• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jenis Cacing Parasitik yang Ditemukan

Hasil identifikasi cacing parasitik yang ditemukan pada insang ikan kembung berasal dari filum Plathyhelminthes, subkelas Digenea, dan dari filum Nemathelminthes, kelas Nematoda. Dari 18 sampel ikan yang dipakai, tujuh ikan positif terinfeksi cacing parasitik. Jumlah cacing yang ditemukan berjumlah 13 dan terdapat 6 jenis cacing berbeda dengan perincian sebagai berikut: 1 cacing termasuk dalam filum Nemathelminthes, kelas Nematoda, genus Anisakis; 12 cacing berasal dari kelas digenea: satu cacing genus Pseudosteringophorus, dua cacing genus Lecithocladium, tujuh cacing masih dalam bentuk larva serkaria dan dua cacing hanya dapat teridentifikasi sebagai digenea dewasa. Ukuran, jenis, dan jumlah cacing parasitik yang ditemukan, disajikan dalam tabel 1.

Tabel 1. Jenis, ukuran dan jumlah cacing parasitik yang ditemukan No Sample

Ikan

Jenis Cacing Panjang (mm)

Lebar (mm)

Jumlah

1 Kembung 1 Digenea A 3,27 0,42 1

2 Kembung 2 Sekaria digenea 0,46 0,10 3

3 Kembung 3 Serkaria digenea 0,48 0,11 1

4 Kembung 4 Serkaria digenea 0,38 0,09 3

5 Kembung 5 Anisakis 1,1 0,05 1

6 Kembung 5 Pseudosteringophorus 0,81 0,27 1

7 Kembung 7 Digenea B 1,59 0,18 1

8 Kembung10 Lecithocladium 2,09 0,32 1

Digenea

Identifikasi terhadap cacing trematoda subkelas digenea dilakukan dengan melihat ukuran tubuh, karakteristik telur dan ciri morfologisnya. Sebagian besar trematoda dewasa memiliki ukuran tubuh yang berkisar antara 1-30 mm (Lom & Dyková 2008). Ciri utama cacing daun ini adalah adanya dua buah batil isap yang terletak di sekitar ujung anterior mulut (batil isap oral) dan di bagian ventral (batil isap ventral atau asetabulum). Batil isap pada cacing trematoda digenea biasanya berotot dan tidak dilengkapi kait-kait atau pencapit seperti yang dimiliki oleh cacing monogenea. Letak batil isap ventral atau asetabulum biasanya pada pertengahan tubuh dan pada umumnya berukuran lebih besar dari batil isap oral (Moller & Andres 1986).

Dari hasil pemeriksaan insang ikan kembung 1, 5, 7 dan 10, teridentifikasi lima ekor cacing dewasa yang berasal dari kelas Trematoda, subkelas Digenea dan dari hasil pemerikasaan insang ikan kembung 2,3 dan 4, teridentifikasi enam ekor digenea yang masih berada dalam stadium larva serkaria.

Genus Pseudosteringophorus

Salah satu cacing parasitik yang ditemukan pada insang kembung 5, teridentifikasi dalam filum Platyhelminthes, kelas Digenea, ordo Prosostomata, famili Fellodistomatidae, subfamili Fellodistomatinae, genus Pseudosteringophorus (Yamaguti 1958). Perbandingan morfometrik dan ciri morfologis genus Pseudosteringophorus yang ditemukan selama penelitian dengan pustaka acuan disajikan dalam tabel 2.

Tabel 2. Perbandingan morfometrik dan ciri morfologis genus Pseudosteringophorus yang ditemukan dengan pustaka acuan Identifikasi morfometrik (famili

Fellostomatidae) Identifikasi ciri morfologis Kriteria (mm) Penelitian Literatur

(Dawes 1956) Panjang tubuh Lebar tubuh Diameter batil isap oral Diameter batil isap ventral Panjang telur Lebar telur 0,81 0,27 0,17 0,33 0.031 0.014 0,8-3,5 0,3-0,5 0,2 0,35 0,02-0,05 0,014-0,017

Tubuh kecil; fusiformis; diastoma, batil isap ventral (asetabulum) lebih besar daripada batil isap oral, asetabulum terletak pada pertengahan tubuh, batil isap oral pada ujung terminal; faring kecil; testes berjumlah 2 buah, simetris, bersebelahan dan terletak di belakang asetabulum; kantung sirus ovoid dan terletak di depan asetabulum; ovarium di depan testes; reseptakulum seminis tidak ada; uterus memenuhi bagian belakang tubuh penuh berisi telur (dewasa); telur berjumlah sangat banyak, bergerombol, berbentuk oval, tidak berfilamen dengan kulit yang cukup tebal; vitellaria berkembang baik, folikular, terletak lateral pada sepertiga pertengahan tubuh; kantung ekskretoris berbentuk Y-. (Yamaguti 1958); tegumen tipis (Dawes 1956)

.

Beberapa organ yang dapat terlihat pada cacing yang ditemukan pada insang kembung 5 seperti batil isap oral, faring, batil isap ventral (asetabulum), kantung sirus, vitelaria (kelenjar vitellin), uterus, telur, testes dan lubang ekskresi (Gambar 12), menjadi kunci utama dalam identifikasi cacing digenea ini.

a b

Gambar 12. Genus Pseudosteringophorus (a) Yamaguti (1958), (b) hasil penelitian (perbesaran 4X)

Gambar 13. Struktur batil isap oral dan ventral (asetabulum) genus Pseudosteringophorus yang ditemukan pada insang kembung 5 (perbesaran 40X)

Cacing ini dimasukkan dalam subordo Prosostomata karena letak mulut dengan batil isap oralnya yang dekat dengan ujung anterior tubuh (Dawes 1956). Kunci identifikasi famili Fellodistomatidae berdasarkan bentuk tubuhnya yang pipih, rata dan oval memanjang, tegumen tipis, tidak adanya prefaring namun adanya faring yang kecil. Famili Fellodistomatidae memiliki esofagus yang pendek atau panjang tergantung spesies namun pada preparat esofagus tidak dapat terlihat kemungkinan disebabkan oleh pewarnaan yang kurang sempurna. Cacing ini juga dicirikan dengan adanya batil isap oral dan ventral (asetabulum) (Gambar 13), kantung sirus yang pendek dan tebal, dua buah testes yang membulat dan simetris dimana testes yang satu berada di sebelah testes yang lain, ovarium yang terletak di depan testes namun tidak tampak pada preparat, adanya uterus yang meluas memenuhi bagian posterior tubuh dan berisi telur dalam jumlah besar, vitelaria yang berkembang baik dan saluran ekskretoris yang berbentuk V- atau Y- (Dawes 1956). Lubang genital dapat berada median, submedian atau lateral tubuh di depan asetabulum serta vitelaria yang dibatasi perluasannya dan terbagi ke dalam bentuk folikular, tubulus atau seperti bentuk cabang yang mengelompok (Yamaguti 1958). Kunci identifikasi genus Pseudosteringophorus dapat dilihat pada tabel 2.

Cacing digenea dewasa umum ditemukan pada saluran pencernaan ikan yang diinfeksinya, namun cacing ini juga dapat ditemukan di rongga mulut, paru-paru atau beberapa organ dalam lainnya karena sifatnya yang endoparasit pada tubuh induk semangnya (Williams & Williams 1996). Pseudosteringophorus merupakan endoparasit pada ikan air laut dan habitat alaminya adalah saluran pencernaan khususnya lambung dan usus ikan yang diinfeksinya (Yamaguti 1958), namun dalam penelitian ini Pseudosteringophorus berhasil ditemukan pada insang yang bukan merupakan habitat alaminya. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan seperti kontaminasi di laboratorium dan kontaminasi di alam oleh cacing ini yang bermigrasi dari saluran pencernaan ke lingkungan perairan lalu menempel ke insang ikan atau karena migrasi cacing ini dari saluran cerna (terutama lambung) langsung ke insang. Migrasi cacing dapat terjadi premortem akibat populasi cacing sudah terlalu padat dalam saluran cerna ikan atau postmortem akibat ikan sebagai induk semangnya mati sehingga cacing merasa tidak nyaman lagi dan kemudian bermigrasi ke lingkungan.

Satyu Yamaguti pernah menemukan cacing famili Fellostomatidae spesies Symmetrovesicula chaetodontis dalam bentuk spesimen gravid pada usus ikan Chaetodon sp. di Makassar, Indonesia pada tahun 1953 (Yamaguti 1958). Yamaguti (1958) juga menyebutkan, spesies Pseudosteringophorus hoplognathi pernah ditemukan di Jepang dalam usus ikan Hoplognatus punctata, tahun 1940.

Genus Lecithocladium

Digenea lain ditemukan pada insang kembung 10, berjumlah dua buah dan teridentifikasi dalam filum Platyhelminthes, kelas Digenea, ordo Prosostomata, famili Hemiuridae, subfamili Dinurinae, genus Lecithocladium (Yamaguti 1958). Cacing ini termasuk dalam ordo protostomata karena letak mulut beserta batil isap oralnya yang dekat dengan ujung anterior tubuh (Dawes 1956).

Menurut Yamaguti (1958), identifikasi famili Hemiuridae terutama dilakukan berdasarkan bentuk tubuhnya yang silindris memanjang dan adanya dua buah batil isap yang berukuran kecil hingga sedang pada bagian oral dan ventral tubuhnya (Gambar 15). Letak batil isap oral dan ventral (asetabulum) yang berdekatan merupakan karakteristik yang khas dari famili Hemiuridae. Beberapa

jenis cacing famili ini memiliki bagian tubuh yang menyerupai ekor. Tegumennya tipis atau seringkali tampak sedikit beranulus, bertingkat atau dengan tepi bergerigi. Batil isap oral, faring dan asetabulum berkembang baik dengan asetabulum biasanya terletak di dekat batil isap oral (dekat ujung anterior tubuh). Esofagus pendek, testis berjumlah dua buah dan terletak diagonal atau simetris. Cacing ini memiliki seminal vesikel dan duktus hermafrodit, vitelaria kompak, berlobus atau berbentuk tubulus, uterus berisi telur dalam jumlah besar, dan saluran ekskretoris berbentuk Y-. Telur cacing ini memiliki karakteristik telur digenea, yaitu berbentuk bulat oval, tanpa dilengkapi filamen atau alat gerak lain seperti telur cacing monogenea dan bergerombol dalam jumlah banyak. Yamaguti (1958) mengatakan bahwa cacing famili Hemiuridae merupakan parasit yang memiliki habitat utama esofagus dan lambung, kadang-kadang ditemukan di usus atau gelembung renang dan dapat pula di luar saluran pencernaan ikan.

Berdasarkan Yamaguti (1958), subfamili Dinurinae teridentifkasi oleh bentuk tubuh yang memanjang, testes terletak di belakang asetabulum, ovarium tidak berlobus dan terletak di belakang testes, vitelaria berlobus panjang, sempit dan teringkali tampak berbelit-belit. Dawes (1956) mengatakan bahwa vitelaria pada cacing subfamili Dinurinae tumbuh memanjang dan berbentuk tubulus. Cacing ini juga memiliki uterus yang meluas di bagian posterior tubuhnya ke arah vitelaria. Cacing ini dimasukkan dalam genus Lecithocladium karena tubuhnya yang langsing memanjang dan berukuran kecil hingga sedang. Genus Lecithocladium memiliki batil isap oral yang bentuknya menyerupai mangkok dengan asetabulum yang mencolok dan terletak di ujung anterior tubuh. Testis dua buah berdampingan dan terletak saling diagonal, biasanya pada bagian anterior hingga petengahan tubuh. Vesikula seminalis sederhana dan pada umumnya dilengkapi dengan dinding otot yang tebal serta terletak anterodorsal dari testes. Ovarium terletak di dekat pertengahan tubuh. Vitelaria terdiri atas tujuh buah tubulus panjang dan uterus yang meluas hingga bagian ekor tubuh (Yamaguti 1958). Dawes (1956) menyebutkan bahwa cacing yang termasuk dalam genus Lecithocladium memiliki tegumen dengan karakteristik berkerut-kerut di daerah anterior tubuhnya kecuali untuk spesimen yang memiliki panjang tubuh 1-1,5 mm. Menurut Yamaguti (2007), cacing dari genus Lechitocladium memiliki telur

yang berbentuk oval, kadang seperti ginjal (reniform), berembrio dan berukuran 0,016-0,021 x 0,009-0,012 mm. Dua buah spesimen digenea yang ditemukan pada insang kembung 10 memiliki karakteristik yang menyerupai karakteristik yang dimiliki oleh genus Lecithocladium dengan ukuran tubuh cacing pertama 2,09 x 0,32 mm serta cacing kedua 1,52 x 0,29 mm. Selain itu, kedua cacing terlihat memiliki telur yang berbentuk oval, agak memanjang seperti ginjal atau kacang merah, berukuran panjang antara 0,017 hingga 0,019 mm dan lebar antara 0,008 hingga 0,009 mm, sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua cacing yang ditemukan pada insang kembung 10 termasuk genus Lecithocladium.

Lecithocladium scombri (Gambar 14) pernah ditemukan di Makassar, Indonesia pada lambung ikan Scomber kanagunta dan Scomber microlepidotus oleh Satyu Yamaguti pada tahun 1953, memiliki ukuran panjang 1,9-3,2 mm dan lebar 0,3-0,48 mm (Yamaguti 2007). Selain itu, Manter (1954) menyebutkan pernah ditemukannya spesies lain dari genus Lecithocladium yaitu Lecithocladium magnacetabulum yang memiliki ukuran tubuh 1,4-1,960 x 0,49-1,960 mm, Lecithocladium excisum yang memiliki panjang 1,655 mm dan Lecithocladium seriolellae yang berukuran 1,344-1,736 x 0,339-0,547 mm di wilayah perairan New Zealand. Cacing dari genus Lecitholadium sangat umum menyerang berbagai jenis ikan laut seperti spesies Lecitholadium excisum yang pertama kali ditemukan oleh Rudolphi pada tahun 1819, memiliki sinonim Distoma excisum. Cacing ini memiliki inang antara utama ikan dari genus Decapterus seperti makarel (Decapterus macarelus) dengan habitat alaminya saluran pencernaan terutama lambung ikan yang diserangnya (Dawes 1956). Meskipun induk semang utama cacing ini adalah ikan makarel tetapi tidak menutup kemungkinan baginya untuk menginfeksi jenis ikan laut lainnya karena sifatnya yang tidak host spesific. Cacing dewasa dari genus Lecithocladium bersifat endoparasit dan umum ditemukan pada saluran pencernaan ikan terutama usus dan lambung, namun cacing ini dapat juga ditemukan pada lokasi lain pada tubuh ikan seperti insang akibat migrasi cacing ke lingkungan dan kemudian masuk serta menempel pada lamela insang saat ikan bernafas dan membuka operkulumnya. Selain itu, migrasi juga dapat terjadi postmortem sama seperti cacing digenea dewasa lainnya atau karena adanya kontaminasi di laboratorium

Gambar 14. (a) Lecithocladium scombri, (b) Lecithocladium megalapsis (Yamaguti 2007)

Gambar 15. Genus Lechitocladium dari insang kembung 10 (perbesaran 4X)

Gambar 16. Struktur vitelaria dan ovarium Lecithocladium 1 dari insang kembung 10 (perbesaran 40 X)

Digenea A

Cacing lain yang ditemukan pada insang kembung 1 juga teridentifikasi dalam subkelas digenea. Hal ini dikarenanya oleh adanya batil isap oral pada bagian anterior tubuhnya dan telur yang memenuhi uterusnya. Telur yang terdapat pada tubuh cacing yang ditemukan pada insang kembung 1 ini memiliki karakteristik telur digenea. Telur ini berbentuk bulat sedikit oval, berembrio, memiliki lapisan telur yang tipis pada bagian luarnya, tidak memiliki filamen seperti yang dimiliki telur monogenea dan bergerombol dalam jumlah banyak memenuhi ruang uterus (Gambar 17B).

Cacing ini diduga berasal dari famili yang sama dengan digenea sebelumnya yaitu Hemiuridae dikarenakan bentuk tubuhnya yang memanjang dan silindris dengan tegumen yang berigi dan tampak seperti memiliki ekor pada bagian posterior tubuhnya (Gambar 17A). Cacing ini juga tampak memiliki vitelaria yang padat, berbentuk tubulus dan berbelit-belit (Gambar 17B). Ukuran digenea ini lebih besar dibandingkan digenea sebelumnya dengan panjang 3,2 mm dan lebar 0,42 mm. Identifikasi cacing ini tidak dapat dilakukan hingga tingkat famili bahkan genus karena keadaan preparat yang kurang baik sehingga tidak ada organ dalam lain yang merupakan kunci identifikasi cacing ini yang dapat terlihat.

a b

Gambar 17. (a). Preparat cacing digenea A dari insang kembung 1 (perbesaran 4X), (b). gambaran telur dan vitelaria digenea A (perbesaran 40X)

Digenea B

Cacing yang ditemukan pada insang kembung 7 juga teridentifikasi dalam subkelas digenea. Identifikasi ini dilakukan berdasarkan bentuk tubuhnya yang pipih dan adanya telur dalam jumlah banyak dan bergerombol yang memenuhi

uterusnya (Gambar 18). Telur tampak berbentuk bulat oval, sedikit memanjang seperti ginjal (Gambar 19). Telur juga tidak memiliki filamen atau benang seperti yang dimilki oleh telur cacing monogenea. Cacing ini memiliki panjang 1,59 mm dan lebar 0,18 mm. Jika dilihat dari karakteristik telur, ukuran tubuh, struktur vitelaria, serta adanya tegumen yang sedikit berigi, kemungkinan cacing ini juga berasal dari famili Hemiuridae, namun identifikasi hingga tingkat famili sangat sulit dilakukan karena kondisi preparat yang kurang baik sehingga tidak terlihat organ lain selain uterus dan vitelaria yang dibutuhkan untuk proses identifikasi.

Gambar 18. Preparat cacing digenea B dari insang kembung 7 (perbesaran 4X)

Gambar 19. Struktur telur, uterus dan vitelaria digenea B dari insang kembung 7 (perbesaran 40X)

Serkaria Digenea

Serkaria merupakan salah satu stadium larva trematoda digenea, mempunyai batil isap oral maupun ventral dan ciri utama dari stadium ini adalah sebuah ekor pada bagian posterior tubuhnya (Noble & Noble 1989). Jika melihat siklus hidup trematoda digenea, dapat diketahui bahwa serkaria yang berhasil

ditemukan memiliki target jaringan insang dan di insang inilah ia akan menetap dan berdiferensiasi menjadi metaserkaria yang berbentuk kista sebelum dimakan oleh induk semang definitifnya. Paperna (1995) menyatakan bahwa ada beberapa jenis serkaria yang dapat langsung berkembang menjadi digenea dewasa pada inang definitif tanpa melalui stadium metaserkaria.

Gambar 20. Gambaran umum serkaria digenea (Winterbourn 1973)

Berdasarkan struktur anatomis dan ciri morfologisnya, Noble (1989) membagi serkaria menjadi beberapa tipe: serkaria longifurkata, serkaria plerofoserkosa, serkaria monostoma, serkaria gimnosefalosa, serkaria ekinostoma, xifidoserkaria, serkaria amfistoma, dan serkaria brevifurkata. Dari beberapa tipe serkaria tersebut, maka serkaria yang ditemukan kemungkinan termasuk dalam tipe serkaria monostoma karena hanya terdapat satu batil isap pada tubuhnya. (Pardede 2000). Selain dari ada atau tidaknya batil isap, identifikasi serkaria juga dilakukan dengan melihat ukuran tubuhnya. Winterbourn (1973) menyatakan bahwa serkaria monostomata memiliki panjang rata-rata 0,37-0,44 mm dengan lebar 0,11-0,14 mm sedangkan serkaria yang diperoleh dari hasil penelitian memiliki panjang 0,38-0,46 mm dan lebar 0,09-0,11 mm.

Gambar 22. Preparat serkaria digenea dari insang kembung 3 (Perbesaran 10X)

a b c

Gambar 23. Preparat serkaria digenea dari insang kembung 4 (Perbesaran 10X)

Khusus gambar 23 a dan c, masih dalam pertimbangan apakah cacing ini termasuk dalam stadium serkaria atau sudah merupakan bentuk digenea dewasa karena tidak jelasnya pemisahan antara badan dan ekor serkaria.

Genus Anisakis

Cacing parasitik lainnya yang ditemukan teridentifikasi dalam filum Nemathelminthes, kelas Nematoda, subkelas Secernentea, ordo Ascaridida, subordo Ascaridina, famili Anisakidae, genus Anisakis (Grabda 1991). Menurut Smith & Wootten (1978), Anderson (1992), Williams & Jones (1994), Anisakis baik dalam bentuk larva maupun dewasa, merupakan parasit yang sangat umum dijumpai pada spesies ikan air laut. Grabda (1991) menyebutkan bahwa Anisakis

merupakan golongan cacing nematoda yang berukuran besar dengan tiga buah bibir yang mengelilingi mulutnya. Berdasarkan Koyama et al. (1969), Berland (1989), Ishikura & Namiki (1989), Anderson (2000), Shih & Jeng (2002) dan Shih (2004), identifikasi cacing nematoda famili Ansakidae dilakukan melalui perbandingan karakteristik morfologis dari masing-masing tipe larva. Identifikasi nematoda famili Anisakidae hingga tingkat spesies dan penentuan stadium perkembangan larva dilakukan berdasarkan morfologi sistem pencernaan; bentuk dan keberadaan gigi pembor atau tiga buah bibir yang terletak pada ujung anterior tubuhnya. Selain itu posisi lubang ekskretoris; panjang dan bentuk ventrikulus; keberadaan, panjang dan posisi dari intestinal sekum anterior dan ventrikular appendiks posterior serta bentuk dari ekor post-anal dengan suatu tipe terminal mukron turut menjadi kunci identifikasi famili Anisakidae.

Cacing Anisakis memiliki tiga buah bibir yang mengelilingi mulutnya: satu terletak di dorsal dan dua lainnya di sisi ventro-lateral. Beberapa spesies memiliki bibir yang dipisahkan oleh interlabia yang berukuran lebih kecil (Grabda 1991). Adanya bibir yang berkembang baik pada famili Anisakidae dewasa merupakan karakteristik khas yang membedakannya dari famili lain dalam ordo Ascaridida (Meyers 1975).

Gambar 24. Struktur mulut Anisakis simplex (Anonim 2008)

Kutikula jelas terlihat beralur transversal di sepanjang tubuhnya dan tembus cahaya (Nuchjangreed et al. 2006). Anisakis memiliki esofagus yang lurus, berbentuk silindris atau sedikit mengalami pelebaran di bagian posteriornya, terdiri atas dua bagian, yaitu bagian anterior yang berupa otot dan bagian posterior yang berbentuk kelenjar, dikenal sebagai ventrikulus. Bagian ventrikulus

berhubungan dengan usus halus dan bagian terminal dari sistem pencernaannya adalah rektum yang membuka keluar melalui anus dengan tiga kelenjar anal besar yang berasosiasi dengan rektum.

Anisakis tidak memiliki ujung lobus yang tumpul (sekum dan appendiks) pada pertemuan ventrikulus-sekum maupun berbagai variasi konfigurasi esofageal-intestinal seperti pada beberapa genus lainnya dalam famili Anisakidae. Bagian anterior berhubungan langsung dengan appendiks dan bagian posterior dengan sekum (Meyers 1975). Berdasarkan Grabda (1991), genus Raphidascaris memiliki satu lobus (appendiks) yang keluar dari ventrikulus dan menjulur ke belakang; pada Pseudoterranova dan Phocanema lobus (sekum) menjulur ke depan dari usus halus, sedangkan pada Contracaecum dan Thynnascaris satu lobus keluar dari ventrikulus, menjulur ke belakang dan satu lobus lagi dari usus halus, menjulur ke depan. Tidak ada lobus yang ditemukan pada genus Anisakis dan ventrikulus terhubung secara obliq dengan intestin.

Gambar 25. Ujung anterior famili Anisakidae stadium ketiga (Meyers 1975)

Nuchjangreed et al. (2006) menyatakan bahwa ekor Anisakis jantan dewasa dapat teridentifikasi dengan jelas dengan adanya spikula dan bursa kopulatoris. Lubang ekskresi terletak di sebelah ventral yang pada beberapa spesies dapat berada di

bagian puncak kepala pada basis ventro-lateral bibir atau di dekat cincin saraf (Grabda 1991).

Siklus hidup cacing genus Anisakis sangat kompleks (Gambar 26). Dixon (2006) menjelaskan siklus hidup Anisakis sebagai berikut: telur dikeluarkan oleh cacing dewasa melalui feses mamalia laut yang berperan sebagai induk semang definitif. Telur tersebut tenggelam ke dasar laut dan kemudian menetas menjadi larva stadium kedua. Larva stadium kedua hidup bebas di dalam air dan dapat bertahan selama beberapa hari hingga minggu tergantung temperatur air. Larva ini kemudian dimakan oleh krustasea laut yang berperan sebagai induk semang antara pertama dan akan memfasilitasinya untuk melanjutkan perkembangan hidupnya menjadi larva stadium ketiga yang infektif. Ketika krustasea dimakan oleh ikan, larva stadium ketiga tersebut akan bermigrasi ke berbagai jaringan induk semang antara kedua ini dan berkembang menjadi larva stadium ketiga yang lebih maju serta tinggal menetap di organ dalam atau otot. Saat ikan yang terinfeksi Anisakis ini dimakan oleh induk semang definitifnya, seperti mamalia laut, larva akan dilepaskan ke dalam saluran cerna. Di dalam saluran cerna induk semang definitifnya, larva akan mengalami pergantian kulit (moulting), berkembang menjadi larva stadium keempat dan kemudian menjadi dewasa. Manusia hanya bertindak sebagai induk semang asidental yang tidak memiliki pengaruh terhadap proses transmisi parasit ini.

Distribusi dan lokalisasi infeksi cacing ini pada ikan terbesar ditemukan pada usus kemudian hati dan lambung dan tidak tertutup kemungkinan terjadinya infeksi pada bagian lain dari tubuh ikan seperti sirip, paru-paru, telur di uterus dan insang. Berdasarkan hasil observasi yang sudah pernah dilaporkan, tidak pernah ditemukan adanya migrasi postmortem dari cacing dewasa karena cacing ini tidak dapat bermigrasi ke daging ataupun bagian tubuh dengan tingkat vaskularisasi yang tinggi. Dalamnya distribusi cacing ini mengindikasikan kemampuannya bermigrasi pada lokasi yang berbeda dari organ-organ tubuh ikan (Nuchjangreed et al. 2006).

Identifikasi terhadap Anisakis selama penelitian dilakukan berdasarkan ciri morfologi dan ukuran tubuhnya. Cacing yang ditemukan tampak jelas memiliki bagian kepala pada ujung anterior tubuhnya dan kutikula yang beralur transversal pada seluruh permukaan tubuhnya (gambar 27).

(a) (b)

Gambar 27. Ujung anterior yang memperlihatkan struktur kepala dan kutikula. (a) Anisakis (Nuchjangreed et al. 2006), (b) Anisakis (penelitian, perbesaran 10X)

Selain dengan melihat ujung anterior, ujung posterior cacing ini juga merupakan kunci identifikasi penting dalam penentuan genus Anisakis. Cacing Anisakis memiliki ekor yang pendek dengan sebuah struktur mukron (Gambar 28)

yang terlihat jelas. Mukron merupakan suatu penjuluran kontraktil dengan kutikula yang tipis (Grabda 1991). Mukron terdapat pada larva Anisakis simplex, baik jantan maupun betina namun tidak terdapat pada cacing dewasa (Nuchjangreed et al. 2006). Meskipun bursa kopulatoris merupakan struktur yang umum ditemukan pada ekor cacing famili anisakidae jantan, namun struktur tersebut tidak terdapat pada spesies Anisakis simplex dan Pseudoterranova ceticola (Abollo & Pascual 2002).

Gambar 28. Ujung posterior yang memperlihatkan struktur mukron. (a) Anisakis (Nuchjangreed et al. 2006), (b) Anisakis (penelitian, perbesaran 10X)

Larva Anisakis simplex stadium ketiga berwarna putih agak pink, translusen dan berukuran kecil (Grabda 1991), dengan panjang yang bervariasi tergantung spesies. Nuchjangreed et al. (2006) menyatakan bahwa larva Anisakis memiliki panjang yang berkisar antara 9-36 mm dan lebar 0,5-1 mm, sedangkan menurut Anonim(2008) larva Anisakis memiliki panjang antara 0,5 hingga 3 mm. Cacing yang ditemukan selama penelitian memiliki panjang 1,1 mm.

Dokumen terkait