• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Perdagangan Kakao Internasional

Kakao merupakan komoditas strategis karena kakao dinikmati oleh hampir seluruh warga negara dunia dalam ribuan macam bentuk, yang mengkonsumsi tiga juta ton biji kakao tiap tahunnya. Melalui rangkaian evolusi sejak kakao masuk Eropa pada abad ke 16, kakao tetap menjadi “minuman para dewa” sesuai dengan arti nama latinnya, Theobroma. Di Indonesia sendiri, kakao merupakan komoditas pertanian unggulan dalam perdagangan internasional dan menyumbang penerimaan devisa negara yang cukup besar selama dekade terakhir ini. Kakao berada di peringkat ke tiga pada sektor perkebunan sebagai penghasil devisa setelah komoditas karet dan kelapa sawit, yaitu sebesar US$ 1 053 milyar pada tahun 2012 (DEKAINDO 2013). Disamping itu komoditas ini memberikan kontribusi lapangan kerja bagi lebih dari 1.4 juta rumah tangga petani, belum termasuk sektor industri, sektor jasa dan sektor lainnya yang jumlahnya cukup besar.

Pada subbab ini akan dipaparkan gambaran umum perdagangan kakao dunia melalui pendekatan sistem agribisnis kakao. Melalui pendekatan tersebut akan tergambar kondisi dan perkembangan agribisnis kakao dunia mulai dari subsistem hulu sampai hilir.

Sub Sistem Hulu

Wilayah Strategis Perkebunan Kakao

Habitat alami dari tanaman kakao adalah hutan hujan sehingga wilayah yang cocok untuk dibudidayakan kakao yaitu wilayah sekitar garis khatulistiwa antara 10oN dan 10o

Terdapat tiga varietas yang menjadi andalan dalam industri kakao di dunia, yaitu Criollo, Trinitario, dan Forastero. Criollo yang tumbuh di Amerika Tengah, hanya mewakili kurang dari tiga persen dari produksi dunia. Criollo sangat jarang dipanen, karena awalnya hanya tumbuh jauh di dalam hutan hujan Amazon. Kini S, dimana kondisi klimatnya sesuai untuk tanaman kakao. Maka dari itu, negara yang cocok ditanami kakao adalah Afrika Selatan, Amerika Tengah dan Asia Tenggara. Hal ini menjadikan banyak negara beriklim tropis yang membudidayakan kakao seperti Pantai Gading, Ghana, Indonesia, Malaysia, dan negara lainnya. Menurut Ditjenbun (2011), luas lahan kakao Indonesia di tahun 2010 mencapai 1 650 juta hektar, dengan daerah penghasil kakao terbesar berada di kawasan timur Indonesia, yaitu Sulawesi yang menyumbang 45.39 persen dari total luas areal nasional, dan berkontribusi sebesar 54.9 persen dari jumlah produksi nasional.

Criollo dapar ditemukan di wilayah Venezuela, Meksiko, Nikaragua, Guatemala, Columbia, Samoa Islands, Sri Lanka dan Madagaskar. Criollo adalah varietas kakao berkualitas tinggi, manis dan aromatik, produktivitas rendah, namun harganya sangat tinggi karena sulit didapat. Criollo digunakan dalam produk cokelat berkualitas tinggi, tapi selalu dicampur varietas lain karena sangat langka dan mahal.

Varietas Forastero sebagian besar tumbuh di Afrika Barat dan Amerika Selatan, mewakili sekitar 85 persen dari produksi dunia dan memiliki rasa pahit. Banyak ditemukan di Ghana, Nigeria, Pantai Gading, Papua Nugini, Brazil, Amerika Tengah, Sri Lanka, Malaysia, dan Indonesia, yang mewakili sekitar 85 persen dari produksi kakao dunia. Sementara itu varietas Trinitario muncul setelah perkebunan Criollo di Trinidad hancur oleh taifun pada tahun 1727. Biji Forastero dibawa dari Venezuela dan dikawinkan silang dengan Criollo menghasilkan Trinitario yang berkualitas baik dan aromatik. Kini varietas ini ditemukan terutama di Karibia, Venezuela dan Columbia mewakili sekitar 12 persen dari produksi kakao dunia. Pasar kakao dunia membedakan antara dua kategori utama kakao yaitu fine or flavour dan bulk or ordinary. Secara umum, kakao kategori fine atau flavour diproduksi dari pohon kakao jenis Criolo atau Trinitario, sementara kakao jenis bulk berasal dari pohon kakao jenis Forastero.

Sub Sistem On-Farm Produksi Kakao Dunia

Terlihat pada Gambar 5, pada periode produksi tahun 2002/2003 hingga 2011/2012 produksi dunia meningkat sebesar 3.3 persen per tahun. Produksi Afrika berkembang 3.7 persen per tahun dan menyumbang produksi dunia dari sekitar 69 persen menjadi 72 persen. Produksi kakao di Amerika tumbuh 3.1 persen, menyumbang produksi dunia sebesar 14 persen.

Sementara itu produksi biji kakao Asia dan Oceania paling rendah dibanding wilayah lainnya, dengan peningkatan rata-rata hanya 1.5 persen, dengan pangsa produksi dunia jatuh dari 17 persen menjadi 15 persen pada akhir periode. Dari negara-negara produsen kakao terbesar dunia, negara yang mengalami pertumbuhan produksi adalah Ghana, Pantai Gading, Indonesia, Ekuador, Kamerun, Nigeria, dan Brazil. Hanya negara Malaysia mengalami penurunan produksi kakao. Sepuluh tahun terakhir ini pertumbuhan perkebunan kakao terkonsentrasi di wilayah Afrika, memantapkan posisinya sebagai pemasok utama. Peningkatan permintaan dipenuhi oleh ekspansi produksi terutama di negara-negara Afrika Barat. Peningkatan produksi Afrika lebih dari satu juta ton selama periode tersebut dibantu oleh sejumlah faktor, seperti program pemerintah Ghana untuk meningkatkan teknologi pertanian dan pengendalian penyakit, serta kondisi iklim yang baik sehingga mendorong peningkatan produksi tertinggi sepanjang sejarah. Sementara di Indonesia meskipun melalui program besar Gernas Kakao penanaman kembali dan rehabilitasi pohon tua untuk mendorong produksi, pertumbuhan produksi terhambat akibat kondisi cuaca buruk El Nino dan La Nina, serta penyebaran hama penyakit. Di Amerika Latin, pembangunan perkebunan baru dengan penanaman varietas unggul di Ekuador, menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi.

Gambar 5. Perubahan Produksi Biji Kakao Tahun 2002/2003 – 2011/2012

Sumber: ICCO (2012b)

Sistem Pengusahaan Perkebunan Kakao Dunia

Sistem pengusahaan perkebunan kakao dunia beragam, seperti perkebunan yang diusahakan rakyat, swasta maupun negara. Hampir 90 persen produksi kakao berasal dari petani kecil di bawah 5 hektar, dengan budidaya secara ekstensifikasi. Namun demikian, setiap negara bisa berbeda sistem pengusahaannya. Di Afrika, sebagian besar produksi berasal dari perkebunan rakyat, namun di Ekuador dan Brasil, didominasi oleh perkebunan besar, sedangkan di Asia dua baik perkebunan rakyat maupun negara sama banyaknya (FAO 2001). Sedangkan di Indonesia sendiri dari total produksi tahun 2010, 92.2 persennya merupakan perkebunan rakyat, 4.1 persen berasal dari perkebunan besar negara, dan 3.6 persen dari perkebunan swasta (Ditjenbun 2011).

Sub Sistem Hilir Industri Kakao Dunia

Jumlah grinding dunia digunakan untuk mengukur permintaan global, karena industri cenderung memproses biji kakao sesuai dengan permintaan produk kakao olahan (kakao pasta, kakao butter, kakao powder, dan cokelat). Oleh karena itu kelebihan pasokan dari permintaan menjadi stok biji kakao dunia. Sampai saat ini komposisi permintaan, struktur harga, dan produk kakao relatif stabil. Antara tahun 2003 dan 2012, konsumsi kakao primer (yang diukur dengan total grinding biji kakao dunia) terus meningkat, tumbuh rata-rata 2.9 persen per tahun. Grinding dunia telah meningkat hampir setiap tahun dengan pengecualian 2009, ketika ada krisis ekonomi global, menurun lebih dari enam persen.

Alasan dibalik permintaan yang kuat untuk kakao olahan adalah perubahan pola konsumsi global di negara-negara berkembang. Terdapat jutaan konsumen baru di pasar ini, termasuk Asia di mana permintaan difokuskan pada produk kakao powder. Selama ini, kakao butter merupakan faktor penentu pertumbuhan grinding kakao. Namun dalam beberapa tahun terakhir, permintaan kakao powder telah melebihi permintaan kakao butter.

Wilayah dengan industri pengolahan terbesar adalah Eropa. Dari tahun 2002/2003 hingga 2011/2012, peningkatan grinding Eropa sebesar 277 000 ton dengan tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata 2.1 persen. Namun demikian, laju pertumbuhan Eropa masih lebih rendah dibandingkan grinding dunia, yang sebesar 2.9 persen. Oleh karena itu industri kakao di Eropa menurun dari 43 persen menjadi 40 persen. Sementara itu, industri pengolahan di wilayah Amerika tumbuh 0.5 persen per tahun dengan pangsa menurun lima persen menjadi 21 persen. Sebaliknya, grinding di wilayah Afrika meningkat pesat sebesar 5.7 persen, menyebabkan naiknya pangsa dari 14 persen menjadi 18 persen pada 2011/2012. Di Asia dan Oceania, tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 5.6 persen yang terjadi diakibatkan peningkatan grinding yang bertahap di Indonesia dan Malaysia. Pangsa grinding wilayah ini meningkat dari 16 persen menjadi 20 persen pada 2011/2012.

Sebagian besar pengolahan kakao terus dilakukan di negara-negara importir biji kakao yang dekat dengan negara utama pengkonsumsi kakao di Eropa dan Amerika Utara. Untuk itu, Belanda masih menjadi negara utama pengolahan kakao dunia. Menjelang akhir periode, Jerman melampaui Amerika, dengan adanya pertumbuhan pesat dalam pengolahan selama beberapa tahun terakhir. Pantai Gading saat ini merupakan negara pengolahan kakao terbesar ketiga di dunia. Dengan adanya perluasan kapasitas grinding, Malaysia memperkuat posisinya sebagai negara pengolah kakao di Asia, dengan peringkat kelima di dunia.

Perdagangan Kakao Dunia

Pada Gambar 6 terlihat tahun 2010/2011 kawasan Afrika menyumbang 82.67 persen dari ekspor dunia, merupakan pemasok terbesar biji kakao ke pasar dunia, diikuti oleh Asia dan Oceania (10.64%) dan Amerika (6.67%). Produsen biji kakao masih sangat terkonsentrasi, dengan lima negara menguasai untuk 87 persen ekspor dunia, dengan Pantai Gading sebagai eksportir terbesar (37%), diikuti oleh Ghana (22%) dan Indonesia (15%) (ICCO 2012b). Dengan peningkatan industri pengolahan, produk olahan kakao memiliki proporsi yang sedikit meningkat dari total ekspor kakao di sebagian besar negara-negara penghasil kakao.

Gambar 6 juga menggambarkan ukuran arus perdagangan biji kakao antara daerah di dunia pada tahun 2010/2011. Perdagangan regional terbesar biji kakao adalah antara Afrika (produsen terbesar) dengan Eropa yang mewakili 51.98 persen konsumsi dunia. Sementara itu, meskipun Amerika Latin menghasilkan 14 persen kakao dunia, pangsa ekspor biji kakao cukup kecil yang diakibatkan dari adanya pengolahan maupun konsumsi dalam negeri. Hal yang menarik adalah adanya perubahan di benua Asia yang tahun-tahun sebelumnya mengekspor lebih banyak biji kakao ke Amerika Utara menjadi berkurang karena terjadi peningkatan yang signifikan dalam industri pengolahan di negara asal, mengurangi ketersediaan biji untuk ekspor.

Afrika ke Eropa 49% Afrika ke Afrika 3% Afrika ke Amerika 20% Afrika ke Asia 11% Amerika Latin ke Eropa 3% Amerika Latin ke Amerika 4%

Amerika Latin ke Asia 0,2% Asia ke Amerika 1% Asia ke Eropa 0,1% Asia ke Asia 9% Other 11%

Gambar 6. Ekspor Biji Kakao Dunia Tahun 2010/2011

Sumber: ICCO (2012b)

Kakao tetap menjadi sumber penting pendapatan ekspor bagi banyak negara produsen khususnya di Afrika. Ketergantungan Afrika terhadap kakao sebagai sumber pendapatan ekspor membuatnya rentan terhadap perkembangan pasar terutama volatilitas harga. Namun dalam beberapa situasi, nilai tukar, pengaturan pemasaran dalam negeri dan intervensi pemerintah telah berperan untuk mengantisipasi pergerakan harga bagi produsen kakao. Namun, di Pantai Gading ketergantungan pada ekspor kakao telah menurun dalam beberapa tahun terakhir, dengan meningkatnya pendapatan ekspor dari minyak mentah dan produk minyak bumi, dan telah melampaui pendapatan dari kakao sejak tahun 2005.

Terdapat kecenderungan peningkatan industri grinding di negara-negara produsen kakao dan peningkatan ekspor dari produk setengah jadi. Terjadi peningkatan proporsi ekspor produk olahan kakao pada total nilai ekspor kakao di Brazil, Malaysia, Pantai Gading, dan Ghana pada akhir dekade ini. Kecenderungan yang sama diharapkan muncul di Indonesia pada tahun 2011 hingga tahun-tahun mendatang yang timbul akibat investasi yang besar baru-baru ini dalam pengolahan kakao dalam negeri.

Tabel 6 Volume Impor Kakao Dunia Tahun 2006/2007 – 2010/2011 (000 ton)

Negara 2006/07 2007/08 2008/09 2009/10 2010/11

Eropa 1 908 1 896 1 869 1 761 2 085

Amerika 822 781 861 914 967

Asia dan Oceania 465 432 385 452 478

Afrika 46 53 54 55 59

Total Dunia 3 242 3 163 3 169 3 182 3 589

Data impor kakao untuk periode lima tahunan 2006/2007 – 2010/2011 (Tabel 6), menunjukkan bahwa negara-negara Eropa menyumbang 58 persen impor kakao, diikuti oleh Amerika (27%), Asia (14%) dan Afrika (2%). Amerika Serikat adalah negara pengimpor kakao terbesar di dunia, yang mewakili 20 persen dari impor dunia, diikuti oleh Jerman (13%), Belgia (7%), Perancis (6%), dan Rusia (6%). Meskipun Belanda mengimpor sejumlah besar biji kakao, sebagian besar digunakan untuk pembuatan produk kakao yang kemudian diekspor kembali.

Konsumsi Kakao Dunia

Data ICCO pada tahun 2010/2011 menunjukkan bahwa kawasan Eropa menyumbang 48 persen total konsumsi dunia, diikuti oleh Amerika pada 33 persen (masing-masing turun tiga persen dari awal periode 2002/2003), sedangkan Asia meningkat dua persen menjadi 15 persen dan Afrika meningkat dari dua persen menjadi tiga persen (Gambar 7). Antara tahun 2002/2003 dan 2010/2011, konsumsi kakao dunia meningkat sebesar 731 000 ton (naik 24%), tumbuh rata- rata 2.9 persen per tahun. Sebagian besar peningkatan tersebut berasal dari konsumsi di negara-negara Eropa dan Amerika. Namun wilayah yang paling dinamis dalam hal konsumsi kakao adalah kawasan Asia (naik 38%) dan Afrika (naik 72%). Pada 2010/2011 konsumen utama kakao adalah negara adalah Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Inggris, Rusia, Brazil, Jepang, Spanyol, Italia, dan Kanada (ICCO 2012b). Peningkatan konsumsi kakao di Timur Tengah dan Eropa Timur sebagian besar akibat peningkatan permintaan produk mengandung kakao powder.

Gambar 7. Konsumsi Domestik Kakao Tahun 2002/2003 – 2010/2011 (000 ton)

Sumber: ICCO (2012b)

Adanya tren peningkatan konsumsi kakao dunia menunjukkan bahwa permintaan kakao dunia terus mengalami peningkatan. Hal tersebut semestinya dapat dimanfaatkan oleh industri pengolahan kakao Indonesia mengingat Indonesia merupakan salah satu produsen terbesar biji kakao dunia. Mengingat peningkatan konsumsi yang tinggi terjadi di kawasan Asia dan Oceania yang

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000

Eropa Amerika Asia dan Oceania

merupakan pasar utama kakao Indonesia.

Sebagian besar kakao dikonsumsi dalam bentuk kembang gula cokelat, produk berlapis cokelat (biskuit, es krim), atau produk makanan lainnya yang mengandung kakao, termasuk minuman, kue, dan makanan ringan lainnya. Bahan utama cokelat adalah coklat pasta, yang menanamkan rasa dasar cokelat, sedangkan kakao butter memberikan karakteristik rasa di mulut, selain gula dan zat penyedap lainnya. Selain itu kakao butter digunakan dalam pembuatan rokok, sabun dan kosmetika. Sementara itu kakao powder umumnya digunakan sebagai penambah citarasa pada biskuit, es krim dan kue. Sebagian lagi juga digunakan sebagai pelapis permen atau manisan yang dibekukan. Kakao powder juga dikonsumsi oleh industri minuman seperti susu cokelat.

Nilai Tambah Kakao

Nilai tambah produk merupakan nilai yang dimiliki sebuah produk yang terdiri dari nilai tambah pengolahan, nilai bahan baku, dan nilai input lainnya (Dilana 2013). Pada kegiatan pengolahan bahan baku biji kakao menjadi produk antara baik pasta, powder, maupun butter, tentunya akan menghasilkan nilai tambah produk kakao. Tahapan proses pengolahan biji kakao menjadi produk antara dapat dilihat pada Gambar 8. Secara umum tahapan proses dapat dibagi menjadi tiga bagian pokok yaitu penyangraian, penghalusan, dan pengempaan.

Gambar 8. Tahap pengolahan biji kakao menjadi produk antara

Sumber: Dilana (2013) Biji Kakao Penyangraian Pemisahan Kulit Kakao Butter Daging Biji Kakao Powder Pengempaan

Pasta Kakao Kasar Pemastaan Kasar

Tahap pertama yang dilakukan sebelum melakukan proses penyangraian adalah membersihkan biji kakao dari kotoran-kotoran yang tidak diinginkan. Proses penyangraian memiliki beberapa tujuan yaitu proses penyangraian yang baik harus dapat mengembangkan rasa, aroma, warna; memudahkan pelepasan kulit dari biji; mengurangi kadar air; dan mengendorkan kulit sehingga dengan mudah dapat dipisahkan kulitnya pada proses pemisahan biji kulit. Rasa dan aroma yang didapat dari proses penyangraian bergantung atau ditentukan oleh beberapa faktor yaitu suhu dan lama penyangraian, panas spesifik biji, bentuk biji, asal biji, jenis varietas biji, cara pengolahan serta cara dan lama proses penyimpanan biji kakao.

Proses pemisahan kulit dilakukan karena hanya daging biji kakao (nib) saja yang digunakan untuk proses pengolahan selanjutnya. Proses pemastaan merupakan proses penghancuran nib menjadi ukuran tertentu (<20 mμ). Dengan ukuran seperti itu maka nib yang dihancurkan akan menjadi pasta cair kental. Pengempaan bertujuan untuk memisahkan lemak kakao dari pasta kasar yang telah dihasilkan. Banyaknya lemak yang dapat dipisahkan tergantung pada lamanya pengempaan yang dilakukan, tekanan yang digunakan, dan ukuran partikel pasta yang diekstrak.

Rendemen lemak yang diperoleh dari pengempaan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain suhu pasta, kadar air pasta, kadar protein pasta, tekanan kempa dan waktu pengempaan. Pada pengolahan setiap satu kilogram biji kakao fermentasi akan diperoleh 0.45 kilogram kakao powder dan 0.3 kilogram kakao butter secara bersamaan.

Dilana (2013) pada penelitiannya pada sentra industri kecil kakao Putri Willis di Kabupaten Madiun, menyatakan bahwa pada pengolahan produk biji kakao fermentasi menjadi kakao powder, terdapat nilai tambah sebesar 21.66 persen. Hal ini diperoleh dari peningkatan nilai tambah output biji kakao menjadi kakao powder. Harga bahan baku biji kakao yang sebelumnya Rp 20 000 setelah ditambah input lainnya menjadi Rp 27 000 per kilogram kakao powder, sehingga memberikan nilai tambah sebesar Rp 5 847. Sedangkan nilai output pada Putri Wilis dalam menghasilkan lemak cokelat yaitu sebesar Rp 24 000. Nilai output tersebut memberikan nilai tambah sebesar Rp 2 847 dengan rasio nilai tambah 11.86 persen. Nilai ini dapat diinterpretasikan bahwa sebesar 11.86 persen merupakan nilai tambah dari pengolahan produk. Apabila memproduksi kakao powder dan kakao butter secara bersamaan, nilai output pada Putri Wilis dalam menghasilkan kakao powder dan kakao butter secara bersamaan sebesar Rp 51 000. Nilai output tersebut memberikan nilai tambah sebesar Rp 29 847 dengan rasio nilai tambah dari pengolahan produk sebesar 58.52 persen.

Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat nilai tambah yang cukup besar dari pengolahan biji menjadi produk antara. Hal tersebut perlu dijadikan pertimbangan dalam menetapkan strategi pengembangan agribisnis kakao.

Daya Saing Kakao Indonesia di Pasar Internasional

Kinerja ekspor kakao Indonesia di pasar internasional dapat dilihat dari keunggulan komparatifnya. Penelitian ini menganalisis daya saing kakao

Indonesia dan negara produsen kakao secara komparatif di pasar internasional dengan metode RCA. Sementara itu persaingan dan kekuatan kompetisi setiap negara eksportir kakao dianalisis melalui Korelasi Rank Spearman.

Analisis Daya Saing Kakao Indonesia di Dunia

RCA mengukur pangsa pasar ekspor suatu negara dalam kelompok industri yang sama dengan negara eksportir lainnya, sehingga banyak digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif (Serin dan Civan 2008). Dalam analisis ini nilai RCA biji kakao dan kakao olahan Indonesia akan dibandingkan dengan negara produsen utama lainnya di pasar dunia. Semakin tinggi nilai RCA, maka negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yang semakin tinggi, dan sebaliknya.

Daya Saing Biji Kakao Indonesia di Dunia

Pantai Gading, Ghana, Indonesia, Nigeria, dan Kamerun adalah lima besar negara produsen dan pengekspor biji kakao di dunia. Nilai RCA negara eksportir biji kakao dapat dilihat pada Tabel 7. Kelima negara produsen kakao memiliki keunggulan komparatif di pasar internasional yang diperlihatkan dari nilai RCA yang lebih besar dari satu. Dari keempat negara tersebut, Ghana merupakan negara dengan daya saing rata-rata tertinggi sebesar 504.08, diikuti Pantai Gading di posisi kedua, Kamerun ketiga, Nigeria keempat, lalu Indonesia.

Tabel 7 Hasil estimasi daya saing (RCA) negara eksportir biji kakao

Tahun Pantai

Gading

Ghana Indonesia Nigeria Kamerun

2003 623.13 590.48 13.64 tad 160.21 2004 528.93 tad 11.12 tad 199.90 2005 503.94 641.56 13.53 tad 212.81 2006 478.10 830.47 16.81 0.23 169.83 2007 513.78 731.00 15.72 20.15 147.04 2008 488.65 696.51 16.99 16.99 512.77 2009 375.60 319.36 13.88 37.25 466.48 2010 439.68 293.73 13.69 21.96 285.77 2011 508.68 209.70 5.62 14.21 444.42

2012 tad 223.93 4.32 tad tad

Rata-rata 495.61 504.08 12.53 18.47 288.80

Keterangan: tad: tidak ada data

Hasil estimasi daya saing biji kakao Indonesia selama 10 tahun terakhir menunjukkan bahwa biji kakao Indonesia memiliki daya saing di pasar internasional, dengan rata-rata nilai RCA sebesar 12.53 (Tabel 7). Pada tahun 2011 dan 2012 terjadi penurunan RCA yang tajam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, hal ini disebabkan karena adanya penerapan bea keluar untuk ekspor biji kakao mulai tahun 2010 yang besarannya 5 – 15 persen. Dengan demikian, pada tahun 2011 terjadi penurunan kuantitas ekspor biji kakao sebesar 51 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dari 432 426 ton menjadi 210 066 ton. Hal yang sama juga terjadi pada tahun 2012, yakni terdapat penurunan kuantitas ekspor sebesar 22 persen dari tahun sebelumnya (ITC 2013). Implementasi bea keluar biji kakao telah menurunkan daya saing biji kakao Indonesia dibandingkan Pantai Gading dan Ghana, walaupun secara keseluruhan pasar kakao Indonesia berkembang (Rifin dan Nauly 2013).

Meskipun Indonesia memiliki daya saing internal untuk komoditas lain yang diekspor, namun posisi Indonesia masih rendah di jajaran eksportir biji kakao. Apabila dibandingkan dengan dua eksportir utama lainnya, keunggulan komparatif ekspor biji kakao Indonesia jauh dibawah Pantai Gading dan Ghana. Kedua negara ini merupakan produsen utama biji kakao yang menyumbang produksi biji kakao lebih dari 50 persen di dunia. Selain itu, biji kakao negara- negara ini sudah melalui fermentasi sehingga harganya lebih tinggi dibandingkan negara lain (Ragimun 2012) sehingga menyebabkan nilai ekspor biji kakao kedua negara ini tinggi.

Biji kakao Kamerun memiliki daya saing 20 kali lebih tinggi daripada Indonesia dan Nigeria, meskipun dalam volume ekspor, Kamerun berada di posisi ke lima. Tingginya daya saing Kamerun dikarenakan proporsi nilai ekspor biji kakao Kamerun terhadap nilai seluruh komoditas yang diekspor Kamerun mencapai 12.42 persen dalam kurun waktu tahun 2003 – 2011. Bahkan di tahun 2009, proporsinya mencapai 31.36 persen. Hal ini membuktikan bahwa kakao adalah komoditas yang penting di di Kamerun, yang ditunjukkan dengan kakao sebagai komoditas ekspor utama kedua setelah minyak bumi.

Walaupun Nigeria baru mulai mengekspor biji kakao pada tahun 2006, namun langsung masuk di jajaran lima negara pengekspor utama biji kakao. Nigeria memiliki daya saing lebih tinggi daripada Indonesia, yang ditunjukkan dengan nilai rata-rata RCA 18.47. Nigeria secara konsisten memposisikan biji kakaonya untuk bersaing di pasar internasional dengan menerapkan kebijakan yang mendukung, salah satunya adalah rencana rehabilitasi lahan seluas 200 000 hektar selama lima tahun ke depan.

Daya Saing Kakao Butter Indonesia di Dunia

Kakao butter merupakan produk kakao Indonesia yang diekspor terbesar kedua setelah biji. Pada Tabel 8 terlihat hasil estimasi daya saing negara eksportir kakao butter. Pada tahun 2012, dari 387 776 ton ekspor kakao Indonesia, 24.32 persennya merupakan kakao butter. Dilihat dari nilai RCA, keunggulan komparatif Indonesia cukup baik, diatas Perancis yang merupakan negara

Dokumen terkait