Sumber zeolit alam yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Jawa Barat yaitu Cikembar, Cikalong, dan Bayah serta Lampung. Zeolit alam memiliki ukuran pori yang tidak seragam dan mengandung banyak pengotor sehingga perlu dilakukan preparasi dan aktivasi sebelum digunakan. Proses preparasi dilakukan dengan cara penggilingan dan pengayakan menggunakan saringan 200 mesh. Kemudian masing-masing zeolit tersebut diaktivasi secara kimia maupun fisika. Aktivasi secara kimia dilakukan dengan menambahkan asam HCl 1 M dan basa NaOH 1 M, sementara aktivasi fisika dilakukan dengan cara pemanasan.
Proses aktivasi zeolit dengan perlakuan asam dan basa akan mengubah permukaan zeolit alam. Secara umum, asam dan basa akan membersihkan zeolit dari beberapa pengotor yang ada di zeolit alam. Selain itu, asam dan basa juga akan bereaksi dengan permukaan zeolit yang terdiri atas atom-atom Si dan Al. Menurut Arif (2011) reaksi yang terjadi terhadap zeolit yang teraktivasi asam dan basa adalah sebagai berikut:
Zeolit alam + HCl → zeolit teraktivasi + AlCl3(aq)
Zeolit alam + NaOH → zeolit teraktivasi + Al(OH)4-(aq) + SiO32-(aq)
Perlakuan zeolit secara fisika dilakukan dengan pemanasan pada suhu 200
oC dalam oven selama 4 jam. Proses ini bertujuan untuk menguapkan air yang terperangkap dalam pori-pori kristal zeolit sehingga pori-porinya dapat digunakan untuk pertukaran ion dan proses adsorpsi (Kurniasari et al. 2011).
Kapasitas Tukar Kation Zeolit
Kapasitas tukar kation (KTK) merupakan salah satu parameter sifat kimia yang penting pada zeolit dalam fungsinya sebagai bahan adsorben. KTK merupakan jumlah maksimum miliekuivalen (mek) kation yang dapat dipertukarkan oleh 100 g bahan zeolit pada kondisi kesetimbangan. Kation yang dapat dipertukarkan dari zeolit adalah kation yang tidak terikat kuat di dalam kerangka tetrahedral sehingga akan mudah dipertukarkan dengan ion positif lainnya. Nilai KTK juga menunjukkan tingkat substitusi Al terhadap Si sehingga zeolit akan kekurangan muatan positif atau dengan kata lain zeolit akan lebih bermuatan negatif. Nilai KTK zeolit akan meningkat apabila semakin banyak kation yang diperlukan untuk menetralkan muatan negatif dari zeolit.
Penentuan KTK metode tumpak (batch) dilakukan dengan menambahkan pelarut amonium asetat pada zeolit dengan tujuan untuk membersihkan dan membuka pori zeolit. Umumnya pori-pori zeolit alam utamanya terisi oleh ion Na+, K+, Ca2+, dan molekul H2O serta ion Mg2+, Ti4+, Pd2+, dan Ba2+ dalam jumlah renik. Di antara ion-ion tersebut, ion-ion Na+, K+. Ca2+, dan Mg2+ dapat dipertukarkan dengan ion NH4+ (Ates & Hardacre 2012). Waktu pengocokan selama 24 jam dimaksudkan agar terjadi kesetimbangan pertukaran kation yang di dalam zeolit dengan ion NH4+ yang berasal dari amonium asetat. Kemudian untuk menentukan jumlah ion NH4+ yang terjerap di dalam zeolit dilakukan dengan cara destilasi. Larutan NaOH pekat ditambahkan sebelum destilasi supaya terbentuk NH4OH yang kemudian didestilasi sehingga menghasilkan air dan uap NH3. Uap NH3 yang terbentuk ditangkap oleh larutan H2SO4 sehingga membentuk (NH4)2SO4. Jumlah NH3 yang terbentuk dapat ditentukan dengan titrasi asam basa menggunakan HCl.
Proses aktivasi zeolit bertujuan meningkatkan kemampuan tukar kation pada zeolit alam. Hasil penentuan KTK yang dilakukan pada zeolit asal Cikembar, Cikalong, Bayah, dan Lampung dengan aktivasi kimia dan fisika ditunjukkan pada Gambar 7. Nilai KTK tertinggi pada zeolit alam yang berasal dari daerah Cikalong yang 2 kali lebih besar dari zeolit Cikembar. Ketika zeolit yang berasal dari 4 daerah tersebut masing-masing diaktivasi dengan HCl 1 M diperoleh semua nilai KTK zeolit mengalami penurunan dengan urutan KTK tertinggi setelah teraktivasi asam adalah Cikalong, Lampung, Bayah, dan Cikembar.
Perlakuan asam pada zeolit alam tidak hanya menghilangkan senyawa pengotor seperti oksida logam yang terdapat pada pori-pori zeolit namun juga menyebabkan proses dealuminasi. Proses dealuminasi merupakan pemutusan ikatan Al-O pada kerangka zeolit yang mengakibatkan tingkat substitusi Al terhadap Si menjadi turun sehingga rasio Si/Al mengalami peningkatan. Dengan demikian, muatan negatif pada zeolit menjadi berkurang sehingga banyaknya kation yang dapat dipertukarkan pada zeolit menjadi lebih sedikit. Hasil percobaan menunjukkan bahwa zeolit asal Cikalong dan Lampung lebih tahan asam karena penurunan nilai KTKnya tidak setajam dibandingkan zeolit asal Cikembar dan Bayah.
Gambar 7 KTK zeolit yang berasal dari 4 daerah.
Aktivasi zeolit dengan NaOH memberikan nilai KTK yang lebih tinggi dibandingkan aktivasi zeolit dengan HCl. Urutan kenaikan KTK tertinggi diperoleh dari zeolit Lampung (5 kali), Cikembar (3 kali), Cikalong dan Bayah yang sama (1.5 kali). Aktivasi zeolit dengan NaOH akan mengakibatkan proses pelarutan silika yang merupakan salah satu komponen dalam kerangka zeolit (Jozefaciuk & Bowanko 2002). Silika yang terlarut ini akan menyebabkan perubahan struktur zeolit serta berkurangnya silika dalam kerangka zeolit sehingga rasio Si/Al menurun. Penurunan rasio ini akan mengakibatkan kenaikan kapasitas adsorpsi dan selektivitas zeolit terhadap molekul-molekul polar seperti uap air (Bonenfant et al. 2008).
Selain penurunan rasio Si/Al, aktivasi zeolit alam dengan NaOH juga mengakibatkan hilangnya ion-ion tertentu pada kerangka zeolit dan diganti oleh
23.7 47.6 39.7 42.4 6.4 38.2 19.1 25.5 60.4 60.4 42.5 107.5 33.1 92.9 72.6 54.7 0 20 40 60 80 100 120
Cikembar Cikalong Bayah Lampung % KTK
(mek/100g)
Daerah Asal Zeolit
Zeolit alam
Zeolit teraktivasi HCl 1 M Zeolit teraktivasi NaOH 1 M 200 oC 200 oC
ion Na+ sehingga zeolit alam mempunyai kondisi yang semakin mendekati homoionik (Inglezakis et al. 2001). Bentuk Na-zeolit ini diharapkan akan mempunyai ukuran pori yang relatif sama sehingga akan mendukung pada saat modifikasi zeolit dengan surfaktan heksadesiltrimetilamonium bromida (HDTMABr) karena bagian kepala senyawa tersebut bermuatan positif (H3C(CH2)15N(CH3)3)+ akan bertukar muatan terutama dengan ion Na+. Sehingga kemampuan dan selektivitas adsorpsinya terhadap HDTMABr juga akan lebih baik.
Proses aktivasi secara termal dilakukan pada suhu 200 oC selama 4 jam. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan molekul-molekul air serta zat-zat organik volatil yang ada pada pori-pori dan kerangka zeolit alam. Perlakuan secara termal ini dapat pula mengakibatkan perpindahan kation sehingga mempengaruhi letak kation serta ukuran pori yang pada akhirnya akan mempengaruhi kesetimbangan serta kinetika adsorpsi (Ackley et al. 2003).
Nilai KTK yang diperoleh pada aktivasi zeolit alam dengan suhu 200 oC . Aktivasi zeolit alam asal Cikalong dan Bayah secara termal menghasilkan nilai KTK paling tinggi dibandingkan aktivasi secara kimiawi. Hal ini menandakan bahwa kedua zeolit tersebut banyak mengandung pengotor yaitu uap air dan senyawa-senyawa yang dapat lepas pada suhu di bawah 200 oC.
Hasil percobaan ini menunjukkan nilai KTK tertinggi diperoleh pada zeolit alam asal Lampung dengan aktivasi NaOH yaitu 107.5 mek/100 g. Nilai KTK pada zeolit termodifikasi ini sudah memenuhi kategori zeolit dengan kualitas tinggi (minimal 100 mek/100 g) dengan kandungan zeolit di atas 50% (SNI 2006). Pengubahan karakter permukaan zeolit ini dimaksudkan agar zeolit dapat berinteraksi dengan anion khususnya adalah kromium(VI) yang bermuatan negatif. Sebelum dilakukan adsorpsi zeolit terhadap kromium(VI), terlebih dahulu dilakukan modifikasi permukaan zeolit dengan senyawa HDTMABr supaya dapat berinteraksi dengan anion tersebut. Nilai KTK yang tinggi ini diharapkan semakin banyak ion-ion positif terutama ion Na+ yang mampu bertukar muatan dengan bagian kepala HDTMABr yang bermuatan positif.
Konsentrasi Admisel Kritik Zeolit
Secara alamiah zeolit mempunyai muatan negatif pada permukaannya dan dengan aktivasi dengan NaOH menghasilkan zeolit homoionik (Na-zeolit). Menurut Wibowo et al. (2011) zeolit alam yang berasal dari Lampung termasuk dalam klinoptilolit yang memiliki ukuran rongga sekitar 4.2-7.2 Å sementara bagian kepala surfaktan HDTMA+ memiliki ukuran 7 Å. Hal ini akan menyebabkan adsorpsi HDTMA+ hanya terjadi pada permukaan zeolit klinoptilolit. Adsorpsi surfaktan kationik HDTMABr pada permukaan zeolit terjadi karena adanya pertukaran ion antara HDTMA+ dengan kation-kation Na+ yang ada di permukaan zeolit.
Mekanisme pembentukan lapisan surfaktan pada permukaan padat secara umum dijelaskan oleh Chen et al. (1992). Pada konsentrasi HDTMA di atas Konsentrasi Misel Kritik (KMK) maka kemungkinan lapisan yang terbentuk adalah lapisan ganda. Pembentukan lapisan ganda HDTMABr pada permukaan zeolit pertama kali diperkenalkan oleh Li & Bowman (1997). Surfaktan HDTMABr memiliki KMK sebesar 0.9 mmol/L (Li et al. 1998). Mekanisme
pembentukan lapisan tunggal (hemisel) dan lapisan ganda (admisel) dijelaskan pada Gambar 8 oleh Li dan Bowman (1997). Ketika konsentrasi awal HDTMA+ lebih kecil dibandingkan konsentrasi misel kritik maka molekul-molekul surfaktan yang terabsorpsi akan membentuk lapisan tunggal (hemisel) oleh gaya elektrostatik (Gambar 8a). Jika konsentrasi HDTMA+ ditingkatkan di atas KMKnya dan jumlah surfaktan yang ada di dalam sistem mencukupi maka molekul-molekul surfaktan akan membentuk lapisan ganda (admisel) (Gambar 8b&c). Pembentukan lapisan ganda akan ditandai dengan kenaikan yang tajam pada kurva Konsentrasi Admisel Kritik (KAK) (Gambar 9). Pembentukan lapisan ganda ini akan mulai terbentuk secara sempurna ketika kurva membentuk garis yang mulai mendatar yaitu mulai terbentuknya misel-misel bebas pada permukaan zeolit.
Gambar 8 Adsorpsi molekul HDTMA dalam (a) lapisan tunggal, (b) setengah lapisan ganda, dan (c) lapisan ganda (admisel) (Li & Bowman 1997). Jumlah surfaktan teradsorpsi ditentukan dengan menggunakan metode pembentukan kompleks antara HDTMA+ dengan bromofenol biru (BPB), [HDTMA]2BPB, yang diukur menggunakan spektrofotometer UV-Tampak. Bromofenol biru merupakan indikator yang merupakan asam lemah diprotik dan pH 8 akan membentuk spesi BPB2-. Spesi ini dapat membentuk kompleks biru dengan senyawa HDTMA+ dengan persamaan reaksi sebagai berikut:
2[HDTMA]+ + BPB2-→ [HDTMA]2BPB
Kompleks [HDTMA]2BPB ini lebih larut dalam kloroform dibandingkan air sehingga perlu dilakukan ekstraksi untuk mendapatkan senyawa kompleks ini. Senyawa kompleks ini memiliki serapan maksimum pada panjang gelombang 605 nm. Jumlah surfaktan teradsorbsi pada berbagai konsentrasi HDTMABr saat pengocokan dalam zeolit ditunjukkan pada Gambar 9.
0.0015 0.0192 0.1994 1.9961 3.9923 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 0.1 1 10 100 200 Σ HDTMA+ teradsorpsi (mmol/g) [HDTMABr] (mM) (a) (b) (c)
Gambar 9 Jumlah HDTMA+ teradsorbsi pada permukaan zeolit Lampung.
Gambar diatas menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi HDTMABr yang diaplikasikan pada zeolit Lampung teraktivasi basa maka semakin tinggi pula jumlah HDTMA+ yang teradsorpsi pada permukaan zeolit. Jumlah HDTMA+ teradsorpsi mengalami peningkatan dari 0.1994 menjadi 1.9961 mmol/g pada kisaran 10-100 mM (10 kali lipat). Hal ini menunjukkan pada kisaran konsentrasi terjadi pembentukan lapisan tunggal (hemisel) HDTMA+ pada permukaan zeolit Lampung. Sementara pada kisaran konsentrasi 100-200 mM HDTMABr terjadi kenaikan adsorpsi yaitu 1.9961 mmol/g hingga 3.9923 mmol/g atau kira-kira 2 kali lipatnya. Sehingga dapat diperkirakan bahwa pada kisaran konsentrasi HDTMABr ini sudah mulai terbentuk lapisan ganda (admisel). Keadaan lapisan ganda (admisel) ini belum sepenuhnya tercapai pada permukaan zeolit disebabkan belum diperolehnya jumlah HDTMA+ teradsorpsi dalam keadaan tunak (steady state) pada kurva konsentrasi admisel kritik. Namun demikian, diputuskan untuk tidak menaikkan konsentrasi HDTMABr di atas disebabkan Wibowo et al. (2011) melaporkan bahwa KAK pada zeolit klinoptilolit Lampung teraktivasi 350 oC pada 70 mM HDTMABr dengan jumlah HDTMA+ teradsorpsi adalah 0.1967 mmol/g.
Adsorpsi Cr(VI) Terhadap Zeolit-HDTMABr
Metode adsorpsi Cr(VI) pada zeolit Lampung yang digunakan adalah metode tumpak (batch). Pada metode tumpak, larutan contoh Cr(VI) dan zeolit Lampung dicampur dan dikocok sampai waktu tertentu hingga tercapai kesetimbangan. Keadaan setimbang tercapai apabila zeolit telah jenuh oleh Cr(VI). Tahap berikutnya adalah penyaringan zeolit sehingga diperoleh konsentrasi sisa Cr(VI) dalam larutan, selisih konsentrasi digunakan untuk menentukan kapasitas adsorpsi. Kapasitas adsorpsi menyatakan bahwa jumlah Cr(VI) (mg) yang dapat teradsorpsi dalam tiap gram zeolit. Penentuan uji adsorpsi Cr(VI) pada zeolit ini mengikuti prosedur yang dikerjakan oleh Arif (2011) yang melaporkan bahwa pH optimum adsorpsi Cr(VI) yaitu 3 dengan waktu pengocokan selama 6 jam. Menurut Cordoves et al. (2008) bentuk Cr(VI) yang paling dominan pada pH 2-6 adalah HCrO4- sehingga dalam percobaan ini yang paling banyak diadsorpsi adalah ion tersebut.
Pengujian adsorpsi Cr(VI) oleh zeolit Lampung sebelum dimodifikasi dan setelah dimodifikasi dengan HDTMABr menggunakan metode difenilkarbazida (DPC). Metode ini didasarkan pada pengukuran serapan larutan berwarna ungu kemerahan yang menunjukkan kompleks antara 1,5-difenilkarbazida [(C5H5NHNH)2CO] dengan Cr(VI). Senyawa kompleks ini diukur pada panjang gelombang maksimum 544 nm. Nisbah pengikatan antara Cr(VI) dengan DPC adalah 1:2 (Gambar 10). NH HN C O H N N H 2 Cr(VI) H N HN C O HN N Cr N H N H C O N H H N
Gambar 10 Reaksi DPC dengan Cr(VI) (Eaton & Franson 2005).
Kapasitas adsorpsi (Q) zeolit meningkat seiring dengan naiknya konsentrasi Cr(VI) (Gambar 10). Kenaikan terjadi selama tersedianya tapak aktif pada zeolit untuk mengadsorpsi Cr(VI). Uji adsorpsi Cr(VI) terhadap zeolit Lampung tanpa modifikasi menunjukkan kapasitas adsorpsi tertinggi saat konsentrasi awal Cr(VI) 80 mM yaitu sebesar 58.0457 mg/g zeolit. Setelah zeolit dimodifikasi dengan HDTMABr 100 mM terjadi peningkatan kapasitas adsorpsi saat konsentrasi Cr(VI) 150 mM sebesar 134.0522 mg/g zeolit. Hal ini menunjukkan semakin banyaknya tapak aktif pada zeolit Lampung yang permukaannya dimodifikasi dengan HDTMABr 100 mM. Ketika konsentrasi HDTMABr ditingkatkan menjadi 200 mM juga terjadi peningkatan kapasitas adsorpsi menjadi sebesar 148.5602 mg/g zeolit pada konsentrasi Cr(VI) 200 mM. Sehingga dalam percobaan ini selanjutnya dipilih zeolit-HDTMABr 200 mM yang memiliki adsorpsi tertinggi dalam Cr(VI).
Gambar 11 Kurva adsorpsi Cr(VI) terhadap (a) zeolit Lampung tanpa modifikasi, (b) zeolit HDTMABr 100 mM, (c) zeolit Lampung-HDTMABr 200 mM.
Pencirian Zeolit-HDTMABr dengan XRD, FT-IR, dan TG-DTA Pencirian dengan XRD
Pencirian dengan XRD bertujuan mengetahui perubahan struktur zeolit setelah diaktivasi dengan NaOH 1 M dan selanjutnya dengan HDTMABr. Profil pola difraksi zeolit Lampung tanpa aktivasi, zeolit Lampung aktivasi basa, dan zeolit Lampung-basa termodifikasi HDTMABr 200 mM ditunjukkan pada Gambar 12. Pola difraksi zeolit Lampung pada sudut 2θ 5o-60o menunjukkan puncak-puncak yang signifikan untuk setiap mineral yang terkandung pada zeolit tersebut. Zeolit Lampung memiliki puncak difraksi sinar-X pada βθ β1.84o, 22.47o, 28.15o dengan derajat kristalinitas 66.52%. Setelah zeolit Lampung tersebut diaktivasi dengan basa, puncak difraksi sinar-X muncul pada 2θ β1.9γo, 22.48o, 30.07o dengan derajat kristalinitas turun menjadi 62.14%. Hal tersebut diduga karena hilangnya senyawa-senyawa pengotor yang mempengaruhi kristalinitas zeolit. Zeolit Lampung teraktivasi basa dimodifikasi dengan
0 20 40 60 80 0 50 100 Q ( m g /g ) [Cr(VI)] (µM) 0 50 100 150 0 100 200 Q (m g /g ) [Cr(VI)] (µM) 0 50 100 150 0 100 200 Q (m g /g ) [Cr(VI)] (µM) (a) (b) (c)
HDTMABr 200 mM menunjukkan puncak difraksi sinar-X pada βθ 21.55o, 22.42o, 30.03o dengan derajat kristalinitas turun menjadi 51.78%. Hal ini diduga karena terjadi adsorpsi molekul HDTMABr pada permukaan zeolit sehingga mengakibatkan penurunan derajat kristalinitas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi perubahan struktur pada zeolit alam asal Lampung baik pada saat diaktivasi basa maupun setelah dimodifikasi dengan HDTMABr.
Gambar 12 Profil pola difraksi zeolit alam Lampung (a) tanpa aktivasi, (b) zeolit-basa, dan (c) zeolit-basa-HDTMABr 200 mM.
Pencirian dengan FTIR
Pembuktian adanya pengikatan HDTMABr pada zeolit Lampung dilakukan dengan menggunakan spektrometer infra merah (FTIR). Gugus-gugus fungsional HDTMABr yang terikat pada zeolit Lampung dapat dikarakterisasi menggunakan FTIR. Profil spektrum IR zeolit Lampung, HDTMABr, dan zeolit Lampung-HDTMABr 200 mM ditampilkan dalam Gambar 13.
Hasil karakterisasi zeolit Lampung dan zeolit teraktivasi basa dengan FTIR menunjukkan profil puncak karakteristik yang mirip diantaranya adalah vibrasi v
O-H simetrik dan asimetrik (3457.45 cm-1), vT-O simetrik (1076.26 cm-1) (T = Al atau Si), vT-O asimetrik (793.51 cm-1), tekukan δH-O-H (1637.74 cm-1), δSi-O-Al (608.04 cm-1 dan 527.03 cm-1), dan δO-T-O (454.36 cm-1, 483.1 cm-1, 470.08 cm-1) seperti yang dikemukakan oleh Swarnakar et al. (2011) dan Nezamzadeh-Ejhieh & Raja (2013). Hal ini menandakan bahwa aktivasi basa tidak mengubah struktur zeolit. HDTMABr sebagai senyawa pemodifikasi zeolit juga dikarakterisasi dan menghasilkan puncak-puncak karakteristik yang khas diantaranya, yaitu pada bagian ekor uluran vC-H metilena asimetrik (2921.26 cm-1), vC-H metilena simetrik (2849.44 cm-1), tekukan δC-H metilena (2849.44 cm-1, 1487.92 cm-1, 1462.91 cm -1), δC-H metil asimetrik (1431.47 cm-1, 1407.95 cm-1), δα-C-H (1431.47 cm-1), dan
δC-H metil simetrik (1396.94 cm-1). Puncak karakteristik pada bagian kepala HDTMABr adalah uluran vC-H dari –N(CH3)3 asimetrik (3018.09 cm-1) dan tekukan δC-H dari –N(CH3)3 (1407.95 cm-1) (Li et al. 2008).
(a) (b) (c)
Pencirian zeolit Lampung-HDTMABr menunjukkan adanya gabungan puncak karakteristik yang berasal dari zeolit Lampung-HDTMABr. Puncak karakteristik yang berasal dari HDTMABr adalah uluran vC-H metilena asimetrik (2920.05 cm-1) dan tekukan δC-H metilena (2851.01 cm-1, 1489.21 cm-1). Sementara puncak karakteristik yang berasal dari zeolit Lampung adalah tekukan
δH-O-H (1637.65 cm-1), vT-O simetrik (1055.56 cm-1), vT-O asimetrik (793.17 cm-1),
δSi-O-Al (608.86 cm-1 dan 525.67 cm-1), dan δO-T-O (468.41 cm-1).
Gambar 13 Spektrum FTIR pada (a) zeolit Lampung, (b) zeolit Lampung teraktivasi basa, (c) HDTMABr, dan (d) zeolit Lampung-basa-HDTMABr 200 mM.
Pencirian dengan TG-DTA
Teknik analisis termal, TG-DTA dapat digunakan untuk mempelajari perilaku termal zeolit seperti kehilangan sejumlah molekul air yang teradsorbsi pada permukaannya. Menurut Guan et al. (2010) TG-DTA juga dapat memberikan informasi mengenai jumlah energi yang dibutuhkan untuk menghilangkan molekul-molekul HDTMABr pada permukaan zeolit. Jumlah energi ini bergantung pada bentuk lapisan HDTMABr (lapisan tunggal atau ganda) pada permukaan zeolit. Bentuk HDTMABr yang ada di permukaan zeolit dapat dihubungkan dengan suhu tertentu ketika terdapat massa yang hilang pada analisis TG-DTA. Selain itu, massa yang hilang pada kisaran waktu yang spesifik juga memberikan perkiraan jumlah HDTMABr yang terisi pada sampel zeolit. Hasil analisis termal pada zeolit Lampung, zeolit-basa dan zeolit-basa-HDTMABr disajikan dalam Gambar 14.
4000.0 3000 2000 1500 1000 450.0 cm-1 %T 1 2 3 4 L aborato ry T es t Res ul t (a) (c) (d) (b)
Gambar 14 merupakan rekapitulasi persentase massa yang hilang pada sampel zeolit pada kisaran suhu yang berbeda. Kehilangan massa pada kisaran 30-100 oC (2.9-4.8%) diduga disebabkan oleh lepasnya molekul-molekul air yang teradsorbsi secara fisik pada permukaan zeolit. Pada kisaran suhu 100 hingga 200
oC, kehilangan massa yang cepat pada 3 sampel zeolit (2.9-4.8%) yang dicirikan kemiringan yang curam pada kurva TG (Gambar 15) diduga berasal dari lepasnya molekul air yang terdapat pada rongga zeolit dan terikat pada kation-kation nonkerangka (Alver et al. 2010). Hal ini didukung data kurva DTA dari sampel zeolit dengan munculnya puncak endotermik pada sampel zeolit alam Lampung (93.49 oC), zeolit Lampung termodifikasi basa (98.62 oC), dan zeolit Lampung-basa-HDTMABr (109.08 oC). Kehilangan massa yang cukup signifikan terjadi pada kisaran 200-300 oC pada zeolit-basa-HDTMABr, yaitu sekitar 15.1%. Hal ini diduga disebabkan terjadinya penguraian ikatan-ikatan molekul HDTMABr yang memiliki energi rendah yang terikat pada permukaan zeolit. Penguraian ikatan-tersebut menyebabkan pelelehan, penguapan, dan pirolisis pada molekul HDTMABr (Majdan et al. 2006). Ikatan yang berenergi rendah kemungkinan berasal dari interaksi hidrofobik sesama molekul HDTMABr yang membentuk lapisan ganda (Guan et al. 2010). Hal ini diperkuat dengan munculnya puncak pada kurva DTA pada suhu 258.72 oC. Sementara pada zeolit Lampung dan zeolit Lampung-basa diduga terjadi pelepasan molekul air yang terikat pada kation di kerangka zeolit dan alumunium pada kisaran 100-400 oC sementara pada suhu di atas 400 oC terjadi pelepasan molekul air yang terikat dengan gugus silanol (Aytes & Hardacre 2012).
Gambar 14 Persentase massa yang hilang pada zeolit Lampung dan termodifikasi pada kisaran suhu 30-1000 oC.
Zeolit Lampung-basa-HDTMABr menunjukkan puncak pada kurva DTA pada suhu 387.26 oC dengan persentase kehilangan massa sebesar 1.7%. Puncak pada suhu yang lebih tinggi ini menunjukkan ikatan yang lebih kuat antara HDTMABr pada permukaan zeolit yang mungkin disebabkan oleh ikatan elektrostatik gugus kepala, kation amonium, terhadap permukaan zeolit yang elektronegatif (lapisan pertama). Lapisan pertama bertindak sebagai cetakan (template) untuk interaksi hidrofobik-hidrofobik pada lapisan kedua. Suhu yang dibutuhkan untuk menguraikan interaksi ini lebih rendah dibandingkan interaksi elektrostatik dan menghasilkan persentase massa hilang yang cukup tinggi pada kisaran 200-300 oC (Guan et al. 2010 Ha et al. 2005). 0 2 4 6 8 10 12 14 16 30-100 100-200 200-300 300-400 400-500 500-600 600-700 700-1000 % Kehilangan Massa Suhu (oC) Z. LPG Z. LPG-basa Z.LPG-basa-HDTMABr 15.1 (a) ;
Gambar 15 Kurva TG-DTA pada (a) zeolit Lampung, (b) zeolit Lampung-basa, (c) zeolit Lampung-basa-HDTMABr 200 mM.
Pembuatan dan Kinerja Elektrode dengan Voltametri
Pengujian awal menggunakan teknik voltametri siklik dilakukan untuk memperoleh kondisi pengukuran yang optimum untuk meminimalkan galat yang berasal dari proses analisis. Pengujian tersebut meliputi daerah pemayaran, pengukuran arus larutan elektrolit (HNO3 0.3 M), penentuan komposisi elektrode optimum untuk pengukuran, dan penentuan resposn arus yang ditimbulkan oleh analit, yaitu Cr(VI). Daerah pemayaran idealnya berada pada kisaran potensial redoks analit tetapi tidak berada pada potensial redoks elektrolit pendukung. Hal ini bertujuan agar arus puncak yang muncul hanya berasal dari analit Cr(VI). Larutan HNO3 0.3 M digunakan sebagai larutan elektrolit dalam pengukuran ion spesi Cr(VI) pada selang potensial -0.5-1.0 V. Larutan elektrolit ini digunakan untuk menurunkan efek migrasi sehingga meningkatkan arus difusi (Faraday) yang sebanding dengan konsentrasi analit (Wang 2001).
(b)
Pengaruh Larutan Elektrolit terhadap Elektrode Pasta Karbon (EPK)
Pengukuran arus elektrolit HNO3 0.3 M pada daerah pemayaran -0.5-1.0 V EPK dan elektrode pasta karbon zeolit termodifikasi HDTMABr (EPK-Z-HDTMABr) tidak menghasilkan arus puncak (Gambar 15). Potensial reduksi ion NO3- berada +0.96 V sementara dalam pengukuran ini tidak teramati arus puncak reduksi pada kisaran potensial tersebut. Hal ini menunjukkan kisaran potensial yang digunakan cocok untuk pengukuran Cr(VI). Kachoosangi & Compton (2013) melaporkan pengukuran Cr(VI) dengan menggunakan elektrode komposit karbon termodifikasi emas pada selang potensial 0.1-0.8 V dengan menggunakan larutan elektrolit yang sama. Arus blanko yang dihasilkan oleh EPK-Z-HDTMABr lebih tinggi dibandingkan dengan EPK. Hal ini diduga disebabkan peningkatan arus kapasitif yang ditimbulkan oleh lapisan muatan ganda pada permukaan elektrode kerja (Scholz 2010). Selama pengukuran Cr(VI) menggunakan metode ini tidak diperlukan pengaliran gas nitrogen karena puncak reduksi Cr(VI) muncul pada potensial yang lebih positif daripada puncak reduksi oksigen dan tidak ada gangguan yang muncul selama pengukuran berlangsung (Kachoosangi & Compton 2013).
Gambar 16 Voltamogram EPK ( ) dan EPK-Z-HDTMABr ( ) pada larutan HNO3 0.3 M pada kecepatan payar 100 mV/detik.
Pengukuran Cr(VI) 13 mM dalam HNO3 0.3 M menghasilkan voltamogram siklik dengan arus puncak reduksi pada potensial sekitar 0.2 V baik menggunakan EPK maupun EPK-Z-HDTMABr (Gambar 16). EPK-Z-HDTMABr dibuat dari campuran zeolit Lampung-HDTMABr 200 mM, minyak parafin, dan grafit. Arus puncak katodik EPK-Z-HDTMABr lebih tinggi dibandingkan EPK maupun elektrode emas komersial. Nezamzadeh-Ejhieh & Raja (2013) menjelaskan bahwa ion Cr(VI) dalam fase encer berada dalam bentuk HCrO4-, Cr2O72-, CrO42-, HCr2O7-. Ketika pH di bawah 6, persentase nisbah Cr2O72- terhadap HCrO4 -sekitar 2:8 pada konsentrasi 0.5 mM, 12:88 pada 5 mM dan 89:11 pada konsentrasi 1 M (Kachoosangi & Compton 2013). Reaksi berikut menjelaskan distribusi spesi kromium dalam larutan encer:
H2CrO4 HCrO4- + H+ HCrO4- CrO42- + H+ 2HCrO4- Cr2O72- + H2O HCrO4- Cr2O72- + H+. -0.6 -0.4 -0.2 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 -5.0x10-6 -4.0x10-6 -3.0x10-6 -2.0x10-6 -1.0x10-6 0.0 1.0x10-6 2.0x10-6 A ru s (A ) Potensial (V) vs Ag/AgCl
Anion CrO42- utamanya berada dalam larutan basa atau sedikit asam sementara anion Cr2O72- dominan larutan Cr(VI) encer yang sangat asam:
CrO42- (pH >6.5) HCrO4- (pH 4-6) Cr2O72- (pH<4).
Gugus amina kuartener (RN4+) pada zeolit termodifikasi HDTMABr diduga menjadi tempat pertukaran anion. Ketika EPK-Z-HDTMABr dicelupkan ke dalam larutan Cr(VI) terjadi pertukaran anion antara permukaan elektrode (Br-) dengan CrO4- dan Cr2O72- di dalam larutan. Mekanisme pertukaran spesi anionik dalam larutan diduga mengikuti skema yang dijelaskan oleh Svancara et al.