Lacepede, 1802)……… 10

Belanak Liza subviridis (Valenciennes, 1836).……… 11

Interaksi Ikan Dengan Ekosistem Mangrove……….. 12

Pertumbuhan……… 13

Hubungan Panjang dan Berat ………..…………...…….. 14

Faktor Kondisi……….………. 14

Karakter Morfologis (Morfometrik dan Meristik)…..………. 14

Fluktuasi Asimetri………..…….……….. 15

Reproduksi……….…..………. 16

Indeks Hepatosomatik……….…..……….. 16

(19)

METODE……….……….. 17

Waktu dan Tempat Penelitian……….. 17

Alat dan Bahan……….………... 19

Pengkoleksian Ikan………... 20

Pengukuran Kualitas air insitu…….………. 20

Analisis Laboratorium………... 20

Pengukuran panjang dan berat ikan……… 20

Pengukuran karakter morfometrik dan fluktuasi asimetrik… 20 Penentuan jenis kelamin jantan dan betina……….…… 21

Penimbangan dan Pengamatan Gonad……… 22

Menghitung jumlah dan mengukur diameter telur ikan…….. 22

Penimbangan hati…….……….………..……… 23

Analisis Data………..……….……… 23

Analisis data morfometrik dan meristik……….………. 24

Analisis komponen utama (PCA) ……….………… 24

Analisis Diskriminan……….……….…… 24

Fluktuasi Asimetri……….. 25

HASIL DAN PEMBAHASAN……….. 27

Keanekaragaman Jenis ………..……… 27

Perbandingan Antar stasiun………..………. 30

Sebaran Populasi dan Karakter………..……….… 30

Analisis Komponen Utama (PCA) Truss Morfometrik………… 30

Analisis Diskriminan………..……….. 32

Analisis diskriminan Periophthalmodon schlosseri…….. 32

Analisis diskriminan Ambassis gymnocephalus………… 34

Analisis diskriminan Liza subviridis……….. 35

Meristik………...……….……… 38

Fluktuasi Asimetri………... 39

Hubungan Panjang dan Berat……… 41

Faktor Kondisi……….……….. 44

(20)

Tingkat Kematangan Gonad……… 46

Indeks Kematangan Gonad………. 49

Fekunditas dan Diameter Telur……… 51

Indeks Hepatosomatik……….. 55

Fisika Kimia Air……… 57

Alternatif Pengelolaan Tiga Jenis Ikan di Suaka Margasatwa Muara Angke……….... 60

SIMPULAN DAN SARAN………... 61

Simpulan………... 61

Saran………. 61

DAFTAR PUSTAKA………. 63

LAMPIRAN……… 71

(21)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Lokasi dan karakteristik stasiun penelitian……….………. 17

2. Alat dan Bahan Untuk Koleksi Ikan ……….. 19

3. Tingkat kematangan gonad(Modifikasi Cassie pada Effendie,1997)..…….………...……….. 22

4. Keanekaragaman Jenis Ikan Di SM.Muara Angke……… 28

5. Analisis indeks keragaman jenis (H), indeks kemerataan (E) dan indeks kekayaaan jenis (d) di lokasi penelitia SMMA……… 30

6. Standar dan (bukan standar) nilai koefisien kanonikal diskriminan karakter pembeda utama pada P.schlosseri……… 33

7. Standar dan (bukan standar) nilai koefisien kanonikal diskriminan karakter pembeda utama pada A.gymnocephalus.………. 35

8. Standar dan (bukan standar) nilai koefisien kanonikal diskriminan karakter pembeda utama pada L.subviridis……… 36

9. Karakter Meristik 3 Jenis Ikan Yang Diujikan……… 38

10.Nilai FAM dan FAN pada 3 jenis ikan SMMA dan TNUK. .…… 40

11.Hubungan Panjang-Berat P.schlosseri……… 42

12.Hubungan Panjang-Berat A.gymnocephalus……….. 43

13.Hubungan Panjang Berat L.subviridis……… 44

14.Indeks Kematangan Gonad Jenis Ikan di SMMA dan TNUK….. 50

15.Fekunditas Ketiga Jenis Ikan di SMMA dan TNUK……… 52

16.Hubungan Panjang Standar dengan Fekunditas……… 53

17.Indeks Hepatosomatik P.schlosseridi SMMA dan TNUK……… 55

18.Indeks Hepatosomatik A.gymnocephalus di SMMA dan TNUK… 56 19.Indeks Hepatosomatik L.subviridisdi SMMA dan TNUK……… 56

20.Hubungan IKG dengan HSI P.schlosseri……….. 57

21.Hubungan IKG dengan HSI A.gymnocephalus……… 57

22.Hubungan IKG dengan HSI L.subviridis………. 57

(22)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Skema Perumusan Masalah……… 5

2. Ikan Belodok Periophthalmodon schlosseri………. 10 3. Ikan Serinding Ambassis gymnocephalus……… 11 4. Ikan Belanak Liza subviridis.……… 12

5. Lokasi Penelitian di SMMA……… 18

6. Lokasi Penelitian di TNUK (pengamatan tahun 2008)……… 19 7. Pengukuran dengan truss morfometrik……… 21 8. Kelimpahan Jenis dan Jumlah Individu Ikan yang diperoleh dari

SM. Muara Angke... 29

9. Sebaran Karakter Truss Morfometrik P.schlosseri berdasarkan Hasil analisis diskriminan... 34

10.Sebaran Karakter Truss Morfometrik A.gymnocephalus berdasarkan hasil analisis diskriminan... 35

11.Sebaran Karakter Truss Morfometrik L.subviridis berdasarkan

hasil analisis diskriminan... 37

(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Karakter masing-masing stasiun di TNUK……… 71

2. Lokasi Penelitian SMMA dan TNUK……… 72

3. Hasil Analisis Indeks Keanekaragaman Jenis (H), Indeks Kemerataan (E) dan Indeks Kekayaaan Spesies (d) di TNUK………. 73 4. Hasil PCA Karakter Truss Morfometrik P.schlosseri……… 74 5. Hasil PCA Karakter Truss Morfometrik A.gymnocephalus……… 76 6. Hasil PCA Karakter Truss Morfometrik L.subviridis.……… 78 7. Gambar Ketiga Jenis Ikan yang Diujikan……… 80 8. Grafik Hubungan Panjang-Berat P.schlosseri; a dan b (jantan,

betina SMMA); c dan d (jantan, betina TNUK)……… 81

9. ANOVA P.schlosseri……….……….. 82

10.Grafik Hubungan Panjang-Berat A.gymnocephalus; a dan b

(jantan,betina SMMA); c dan d (jantan, betina TNUK)……… 86

11. ANOVA A. gymnocephalus. ………..………… 87

12. Grafik Hubungan Panjang-Berat L.subviridis; a dan b (jantan,betina SMMA); c dan d (jantan, betina TNUK). ……… 91

13. ANOVA Liza subviridis ……..………. 92 14. Rasio Kelamin P.schlosseri, A.gymnocephalus dan L.subviridis.…... 96 15. Grafik Hubungan Panjang Standar dengan Fekunditas P.schlosseri di SMMA dan TNUK (a dan b) ……….… 97

16. Grafik Hubungan Panjang Standar dengan Fekunditas A.gymnocephalus di SMMA dan TNUK (a dan b) ……….… 98

17. Grafik Hubungan Panjang Standar dengan Fekunditas L.subviridis

di SMMA dan TNUK (a dan b) ……… 99

18. Grafik Hubungan IKG dengan HSI P.schlosseri jantan SMMA (a) dan TNUK (b);betina SMMA (c) dan TNUK (d) ……….. 100

(24)

20. Grafik Hubungan IKG dengan HSI L.subviridis jantan SMMA (a)

dan TNUK (b); betina SMMA (c) dan TNUK (d) ……… 102

21. Tumpukan sampah yang masuk dari S. Angke kearah

(25)

Ekosistem mangrove terhampar di sekitar 117 negara yang terbentang seluas 190.000-240.000 km2 atau sekitar mencakup seperempat panjang garis pantai di bumi. Sekitar 30% diantaranya terdapat di Indonesia. Meskipun demikian hutan mangrove di Indonesia telah mengalami penyusutan yang cepat. Pada tahun 1980 luas mangrove 4.254.000 ha, namun pada tahun 2005 tersisa hanya sekitar 2.930.000 ha (Upadhyay et al., 2002; FAO, 2007). Setiap tahunnya terjadi penyusutan sebesar 1,6 %. Bahkan di Jawa laju penyusutan hutan mangrove dari tahun 1986-1993 mencapai 8,8 % pertahunnya. Penyusutan hutan mangrove dikhawatirkan akan mengakibatkan punahnya beragam jenis fauna di dalamnya dan menurunkan kesejahteraan masyarakat pesisir (tahun 2002 mencapai 75 juta jiwa) yang menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan. Daerah pantai termasuk mangrove mendapat tekanan yang tinggi akibat perkembangan penduduk yang bermukim di daerah pantai. Menurut Inoue et al. (1999) setiap tahunnya sekitar 200.000 ha mangrove di Indonesia mengalami kerusakan. Bahkan Pramudji (2008a) memperkirakan bahwa ekosistem mangrove di Indonesia diperkirakan akan terkikis dan habis dalam waktu 10 tahun, apabila pemerintah tidak cepat tanggap dalam kelestarian dan pengelolaan mangrove.

(26)

Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) merupakan satu-satunya ekosistem mangrove di Teluk Jakarta. Secara administratif termasuk dalam wilayah kelurahan Kapuk, kecamatan Penjaringan, kotamadya Jakarta Utara. Kawasan tersebut sangat penting bagi kelangsungan hidup beragam fauna dan masyarakat sekitarnya, yang menggantungkan hidupnya di perairan tersebut hingga Kepulauan Seribu.

Suaka ini juga menjadi tempat perlindungan terakhir bagi fauna mangrove yang ada akibat terdesak oleh alih fungsi kawasan pantai. Keadaan tersebut lebih diperparah oleh proses abrasi yang terjadi di hutan mangrove yang mengakibatkan semakin susutnya wilayah tersebut. Kerusakan yang terjadi di SMMA sudah sangat kronis akibat banyaknya sampah domestik dan limbah industri maupun buangan dari mesin kapal-kapal bermotor yang menambah semakin kompleksnya permasalahan. Keadaan ini berdampak negatif terhadap populasi jenis fauna akuatik secara langsung, khususnya ikan. Padahal sumbangan dari kawasan perairan mangrove bagi perikanan dapat dikatakan besar. Sukardjo (2004) menginformasikan bahwa 1.489.000 ton hasil tangkapan laut, 3% diantaranya merupakan sumbangan dari jenis-jenis ikan yang hidupnya tergantung pada kawasan mangrove.

(27)

Thailand memiliki morfologi yang menyimpang dari normal yaitu jumlah tulang rusuk perut dan panjang dari rahang atas depan. Karakter asimetri yang kuat pada jarak di depan mata dan panjang kepalan ditunjukkan Leiognathus equulus di pantai Laut Oman yang tercemar (Al-Mamry et al., 2011).

Perumusan Masalah

Di beberapa lokasi seperti pantai timur Sumatera, pantai utara Jawa, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara dan pulau lainnya, lahan mangrove telah beralih fungsi menjadi tambak, lahan pertanian dan tempat pariwisata (Pramudji, 2008b). Dirjen Perikanan pada tahun (1999) dalam Inoue et al. (1999) melaporkan bahwa luas hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi areal pertambakan mencapai 840.000 ha. Mudahnya akses jalan menuju kawasan seringkali malah mendukung kerusakan yang terjadi. Salah satu masalah yang terjadi adalah menurunnya kualitas dan kuantitas kelompok biota termasuk jenis-jenis yang dilindungi, endemik dan terancam punah.

SMMA telah mengalami degradasi habitat yang cukup parah. Tidak adanya barrier dengan kawasan perumahan Pantai Indah Kapuk (PIK) menambah jumlah masukkan limbah rumah tangga yang masuk ke perairan mangrove tersebut. Permasalahan yang terkait dengan rusaknya hutan mangrove di SMMA adalah perusakan hutan, pencemaran air (laut dan sungai), kurangnya dukungan dari berbagai pihak dan pemberdayaan masyarakat pesisir. Padahal sumber daya hayati yang hidup dan bergantung di dalam suaka tersebut sangat rapuh dan terbatas, hal ini jelas sangat mengkhawatirkan.

(28)

mampu menopang fauna akuatik yang hidup dan berasosiasi di dalamnya (Dorenbosch dalam Genisa 2006).

Ikan yang mendiami perairan mangrove merupakan jenis-jenis yang mempunyai keunikan tersendiri, yang tahan terhadap tekanan fluktuasi lingkungan yang sangat tinggi terutama salinitas, mampu berdaptasi dan berkembang di kawasan tersebut. Melihat kondisi perairan SMMA saat ini, dapat diduga bahwa jumlah jenis maupun kelimpahan ikan yang mendiaminya telah mengalami penurunan. Tipe habitat dapat mempengaruhi karakter morfologis (morfometrik, meristik dan fluktuasi asimetri) yang dapat diukur dengan metode truss morfometrik. Karakter morfologis jenis ikan di SMMA perlu diteliti, yang akan dibandingkan dengan di TNUK Pandeglang Jawa Barat.

Tujuan Penelitian

1. Mengungkap dan menginformasikan biodiversitas ikan perairan mangrove di SMMA.

2. Menganalisis karakter morfologis (morfometrik, meristik dan fluktuasi asimetri) dan aspek reproduksi ikan khas (belodok Periophthalmodon schlosseri, serinding Ambassis gymnocephalus dan belanak Liza subviridis) penghuni SMMA, sebagai akibat beberapa tekanan dari habitatnya dan kemudian membandingkannya dengan jenis ikan yang mendiami perairan mangrove TNUK.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi atau data dasar sebagai acuan untuk pengelolaan perikanan yang berkelanjutan di perairan mangrove Suaka Margasatwa Muara Angke Penjaringan Jakarta.

Hipotesis

(29)

Gambar 1. Skema Perumusan Masalah Kawasan SM. Muara Angke

Degradasi Habitat (kondisi perairan)

Karakter morfologis

Perairan mangrove Taman Nasional Ujung Kulon

Strategi Pengelolaan

Limbah Industri Limbah darat

Penurunan Keragaman Ikan perairan mangrove dan faktor fisik-kimia

Pola Pertumbuhan dan Faktor Kondisi Pencemaran Laut

Aspek Reproduksi Data Populasi:

o Keanekeragaman Jenis o Kekayaan Jenis o Kemerataan Jenis

(30)
(31)

TINJAUAN PUSTAKA

Suaka Margasatwa Muara Angke

Kawasan konservasi dapat berupa suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru dan hutan lindung. IUCN (1994) mendefinisikan kawasan yang dilindungi sebagai suatu areal daratan dan atau lautan yang secara khusus dimaksudkan untuk melindungi dan memelihara keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam lainnya, serta kebudayaan setempat.

Suaka Margasatwa Muara Angke merupakan satu-satunya ekosistem mangrove yang tersisa di pantai Jakarta. Kawasan seluas 170,60 ha ini terletak

pada koordinat 06º06’-06º10’ LS dan 106º43’-106º48’ BT terdiri atas S.M Muara Angke, Hutan Lindung dan Taman Wisata Alam Angke Kapuk. Pada tahun 1998 status kawasan dirubah dari Cagar Alam menjadi Suaka Margasatwa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 097/Kpts-II/1998. Kawasan ini berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Kali Angke dan perkampungan nelayan Muara Angke di Timur, perumahan Pantai Indah Kapuk (PIK) di Selatan, dan Hutan Lindung Angke-Kapuk, yang dikelola oleh Dinas Kehutanan DKI Jakarta di sebelah Barat (PPLH, 2000).

Jenis vegetasi mangrove yang mendominasi adalah bakau (Rhizophora apiculata dan R.mucronata), api-api (Avicennia spp.), pidada (Sonneratia caseolaris), buta-buta (Exoecaria agallocha), dan gulma Acrostichum aureum (Karminarsih, 2007). Jenis fauna penghuni SMMA meliputi 63 jenis burung hutan dan 28 jenis burung air, dimana 17 jenis diantaranya merupakan jenis yang dilindungi. Jenis reptil yang sering dijumpai adalah Biawak (Varanus salvator). Jenis primata yang masih banyak ditemukan adalah Monyet kera (Macaca fascicularis). Namun data tentang jenis ikan yang mendiami perairan mangrove belum tercatat dengan baik.

(32)

jarang tergenangi, dapat ditemukan Heritiera litoralis dan Acanthus ilicifolius yang cukup banyak Di kawasan ini ditemukan berbagai jenis fauna yang unik dan endemik, misalnya Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus), banteng (Bos javanicus), rusa (Cervus timorensis), Harimau Tutul (Panthera pardus), Anjing Ajag (Cuon alpinus javanicus), Kucing Kuwuk (Prionailurus bengalensis), Owa Jawa (Hylobates moloch), Lutung Surili (Presbytis comata), Lutung Budeng (Trachypithecus auratus), dan Kima Raksasa (Tridacna gigas). Laporan sebelumnya menunjukkan bahwa kawasan ini memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi yang meliputi 35 jenis mamalia, 5 jenis primata, 59 jenis reptil, 22 jenis amfibia, 240 jenis burung, 33 jenis terumbu karang dan 142 jenis ikan. Bila dibandingkan dengan kekayaan spesies vertebrata yang terdapat di Jawa, maka kekayaan vertebrata TNUK, diwakili mamalia 26,32%, burung 66,3%, dan reptil 34,10% (Suyanto et al., 2008).

Selanjutnya tekanan lingkungan yang terjadi di SMMA sudah sangat mengkhawatirkan, sehingga penelitian mengenai biodiversitas ikan perlu segera dilakukan. Data yang diperoleh nantinya dapat dipergunakan sebagai dasar dalam menentukan kebijakan dalam pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan.

Keanekaragaman Jenis

Keanekaragaman dan kelimpahan jenis ikan ditentukan oleh karakteristik habitat dan faktor lingkungan perairan. Secara ekologis, keanekaragaman jenis ikan yang tinggi menunjukkan keseimbangan ekosistem yang lebih baik. Selain itu mempunyai elastisitas yang baik terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim, yang terkadang secara tiba-tiba berubah, misalnya serangan penyakit, predator dan lain sebagainya, begitu pula sebaliknya. Ludwig dan Reynolds (1988) berpendapat bahwa keanekaragaman jenis suatu komunitas ditentukan oleh jumlah atau kekayaan jenis dan nilai kemerataaan jenis.

Pada beberapa perairan mangrove yang masih terjaga dengan cukup baik memiliki keanekaragaman ikan yang relatif tinggi, misalnya di perairan mangrove Teluk Tudor Kenya diperoleh 83 jenis ikan dan 115 jenis ikan di Teluk

Dongzhaigang China (Sesakumar et al. 1992; Wang et al, 2009). Sebaliknya di

(33)

et al, 2001). Hal tersebut dikarenakan telah terjadi kerusakan yang cukup serius akibat pembukaan kawasan hutan mangrove (Munisa et al., 2003).

Jenis Ikan di Perairan Mangrove

Ikan merupakan kelompok dari organisme bertulang belakang (vertebrata) paling besar. Menurut Nelson (2006) terdapat 28.400 jenis ikan yang terdiri atas 62 bangsa, 515 suku dan 4494 marga. Sebagian besar 58% hidup di laut, 41% di air tawar dan 1% hidup diantara kedua habitat tersebut, atau mempergunakan habitat ini diantara siklus hidupnya (Cohen, 1970).

Jumlah jenis ikan penetap yang hidup dan berkembang di kawasan tersebut memang lebih sedikit. Hanya jenis ikan yang memiliki kemampuan adaptasi terhadap salinitas cukup tinggi yang mampu berkembang. Dengan demikian komunitas ikan di perairan mangrove hanya didominasi oleh beberapa jenis saja, meskipun jumlah ikan yang tertangkap relatif banyak dan umumnya berukuran juvenile. Hal ini dapat dilihat di perairan mangrove Selangor Malaysia dimana dari 21. 670 individu yang tertangkap, hanya terdapat 119 jenis, dan 70% diantaranya didominansi oleh 6 jenis ikan (Gunarto, 2004).

Jenis-jenis ikan penghuni mangrove umumnya mempunyai karakter morfologi yang unik, seperti ikan belodok yaitu Periophthalmodon sp. dan Boleophthalmus sp., serta ikan sumpit Toxotes jaculatrix, yang memiliki kemampuan menyumpit mangsanya di atas permukaan air menjadi sifat khas tersendiri.

Ikan Belodok Periophthalmodon schlosseri (Pallas, 1770)

Ikan belodok atau gelodok merupakan jenis ikan penetap yang berasosiasi dengan baik di dalam ekosistem mangrove. Jenis ini termasuk dalam bangsa Perciformes, suku Gobiidae dan marga Periophtalmodon. P.schlosseri merupakan salah satu jenis Gobiidae yang berukuran besar (Giant Mudskipper) dengan panjang maksimum mencapai 27 cm (Kottelat et al, 1993).

(34)

(meskipun pada beberapa spesimen garis hitam mungkin kurang jelas). Sirip ekor berwarna coklat gelap sampai abu-abu. Jumlah duri sirip punggung pertama adalah 6-9, dan satu pada sirip punggung kedua dengan 11-12 jari-jari lunak. Jari-jari dada 15-17. Sirip dubur mempunyai 1 duri dengan 11-13 Jari-jari-Jari-jari lunak. Kedua sirip perut bersatu dan membentuk suatu cakram. Sirip dada berfungsi seperti kaki, dapat dipergunakan untuk berlari dan memanjat (Gambar 2). Marga ini ditandai dengan adanya dua baris gigi pada rahang atas, pada baris kedua gigi di rahang atas gigi jumlahnya sedikit dan lebih kecil. Larson dan Lim (2005) menambahkan bahwa gigi baris terluar membesar dan melengkung.

(Gambar 2. Periophthalmodon schlosseri, foto oleh: Wahyudewantoro, 2012)

Belodok dapat bertahan lama hidup di luar air/ daratan, karena mampu bernafas melalui kulit dan memiliki lapisan selaput lendir di mulut dan kerongkongannya, yang hanya bisa terlaksana dalam keadaan lembab. Belodok berasosiasi sangat erat dengan ekosistem mangrove. Ikan ini seringkali terlihat berkelompok di antara akar nafas Sonneratia alba dan memanfaatkannya sebagai tempat perlindungan bila dalam keadaan terancam. Makanannya berupa ketam, udang, ikan, cumi-cumi, kerang, bahkan semut dan lalat. Ikan belodok memiliki nilai komersial tinggi di beberapa negara Asia (Cina, Korea dan Vietnam) antara lain ikan konsumsi obat di Tiongkok dan Jepang, dan sudah mulai dibudidayakan (Mukhtar et al, 2012).

Serinding Ambassis gymnocephalus (Lacepede, 1802)

(35)

besar dan mulut tipis. Sirip punggung pertama dengan 7 duri, sedangkan sirip punggung kedua 1 duri dan 9 jari-jari lunak. Sirip dubur mempunyai 3 duri dan 9-10 jari-jari lunak. Sisik pada gurat sisi berjumlah 27-29 (Weber and Beaufort, 1929 dalam Kottelat et al., 1993).

(Gambar 3. Ambassisgymnocephalus, foto oleh Wahyudewantoro, 2012)

Serinding dapat dijumpai di perairan yang tidak terlalu dalam, umumnya di sekitar muara. Makanannya berupa krustasea, ikan yang berukuran lebih kecil, telur dan larva ikan di sekitar mangrove. A.gymnocephalus merupakan jenis pemakan zooplankton yang paling dominan di perairan mangrove (Sukardjo, 2004). Pemanfaatan ikan ini lebih banyak diasinkan dan dikeringkan (Kottelat et al., 1993).

Belanak Liza subviridis (Valenciennes, 1836)

(36)

(Gambar 4. Liza subviridis, foto oleh Wahyudewantoro, 2012)

Ikan ini dapat dijumpai di perairan mangrove di seluruh perairan tropis dan subtropis. Berenang secara berkelompok, walaupun terkadang terlihat soliter. Pada fase juvenil ikan bersifat omnivore, memakan zooplankton dan phytoplankton, namun setelah dewasa lebih bersifat herbivore, memakan diatom dan alga (McDonough, 2011). Sukardjo (2004) menyatakan L.subviridis adalah jenis yang sangat dominan di perairan mangrove.

Interaksi Ikan dengan Ekosistem Mangrove

Interaksi merupakan hubungan timbal balik antara habitat abiotik dengan biotik, begitupun sebaliknya. Interaksi ini menciptakan kesatuan ekologi yang disebut ekosistem. Hal tersebut dapat dilihat diantara jenis-jenis ikan yang masuk maupun yang memang menetap di perairan mangrove. Serasah mangrove (daun, ranting dan buah) yang jatuh ke air atau mati, akan dimanfaatkan oleh kepiting sesarmid, lalu akan mengalami proses dekomposisi oleh mikroba. Pada akhirnya akan menjadi bahan makanan bagi bivalvia, gastropoda dan pemakan detritus lainnya yang menjadi makanan bagi juvenil ikan, udang dan kepiting (Sheridan dan Hays, 2003; Gunarto, 2004). Substrat di ekosistem mangrove merupakan tempat yang sangat disukai oleh biota yang hidup di dasar perairan atau bentos. Nagelkerken et al. (2000) telah membandingkan kepadatan ikan di tiga wilayah perairan (mangrove, lamun dan terumbu karang) di Bonaire Belanda, diperoleh 9 dari 14 juvenil ikan yang terkoleksi di daerah mangrove.

(37)

sementara, yaitu ikan yang berasosiasi dengan hutan mangrove selama periode anakan, tetapi pada saat dewasa cenderung menggerombol di sepanjang pantai yang berdekatan dengan hutan mangrove, seperti ikan belanak (Mugilidae), ikan kuweh (Carangidae), dan ikan kapasan, kontong (Gerreidae). Selanjutnya adalah kelompok pengunjung, yaitu ikan yang berkunjung ke hutan mangrove pada saat air pasang untuk mencari makan, contohnya ikan kekemek, gelama, krot (Scianidae), barakuda, alu-alu, tancak (Sphyraenidae), dan ikan-ikan dari suku Exocietidae serta Carangidae.

Vance et al. (1996) dalam Sheridan dan Hays (2003) mencatat bahwa akar bakau dapat mencegah predator sehingga dapat meningkatkan kemampuan bertahan hidup dari ikan-ikan kecil. Selain itu komunitas ikan memiliki ketergantungan terhadap ekosistem mangrove dalam penyediaan sumber makanan bagi fase larva dan juvenilnya (Tse et al., 2008). Juvenile dari marga Haemulon dan Lutjanus di perairan mangrove Caribia sangat tergantung dari keberadaan mangrove (Nagelkerken et al., 2000). Banyak jenis ikan laut yang masuk atau naik ke perairan tawar untuk bertelur tetapi pada masa larva dan post larva menggunakan daerah estuaria sebagai tempat asuhannya (Dando, 1984).

Chong et al. (1990) melaporkan bahwa perairan mangrove merupakan tempat mencari makan pada waktu terjadi pasang tinggi bagi ikan-ikan ekonomis maupun non ekonomis. Ikan ekonomis yaitu suatu jenis ikan yang mempunyai kualitas daging yang bagus, baik dari segi tekstur, rasa, warna dan ketebalan daging tinggi, sehingga harga jualnya relatif tinggi. Beberapa jenis ikan ekonomis penting di perairan Cilacap adalah Anguilla bicolor, A.mauritiana, Chanos-chanos, Lutjanus argentimaculatus, L.sanguineus, L.johni, Muraenesox talabon, Epinephelus tauvina dan Labotes surinamensis (Bhagawati et al., 2001).

Pertumbuhan

(38)

Hubungan Panjang dan Berat

Untuk menghitung pertumbuhan diperlukan data panjang dan berat ikan Perbandingan antara panjang-berat dapat menunjukan perubahan yang terjadi pada bentuk morfologi atau kondisi dari hewan tersebut. Hubungan panjang-berat menggambarkan karakteristik struktur individu diantara populasi (Omar, 2005).

Faktor Kondisi

Faktor kondisi merupakan salah satu bagian yang penting dalam masalah pertumbuhan ikan. Faktor kondisi atau ponderal index diperuntukkan untuk melihat keadaan yang menyatakan kemontokan tubuh ikan, baik dilihat dari segi kapasitas fisik maupun segi survival dan reproduksinya (Effendie, 1997). Nilai ini dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, makanan, dan tingkat kematangan gonad

Karakter Morfologi (Morfometrik dan Meristik)

Karakter morfologi meliputi studi morfometrik dan meristik dari ikan. Dengan mempergunakan karakter morfologi dapat mengidentifikasi bagian-bagian spesifik dari suatu jenis ikan yang memungkinkan untuk pengelolaan yang lebih baik dan menjamin pelestarian sumberdaya (Turan, 1999).

Morfometrik adalah ciri yang berkaitan dengan ukuran tubuh atau bagian tubuh ikan, misalnya panjang total, panjang standar, dan panjang sirip-siripnya. Studi morfometrik menyediakan bukti ciri-ciri tersendiri dari stok ikan (Turan, 1999). Ukuran tubuh merupakan salah satu hal yang dapat digunakan sebagai ciri taksonomik dalam mengidentifikasi ikan. Hasil pengukuran dinyatakan dalam satuan milimeter atau centimeter, ukuran yang dihasilkan disebut ukuran mutlak. Adapun meristik adalah ciri yang berkaitan dengan jumlah bagian tubuh dari ikan, misalnya jumlah sisik pada garis rusuk, jumlah jari-jari keras dan lunak pada sirip punggung, sirip perut, sirip dada dan batang ekor (Affandi, et al.,1992).

(39)

homogulus tertentu di sepanjang tubuh, kemudian mengukur jarak antara titik-titik tersebut. Brojo (1999) menegaskan bahwa pengukuran dengan metode truss morfometrik dapat memberikan hasil dan informasi lebih terperinci dengan menggambarkan bentuk ikan dan memperkecil kesalahan dalam pengukuran. Ketika seluruh sampel ikan yang terkumpul mempunyai umur yang sama, itu tidak menjadi masalah, namun di alam umur dan ukuran tubuh ikan sangat beragam. Turan (1999) menyatakan seluruh karakter ikan yang telah diukur harus dikonversi dengan cara membagi nilai karakter dengan panjang standar.

Fluktuasi Asimetri

Fluktuasi asimetri merupakan konsep perbedaan yang bersifat bilateral antara karakter bagian sisi kiri dan kanan yang menyebar secara normal sebagai akibat dari ketidakmampuan individu untuk berkembang secara tepat dan normal (Van Valen, 1962). Menurut Utayopas (2001) fluktuasi asimetri adalah penyimpangan dari bentuk morfologi yang normal (simetris), yang dapat dengan cepat terdeteksi dimana dapat menyebabkan ketidaksehatan yang tersebar meluas atau perubahan di dalam struktur komunitas. Fluktuasi asimetri juga dipergunakan sebagai ukuran ketidaksamaan perkembangan, dapat pula dikatakan perbedaan acak antara karakter morfometrik pada setiap bidang simetri.

Fluktuasi asimetri dianggap mencerminkan kemampuan organisme untuk mengatasi tekanan lingkungan, dan sebagai indikator dari kualitas jenis dalam studi seleksi alam, dan bioindikator untuk pemantauan lingkungan dan biologi konservasi (Tomkins dan Kotiaho, 2001). Peningkatan fluktuasi asimetri pada ikan dapat diamati melalui diameter mata, jumlah rigi pada tapis insang, jari-jari sirip dada (pectoral) dan jari-jari sirip perut (ventral).

(40)

Reproduksi

Seluruh mahluk hidup untuk mempertahankan populasinya di alam harus melakukan suatu tahap yang dinamakan reproduksi atau seringkali disebut proses pemijahan. Reproduksi adalah suatu proses pertemuan atau penggabungan antara ikan jantan dan betina yang bertujuan untuk pembuahan telur oleh spermatozoa. Ikan jantan dan betina umumnya mengeluarkan spermatozoa ke dalam air di sekitar sel-sel telur.

Beberapa aspek penting dalam mempelajari reproduksi adalah nisbah kelamin, tingkat/indeks kematangan gonad (TKG/IKG) dan fekunditas atau jumlah telur. Pertambahan bobot gonad akan diikuti oleh pertambahan bobot ikan. Bobot gonad akan mencapai keadaan maksimum pada saat ikan akan melakukan reproduksi, kemudian akan menurun drastis selama reproduksi sedang berlangsung sampai selesai (Effendie, 1997). Fekunditas adalah banyaknya telur yang terdapat di dalam ovarium sebelum terjadi proses reproduksi.

Indeks hepatosomatik (HIS)

Indeks hepatosomatik adalah perbandingan antara bobot hati dengan bobot tubuh ikan. Pada lingkungan yang ekstrim, umumnya ikan mempunyai ukuran hati yang kecil. Hati berfungsi sebagai cadangan energi. Faktor yang mempengaruhi nilai HSI adalah suhu, makanan, TKG, dan polusi setempat. El Sayed dan Moharram (2007) menyatakan bahwa akumulasi dan penyimpanan lemak dan protein di dalam hati terjadi sebelum pemijahan ikan.

Fisika Kimia Air

(41)

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

[image:41.595.110.577.279.620.2]

Penelitian dilaksanakan di Suaka Margasatwa Muara Angke, Penjaringan Jakarta Utara, pada bulan Februari 2012 sampai April 2012. Stasiun pengambilan contoh ikan merupakan muara sungai dan sekitarnya yang merupakan kawasan mangrove (Gambar 5). Karakteristik setiap stasiun sampling terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Lokasi dan karakteristik stasiun penelitian

Stasiun Lokasi Karakteristik

I. Danau Angke - Pasang surut dominan.

- Vegetasi mangrove relatif tertutup. - Substrat berlumpur dan berpasir. - Warna air sungai hitam kecoklatan. - Sampah relatif sedikit, banyak serasah. - Tidak dilewati perahu nelayan.

II. Pesisir Muara Angke

- Daerah pasang surut. - Vegetasi Mangrove terbuka.

- Substrat berpasir dan sedikit berlumpur. - Warna air sungai hitam kecoklatan. - Banyak sampah.

- Perahu nelayan relatif sering terlihat disekitar pesisir.

III. Muara Angke - Daerah pasang surut.

- Vegetasi Mangrove terbuka.

- Substrat berpasir dan sedikit berlumpur. - Warna Air hitam kecoklatan dan keruh. - Banyak Sampah.

- Lalu lintas perahu nelayan. IV. SM.Muara Angke

(POS 1)

- Pasang surut relatif kurang dominan.

- Vegetasi mangrove relatif tertutup. Banyak mangrove muda (hasil penanaman kembali) - Substrat lumpur.

(42)
[image:42.595.84.526.86.416.2]

Gambar 5. Lokasi Penelitian di SMMA

(43)
[image:43.595.118.546.100.412.2]

Gambar 6. Lokasi Penelitian di TNUK (Pengamatan tahun 2008)

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang dipergunakan selama penelitian tertera di Tabel 2. Tabel 2. Alat dan Bahan Untuk Koleksi Ikan

No Alat dan Bahan Keterangan

1. Jala dengan mata jaring 1,5 dan 2,0 cm

Koleksi ikan tempat yang dalam

2. Gill net dengan mata jaring ¾ inch, 1 inch, 1.5 inch dan 2 inch cm

Koleksi ikan di arus yang tidak deras

3. Plastik berbagai ukuran Penyimpanan sementara sampel ikan

4. Cool box Penyimpanan dan pengangkutan

ikan

5. Termometer Mengukur suhu air

6. pH meter Mengukur pH

7. refraktometer Mengukur Salinitas

8. Secchi disk Kecerahan air

9. DO meter Mengukur DO air

10. Alat ukur dan timbang Panjang dan bobot

11. Botol Mengambil sampel air

[image:43.595.117.512.514.742.2]
(44)

Pengkoleksian ikan

Ikan uji yang dipergunakan adalah P.schlosseri, L. subviridis dan A.gymnocephalus, ketiga jenis ikan tersebut dianggap mewakili jenis ikan khas yang mendiami ekosistem mangrove. Pengambilan contoh ikan di setiap stasiun/lokasi menggunakan beberapa alat tangkap seperti, jala tebar dengan mata jaring 1,5 dan 2,0 cm dan jaring insang (gillnet) dengan mata jaring ¾, 1, 1,5 dan 2 inch. Metode pengkoleksian ikan mengacu pada Suhardjono (1999). Spesimen ikan yang diperoleh selanjutnya dihitung jumlah jenis dan jumlah individu setiap jenisnya. Pengawetan (fiksasi) spesimen dengan menggunakan formalin 5% pada botol kaca berlabel yang berisi data lapangan. Identifikasi spesimen ikan yang terkoleksi mengacu pada beberapa buku kunci identifikasi yaitu Allen dan Swainston (1988), Kottelat et al. (1993) dan Peristiwady (2006).

Pengukuran fisika kimia air insitu

Pengukuran kualitas air yang dilakukan di lokasi penelitian meliputi suhu air, pH, DO, salinitas, arus dan kecerahan. Sedangkan untuk CO2 bebas, nitrit, nitrat, turbiditas, TSS, serta Pb dan Cd untuk logam berat dilakukan di laboratorium. Pengukuran dilakukan sebelum dan setelah penelitian.

Analisis Laboratorium

Ragam jenis ikan khas perairan mangrove yang diujikan yaitu P.schlosseri, L. subviridis dan A.gymnocephalus. Ketiga jenis ikan tersebut selanjutnya diukur untuk mengetahui karakter morfologis, pertumbuhan dan aspek reproduksinya.

Pengukuran panjang ikan dan berat

Panjang ikan yang yang tertangkap diukur dengan digital caliper Mituyo dengan ketelitian 1 milimeter. Panjang total ikan diukur dari ujung mulut sampai ujung sirip ekor (Total Length=TL). Berat total ikan diukur dengan timbangan digital Mettler toledo ketelitian 1 gram. Selanjutnya data panjang dan berat ikan tersebut dicatat dan dipergunakan untuk keperluan pola pertumbuhan.

Pengukuran Morfometrik dan fluktuasi asimetrik

(45)
[image:45.595.173.448.129.261.2]

ini berupa pengukuran jarak titik-titik yang dibuat pada kerangka tubuh ikan, masing-masing garis truss diperoleh 21 karakter (Gambar 7).

Gambar 7. Pengukuran dengan truss morfometrik Keterangan :

a : Jarak antara titik di ujung mulut dengan titik di ujung bagian atas insang. b : Jarak antara titik di ujung mulut dengan titik di ujung bagian bawah insang. c : Jarak antara titik di ujung bagian atas insang dengan bagian bawah insang. d : Jarak antara titik di ujung bagian atas insang dengan titik di awal sirip punggung.

e : Jarak antara titik di ujung bagian atas insang dengan titik di awal sirip perut. f : Jarak antara titik di ujung bagian bawah insang dengan titik di awal sirip punggung.

g : Jarak antara titik di ujung bagian bawah insang dengan titik di awal sirip perut. h : Jarak antara titik di awal sirip punggung dengan titik di awal sirip perut. i : Jarak antara titik di awal sirip punggung dengan akhir sirip punggung. j : Jarak antara titik di awal sirip punggung dengan akhir sirip perut. k : Jarak antara titik di akhir sirip punggung dengan awal sirip perut. l : Jarak antara titik di awal sirip perut dengan akhir sirip perut.

m : Jarak antara titik di akhir sirip punggung dengan titik di akhir sirip perut. n : Jarak antara titik di akhir sirip perut dengan titik di awal sirip anal. o : Jarak antara titik di akhir sirip punggung dengan titik di awal sirip anal. p : Jarak antara titik di awal sirip anal dengan akhir sirip anal.

q : Jarak antara titik di akhir sirip punggung dengan titik di akhir sirip anal. r : Jarak antara titik di awal sirip anal dengan titik di awal sirip ekor bagian atas. s : Jarak antara titik di awal sirip ekor bagian atas dengan titik di akhir sirip anal. t : Jarak antara titik di akhir sirip anal dengan titik di sirip ekor bagian bawah. u : Jarak antara titik di awal sirip ekor bagian atas dengan sirip ekor bagian bawah.

Penghitungan karakter meristik meliputi jumlah dari jari-jari sirip punggung, jari-jari sirip dada, jari-jari sirip perut, jari-jari sirip anal dan sisik pada gurat sisi. Sedangkan fluktuasi asimetri diamati melalui diameter mata, tapis insang, jari-jari sirip dada (pectoral) dan jari-jari sirip perut (ventral).

Penentuan jantan dan betina

(46)

dimasukkan ke dalam larutan alkohol 70%. Di alam diperkirakan jumlah ikan jantan dan betina yang tertangkap diperkirakan sama yaitu 1 : 1 (Omar, 2005). Nisbah kelamin penting diketahui karena berpengaruh terhadap kestabilan populasi ikan.

Penimbangan dan Pengamatan Gonad

Gonad dipisahkan berdasarkan jenis kelamin, kemudian ditimbang untuk mengetahui bobot totalnya. Hasilnya dibagi dengan bobot total ikan, sehingga diperoleh selisih nilai, yang disebut indeks kematangan gonadnya.

[image:46.595.84.481.394.611.2]

Selanjutnya gonad diamati sesuai dengan morfologinya. Penentuan tingkat kematangan gonad didasarkan kepada bentuk, ukuran dan warna, serta perkembangan isi gonad yang terlihat (Effendie, 1997). Tabel 3 memperlihatkan ciri-ciri morfologi dari gonad yang teramati dilihat berdasarkan modifikasi Cassie pada Effendie (1997).

Tabel 3. Tingkat kematangan gonad (TKG) (Modifikasi Cassie pada Effendie, 1997)

TKG Struktur Morfologis Gonad Jantan

Struktur Morfologis Gonad

I Testes seperti benang, lebih pendek dan terlihat ujungnya di rongga tubuh, warna jernih.

Ovari seperti benang, panjang sampai ke depan rongga tubuh, warna jernih, permukaan licin.

II Ukuran testes lebih besar, warna putih seperti susu, bentuk lebih jelas daripada TKG I.

Ukuran ovari lebih besar, warna lebih gelap kekuning-kuningan, telur belum terlihat jelas tanpa kaca pembesar. III Permukaan testes bergerigi, warna

makin putih dan makin besar. Dalam keadaan diawetkan mudah putus

Butir-butir telur mulai kelihatan dengan mata. Butir-butir minyak makin kelihatan.

IV Seperti TKG III tampak lebih jelas, testes makin pejal.

Ovari bertambah besar, telur berwarna kuning, mudah dipisahpisahkan, butir minyak tidak tampak. Ovary mengisi ½-2/3 rongga perut dan rongga perut terdesak.

Menghitung Jumlah dan Mengukur Diameter Telur Ikan

(47)

totalnya. Selanjutnya secara acak ambil 3 bagian dari satu gonad yang diamati, lalu ditimbang beratnya. Gonad contoh tersebut diencerkan ke dalam 10 ml air. Setelah itu, dengan mempergunakan pipet tetes diambil 1 ml volume pengenceran. Penentuan diameter telur dilakukan secara acak dari bagian posterior, tengah dan anterior. Telur-telur diambil dan disusun pada gelas objek dan diamati di bawah mikroskop yang dilengkapi dengan micrometer okuler dengan metode sensus.

Penimbangan hati.

Organ hati sangat diperlukan untuk mengetahui kondisi perairan, dimana warna hati dapat dijadikan indikator perairan yang tercemar. Bobot hati yang telah diawetkan ditimbang, kemudian hasilnya dibagi dengan bobot total dari ikan tersebut.

Analisis Data

Data yang dianalisis meliputi:

Indeks keanekaragaman jenis (Shannon dan Weaver dalam Odum, 1971) dengan rumus: H = - ∑ pi ln pi

Dimana: H = Indeks keanekaragaman jenis

Pi = ni/N

ni = Jumlah individu jenis ke i N = Jumlah individu keseluruhan

 Indeks kemerataan (Pielou dalam Southwood, 1971) dengan rumus:

E = H/ln S

Dimana: E = Indeks kemerataan

H = Indeks keanekaragaman jenis S = Jumlah jenis

 Indeks kekayaan jenis (Margalef dalam Odum 1971) dengan rumus:

d = S-1/ln N

Dimana: d = Indeks kekayaan jenis S = Jumlah jenis

 Hubungan panjang (L) dan berat (W) dengan rumus (Effendie, 1997): W = aLb

(48)

 Faktor kondisi dengan mempergunakan persamaan (Effendie, 1997):

K= 105W L3

Dimana: K = Faktor kondisi

W = berat rata-rata ikan (gram) L = panjang rata-rata ikan

Analisis data morfometrik dan meristik Analisis komponen utama (PCA)

Metode untuk menghitung perbedaan karakter morfometrik dari tiga populasi menggunakan analisis data yang dinamakan Analisis Komponen Utama (PCA). Berdasarkan analisis dari Program PCA diperoleh suatu komponen utama yang mampu mempertahankan sebagian besar informasi yang diukur dengan menggunakan keragaman total dengan menggunakan sedikit komponen utama saja. Pada prinsipnya analisis ini mempergunakan pengukuran jarak Euclidean.Hasil analisis yang diperoleh yaitu dalam bentuk matrik data yang nilai-nilainya menunjukkan kedekatan suatu karakter berkaitan dengan karakter lainnya. Apabila total ragam yang dapat dijelaskan besar maka komponen utama tersebut mampu mempertahankan informasi yang diukur, dan dilanjutkan dengan mempergunakan analisis diskriminan.

Analisis Diskriminan

(49)

Fluktuasi Asimetri

Penghitungan untuk mengetahui fluktuasi asimetri dipergunakan rumus yang dikemukakan oleh Leary et al. (1985), yaitu:

FAm = ∑ (L-R) FAn = ∑ (Z) n n

keterangan :

FAm = Fluktuasi asimetri besaran FAn = Fluktuasi asimetri bilangan L = Jumlah karakter sisi kiri R = Jumlah karakter sisi kanan

Z = Jumlah individu asimetri untuk ciri meristik tertentu n = Jumlah seluruh sampel yang diamati

 Indeks kematangan gonad (IKG), dihitung dengan membagi bobot gonad dengan bobot badan menurut metoda yang dikemukakan oleh Effendie (1997):

IKG = BG x 100 BT

Dimana : BG adalah bobot gonad (gram), BT adalah bobot tubuh (gram)

 Fekunditas, mempergunakan rumus sebagai berikut (Effendie, 1997):

F = G x V x X Q Dimana : F = Fekunditas (butir)

G = Bobot gonad total (gram) V = Isi pengenceran

X = Jumlah telur tiap cc

Q = Bobot gonad contoh (gram)

 Indeks hepatosomatik (HIS) merupakan rasio antara bobot hati dengan bobot tubuh ikan dengan rumus sebagai sebagai berikut:

HIS = BH x 100

BT

(50)
(51)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keanekaragaman Jenis

Sebanyak 1535 individu ikan dari 32 jenis, 29 marga dan 26 suku diperoleh dari kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) (Tabel 4). Hasil tersebut menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis ikan di SMMA termasuk rendah (sesuai dengan indeks keanekaragaman jenis yang terlihat di Tabel 5) dibanding ikan di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Jawa Barat, yang mencapai 59 jenis, 34 suku, 48 marga dari 1151 individu (sesuai dengan indeks keanekaragaman jenis di lampiran 3). Bahkan masih lebih rendah dibanding keanekaragaman ikan di perairan mangrove sungai Mahakam, Kalimantan Timur terkoleksi 80 jenis ikan yang mewakili 44 suku (Genisa, 2006). Rendahnya jumlah jenis ikan di SMMA disebabkan oleh kondisi perairannya yang relatif tercemar dan vegetasi mangrove relatif terbuka. Kondisi serupa terjadi di Segara Anakan Cilacap, akibat eksploitasi besar-besaran hutan mangrove yang dikonversi menjadi tambak perikanan dan pemukiman, serta pendangkalan akibat lumpur dari erosi beberapa sungai di sekitarnya (BDISDA, 2010). Secara tidak langsung kondisi tersebut mempengaruhi keanekaragaman fauna akuatik, khususnya ikan yang menggunakan perairan mangrove sebagai habitat. Menurut Genisa (2006) tinggi rendahnya keanekaragaman jenis ikan dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya kualitas lingkungan. Keberadaan mangrove mampu menopang fauna akuatik yang hidup dan berasosiasi di dalamnya (Dorenbosch dalam Genisa 2006).

(52)
[image:52.595.94.523.165.680.2]

Gobiidae merupakan jenis penetap dengan kemampuan adaptasi yang baik pada ekosistem mangrove.

Tabel 4. Keanekaragaman Jenis Ikan Di SM.Muara Angke

No Suku Jenis Sta.1 Sta.2 Sta.3 Sta.4

1 Megalopidae Megalops cyprinoides 19 26 24 0

2 Clupeidae Sardinella fimbriata 5 28 19 1

3 Engraulididae Stolephorus commersonii 7 26 28 0

4 Chanidae Chanos chanos 0 11 9 0

5 Bagridae Mystus gulio 3 0 0 6

6 Clariidae Clarias batrachus 1 0 0 3

7 Loricariidae Liposarcus pardalis 1 0 0 7

8 Hemiramphidae Dermogenys pussila 13 17 0 34

9 Zenarchopterus dispar 2 6 4 2

10 Aplocheilidae Aplocheilus panchax 83 0 0 190

11 Poeciliidae Xiphophorus hellerii 92 0 0 226

12 Synbranchidae Monopterus albus 4 0 0 4

13 Chandidae Ambassis gymnocephalus 21 50 36 16

14 A. interrupta 7 9 25 0

15 Carangidae Caranx sexfasciatus 5 11 11 3

16 Leiognathidae Leiognathus equulus 59 233 84 0 17 Lutjanidae Lutjanus argentimaculatus 0 1 0 0

18 Gerreidae Gerres kapas 0 3 2 0

19 Sciaenidae Johnius belengerii 0 0 1 0

20 Scatophagidae Scatophagus argus 1 4 5 0

21 Cichlidae Oreochromis mossambicus 11 0 0 5

22 Oreochromis niloticus 6 0 0 3

23 Mugillidae Liza subviridis 22 42 26 11

24 Liza sp. 1 7 9 0

25 Eleotrididae Ophiocara porocephala 18 0 0 15

26 Gobiidae Drombus kranjiensis 4 0 0 8

27 Boleopthalmus boddarti 3 14 4 2

28 Periophtalmodon schlosseri 20 36 27 11

29 Anabantiidae Anabas testudineus 28 0 0 21

30 Belontiidae Trichogaster trichopterus 54 0 0 63

31 Channidae Channa striata 15 0 0 21

32 Triacanthidae Triacanthus biaculeatus 0 3 2 0

Jumlah Jenis 505 527 316 652

Keterangan: 1.Danau;2.Pesisir;3.Muara;4.Suaka

(53)

dirinya pada substrat (Kottelat et al., 1993). Pramudji (2005) melaporkan bahwa di kawasan pesisir Delta Mahakam ditemukan Gobiidae dalam stadium larva dan juvenile. Ikan belodok (mudskipper) dapat hidup di air dan permukaan lumpur di sekitar mangrove dan memiliki kemampuan berjalan dan memanjat dengan menggunakan sirip dadanya. Dalam keadaan bahaya, ikan belodok akan bersembunyi di sekitar tanaman mangrove. Dewantoro et al. (2005) melaporkan bahwa di Cagar Alam Leuweung Sancang Garut jenis belodok P.schlosseri terlihat mendominasi dari berbagai ukuran.

Ditinjau dari kelimpahannya, Leiognathus equulus mendominasi dengan 376 individu, Xiphophorus hellerii 318 individu, dan Aplocheilus panchax 273 individu (Gambar 8). Ketiga jenis ikan tersebut terlihat sering berenang secara berkelompok di setiap stasiun penelitian. Di perairan mangrove TNUK Liza subviridis merupakan jenis yang mendominasi dengan 110 individu (Wahyudewantoro, 2008. belum dipublikasikan).

Gambar 8. Kelimpahan Jenis dan Jumlah Individu Ikan yang diperoleh dari SM. Muara Angke

[image:53.595.119.549.383.651.2]
(54)

2006) yang menyatakan bahwa L.equulus merupakan jenis ikan yang mendiami perairan dangkal dan muara-muara sungai. Sedangkan Xiphophorus hellerii dan Aplocheilus panchax ditemukan melimpah di danau dan kawasan perairan Suaka. Kedua jenis ini merupakan predator larva nyamuk yang efisien. Keberadaan X. hellerii sebagai ikan introduksi terkadang berdampak negatif bagi ikan asli (Kottelat et al., 1993). Menurut Rachmatika dan Wahyudewantoro (2006) ikan introduksi memiliki preferensi hidup di lingkungan yang kualitas habitatnya umumnya sudah menurun. Chong et al. (1990) menambahkan bahwa komunitas ikan di perairan mangrove umumnya didominasi oleh beberapa jenis ikan, meskipun jenis ikan yang tertangkap relatif banyak. Seluruh jenis ikan yang tertangkap di stasiun penelitian SMMA relatif berukuran juvenile. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Odum (1971) bahwa ekosistem mangrove adalah daerah asuhan nursery dan feeding ground. Di perairan mangrove Bahama sampel ikan tertangkap sebagian besar berukuran juvenile (Wilcox et al., 1975).

Perbandingan Antar stasiun

Danau Angke memiliki indeks keanekaragaman jenis (H) tertinggi yaitu 2.673, kemerataan jenis 0.830 (E), dan kekayaan jenis 3.391 (d) dibandingkan stasiun lainnya (Tabel 5). Sedangkan jumlah jenis ikan yang terkoleksi di Danau Angke lebih rendah dibandingkan pesisir, namun dilihat dari indeks kemerataan, danau angke lebih tinggi dibandingkan dengan pesisir. Sejalan dengan itu Ludwig dan Reynolds (1988) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis suatu komunitas ditentukan oleh kekayaan jenis dan kemerataan jenis. Indeks kemerataan menjadi tinggi, apabila tidak terjadi pemusatan individu pada suatu jenis tertentu (Odum 1971).

Tabel 5. Analisis indeks keragaman jenis (H), indeks kemerataan (E) dan indeks kekayaaan jenis (d) di lokasi penelitian SMMA

Indeks Danau Pesisir Muara Suaka

Keanekaragaman Jenis (H) 2.673 2.062 2.272 1.939 Kemerataan Jenis (E) 0.83 0.713 0.819 0.637 Kekayaan Jenis (d) 3.391 2.717 2.65 3.101

(55)

muara dan suaka. Substrat dasar dari Danau tersebut yaitu lumpur dan berpasir. Menurut Gunarto (2004) daerah atau substrat lumpur merupakan habitat berbagai jenis nekton, yang menandakan bahwa daerah tersebut kaya akan sumber pakan. Adanya variasi habitat (substrat) seperti kondisi fisik dan lingkungan sekitar mempengaruhi keragaman jenis-jenis ikan (Yustina dan Arnentis, 2002).

Sebaran Populasi dan Karakter

Analisis Komponen Utama (PCA) Truss Morfometrik

Analisis komponen utama atau Principal Component Analysis (PCA) dipergunakan untuk mereduksi banyaknya peubah (variabel) yang digunakan dalam sejumlah data, sehingga akan diperoleh komponen utama yang dapat menggambarkan informasi yang diukur menggunakan keragaman total yang terkandung di dalam sejumlah variabel. Konsep dasar PCA adalah analisis kelompok, karakter yang sama akan dikelompokkan pada satu kelompok dan kelompok yang berbeda dipisahkan menjadi kelompok yang berbeda (Ubaidillah dan Sutrisno, 2009). Penelitian kali ini membandingkan 3 jenis ikan yang sama (Periophthalmodon schlosseri, Ambassis gymnocephalus dan Liza subviridis) di lokasi yang berbeda yaitu SMMA dan TNUK.

(56)

Total ragam dari ketiga jenis ikan yang diujikan menunjukkan hasil yang dapat dijelaskan kedua komponen utama dari hasil PCA, maka kedua komponen utama tersebut mampu memberikan atau mempertahankan informasi yang diukur. Selanjutnya data diolah dengan menggunakan analisis diskriminan untuk menentukan karakter truss morfometrik yang paling berpengaruh dalam persebaran ketiga jenis ikan tersebut.

Analisis Diskriminan

Secara umum analisa diskriminan dipergunakan untuk mengetahui peubah-peubah penciri yang membedakan kelompok populasi yang ada, selain itu juga sebagai kriteria pengelompokan yang dilakukan berdasarkan perhitungan statistik terhadap kelompok yang terlebih dahulu diketahui secara jelas pengelompokannya (Rosy, 2010).

Analisis diskriminan Periophthalmodon schlosseri

(57)

Tabel 6. Standar dan (bukan standar) nilai koefisien kanonikal diskriminan karakter pembeda utama pada P.schlosseri.

Karakter Fungsi 1 Fungsi 2 Fungsi 3

Jarak antara titik di akhir sirip punggung dengan titik di awal sirip anal.

0.416 (8.642) -0.533 (-11.071) -0.240 (-4.984) Jarak antara titik di akhir sirip perut

dengan titik di awal sirip anal

1.194 (6.583) 0.118 (0.651) -1.928 (-10.631) Jarak antara titik di akhir sirip punggung

dengan titik di akhir sirip anal.

0.671 (8.553) 0.502 (6.397) 0.139 (1.769) Jarak antara titik di ujung mulut dengan

titik di ujung bagian bawah insang

0.635 (3.644) -1.515 (-8.690) 0.092 (0.528)

Variasi yang dijelaskan 99,6 0,2 0,1

Konstanta -314.190 -8.062 0.915

(58)

Gambar 9. Sebaran Karakter Truss Morfometrik P.schlosseri berdasarkan hasil analisis diskriminan.

Analisis diskriminan Ambassis gymnocephalus

[image:58.595.124.471.130.387.2]
(59)

Tabel 7. Standar dan (bukan standar) nilai koefisien kanonikal diskriminan karakter pembeda utama pada A.gymnocephalus.

Karakter Fungsi 1 Fungsi 2 Fungsi 3

Jarak antara titik di awal sirip ekor bagian atas dengan sirip ekor bagian bawah

1.016 (3.254) 0.237 (0.758) 1.600 (5.123) Jarak antara titik di akhir sirip punggung

dengan titik di awal sirip anal

-1.795 (-18.334) 1.694 (17.306) -1.340 (-13.688) Jarak antara titik di awal sirip punggung

dengan akhir sirip perut

3.299 (26.739) 0.657 (5.325) 0.697 (5.650) Jarak antara titik di akhir sirip perut

dengan titik di awal sirip anal

-0.944 (-1.199) -1.302 (-1.654) 1.223 (1.554)

Variasi yang dijelaskan 98,8 0,5 0,5

Konstanta 1,126 -29,096 -31,472

Gambar 10. Sebaran Karakter Truss Morfometrik A.gymnocephalus berdasarkan hasil analisis diskriminan

[image:59.595.117.497.116.557.2]
(60)

morfologi suatu jenis ikan adalah faktor fisik perairan terutama arus. Arus yang terukur di TNUK (pengukuran di S.Cikawung) relatif lebih deras dibandingkan di SMMA, sejalan dengan hal itu Lowe-Mc Connel (1987) dan Nuryanto (2001) menyatakan bahwa arus merupakan faktor fisik yang penting dalam membentuk variasi bentuk dan ukuran tubuh. Oleh karena itu diduga terjadi sedikit adaptasi terhadap tinggi batang ekor (agak sedikit memipih) di SMMA, sedangkan di TNUK batang ekor relatif lebih tebal.

Analisis diskriminan Liza subviridis

Berdasarkan hasil analisis diskriminan dari L.subviridis secara statistik terpilih 4 karakter utama yang membedakan, yaitu jarak antara titik di awal sirip ekor bagian atas dengan sirip ekor bagian bawah, jarak antara titik di ujung bagian bawah insang dengan titik di awal sirip perut, jarak antara titik di awal sirip punggung dengan akhir sirip punggung dan jarak antara titik di akhir sirip perut dengan titik di awal sirip anal, dan dapat dilihat dengan koefisien kanonikal pada tabel 8. Sama halnya dengan 2 jenis sebelumnya bahwa berdasarkan keempat karakter-karakter yang ada, terlihat bahwa A.gymnocephalus di SMMA terpisah dengan di TNUK (Gambar 11).

Tabel 8. Standar dan (bukan standar) nilai koefisien kanonikal diskriminan karakter pembeda utama pada L.subviridis.

Karakter Fungsi 1 Fungsi 2 Fungsi 3

Jarak antara titik di awal sirip ekor bagian atas dengan sirip ekor bagian bawah

0.791 (5.460) -0.161 (-1.109) 0.064 (0.443) Jarak antara titik di ujung bagian bawah

insang dengan titik di awal sirip perut

1.172 (7.063) -0.496 (-2.986) -0.288 (-1.734) Jarak antara titik di awal sirip punggung

dengan akhir sirip punggung

1.726 (7.948) 0.859 (3.954) 0.878 (4.041) Jarak antara titik di akhir sirip perut

dengan titik di awal sirip anal

1.196 (2.683) 0.769 (1.726) 0.440 (0.987)

Variasi yang dijelaskan 98,0 0,9 0,6

Konstanta -96.973 23.638 -4.972

[image:60.595.88.452.501.636.2]
(61)
[image:61.595.135.497.257.531.2]

tersebut juga diduga sebagai akibat pengaruh lingkungan sehingga ikan beradaptasi untuk dapat mengimbangi kondisi sekitarnya. Di TNUK, rata-rata aliran sungainya relatif deras (tercatat di muara sungai Cikawung 30,41 m/det) diduga disebabkan oleh kemiringan dari arah hulu sungainya. Lowe-Mc Connel (1987) berpendapat bahwa peningkatan keragaman ukuran tubuh ikan ditentukan kenaikan aliran air. Pada jenis ikan tertentu perbedaan geografis juga dapat mempengaruhi variasi morfometrik (Yamazaki dan Goto, 1997).

Gambar 11. Sebaran Karakter Truss Morfometrik L.subviridis berdasarkan hasil analisis diskriminan

(62)

Diantaranya adaptasi dalam bentuk tubuh dan ukuran atau jumlah beberapa bagian tubuh.

Variasi morfologi ini dapat terjadi pada individu individu dalam satu jenis yang hidup dalam kondisi lingkungan yang berbeda (Defira, 2004). Oleh karena itu sebaran dan variasi yang muncul merupakan respon terhadap lingkungan fisik tempat hidup jenis tersebut. Kajian secara molukuler (DNA) sangat perlu untuk dilakukan dalam hal melengkapi hasil-hasil di atas.

Meristik

Hasil pengamatan secara meristik yang mengacu kepada Smith (1945) dan Haryono (2001), yaitu terhadap jari-jari pada sirip dorsal, sirip anal, sirip ventral, dan sirip dada pectoral, maupun jumlah sisik pada linea lateralis dan batang sirip ekor (caudal peduncle), sedikit menunjukkan variasi karakter meristik antara masing-masing jenis ikan (P.schlosseri, A.gymnocephalus dan L.subviridis) yang diujikan (Tabel 10). Karakter pembeda dari dua lokasi pada P. schlosseri terlihat di sirip anal (P=0,001<0,05). Hadie et al, (2002) berpendapat bahwa pada ukuran bagian tubuh tertentu perkembangannya tidak dipengaruhi oleh lingkungan, sedangkan beberapa ukuran tubuh lainnya berkembang sesuai dengan tekanan lingkungan di tempat hidupnya. Pola warna abu-abu gelap lebih ditunjukkan oleh P.schlosseri dari SMMA, sedangkan di TNUK pola warnanya lebih cerah (lampiran 7a).

Tabel 9. Karakter Meristik 3 Jenis Ikan Yang Diujikan

Jenis P. schlosseri A.gymnocephalus L.subviridis

Karakter SMMA TNUK SMMA TNUK SMMA TNUK

Sirip Dorsal D VIII-IX; I, 12 D IX; I, 12- 13 VII;I,10-11 VII;I, 10-12 IV,9-10 IV,8-9 Sirip Pektoral 16-17 16-17 15-17 15-16 15-17 15-16 Sirip

Gambar

Tabel 1. Lokasi dan karakteristik stasiun penelitian
Gambar 5. Lokasi Penelitian di SMMA
Tabel 2. Alat dan Bahan Untuk Koleksi Ikan
Gambar 7. Pengukuran dengan truss morfometrik
+7

Referensi

Dokumen terkait