• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Lokasi Pasar Penelitian

Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan pengelompokan luas bangunan pasar tradisional. Pasar tradisional yang dipilih pada penelitian dibagi atas kelompok pasar besar, pasar sedang, dan pasar kecil. Kelompok pasar besar dengan luas bangunan berkisar antara 6.166 - 24.256 m2 terdiri atas Pasar Petisah, Pusat Pasar, dan Pasar Sei kambing. Kelompok pasar sedang dengan luas bangunan berkisar antara 5.358 – 5.975.03 m2 terdiri atas Pasar Helvetia, Pasar Kampung Lalang, dan Pasar Kwala Bkala. Sedangkan kelompok pasar kecil dengan luas bangunan berkisar antara 360,10 – 2.756,60 m2 terdiri atas Pasar Kemiri, Pasar Padang Bulan, dan Pasar Kampung Baru.

Kondisi tempat penjualan daging sapi pada kelompok pasar kecil, pasar sedang dan pasar besar dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 1. Pusat Pasar (Pasar besar)

Gambar 2. Pasar Kampung Lalang (Pasar sedang)

Gambar 3. Pasar Kemiri (Pasar kecil)

Keadaan penerangan di pasar besar, sedang, dan kecil menunjukkan para pedagang daging sapi menggunakan lampu berwarna kuning untuk menjaga kelembaban tempat penjualan daging. Sirkulasi udara pada tempat penjualan daging sapi di pasar besar tidak ada sehingga keadaannya panas dan pengap dengan suhu berkisar 31-330C karena kurangnya udara yang masuk, namun pada pasar sedang dan kecil udara bebas keluar masuk ke tempat penjualan daging sapi.

Cemaran bakteri juga dapat berasal dari alat yang digunakan pada proses pemotongan. Kurangnya sanitasi pada alat pemotongan maka akan menimbulkan banyak bakteri yang akan muncul. Menurut (Soeparno, 2005) faktor yang menyebabkan tingginya jumlah E. Coli pada sampel daging sapi yaitu kurang bersihnya alat-alat yang digunakan pada saat pemotongan daging yang akan meningkatkan kontaminasi bakteri pada daging tersebut dan penempatan daging sapi yang dijual di pasar pada suhu ruang akan mempercepat pertumbuhan bakteri. E. Coli sebagai mikroorganisme mesofilik akan tumbuh secara optimal pada suhu 20-400C.

22

Hasil pengamatan terhadap kondisi pedagang daging sapi pada lokasi penelitian dapat dilihat pada tabel 5 berikut.

Tabel 5. Pengamatan kondisi pedagang daging sapi berdasarkan pasar Nama

Berdasarkan hasil pengamatan yang terjadi di lapangan dapat dilihat bahwa kondisi penjualan daging sapi di pasar besar ditempatkan di lokasi tertutup sementara di pasar sedang dan kecil kondisi penjualan ditempatkan di lokasi terbuka, kondisi penataan para pedagang pun tersusun dengan rapi berada di satu kawasan khusus penjualan daging. Kebersihan penjualan di pasar besar kurang

bersih dan masih banyak sampah yang bertumpukan di sekitar pedagang daging sapi, sementara kebersihan di pasar sedang dan pasar kecil juga belum sepenuhnya dalam keadaan bersih, masih ada di beberapa pasar yang belum menjaga tingkat kebersihan pasar khususnya di lokasi penjualan daging sapi.

Penggunaan perlengkapan kebersihan oleh pedagang daging sapi di pasar besar dan pasar sedang menggunakan perlengkapan seperti celemek untuk menjaga kebersihan sementara di pasar kecil para penjual daging sapi tidak menggunakan celemek. Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa pasar besar memiliki kondisi pasar yang cenderung lebih tertata rapi, dan lokasi antara penjual daging sapi dengan penjual bahan pokok lainnya dipisah, sementara itu pada pasar sedang dan pasar kecil lokasi penjualan daging sapi masih bercampur baur dengan pedagang lainnya.

Perhitungan Jumlah Bakteri Escherichia coli ( E. coli )

Perhitungan jumlah bakteri E.Coli pada penelitian dilaksanakan dengan menggunakan media Chromocult agar. Chromocult Agar (CA) merupakan media efektif pengganti Mac Conkey agar dalam mempelajari feses manusia dan bermanfaat untuk membedakan E.coli dari koliform lain. Pengujian yang telah dilakukan menggunakan chromocult agar medium adalah untuk menginsolasi dan menghitung Enterobacteriaceae dari sampel feses manusia. Media ini menunjukan efektifitas dalam identifikasi E.coli dan koliform di dalam fases tanpa dibutuhkan uji biokimia pendampinguntuk konfirmasi (Finney et al.2003).

Prinsip uji dengan menggunakan media Chromocult yaitu mendeteksi aktivitas β-glucuronidase biasanya digunakan untuk membedakan bakteri E.coli dengan bakteri koliform lainnya. Bakteri E.coli mempunyai uidA gene yang akan

24

melakukan encoded pada enzim β-glucuronidasese dangkan pada bakteri koliform memiliki lacZ gensehingga melakukan encoded pada enzim β-glucuronidase (Bridson, 2006). Akibatnya E.coli akan menghasilkan warna ungu karena dapat mengikat semua chromogen.

Gambar 4. Media Chromocult Agar (CA)

Pengujian jumlah bakteri E. coli pada daging sapi menurut pasar tradisional di Kota Medan dilaksanakan dengan tahap penimbagan sampel dari masing-masing pasar, dilanjutkan ke tahap pengenceran dan ditumbuhkan kedalam cawan dengan media Coliform Agar (CA) kemudia diamati selama 48 jam. Gambar alur proses pengujian E.coli pada daging sapi dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 5. Penggilingan sampel Gambar 6. Pengenceran

Gambar 7. Penuangan media CA Gambar 8. Penumbuhan media Hasil pengujian jumlah bakteri E. coli pada daging sapi menurut pasar tradisional di Kota Medan dapat dilihat pada tabel 6 berikut ini.

Tabel 6. Jumlah bakteri Eschericia coli pada daging sapi

Sumber : Laboratoium Balai Veteriner Kota Medan.

Nama Pasar Kode Sampel Jumlah E.

26

Hasil penumbuhan E. coli pada media Chromocult Agar (CA) yang berasal dari total 22 sampel daging penelitian didapatkan 22 sampel yang mengandung bakteriE. Coli yang melebihi batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) dengan jumlah tertinggi hingga 7x105 cfu/gram. Jumlah tersebut lebih rendah dari Bahri et al., (2019) yang menghitung jumlah kontaminan bakteri Escherichia coli pada daging sapi beku yakni sebesar 1108 : 1 x 109 yang melebihi BMCM.

Bagan hasil pengujian jumlah bakteri Escherichia Coli pada daging sapi menurut pasar tradisional kota medan dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 9. Rata-rata jumlah bakteri menurut kelompok pasar.

Berdasarkan tabel 6 menunjukkan pengujian E. coli pada penelitian yang telah dilakukan di laboratorium terdapat 22 sampel daging sapi (100%) telah melebihi batas maksimum cemaran mikroba bakteri daging sapi yang tercemar bakteri E. Coli, pasar tersebut adalah Pasar Sei Kambing, Pasar Helvetia, Pasar Kampung Lalang, Pasar Padang Bulan, Pusat Pasar, Pasar Petisah, Pasar Kwala Bkala, Pasar Kampung Baru, serta Pasar Kemiri, dengan demikian seluruh sampel daging sapi di pasar tradisional Kota Medan tercemar oleh bakteri Escherichia coli. Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahimma (2012)

terhadap sampel daging sapi yang diambil disepanjang rantai distribusi di Kota Padang menunujukkan 100% dari 12 sampel daging terkontaminasi bakteri E. coli dan melebihi BMCM. Angraeni (2015) pada penelitiannya menunjukkan nilai lebih rendah dimana sekitar 37,5% persen daging sapi dari 24 sampel penelitiannya tercemar bakteri E. Coli. Dibandingkan dengan dengan penelitian Ngabito (2013) terhadap daging sapi yang dijual di 6 pasar tradisional Kota Gorontalo yang terdiri dari 13 sampel dan 9 sampel (69%) telah melebihi batas maksimum cemaran mikroba (BMCM).

Berdasarkan SNI 3932 : 2008 batasan maksimum cemaran mikroba (BMCM) Escherichia coli pada syarat mutu mikrobiologis daging sapi yaitu 1x101 Coloni Forming Unit per gram (CFU/gram). Tingkat cemaran bakteri E.

coli yang terdapat pada sampel daging sapi di pasar tradisional Kota Medan adalah sebesar 100%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pencemaran E. Coli pada daging sapi di Kota Medan dapat dikatakanmelebihi standart sehinggadapat mengganggu sistem pencernaan pada manusia dan dapat menimbulkan penyakit.Menurut Lestari et al, (2015) E. Coli merupakan salah satu penyebab penyakit diare yang sangat mudah penyebarannya baik secara langsung maupun tidak langsung.

Foodborne disease merupakan hasil dari pencemaran dan penyerapan makanan yang mengandung mikroba oleh tubuh manusia. Mikroba yang menimbulkan penyakit dapat berasal dari makanan produk ternak yang terinfeksi atau tanaman yang terkontaminasi (Bahri., 2001). Beberapa gejala penyakit dan media pencemaran mikroba pada bahan pangan asal ternak, bakteri salmonella dapat menyebabkan penyakit Demam, diare, dan kram perut, hal tersebut

28

disebabkan karena air pencuci terkontaminasi, bakteri compylobacter dapat menyebabkan penyakit diare, demam, dan kram perut, hal tersebut disebabkan karena adanya kontak dengan permukaan karkas ungga yang terinfeksi , atau masih mengonsumsi daging dalam keadaan mentah dan belum dimasak, Bakteri E. coli dapat menyebabkan Diare berdarah dan kesakitan karena keram perut tanpa disertai demam hal tersebut dikarenakan karena makan atau bahan pangan yang tercemar oleh feses, Bakteri listeria dapat menyebabkan penyakit infeksi pada selaput otak serta infeksi meluas kedalam saluran darah hal tersebut dapat dicemari oleh makanan yang masih mentah, susu yang dipasteurisasi dsb (Andriani, 2005) .

Penyakit diare dapat menyebabkan gangguan pada proses pencernaan sehingga dapat meningkatkan frekuensi buang air besar (BAB). Menurut kementerian kesehatan republik indonesia tahun 2016 menyatakan bahwa diare merupakan penyakit gangguan buang air besar (BAB) cair yang lebih dari tiga kali dalam sehari dengan konsistensi tinja cair dan dapat disertai darah atau lendir.

Di indonesia, penyakit diare termasuk penyakit endemis dan penyakit potensial kejadian luar biasa (KLB) dan sering disertai dengan kematian. Menurut data kesehatan RI, kejadian luar biasa (KLB) diare di tahun 2016 terjadi pada 3 provinsi(NTT, Jawa tengah, Sumatera Utara) dengan 3 kabupaten (Kupang, Porworejo, Binjai) dengan jumlah penderita 198 orang dan kematian 6 orang atau case Fatality Rate (CFR) mencapai 3,04%. Hal ini berarti kematian yang disebabkan diare masih cukup tinggi (>1%).

E. Coli sendiri dapat menyebabkan diare akut, diare akut ini dapat terjadi jika terdapat strain atau varian dari bakteri tersebut, seperti E. Coli yang mampu

menghasilkan verotoksigenenik dan enterohemorganik akan mengakibatkan kerusakan sel endotelial yang berakibat pada diare berdarah dan menyebabkan kematian (Suwito, 2009). Bakteri E. Coli mampu merusak dinding pembuluh darah. Jika sel tubuh sudah teracuni bakteri ini, maka sisntesis protein pada sel tersebut akan terhenti. Demikian pula bila sudah terserap sampai ke bagian usus , racun bakteri bisa masuk ke dalam aliran darah. Hingga akhirnya merusak sel dinding pembuluh darah dan akan merusaknya.(Bahri et al, 2019).

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Cemaran Bakteri E. coli

Cemaran bakteri bisa berasal dari lingkungan pasar serta tidak memperhatikan kebersihan dan kontaminasi pada proses penjualan di pasar.

Adapun faktor yang dapat mempengaruhi adanya perbedaan jumlah kontaminan bakteri E. coli pada daging sapi yang melebihi batas maksimum kontaminan mikroba (BMCM) antara lain adalah higienis tempat dan proses pengolahan.

Higiene personal dan sanitasi lingkungan merupakan faktor penting dalam penkontaminan bakteri E. coli, termasuk didalamnya adalah higiene peralatan yang digunakan dalam pengolahan daging, bahkan lokasi/tempat pengelolaan daging seperti tempat penjualan atau pasar (Bahri et al., 2019).

30

Gambar 10. Kondisi pasar Petisah (kiri) dan pasar Sei Kambing (kanan) Kontaminasi pada daging juga bisa melalui suhu ruang pasar dimana keadaan pasar yang ramai dapat memicu bakteri masuk ke dalam tempat penjualan daging sapi . Faktor lingkungan juga memberikan pengaruh yang sangat besar pada cemaran bakteri daging (Anjarina et al., 2018). Bakteri dapat berkembang biak dengan baik jika lingkungan di sekitar rumah potong hewan mencapai suhu optimum (Praja et al., 2015).

Proses penjualan daging terhadap konsumen rentan terhadap kontaminasi bakteri, dimana penjualan daging yang dibeli dipotong-potong dan sisa dari daging sapi tersebut di gantung di lokasi terbuka sehingga bakteri bisa langsung masuk ke dalam daging. Menurut Sugiyoto et al. (2015) kontaminasi juga terjadi pada saat penyiapan daging/penjualan di pasar karena penjualan daging yang dilakukan di pasar tradisional di Bandar Lampung dilakukan dengan cara menjual kiloan sesuai yang diinginkan oleh konsumen, hal ini membuat banyaknya potongan-potongan atau sayatan pada daging yang digantung sehingga membuat luas permukaan daging bertambah dan mempermudah tumbuh kembang mikroba.

Penjualan daging secara terbuka juga dapat menyebabkan konsumen memilih daging dengan cara menyentuh bagian daging yang diinginkan sehingga daging dengan mudah dapat terkontaminasi oleh mikroba yang terdapat pada

tangan konsumen. Kondisi ini dapat menyebabkan menurunnya kualitas daging tersebut (Sugiyoto et al., 2015).

Gambar 11. Kondisi pedagang daging di pasar.

Pada saat proses pemotongan hewan hal yang menyebabkan daging terkontaminasi juga bisa berasal dari alat-alat yang digunakan, untuk mengantisipasi bakteri masuk ke dalam daging lebih diutamakan untuk menjaga kebersihan alat dan kondisi Rumah Potong Hewan (RPH). Menurut (Soeparno,2011) yang mengatakan bahwa higiene daging tak lepas dari beberapa faktor diantaranya perlakuan hewan sebelum dipotong sampai selesai proses pemotongan dan proses pembagian karkas untuk siap dipasarkan . semua peralatan yang digunakan selama proses pemotongan hewan harus steril dan kendaraan pengangkut daging hasil RPH harus memenuhi syarat yang berlaku, ini bertujuan untuk menjaga daging tetap higienis sampai tangan konsumen.

Kondisi pencucian juga perlu diperhatikan dengan menggunakan air yang bersih dan bebas dari kaporit, agar bakteri tidak dapat masuk pada saat proses pemotongan. Kontaminasi kemungkinan dapat berasal dari peternakan dan rumah potong hewan yang tidak higienis (Mukartini et al., 1995), serta sumber air dan lingkungan tempat pengolahan daging tersebut sebelum sampai kepada konsumen. Kontaminasi bakteri dalam proses pemotongan ternak sangat mungkin

32

terjadi, sebab proses pemotongan, khususnya pengulitan dan pengeluaran jeroan merupakan titik paling rentan terhadap terjadinya kontaminasi dari bagian luar kulit dan isi saluran pencernaan (Buckle et al.,1987). Kontaminasi pada dagingberasal dari mikroorganisme yang memasuki peredaran darah pada saat penyembelihan, apalagi peralatan yang digunakan tidak bersih. Setelah proses penyembelihan, kontaminasi selanjutnya dapat terjadi pada saat pengulitan, pengeluaran jeroan, pembelahan karkas, pencucian karkas/daging, pendinginan, pembekuan, proses thawing, preservasi, pengemasan, penyimpanan, distribusi, pengolahan bahkan sesaat sebelum dikonsumsi (Kuntoro et al., 2012).

Gambar 12. Alat pemotongan

Kondisi daging sapi juga sangat dipengaruhi proses penyimpanan. Daging yang baik adalah daging yang masih dalam keadaan segar atau baru dipotong dan langsung dibawa ke pasar. Berbeda halnya dengan daging yang sudah dilakukan penyimpanan, hal tersebut bisa membuat kontaminasi pada daging akan semakin tinggi dan mengalami kebusukan. Menurut Hernando et al., (2015) jumlah mikroba berkaitan dengan masa simpan daging. Daging yang jumlah mikroba banyak akan lebih cepat mengalami proses pembusukan.

Bakteri E. coli akan bertumbuh dengan cepat seiring waktu penyimpanan daging sapi di pasar. Fase pertumbuhan bakteri dimulai dari fase adaptasi, fase pertumbuhan atau log, fase stasioner dan fase kematian. Pada fase pertumbuhan

atau log jumlah bakteri akan semakin banyak. Menurut Soeparno (2005), jumlah mikroba akan meningkat dengan cepat pada fase pertumbuhan seiring dengan bertambah waktu.

Pengaruh faktor waktu, yaitu lamanya waktu potong dan disimpan hingga dibeli, yang berselang beberapa lama mempengaruhi jumlah bakteri. Bakteri yang telah mengkontaminasi daging dari pasar modern bisa tumbuh, berkembang dan melakukan pembelahan sel selama daging tersebut disimpan. Pengaruh faktor waktu dapat dihubungkan dengan jumlah bakteri. Interval waktu yang dibutukan bagi sel untuk membelah diri disebut sebagai waktu generasi. Sel tunggal bakteri berproduksi dengan pembelahan biner dan jumlahnya akan bertambah secara geometrik. Apabila kontaminasi bakteri awalnya berada dibawah batas cemaran maksimum mikroba, setelah disimpan beberapa waktu jumlahnya akan meningkat sehingga melewati batas cemaran maksimum (Juwita et al., 2014).

Indikator kontaminasi pada daging sapi segar salah satunya dapat dilihat dari jumlah E. coli, karena bakteri tersebut terdapat secara alami pada daging sapi segar dan dapat menimbulkan penyakit apabila keberadaanya berada di atas ambang batas yang diperbolehkan (Kuntoro et al., 2012). Maka dari itu masnyarakat harus lebih teliti dalam membeli daging di pasar, agar bisa dipastikan daging tersebut segar dan bebas dari proses penyimpanan.

Pengendalian Cemaran Mikroba

Tingkat cemaran mikroba pada pangan asal daging sapi perlu dilakukan pengendalian untuk menjaga keamanan pangan yang akan dikonsumsi oleh masnyarakat dapat terjaga dalam kondisi aman. Menurut Gustiani (2009) untuk

34

meningkatkan keamanan pangan, beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mengeliminasi dampak pencemaran mikroba pada bahan pangan adalah :

1. Meningkatkan pengetahuan ekologi dan epidomologi alami untuk menetapkan metode diagnosis yang akurat.

2. Mengidentifikasi titik kritis terjadinya kontaminasi agen penyakit ke dalam mata rantai pangan asal ternak.

3. Meningkatkan pengetahuan, kesadaran dan kepedulian masnyarakat terhadap penyakit penyakit yang disebabkan oleh cemaran mikroba.

4. Memperluas stakeholder dan meningkatkan koordinasi dengan dinas/instansi terkait.

Pengendalian mikroba dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu : A. Disenfeksi

Disenfeksi adalah perusakan, penghambatan atau penghapusan mikroba yang dapat menyebabkan penyakit atau masalah lain misalnya seperti pembusukan. Hal ini biasanya dicapai dengan mengunakan bahan kimia (Sulaiman,2013).

B. Antiseptik

Antiseptik adalah antibakteri yang melawan flora patologis secara mekanis, kimiawi atau gabungan keduanya, dengan tujuan membunuh, menghambat dan menurunkan jumlah mikroorganisme (Hamijaya, 2014).

C. Pengendalian mikroba dengan cara radiasi

Pengendalian mikroba dengan radiasi Bakteri dapat terbunuh dengan penyinaran sinar ultraviolet (UV) dan sinar-sinar ionisasi. Bakteri yang berada di

udara atau di dalam ruangan suatu benda yang terpapar sinar ultraviolet akan mati (Rahayu et al., 2017)

Penyedian pangan asal ternak yang memenuhi keamanan pangan, yaitu aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) kepada masnyarakat perlu dilakukan melalui pengendalian residu dan cemaran mikroba upaya ini sangat bermanfaat bagi pemerintah sebagai pengawas peredaran bahan pangan asal ternak di pasar, terutama mengenai batas maksimum residu antibiotik dan cemaran mikroba, produsen sebagai penghasil produk, sedangkan konsumen untuk menjamin keamanan dan kesehatan masnyarakat (Gustiani,2009).Oleh karena itu perlu dilakukan kerjasama dari pihak pengelola pasar, pedagang, serta tempat pemotongan hewan untuk memastkan agar daging yang ada di pasar bisa terbebas dari cemaran mikroba dan aman untuk dikonsumsi oleh masnyarakat.

Rekapitulasi hasil uji cemaran bakteri tradisional kota medan menunjukkan bahwa semua daging yang menjadi sampel penelitian telah tercemar bakteri E. Coli, dengan angka tertinggi 7x105 yang

36

terdapat di kelompok pasar sedang yaitu pasar kwala bkala, sementara hasil terendah juga terdapat di kelompok pasar sedang dengan angka 1x103 yang terdapat di pasar helvetia. Dengan hasil yang di dapatkan maka sudah melebihi batas maksimum cemaran mikroba dan tidak memenuhi standart SNI.

37

Dokumen terkait