• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Pakan yang telah diberi íî plïð ñnsis dengan dosis yang berbeda dianalisis proksimat untuk mengetahui kandungan nutrien yang terdapat dalam pakan tersebut. Selain proksimat, dilakukan pula analisis asam lemak, dalam hal ini salah satu asam lemak esensial yang diutamakan adalah òïmmï linolñnió ï óiô . Hasil proksimat pakan tersaji dalam Tabel 3.

Tabel 3 Hasil proksimat (% bobot kering) danòïmïmlinolñnióï óiô (% dari total lemak) pakan yang disuplementasi dengan dosis íî plïð ñnsis yang berbeda

Pakan Protein Lemak Kadar

Abu

Karbohidrat

Gamma-linolenic Acid (GLA)

Serat Kasar BETN

Pakan 0 30.12 7.88 9.47 2.10 50.43 0.04

Pakan 1 31.09 8.24 10.09 3.32 47.23 0.08

Pakan 2 33.48 8.23 10.07 1.72 46.50 0.13

Pakan 3 34.15 7.97 10.11 1.14 46.62 0.23

Kandungan protein pakan meningkat seiring dengan peningkatan dosis suplementasi íî plïðñnsis , yaitu suplementasi 0% (kontrol) sebesar 30.12%, suplementasi 1% sebesar 31.09%, suplementasi 2% sebesar 33.48%, dan suplementasi 3% sebesar 34.15%. Berbeda halnya dengan kandungan lemak pakan, menurun pada suplementasi 3%. Namun, kandungan lemak pada pakan yang disuplementasi dengan íî ïðñpl nsis dosis berbeda memberikan nilai yang lebih tinggi daripada pakan kontrol (Tabel 3).

Pemberian pakan perlakuan dilakukan selama 40 hari pemeliharaan, yang kemudian dievaluasi beberapa parameter yang terkait dengan kinerja reproduksi. Selama pemeliharaan juga dilakukan penyuntikan Oodev setiap 10 hari dengan dosis 0 IU/kg sebagai kontrol dan dosis 10 IU/kg. Berikut ini adalah parameter-parameter yang telah diamati :

Parameter produksi

Parameter produksi yang diamati adalah diameter telur, fekunditas telur, derajat tetas telur, dan sintasan larva. Hasil pengamatan dapat disajikan dalam Tabel 4 :

12

Tabel 4 Diameter telur, fekunditas telur, derajat tetas telur, dan sintasan larva ikan Nila dengan pemberian dosis suplementasi pl nsis dan dosis penyuntikan Oodev yang berbeda

Perlakuan Diameter (mm) Fekunditas

(butir/200 g) Derajat tetas telur (%) Sintasan larva (%) A0 2.43 ± 0.29a 1522 ± 538a 98.9 ± 0.7a 80.9 ± 1.7ab A1 2.87 ± 0.10c 1771 ± 123a 99.2 ± 0.9ab 74.7 ± 17.6a A2 2.81 ± 0.16bc 2076 ± 1395a 99.2 ± 1.3ab 86.3 ± 9.2ab A3 2.34 ± 0.25a 2425 ± 1108a 99.5 ± 0.7ab 86.0 ± 5.6ab B0 2.67 ± 0.18abc 2038 ± 938a 100 ± 0.0b 81.1 ± 14.0ab B1 2.51 ± 0.17ab 1571 ± 197a 100 ± 0.0b 92.5 ± 4.9b B2 2.93 ± 0.30c 1114 ± 218a 99.6 ± 0.7ab 93.5 ± 2.1b B3 2.48 ± 0.25ab 2065 ± 608a 99.8 ± 0.3b 94.0 ± 6.9b

Keterangan : Hurufõö÷ørskrip tyang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.10).

Jika disajikan dalam bentuk grafik, maka hasil diameter telur dan fekunditas yang diperoleh adalah sebagai berikut :

Gambar 4 Diameter dan fekunditas telur ikan Nila dengan pemberian dosis suplementasiù nsis dan dosis penyuntikan Oodev yang berbeda Faktor pemberian perlakuan dosis suplementasi pl nsis yang berbeda pada pakan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap diameter telur ikan Nila (P<0.10). Namun, faktor hormon tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0.10), serta terjadi adanya interaksi antara kedua faktor terhadap diameter telur. Dosis ùú pl nsis yang memberikan nilai berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol adalah dosis suplementasi 2% dan merupakan diameter tertinggi. Jika dibandingkan antar kombinasi perlakuan, perlakuan yang berbeda nyata dengan kontrol (A0) adalah perlakuan A1 (suplementasi p

l

ûüønsis 1%, Oodev 0 IU/kg), A2 (suplementasi pl nsis 2%, Oodev 0 IU/kg) dan B2 (suplementasi ùú plû nsis 2%, hormon Oodev 10 IU/kg). Perlakuan A0 memberikan hasil diameter 2.43±0.29 mm, sementara A1 dengan diameter

2,43 2,87 7,61 8,86 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 16,00 A0 A1 Diameter (mm) 12

Tabel 4 Diameter telur, fekunditas telur, derajat tetas telur, dan sintasan larva ikan Nila dengan pemberian dosis suplementasi ùú plûüønsis dan dosis penyuntikan Oodev yang berbeda

Perlakuan Diameter (mm) Fekunditas

(butir/200 g) Derajat tetas telur (%) Sintasan larva (%) A0 2.43 ± 0.29a 1522 ± 538a 98.9 ± 0.7a 80.9 ± 1.7ab A1 2.87 ± 0.10c 1771 ± 123a 99.2 ± 0.9ab 74.7 ± 17.6a A2 2.81 ± 0.16bc 2076 ± 1395a 99.2 ± 1.3ab 86.3 ± 9.2ab A3 2.34 ± 0.25a 2425 ± 1108a 99.5 ± 0.7ab 86.0 ± 5.6ab B0 2.67 ± 0.18abc 2038 ± 938a 100 ± 0.0b 81.1 ± 14.0ab B1 2.51 ± 0.17ab 1571 ± 197a 100 ± 0.0b 92.5 ± 4.9b B2 2.93 ± 0.30c 1114 ± 218a 99.6 ± 0.7ab 93.5 ± 2.1b B3 2.48 ± 0.25ab 2065 ± 608a 99.8 ± 0.3b 94.0 ± 6.9b

Keterangan : Huruf ørskrip tyang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.10).

Jika disajikan dalam bentuk grafik, maka hasil diameter telur dan fekunditas yang diperoleh adalah sebagai berikut :

Gambar 4 Diameter dan fekunditas telur ikan Nila dengan pemberian dosis suplementasiùú÷ý ûüønsis dan dosis penyuntikan Oodev yang berbeda Faktor pemberian perlakuan dosis suplementasi ùú plûüønsis yang berbeda pada pakan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap diameter telur ikan Nila (P<0.10). Namun, faktor hormon tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0.10), serta terjadi adanya interaksi antara kedua faktor terhadap diameter telur. Dosis plûüønsis yang memberikan nilai berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol adalah dosis suplementasi 2% dan merupakan diameter tertinggi. Jika dibandingkan antar kombinasi perlakuan, perlakuan yang berbeda nyata dengan kontrol (A0) adalah perlakuan A1 (suplementasi p

l nsis 1%, Oodev 0 IU/kg), A2 (suplementasiùúplûüønsis 2%, Oodev 0 IU/kg) dan B2 (suplementasi plûüønsis 2%, hormon Oodev 10 IU/kg). Perlakuan A0 memberikan hasil diameter 2.43±0.29 mm, sementara A1 dengan diameter

2,81 2,34 2,67 2,51 2,93 10,38 12,13 10,19 7,86 5,57 10,33 A2 A3 B0 B1 B2

Diameter (mm) Fekunditas (butir/g)

12

Tabel 4 Diameter telur, fekunditas telur, derajat tetas telur, dan sintasan larva ikan Nila dengan pemberian dosis suplementasi pl nsis dan dosis penyuntikan Oodev yang berbeda

Perlakuan Diameter (mm) Fekunditas

(butir/200 g) Derajat tetas telur (%) Sintasan larva (%) A0 2.43 ± 0.29a 1522 ± 538a 98.9 ± 0.7a 80.9 ± 1.7ab A1 2.87 ± 0.10c 1771 ± 123a 99.2 ± 0.9ab 74.7 ± 17.6a A2 2.81 ± 0.16bc 2076 ± 1395a 99.2 ± 1.3ab 86.3 ± 9.2ab A3 2.34 ± 0.25a 2425 ± 1108a 99.5 ± 0.7ab 86.0 ± 5.6ab B0 2.67 ± 0.18abc 2038 ± 938a 100 ± 0.0b 81.1 ± 14.0ab B1 2.51 ± 0.17ab 1571 ± 197a 100 ± 0.0b 92.5 ± 4.9b B2 2.93 ± 0.30c 1114 ± 218a 99.6 ± 0.7ab 93.5 ± 2.1b B3 2.48 ± 0.25ab 2065 ± 608a 99.8 ± 0.3b 94.0 ± 6.9b

Keterangan : Huruf rskrip tyang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.10).

Jika disajikan dalam bentuk grafik, maka hasil diameter telur dan fekunditas yang diperoleh adalah sebagai berikut :

Gambar 4 Diameter dan fekunditas telur ikan Nila dengan pemberian dosis suplementasi nsis dan dosis penyuntikan Oodev yang berbeda Faktor pemberian perlakuan dosis suplementasi pl nsis yang berbeda pada pakan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap diameter telur ikan Nila (P<0.10). Namun, faktor hormon tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0.10), serta terjadi adanya interaksi antara kedua faktor terhadap diameter telur. Dosis pl nsis yang memberikan nilai berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol adalah dosis suplementasi 2% dan merupakan diameter tertinggi. Jika dibandingkan antar kombinasi perlakuan, perlakuan yang berbeda nyata dengan kontrol (A0) adalah perlakuan A1 (suplementasi ùú

p

l nsis 1%, Oodev 0 IU/kg), A2 (suplementasi pl nsis 2%, Oodev 0 IU/kg) dan B2 (suplementasi pl nsis 2%, hormon Oodev 10 IU/kg). Perlakuan A0 memberikan hasil diameter 2.43±0.29 mm, sementara A1 dengan diameter

2,48 10,33

13 2.87±0.10 mm, A2 2.81±0.16 dan B2 2.93±0.30 mm. Untuk fekunditas telur, semua perlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0.10).

Faktor dosis suplementasi þÿ pl nsis yang berbeda pada pakan tidak berpengaruh nyata (P>0.10) terhadap derajat tetas telur, sementara sebaliknya faktor penyuntikan Oodev berpengaruh nyata (P<0.10). Penyuntikan hormon dengan dosis 10 IU/kg memberikan nilai derajat tetas telur yang lebih tinggi daripada ikan yang tidak diberi hormon. Kemudian tidak ditemui adanya interaksi antaraþÿ pl nsis dan Oodev terhadap derajat tetas telur. Jika dibandingkan antar kombinasi perlakuan, derajat tetas telur terendah adalah pada perlakuan kontrol (A0) yaitu 98.9%, selanjutnya diikuti oleh perlakuan A1 (99.2%), A2 (99.2%), A3 (99.5%), B2 (99.6%), B3 (99.8%). Derajat tetas telur tertinggi dihasilkan oleh perlakuan B0 dan B1 yaitu sebesar 100% (Tabel 4).

Dosis suplementasiþÿplnsis pada pakan yang berbeda tidak berpengaruh nyata (P>0.10) terhadap sintasan larva sampai dengan hari ketujuh. Namun, faktor penyuntikan Oodev berpengaruh nyata (P<0.10). Penyuntikan hormon dengan dosis 10 IU/kg memberikan nilai derajat tetas telur yang lebih tinggi daripada ikan yang tidak diberi hormon. Kemudian tidak ditemui adanya interaksi antara þÿ

p

lnsis dan hormon terhadap sintasan larva. Semua perlakuan menunjukkan nilai sintasan yang cukup tinggi, yaitu lebih besar dari 70%.

Parameter selanjutnya yang diamati adalah frekwensi pemijahan. Hasil ini dapat dijadikan sebagai indikator kuantitas kinerja reproduksi ikan nila yang diberi pakan dengan dosis suplementasi þÿ plnsis yang berbeda dan penyuntikan Oodev.

Tabel 5 Jumlah dan hari pemijahan ikan Nila selama 40 hari pemeliharaan

Ulangan A0 A1 A2 A3 B0 B1 B2 B3 1 - 13 13 16 - 13 24;34 16 2 - - 16 - 13;34 13 - 13;34 3 34 - - - - 13 13 24;38 4 18 - 14;28 24;38 18 38 24 38 5 - 28;38 18 24;38 18;34 - 34 23;34 6 - 23 - 38 16 16 26;34 38 7 34 - 38 13;34 13;23;34 16 26 -Jumlah Ikan memijah 3 ekor (42.86 %) 3 ekor (42.86 %) 5 ekor (71.43 %) 5 ekor (71.43 %) 5 ekor (71.43 %) 6 ekor (85.71 %) 6 ekor (85.71 %) 6 ekor (85.71 %) Jumlah

Pemijahan 3 kali 4 kali 6 kali 8 kali 9 kali 6 kali 8 kali 9 kali

Produksi Larva/kg induk 22 119 ekor 27 232 ekor 47 191 ekor 62 703 ekor 66 521 ekor 50 581 ekor 68 171 ekor 77 102 ekor

Peningkatan dosis þÿ pl nsis pada pakan dan penyuntikan hormon meningkatkan jumlah ikan yang memijah dan frekwensi pemijahan. Peningkatan terlihat jika dibandingkan dengan kontrol (A0), jumlah induk yang memijah pada perlakuan ini adalah 3 ekor dari total 7 induk yang dipijahkan dengan frekwensi satu kali setiap induk. Pada perlakuan A2 dan A3 jumlah induk yang memijah meningkat menjadi 5 ekor. Pada perlakuan penyuntikan Oodev 10 IU/kg, jumlah

14 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 0 10 20 30 40 G S I Hari ke -A0 A1 A2 A3 B0 B1 B2 B3

ikan yang memijah semakin bertambah. Untuk perlakuan B0 (suplementasi p

l nsis 0%, penyuntikan Oodev 10 IU/kg), jumlah induk yang memijah sama dengan perlakuan A2 dan A3, yaitu 5 ekor. Sementara perlakuan kombinasi penambahan pl nsis pada pakan dan penyuntikan Oodev 10 IU/kg (B1, B2, B3) menghasilkan jumlah induk memijah yang lebih tinggi lagi, yaitu sebanyak 6 ekor dari total tujuh ekor ikan yang dipijahkan. Frekwensi pemijahan yang tinggi ditunjukkan oleh perlakuan A3 dan B2 yaitu 8 kali, serta B0 dan B3 dengan frekwensi tertinggi yaitu 9 kali.

Parameter GSI, HSI, dan histologi

Parameter lain yang diamati pada penelitian adalah i i x ,

h

e osomi i x , dan histologi gonad. Parameter ini digunakan untuk menggambarkan proses yang terjadi pada sistem reproduksi selama pemeliharaan.

Gambar 5 mi x (GSI) induk ikan Nila selama pemeliharaan

Gambar 6 e o so mi x (HSI) induk ikan Nila selama pemeliharaan

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 0 10 20 30 40 H S I Hari ke -A0 A1 A2 A3 B0 B1 B2 B3

15 Selain GSI dan HSI dilakukan pula pengamatan kematangan gonad dengan membuat preparasi gonad induk setiap perlakuan. Melalui gambar ini dapat diketahui status kematangan gonad dan bentuk jaringan gonad.

Gambar 7 Gambaran histologi gonad perlakuan A0 hari ke-0, A0 hari ke-10, A0 hari ke-20, A0 hari ke-30, dan A0 hari ke-40 (perbesaran 10 x10)

A0 D-0 A0 D-10 A0 D-20

16

Gambar 8 Gambaran histologi gonad perlakuan A1 hari ke-0, A1 hari ke-10, A1 hari ke-20, A1 hari ke-30, dan A1 hari ke-40 (perbesaran 10 x10)

Gambar 9 Gambaran histologi gonad perlakuan A2 hari ke-0, A2 hari ke-10, A2 hari ke-20, A2 hari ke-30, dan A2 hari ke-40 (perbesaran 10 x10)

A1 D-0 A1 D-10 A1 D-20 A1 D-30 A1 D-40 A2 D-0 A2 D-10 A2 D-20 A2 D-30 A2 D-40

17

Gambar 10 Gambaran histologi gonad perlakuan A3 hari ke-0, A3 hari ke-10, A3 hari ke-20, A3 hari ke-30, dan A3 hari ke-40 (perbesaran 10 x10)

Gambar 11 Gambaran histologi gonad perlakuan B0 hari ke-0, B0 hari ke-10, B0 hari ke-20, B0 hari ke-30, dan B0 hari ke-40 (perbesaran 10 x10)

B0 D-0 B0 D-10 B0 D-20

B0 D-30 B0 D-40

A3 D-0 A3 D-10 A3 D-20

18

Gambar 12 Gambaran histologi gonad perlakuan B1 hari ke-0, B1 hari ke-10, B1 hari ke-20, B1 hari ke-30, dan B1 hari ke-40 (perbesaran 10 x10)

Gambar 13 Gambaran histologi gonad perlakuan B2 hari ke-0, B2 hari ke-10, B2 hari ke-20, B2 hari ke-30, dan B2 hari ke-40 (perbesaran 10 x10)

B1 D-0 B1 D-10 B1 D-20

B1 D-30 B1 D-40

B2 D-0 B2 D-10 B2 D-20

19

Gambar 14 Gambaran histologi gonad perlakuan B3 hari ke-0, B3 hari ke-10, B3 hari ke-20, B3 hari ke-30, dan B3 hari ke-40 (perbesaran 10 x10)

Parameter kimia (analisis proksimat)

Parameter kimia berupa analisis proksimat dilakukan terhadap induk di akhir pemeliharaan, telur dan larva hari ke-7. Hasil analisis proksimat tersaji pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil analisis proksimat ikan, telur, dan larva ikan yang diberi perlakuan dosis suplementasi pl nsis yang berbeda pada pakan dan dosis penyuntikan Oodev yang berbeda

Perlakuan

Protein (% BK) Lemak (% BK) Rasio n-3/n-6

telur Ikan Telur Larva Ikan Telur Larva

A0 55.80 57.79 55.49 18.83 29.86 24.63 0.55 A1 54.64 58.02 58.26 19.12 34.46 24.38 0.57 A2 61.02 61.90 63.64 11.90 31.49 25.07 0.58 A3 60.46 63.40 62.08 10.43 30.66 25.05 0.55 B0 62.98 58.81 57.34 14.48 30.50 23.59 0.54 B1 63.08 62.26 61.49 14.52 27.70 23.89 0.57 B2 61.82 62.49 65.51 15.66 31.61 23.62 0.58 B3 61.58 63.27 71.48 14.90 29.87 26.61 0.54

Nilai protein maupun lemak ikan, telur, maupun larva pada perlakuan suplementasi pl nsis 1%, 2%, dan 3% cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang tidak diberi penambahan nsis (0%).

B3 D-0 B3 D-10 B3 D-20

20

Pembahasan

Pertumbuhan ikan terbagi atas dua jenis, yaitu pertumbuhan tubuh (somatik) dan pertumbuhan organ reproduksi (gonad). Penelitian ini merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas pertumbuhan gonad ikan, yaitu dengan memberikan suplementasiruli pl nsis pada pakan dan penyuntikan Oodev yang mengandung hormon PMSG. Ikan yang dijadikan objek adalah ikan Nila.

Ikan Nila dipelihara selama 40 hari dan diamati kinerja reproduksinya. Berdasarkan Tabel 4 diperoleh hasil bahwa perlakuan penambahan pl nsis pada pakan mempengaruhi diameter telur (P<0.10). Diameter telur mengindikasikan jumlah energi yang tersimpan di dalam telur yang selanjutnya akan digunakan untuk perkembangan embrio. Suplementasi pl nsis berpengaruh karena mekanisme pengaturan ukuran telur ikan dalam gonad bergantung pada kecukupan nutrien yang tersedia. ruli mengandung asam lemak esensial yang mempengaruhi fluiditas membran yang selanjutnya akan mempengaruhi metabolisme sel melalui perubahan aktivitas enzim-enzim pada membran sel (Sargent t 2002).

Penambahan pl nsis pada pakan memperbaiki fluiditas membran sel sehingga vitelogenin dapat diserap dengan lebih baik sehingga ukuran maksimum diameter telur lebih tinggi. Namun demikian, meningkatnya status nutrisi pakan ternyata tidak selalu diiringi dengan peningkatan diameter telur. Diameter terkecil justru dihasilkan oleh ikan yang diberi pakan bersuplementasi 3%, baik itu yang tidak diberi hormon A3 (2.34±0.25 mm) maupun yang diberi hormon B3 (2.48±0.25 mm). Hal tersebut diduga terjadi karena pada perlakuan suplementasi 3% ini, fekunditas yang dihasilkan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Tabel 4). Sehingga pada ukuran gonad yang sama, dengan jumlah telur yang lebih banyak, ukuran telur yang ada sudah tentu akan lebih kecil. Ukuran diameter telur dan fekunditas memiliki kaitan yang erat. Ikan betina dengan fekunditas yang besar cenderung memiliki ukuran telur yang relatif kecil (Blaxter 1988 dalam Mayasari 2012).

Fekunditas yang dihitung pada penelitian ini adalah jumlah telur yang dihasilkan oleh 200 g induk pada satu kali pemijahan (Tabel 4). Namun berdasarkan uji statistik, ternyata penambahan pl nsis pada pakan dan penyuntikan Oodev tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap fekunditas telur (P>0.10). Kamler (1992) menyatakan bahwa fekunditas memiliki hubungan yang lebih kuat dengan bobot tubuh dan diameter telur daripada dengan pakan yang dikonsumsi. Hewan yang diberi pakan dengan kualitas yang buruk memang akan menurun jumlah telurnya, namun ikan memiliki keistimewaan lain, dimana mereka mampu bereaksi terhadap defisiensi nutrien pakan sehingga fekunditasnya tetap terjaga. Penelitian-penelitian terdahulu seperti pada il m dan us hetelitus bahkan menunjukkan bahwa faktor yang mampu mempengaruhi fekunditas adalah suhu, semakin tinggi suhu maka fekunditas akan semakin meningkat.

Parameter berikutnya adalah derajat tetas telur. Telur-telur yang telah dierami oleh induk, dikeluarkan dan diinkubasi didalam toples kaca hingga menetas menjadi larva. Berdasarkan uji statistik, faktor yang memberi pengaruh nyata terhadap derajat tetas telur adalah penyuntikan Oodev (P<0.10), sementara

21 penambahanpl nsis pada pakan tidak memberi pengaruh yang berbeda nyata. Telur yang dihasilkan oleh induk yang diberi penyuntikan Oodev menunjukkan derajat penetasan yang lebih tinggi yaitu mendekati 100%. Hal senada juga terlihat dari penelitian sebelumnya, Fitriliyani (2005) dan Mayasari (2012) melaporkan bahwa hormon PMSG menghasilkan derajat penetasan yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan tanpa pemberian hormon pada ikan gabus dan ikan lele. Hormon PMSG mampu merangsang pertumbuhan sel interstisial ovarium, pertumbuhan, dan pematangan folikel. Hormon mampu memberi signal kepada organ target untuk bekerja optimum dalam memanfaatkan nutrien penting yang tersedia untuk meningkatkan perkembangan morfologi telur seperti pembentukan membran sehingga telur tidak rentan terhadap kerusakan dan derajat penetasan menjadi lebih baik.

Telur-telur yang telah menetas dilanjutkan pemeliharaannya hingga tujuh hari pasca penetasan untuk dihitung sintasan larva. Faktor yang memberi pengaruh nyata terhadap sintasan larva adalah penyuntikan Oodev (P<0.10), sedangkan dosis suplementasi pl ns is pada pakan tidak berpengaruh nyata (P>0.10) terhadap sintasan larva sampai dengan hari ketujuh. Kemudian tidak ditemui adanya interaksi antara plnsis dan hormon terhadap Sintasan larva. Semua perlakuan menunjukkan nilai sintasan yang cukup tinggi, yaitu lebih besar dari 70% (Tabel 4). Perlakuan yang diberikan kombinasi penambahanpl nsis 1%, 2%, 3% dan penyuntikan Oodev 10 IU/kg (B1, B2, B3) bahkan memberikan nilai sintasan lebih dari 90%. Hal ini membuktikan bahwa kombinasi hormon dan nutrisi ternyata memang mampu meningkatkan produksi pemijahan.

Selain parameter produksi, diamati pula frekwensi pemijahan yang terjadi dari setiap perlakuan. Berdasarkan Tabel 5, peningkatan dosis pl nsis pada pakan dan penyuntikan hormon meningkatkan jumlah ikan yang memijah dan frekwensi pemijahan. Pada perlakuan kontrol (A0), jumlah induk yang memijah dari total tujuh induk yang diamati adalah tiga ekor, dengan frekuensi pemijahan masing-masing induk adalah satu kali selama kurun waktu 40 hari. Pada perlakuan A1 (suplementasi plnsis 1%, Oodev 0 IU/kg), jumlah induk yang memijah tiga ekor namun ada satu induk yang frekweensi pemijahannya dua kali, yaitu pada hari ke-28 dan ke-38. Pada induk yang diberi perlakuan penyuntikan Oodev 10 IU/kg, jumlah yang memijah semakin bertambah. Untuk perlakuan B0 (suplementasi pl nsis 0%, penyuntikan Oodev 10 IU/kg), jumlah induk yang memijah sama dengan perlakuan A2 dan A3, yaitu 5 ekor. Sementara perlakuan kombinasi penambahan pl nsis pada pakan dan penyuntikan Oodev 10 IU/kg (B1, B2, B3) menghasilkan jumlah induk memijah yang lebih tinggi lagi, yaitu sebanyak 6 ekor dari total tujuh ekor ikan yang dipijahkan.

Tabel 5 juga menunjukkan bahwa penambahan pl nsis dengan dosis 2% dan 3% saja tanpa diberi penyuntikan Oodev 10 IU/kg (A2 dan A3) ternyata juga mampu meningkatkan jumlah induk memijah menjadi 5 ekor. Hal ini diduga terjadi karena nutrien sebagai materi reproduksi tersedia dalam jumlah yang cukup. Izquierdo t (2001) menyatakan bahwa nutrien yang harus tercukupi agar proses reproduksi berjalan sempurna adalah protein, kolesterol dan asam lemak. Tiga komponen ini terkandung dalam jumlah yang memadai pada pakan perlakuan suplementasi plnsis 2% dan 3% saja. Protein berperan sebagai pembentuk komponen-komponen yang berkaitan dengan reproduksi seperti enzim, hormon, dan pembentuk jaringan tubuh yang baru. Asam lemak (n-3 dan

22

n-6) sebagai faktor nutrien yang paling menentukan keberhasilan reproduksi berperan dalam metabolisme, stereidogenesis, dan perbaikan kualitas telur.

Penambahan pl nsis pada pakan mengakibatkan peningkatan kandungan !"#$%& $' (y )ty * +i( (PUFA) yang mampu mengatur produksi

ei

+"& % ",( terutama prostaglandin. Prostaglandin berperan dalam proses produksi seperti produksi hormon steroid dan perkembangan gonad. Ovarium ikan memiliki kapasitas yang besar dalam menghasilkan ei+"& % ",( yang diturunkan dari aktifitas +y+loxyge%& dan lip%&oxyge e . Produk dari aktifitas tersebut terkait dan terlibat dalam pematangan oosit (Asturiano 1999 dalam Izquierdo et #2001).

Perlakuan tanpa suplementasi plensis dan diberi penyuntikan Oodev IU/kg (B0) menunjukkan jumlah pemijahan dan frekwensi yang tinggi pula. Hal ini disebabkan oleh FSH yang terkandung dalam Oodev merangsang pematangan gonad pada ikan nila. Penyuntikan hormon dari luar memberikan sinyal sehingga lapisan teka pada oosit akan mensintesa testosteron, selanjutnya diubah menjadi estradiol-17 yang akan merangsang hati mensintesis vitelogenin yang merupakan bakal kuning telur. Vitelogenin selanjutnya dibawa oleh aliran darah dan diserap oleh folikel oosit sampai mencapai ukuran maksimum, kemudian menunggu sinyal untuk pemijahan (Zairin 2003).

Kombinasi penambahan plensis 1%, 2%, 3% pada pakan dan penyuntikan Oodev 10 IU/kg (B1, B2, B3) ternyata memberikan hasil yang lebih baik lagi. Jumlah induk yang memijah bertambah banyak, yaitu sejumlah enam ekor dari total tujuh ekor yang diamati. Hal ini terjadi karena adanya gabungan fungsi dari dua faktor yang mendukung proses reproduksi, yaitu nutrisi dan endokrin. Sinyal yang diberikan akibat penyuntikan hormon didukung oleh status nutrisi induk yang baik dengan penambahanplensis pada pakan menciptakan hubungan yang sinergis. Apabila dilihat dari jumlah larva yang dihasilkan, kombinasi penambahan plensis pakan dan penyuntikan Oodev mampu meningkatkan produksi larva hingga mencapai 300% bila dibandingkan dengan kontrol (Tabel 5).

Selama pemeliharaan, bersamaan dengan waktu sampling juga dilakukan penimbangan gonad dan hati terhadap ikan untuk mengetahui -"%( "somi+ i

%( x (GSI) dan .e/tosom+i 0%( x (HSI). -"%( "&"1i+ i%( x (GSI) merupakan nilai yang menggambarkan perbandingan antara bobot basah gonad dengan bobot total tubuh induk. Melalui pendekatan ini diasumsikan bahwa regresi bobot telur terhadap bobot induk adalah linear (Kamler 1992). Dengan demikian, semakin besar nilainya maka semakin besar peluang kematangan gonad induk dan semakin dekat masa pemijahannya. Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat bahwa secara umum induk ikan Nila memiliki kecenderungan peningkatan GSI pada hari ke-10 dan selanjutnya menurun pada hari ke-20, meningkat kembali pada hari ke-30 dan menurun kembali pada hari ke-40. Data tersebut menekankan, ikan Nila pada penelitian ini melakukan proses pematangan gonad dalam kurun waktu ± 20 hari, sehingga dalam masa 40 hari pemeliharaan terdapat dua puncak kurva yang menunjukkan nilai GSI yang tinggi. Tabel 5 juga menunjukkan bahwa kebanyakan pemijahan terjadi pada hari ke 10-20 dan hari ke 30-40. Hal senada juga ditunjukkan oleh hasil penelitian Lu dan Takeuchi (2004), interval pemijahan pada ikan Nila adalah 21±2 hari.

23 Nilai HSI justru berbanding terbalik dengan nilai GSI, hal ini ditunjukkan oleh Gambar 6. Apabila nilai GSI tinggi maka nilai HSI menunjukkan angka yang rendah begitu pula sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa proses vitellogenesis atau sintesis vitelogenin dilakukan di hati dan disalurkan ke dalam gonad ikan. Ketika nilai GSI memuncak, nilai HSI cenderung rendah karena sebagian besar vitelin telah disalurkan ke gonad hingga mencapai ukuran maksimal. Sebaliknya ketika gonad ikan telah matang dan terjadi ovulasi (GSI menurun), hati melakukan proses vitelogenesis kembali yang ditunjukkan dengan nilai HSI yang mengalami peningkatan untuk persiapan kematangan selanjutnya. Hal ini diperkuat pula oleh gambaran jaringan pada gonad (Gambar 7- Gambar 14). Pada hari ke-10, ke-30 dan ke-40, hampir di semua perlakuan menunjukkan adanya telur yang telah matang dan siap untuk diovulasikan namun dengan proporsi yang berbeda. Bila dibandingkan antar gambar histologi, perlakuan A1, A2, A3, B0, B1, B2, B3 (Gambar 8-Gambar 14) menunjukkan proporsi sel telur berukuran maksimal yang lebih banyak dibandingkan dengan kontrol A0 (Gambar 7). Hal tersebut mengindikasikan bahwa perlakuan penambahan 23 pl456nsis pada pakan dan penyuntikan Oodev mampu mempercepat perkembangan sel telur dan kematangan gonad.

Berdasarkan hasil analisis kimia pada induk, telur, dan larva (Tabel 6) kualitas protein telur yang terbaik diperoleh oleh telur yang diberi suplementasi23 78456nsis 3%. Demikian juga halnya dengan larva, secara umum, meningkatnya dosis suplementasi cenderung meningkatkan kandungan protein. Untuk kadar lemak, menunjukkan nilai yang fluktuatif. Namun demikian, dari Tabel 6 ini jelas terlihat bahwa pada proses reproduksi, nutrien terpenting yang dibutuhkan adalah lemak. Selisih antara kadar lemak telur dan kadar lemak larva mencapai 4-10%, sementara selisih protein telur dan larva hanya berkisar 3%. Hal ini memperjelas bahwa pada proses embriogenesis, sumber energi dan nutrien utama yang dimanfaatkan adalah berasal dari lemak. Selain itu, komposisi nutrien ikan, telur, dan larva pada perlakuan dengan frekwensi pemijahan yang tinggi ( 6 kali) yaitu A2, A3, B0, B1, B2, dan B3 tidak jauh berbeda dengan perlakuan A0 dan A1 (3-4 kali pemijahan). Hasil tersebut menunjukkan bahwa meskipun lebih sering memijah, kualitas kimia hasil pemijahan ikan Nila tidak mengalami penurunan.

Dokumen terkait