• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi umum

Pada awal pemindahan tanaman yang berumur ± 1 tahun dilakukan

pemangkasan daun untuk menyeragamkan pertumbuhan dan hanya menyisakan daun pucuk. Pada minggu-minggu pertama beberapa tanaman terserang penyakit

busuk batangColletotrichumsp. Tanaman yang terserang segera dipindahkan dan

diganti dengan yang baru untuk menghindari penyebaran penyakit. Di lokasi penelitian juga ditemukan beberapa hama yang menyerang seperti kutu putih, tungau kuning dan belalang.

Tanaman mulai berbunga dua bulan setelah dipindah. Persentase tanaman yang berbunga sebanyak 70 tanaman (83,33 %). Genotipe Kediri memiliki persentase tanaman belum berbunga paling tinggi sebesar 15,48 % dari seluruh tanaman contoh. Hal ini diduga karena jarak pagar genotipe Kediri tidak cocok ditanam di Bogor dengan curah hujan tinggi dan intensitas cahaya rendah.

Mahmudet al. (2008) menyatakan pada daerah-daerah basah dengan curah hujan

tinggi, pertumbuhan vegetatif jarak pagar lebat tapi pembentukan bunga dan buah kurang.

Ahmad (2008) menyatakan terdapat dua jenis malai berdasarkan jenis bunga yang menyusunnya, yaitu malai yang tersusun atas bunga jantan dan bunga betina (tipe I) dan malai yang tersusun atas bunga jantan dan bunga hermaprodit (tipe II) (Gambar 1).

Gambar 1. Malai tipe I (A) dan malai tipe II (B)

Bunga jantan (a), bunga betina (b), bunga hermaprodit (c)

B

a

c

a

A

b

Pada penelitian ini ditemukan juga malai yang tersusun atas bunga jantan, bunga betina dan bunga hermaprodit (tipe III) serta dalam satu malai hanya terdapat bunga jantan saja atau bunga betina saja. Malai tipe II dan III hanya terdapat pada 1 pohon dari genotipe Lampung. Kemunculan bunga jantan saja atau bunga betina saja dalam satu malai hanya terjadi pada saat pertama kali tanaman mulai berbunga. Kemunculan bunga betina saja terjadi pada genotipe Bengkulu, sedangkan bunga jantan saja terjadi pada genotipe Lampung dan Kediri. Malai yang muncul berikutnya merupakan malai tipe I.

Kuncup bunga jantan dan bunga betina tidak semuanya mekar dan berperan dalam proses reproduksi, sebagian akan layu dan gugur sebelum mekar. Utomo (2008) melaporkan tingkat kerontokan bunga betina dan hemaprodit rata- rata sebesar 11,76 % per malai di Pakuwon. Namun, dalam penelitian ini kerontokan bunga betina relatif rendah karena kerontokan hanya terjadi pada 2 malai yang muncul di akhir pengamatan.

Pengamatan pada ke empat genotipe menunjukkan tanaman dengan tipe protogini paling banyak dijumpai dibandingkan tipe protandri. Dari 365 malai yang diamati pada seluruh tanaman contoh, sebanyak 216 malai (59.18 %) merupakan tipe protogini, 37 malai (10.14 %) tipe protandri dan sisanya merupakan malai dengan bunga jantan dan betina mekar pada hari yang sama (Gambar 2).

Perbandingan ketiga tipe penyerbukan tersebut berbeda pada masing- masing genotipe (Tabel 1). Hasil pengamatan ini berbeda dengan pengamatan Hartati (2007) yang menyatakan jarak pagar tipe protandri lebih sering dijumpai

Mekar pada hari yang sama

31%

Gambar 2. Perbandingan jumlah tipe tanaman jarak pagar berdasarkan waktu mekar

Protandri 10%

Protogini 59%

dibanding tipe protogini. Tipe protandri dan protogini pada jarak pagar menunjukkan bahwa bunga jantan dan bunga betina tidak masak bersamaan yang merupakan mekanisme dari tanaman tersebut agar terjadi penyerbukan silang. Akan tetapi, panjangnya periode mekarnya bunga betina dan bunga jantan juga memungkinkan tanaman jarak pagar mengadakan penyerbukan sendiri dengan bantuan polinator seperti semut yang berjalan dari satu bunga ke bunga lain dalam satu malai atau satu tanaman. Heliyanto (2007) menyatakan bahwa fenomena protandri menunjukkan adanya mekanisme di dalam tanaman untuk mencegah atau mengurangi terjadinya penyerbukan sendiri.

Tabel 1. Proporsi Tipe Protandri dan Protogini pada Empat Genotipe yang Diamati

Genotipe Σ Malai Protandri Protogini Mekar Bersamaan Lampung 96 8 (8.33) 65 (67.71) 23 (23.96) Bengkulu 115 30 (26.09) 48 (41.74) 37 (32.17) Palembang 117 9 (7.76) 78 (67.71) 29 (25.00) Kediri 38 4 (10.35) 24 (63.16) 10 (26.32)

Keterangan: Angka dalam kurung adalah persentase

Pada tanaman tipe protandri bunga jantan mekar 1-6 hari lebih dulu

daripada bunga betina. Mahmudet al. (2008) menyatakan bunga jantan membuka

dua hari lebih cepat daripada bunga betina di Pakuwon. Periode mekarnya bunga pada jarak pagar memiliki variasi yang cukup tinggi antar genotipe maupun antar pohon dalam satu genotipe. Periode bunga jantan mekar pada genotipe Bengkulu antara 9-13 hari, genotipe Lampung 6-42 hari, genotipe Palembang 7-26 hari dan genotipe Kediri 8-14 hari. Periode ini lebih lama dari laporan Hartati (2007) bahwa periode mekarnya bunga jantan selama 4-7 hari dan Utomo (2008) periode bunga jantan mekar mencapai 21 hari.

Pada tanaman tipe protogini bunga betina mekar 1-3 hari lebih dulu daripada bunga jantan pada genotipe Bengkulu, pada genotipe Kediri dan Lampung 1-4 hari lebih dulu dan genotipe Palembang 1-6 hari lebih dulu. Waktu ini lebih lama dari laporan Hasnam (2006a) yang menyatakan bunga betina mekar 1-2 hari sebelum bunga jantan mulai mekar. Periode bunga betina mekar pada genotipe Bengkulu 1-8 hari, genotipe Lampung 2-12 hari, genotipe Palembang

2-8 hari dan genotipe Kediri 2-6 hari. Kisaran bunga jantan dan betina mekar pada tipe protandri dan protogini ditampilkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Kisaran bunga jantan dan betina mekar pada tipe protandri dan protogini jarak pagar

Buah dipanen pada 48-52 hari setelah penyerbukan. Waktu panen ini lebih cepat dari laporan Utomo (2008) buah jarak pagar dapat dipanen pada 52-57 HSA dan Ahmad (2008) 50-54 hari setelah penyerbukan. Buah yang dipanen kulit buahnya sudah berwarna kuning, kuning kecoklatan hingga coklat. Pada penelitian ini, tingkat kemasakan buah dalam satu malai cukup bervariasi, karena pemunculan bunga betina yang tidak serempak. Dalam penelitian ini, ada tiga pola masaknya buah jarak pagar pada setiap tandan. Pola I buah masak serempak (seluruh buah berwarna kuning), pola II sebagian buah sudah masak (kuning) sebagian lagi belum (hijau), dan pola III sebagian buah lewat masak (buah berwarna hitam), sebagian masak (kuning) dan sebagian lagi belum masak (hijau).

Mahmud et al. (2008) melaporkan adanya tanaman jarak pagar yang memiliki

bunga, buah muda, buah tua dan buah kering dalam satu cabang di daerah Banten dengan curah hujan 2500-3000 mm/tahun. Diduga tingginya curah hujan berpengaruh terhadap periode pemasakan buah.

Keberhasilan Reproduksi

Berdasarkan hasil analisis ragam, genotipe berpengaruh nyata terhadap peubah jumlah malai per tanaman (M/T), jumlah bunga jantan per malai (Bj/M) dan jumlah bunga betina per malai (Bb/M), namun tidak berpengaruh nyata

(1-6 hr) (1-5 hr) (4-31 hr) (1-6 hr) (1-6 hr) (4-36 hr) bunga betina bunga jantan A B

terhadap jumlah buah per malai (Bh/M), jumlah biji per buah (B/Bh), rasio buah per bunga betina (Bh/Bb), rasio biji per ovul (B/O), dan keberhasilan reproduksi (KR) (Tabel Lampiran 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8). Rekapitulasi hasil analis ragam peubah-peubah tersebut disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Analisis Ragam Pengaruh Genotipe terhadap Jumlah Malai per Tanaman (M/T), Jumlah Bunga Jantan per Malai(Bj/M), Bunga Betina per Malai (Bb/M), Buah per Malai (Bh/M), Biji per Buah (B/Bh), Rasio Bh/Bb, Rasio B/O, dan Keberhasilan Reproduksi (KR)

Peubah Genotipe Jumlah malai per tanaman (M/T) tn Jumlah bunga jantan per malai (Bj/M) * Jumlah bunga betina per malai (Bb/M) * Jumlah buah per malai (Bh/M) tn Jumlah biji per buah (B/Bh) tn Rasio buah per bunga betina (Bh/Bb) tn Rasio biji per ovul (B/O) tn Keberhasilan reproduksi (KR) tn

Keterangan: * = nyata pada taraf 5 % tn = pengaruh tidak nyata

Jumlah malai per tanaman pada tanaman berumur ± 1 tahun tidak bervariasi antar genotipe, sekitar 5-6 malai per tanaman (Tabel 3). Ahmad (2008) melaporkan bahwa jumlah malai pada genotipe Lampung, Banten, Jawa Barat dan Jawa Tengah bervariasi antara 3-5 malai per tanaman. Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman koleksi yang berumur ± 1 tahun dengan pemeliharaan yang minimum. Jumlah malai per tanaman dan jumlah bunga betina

per malai menentukan produksi benih jarak pagar. Gardner et al. (1991)

menyatakan pemupukan N meningkatkan produksi malai pada jenis Graminae. Henning (2007) menyatakan pemangkasan pada tanaman jarak pagar umur 3-4 bulan setelah dipindah ke lapang dapat menginduksi pembentukan cabang. Apabila pemangkasan dilakukan secara bertahap setiap setelah panen buah, cabang yang terbentuk dapat mencapai 25, dan masing-masing akan membentuk malai, sehingga jumlah malai per tanaman meningkat.

Jumlah bunga jantan per malai pada genotipe Lampung tidak berbeda nyata dengan genotipe Bengkulu, namun berbeda nyata dengan genotipe Palembang dan Kediri. Jumlah bunga jantan per malai tertinggi sebesar 82.34

pada genotipe Lampung dan terendah pada genotipe Kediri sebesar 54.33 (Tabel 3). Semakin banyak jumlah bunga jantan dan semakin lama periode mekarnya maka selalu tersedia polen yang segar tiap harinya untuk menyerbuki setiap bunga betina yang mekar, sehingga kemungkinan terjadi penyerbukan sendiri semakin tinggi.

Tabel 3. Nilai Tengah Pengaruh Genotipe terhadap Jumlah Malai/Tanaman (M/T),

Jumlah Bunga Jantan per Malai(Bj/M), Bunga Betina per Malai (Bb/M), Buah per Malai (Bh), dan Jumlah Biji per Buah (B/Bh), Rasio Buah per Bunga Betina (Bh/Bb), Rasio Biji per Ovul (B/O), dan Keberhasilan Reproduksi

Genotipe M/T Bj/M Bb/M Bh/M B/Bb Bh/Bb B/O KR

Lampung 5.57a 82.34a 8.88a 5.63a 2.74a 0.62 0.88 0.56

Bengkulu 6.02a 76.61ab 7.35ab 5.82a 2.76a 0.80 0.94 0.74

Palembang 6.29a 62.48bc 9.10a 6.46a 2.80a 0.73 0.92 0.68

Kediri 5.02a 54.33c 6.34b 4.75a 2.66a 0.73 0.86 0.66

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α = 5 %

Jumlah bunga betina per malai pada genotipe Lampung, Bengkulu dan Palembang tidak berbeda nyata, sedangkan jumlah bunga betina paling sedikit pada genotipe Kediri namun tidak berbeda nyata dengan genotipe Bengkulu. Rataan jumlah bunga betina per malai pada genotipe Lampung, Bengkulu dan Palembang yaitu sebesar 8.88, 7.35 dan 9.10, sedangkan pada genotipe Kediri sebesar 6.34 (Tabel 3). Bunga betina per malai merupakan salah satu komponen penentu produksi benih jarak pagar. Semakin banyak jumlah bunga betina per malai diharapkan jumlah buah yang terbentuk juga semakin banyak. Genotipe Lampung yang merupakan tetua IP-1 dan IP-2, terbukti mempunyai keunggulan jumlah bunga betina per malai yang tinggi, dalam penelitian ini sebesar 8.88, setara dengan hasil pengamatan Utomo (2008) sekitar 9 bunga betina per malai, akan tetapi lebih tinggi daripada pengamatan Ahmad (2008) yang menyatakan sekitar 5 bunga betina per malai.

Empat genotipe yang diuji memiliki jumlah bunga betina per malai yang cukup bervariasi yang menandakan bahwa potensi reproduksi keempat genotipe tidak sama. Genotipe Kediri memiliki potensi reproduksi paling rendah dibandingkan genotipe yang lain dengan Bb/M sebesar 6.34. Potensi reproduksi dapat diketahui berdasarkan jumlah bunga yang fertil dan jumlah ovul yang fertil

per bunga. Dari jumlah bunga betina per malai, genotipe Palembang dan Lampung berpotensi untuk dikembangkan karena mempunyai potensi reproduksi yang lebih tinggi daripada genotipe Bengkulu dan Kediri.

Jumlah buah per malai dan jumlah biji per buah yang dihasilkan dari keempat genotipe tidak berbeda nyata yaitu berkisar 5-6 buah per malai dan 2.66- 2.80 (Tabel 3). Data ini menunjukkan bahwa perbedaan jumlah bunga betina per malai antar genotipe menghasilkan buah per malai yang tidak berbeda, berkisar antara 4.75 – 6.46.

Analisis ragam (Tabel Lampiran 6, 7, dan 8) menunjukkan bahwa genotipe tidak berpengaruh nyata terhadap rasio buah per bunga betina, biji per ovul dan keberhasilan reproduksi (Tabel 3). Rasio buah per bunga betina pada genotipe Bengkulu sebesar 0.80, Palembang 0.73, Kediri 0.73 dan Lampung 0.62. Rasio

buah per bunga betina ini menunjukkan proporsi bunga yang menjadi buah (fruit

set). Data ini menunjukkan bahwa walaupun jumlah bunga betina per malai

genotipe Lampung dan Palembang cukup tinggi, pembentukan buahnya rendah sekitar 0.62 – 0.73, sehingga jumlah buah per malai yang terbentuk rendah.

Rasio biji per ovul pada genotipe Bengkulu sebesar 0.94, Palembang 0.92, Lampung 0.88 dan Kediri 0.86 (Tabel 3). Rasio biji per ovul menunjukkan proporsi ovul yang berkembang menjadi benih yang viabel. Data ini menunjukkan rasio biji per ovul tidak berbeda antar genotipe.

Rasio buah per bunga betina menandakan banyaknya buah yang terbentuk dari seluruh bunga betina yang ada. Rasio Bh/Bb pada genotipe Lampung sebesar 0.62 menunjukkan bahwa hanya 62 % bunga betina yang terbentuk berkembang menjadi buah yang masak. Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa proporsi pembentukan buah lebih rendah daripada pembentukan biji. Dari pengamatan diketahui kerontokan buah umumnya terjadi sekitar 14-21 hari setelah penyerbukan. Diduga pada saat itu fertilisasi sudah terjadi, karena ovarium sudah mulai membesar. Penyebab kerontokan buah yang sudah terinisiasi tidak

diketahui dengan pasti. Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa gugurnya buah

disebabkan defisiensi nutrisi organik yang diakibatkan persaingan dalam tanaman antar bunga dan buah pada malai yang sama atau dengan malai yang lain. Thomas

et. al. (1992) menyatakan kerontokan buah muda dapat disebabkan oleh lingkungan, fisiologi, embrio dan patogen.

Keberhasilan reproduksi pada empat genotipe yang diamati juga tidak berbeda nyata (Tabel Lampiran 8). Keberhasilan reproduksi genotipe Bengkulu sebesar 0.74. Palembang 0.68, Kediri 0.66 dan Lampung 0.56 (Tabel 3). Pada genotipe Lampung, dari seluruh ovul yang dihasilkan tanaman, proporsi ovul yang berkembang menjadi benih viabel adalah sebesar 0.56 atau 56 % dari potensinya. Data ini menunjukkan bahwa kendala produksi biji pada ke empat genotipe jarak pagar yang diamati lebih cenderung pada proses pembentukan buah (berkisar 0.62–0.80) daripada pembentukan biji (berkisar 0.86–0.94). Oleh karena itu upaya peningkatan keberhasilan reproduksi perlu diarahkan pada peningkatan pembentukan buah, misalnya dengan perbaikan teknik budidaya seperti pemupukan, pemangkasan, pengendalian hama dan penyakit serta meningkatkan penyerbukan dengan meningkatkan jumlah serangga penyerbuk. Lechowicz dan Blais (1987) menyatakan keberhasilan reproduksi dipengaruhi ketersediaan air dan hara. Mereka menambahkan bahwa keberhasilan reproduksi dapat

ditingkatkan dengan menambah jumlah hara. Zhang et al. (2005) melaporkan

bahwa intensitas penyinaran yang tinggi meningkatkan keberhasilan reproduksi padaCypripedium flavum.

Penyerbukan Alami dan Buatan

Berdasarkan hasil analisis ragam pada Tabel Lampiran 9, 10,11,12, 13, 14, 15 dan 16, perlakuan genotipe dan tipe penyerbukan berpengaruh nyata terhadap peubah jumlah buah per malai dan biji per buah, namun tidak berpengaruh nyata tehadap persentase pembentukan buah, persentase pembentukan benih, keberhasilan reproduksi, viabilitas (DB dan PTM) dan vigor (Kct) benih hasil dari ketiga tipe penyerbukan yang diberikan. Rekapitulasi hasil analisis ragam peubah- peubah tersebut disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Rekapitulasi Hasil Analisis Ragam Pengaruh Genotipe (A) dan Tipe Penyerbukan serta Interaksinya terhadap Persentase Pembentukan buah, Persentase Pembentukan Benih, Jumlah Buah per Malai, Biji per Buah, Keberhasilan Reproduksi, Daya Berkecambah, Potensi Tumbuh Maksimum, dan Kecepatan Tumbuh.

Peubah Genotipe Tipe Penyerbukan Interaksi Persentase pembentukan buah tn tn tn Persentase pembentukan benih tn tn tn Jumlah buah per malai * tn * Jumlah biji per buah * * tn Keberhasilan reproduksi tn tn tn Daya berkecambah tn tn tn Potensi tumbuh maksimum tn tn tn Kecepatan tumbuh tn tn tn

Keterangan: * = nyata pada taraf 5 %

tn = pengaruh tidak nyata

Tiga macam penyerbukan yang diberikan pada empat genotipe yang diuji tidak berpengaruh nyata terhadap persentase pembentukan buah dan benih. Persentase pembentukan buah yang dihasilkan berkisar antara 62-89 % dan persentase pembentukan benih berkisar 86-94 % (Tabel 5). Meskipun demikian ada kecenderungan persentase pembentukan buah pada genotipe Lampung yang menyerbuk alami cenderung lebih rendah dari perlakuan yang lain, meskipun tidak nyata dalam sidik ragam. Diduga variasi potensi dan kemampuan tanaman

dalam membentuk buah pada genotipe Lampung cukup tinggi. Gardner et al.

(1991) menyatakan kegagalan pembentukan buah dapat disebabkan beberapa hal, yaitu: 1) kurangnya penyerbukan, 2) kurangnya fertilisasi karena polen kurang

viabel, dan 3) gugurnya bunga dan buah. Thomas et. al. (1992) menyatakan

pembentukan buah dapat ditingkatkan dengan penyerbukan buatan, penggunaan hormon tumbuh dan aplikasi pupuk.

Pada Tabel 5 memperlihatkan bahwa peningkatan penyerbukan yaitu dengan penyerbukan sendiri maupun silang tidak meningkatkan persentase pembentukan buah. Ada kemungkinan bahwa empat genotipe jarak pagar yang diuji mempunyai ambang batas maksimum pembentukan buah, sehingga

peningkatan melalui penyerbukan buatan tidak terlalu berarti. Schuster et al.

(1993) menyatakan penyerbukan silang dan sendiri padaAsphodelus aestivus Brot

penyerbukan silang pada A. aestivus. menyebabkan adanya sedikit peningkatan proporsi bunga betina berkembang menjadi buah dan peningkatan yang tinggi terhadap proporsi kemasakan buah. Mereka menambahkan bahwa penyerbukan

sendiri pada Asphodelus aestivus B. menurunkan fertilitas tanaman tersebut di

lingkungan alaminya. Peningkatan pembentukan buah pada jarak pagar dapat diusahakan melalui teknik budidaya yang tepat, seperti pemupukan dan lokasi

penanaman yang tepat terkait dengan suhu, curah hujan dan intensitas cahaya. Di

bawah ini disajikan persentase pembentukan buah empat genotipe yang diamati pada Tabel 5.

Tabel 5. Persentase Pembentukan Buah (PBh) dan Benih (PB) Empat Genotipe yang Diuji pada Tiga Macam Penyerbukan (%) dan Nilai IIS-nya

Penyerbukan alami Penyerbukan sendiri Penyerbukan silang Genotipe PBh PB PBh PB PBh PB IIS Lampung 62 88 81 88 85 86 0.95 Bengkulu 80 94 80 89 80 91 1.00 Palembang 73 92 72 90 78 86 0.92 Kediri 73 86 75 87 89 86 0.84

Keterangan: IIS = Indeks Inkompatibilitas Sendiri

Pada peubah jumlah buah per malai, genotipe Palembang yang disilangkan dengan IP-1 menghasilkan jumlah buah per malai tertinggi diantara perlakuan yang lain, yaitu dengan rataan sebesar 8.74 (Tabel 6). Perhitungan Indeks inkompatibilitas sendiri (IIS) pada genotipe Palembang adalah sebesar 0.92 (Tabel 5), yang mengindikasikan bahwa pollen dan pistil tanaman jarak pagar genotipe Palembang inkompatibel sebagian, sehingga penyerbukan silang akan lebih menguntungkan dan meningkatkan keberhasilan penyerbukan dan pembuahan. Tabel 6. Nilai Tengah Interaksi Pengaruh Genotipe dan Tipe Penyerbukan

terhadap Jumlah Buah/Malai

Genotipe Penyerbukan alami Penyerbukan sendiri Penyerbukan silang Lampung 5.63b 5.75b 5.53b Bengkulu 5.82b 5.71b 5.81b Palembang 6.46b 5.10b 8.74a

Kediri 4.75b 5.43b 4.38b

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α = 5 %

Pada peubah jumlah biji per buah, genotipe Lampung dan Kediri yang diserbuk silang mempunyai jumlah biji per buah paling sedikit dibandingkan tipe penyerbukan yang lain. Nilai tengah biji per buah pada genotipe Lampung dan Kediri yang diserbuk silang masing-masing adalah sebesar 2.62 dan 2.61 (Tabel 7). Nilai IIS pada genotipe Bengkulu sebesar 1.00 yang mengindikasikan bahwa

genotipe Bengkulu self compatible sehingga penyerbukan sendiri atau silang

menghasilkan persentase pembentukan buah yang sama. Perhitungan IIS pada genotipe Lampung dan Kediri masing-masing adalah sebesar 0.95 dan 0.84 (Tabel 5) yang mengindikasikan polen dan pistil pada genotipe Lampung dan Kediri inkompatibel sebagian sehingga penyerbukan sendiri menghasilkan buah dan biji yang sedikit lebih rendah daripada penyerbukan silang. Namun dalam penelitian ini justru jumlah biji per buah hasil penyerbukan silang lebih rendah dari penyerbukan sendiri. Pembentukan biji yang kurang efisien diduga disebabkan karena rasio polen per ovul yang rendah pada penyerbukan silang. Salah satu kendala dalam penyerbukan buatan adalah polen tidak mudah menempel pada stigma. Torres dan Galetto (1998) melaporkan aborsi bunga meningkat dengan penyerbukan buatan, diduga terjadi kerusakan fisik saat dilakukan penyerbukan buatan, misalnya salah satu atau lebih cabang stigma patah saat penyerbukan karena bunga yang masih basah oleh embun. Kondisi cuaca yang kurang menguntungkan ikut menambah rendahnya pembentukan biji per buah.

Tabel 7. Nilai Rata-rata Biji/Buah Empat Genotipe yang Diuji pada Tiga Macam Penyerbukan

Genotipe Penyerbukan alami Penyerbukan sendiri Penyerbukan silang Lampung 2.66ab 2.73ab 2.62b Bengkulu 2.80a 2.75ab 2.73ab Palembang 2.76ab 2.72ab 2.69ab Kediri 2.74ab 2.66ab 2.61b

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α = 5 %

Keberhasilan reproduksi pada ketiga penyerbukan tidak berbeda nyata berdasarkan hasil sidik ragam yaitu dengan nilai sebesar 0.56-0.78 (Tabel 8) (Tabel Lampiran 12). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberhasilan reproduksi empat genotipe yang diuji tidak dipengaruhi sumber polen. Meskipun

demikian ada kecenderungan bahwa keberhasilan reproduksi pada genotipe Lampung dan Kediri cenderung lebih tinggi jika dilakukan penyerbukan buatan dibandingkan menyerbuk secara alami. Keberhasilan reproduksi pada genotipe Lampung yang menyerbuk sendiri adalah sebesar 0.56, cenderung naik pada penyerbukan sendiri yaitu sebesar 0.70, dan cenderung naik lagi jika dilakukan penyerbukan silang, yaitu sebesar 0.74. Genotipe Kediri yang menyerbuk alami memiliki nilai keberhasilan reproduksi sebesar 0.61, cenderung naik pada penyerbukan sendiri yaitu sebesar 0.67 dan cenderung naik lagi jika dilakukan penyerbukan silang yaitu sebesar 0.78 (Tabel 8). Keberhasilan reproduksi ini lebih dipengaruhi persentase pembentukan buah, sehingga dengan meningkatkan pembentukan buah diharapkan keberhasilan reproduksi juga meningkat.

Tabel 8. Keberhasilan Reproduksi Empat Genotipe yang Diuji pada Tiga Macam Penyerbukan

Genotipe Penyerbukan alami Penyerbukan sendiri Penyerbukan silang Lampung 0.56 0.70 0.74 Bengkulu 0.74 0.72 0.73 Palembang 0.73 0.65 0.69 Kediri 0.61 0.67 0.78

Perkecambahan jarak pagar bersifat epigeal yaitu munculnya radikula diikuti dengan memanjangnya hipokotil secara keseluruhan dan membawa serta kotiledon dan plumula ke atas permukaan tanah. Joker dan Jepsen (2003) menyatakan perkecambahan jarak pagar bersifat epigeal yaitu kotiledon muncul ke atas tanah kemudian kotiledon layu dan jatuh segera setelah daun pertama terbentuk. Daun primer muncul 1-3 hari setelah kotiledon membuka sempurna (Ahmad, 2008). Benih jarak pagar akan berkecambah setelah 7 hari (Direktorat Budidaya Tanaman Tahunan, 2007). Utomo (2008) menyatakan bahwa kecambah normal terlihat antara hari ke 8-14 setelah semai. Pada penelitian ini kecambah normal mulai terlihat antara hari ke 7-10 hari setelah pengecambahan (HSP). Bahkan beberapa benih sudah normal pada hari ke 6 (HSP) namun jumlahnya sangat sedikit.

Kecambah normal pada 7 HSP tingginya antara 7-10 cm dari permukaan tanah dengan ciri-ciri daun primer sudah membuka penuh dan bibit terlihat kuat tanpa kerusakan dan atau dengan sedikit kerusakan. Sedangkan kecambah pada 14

HSP tingginya mencapai 9-13 cm dari permukaan tanah. Kecambah normal pada 7 HSP dan 14 HSP ditampilkan pada Gambar 3.

Gambar 4. (A) Kecambah normal 14 HSP, (B) Kecambah abnormal 14 HSP,(C) Kecambah normal 7 HSP, (D) Kecambah abnormal 7 HSP. HSP: Hari Setelah Pengecambahan

Perlakuan genotipe, tipe penyerbukan dan interaksinya tidak berpengaruh nyata terhadap viabilitas dan vigor benih (Tabel 4). Viabilitas benih ditunjukkan oleh persentase daya berkecambah (DB) dan potensi tumbuh maksimum (PTM) sedangkan vigor benih ditunjukkan oleh kecepatan tumbuh (Kct). Daya berkecambah yang dihasilkan dari ketiga tipe penyerbukan rata-rata 82 % pada semua genotipe yang di uji. Potensi tumbuh maksimum rata-rata 92 %, sedangkan kecepatan tumbuh rata-rata 9-10 %/etmal (Tabel 9).

Tabel 9. Daya berkecambah (DB), Kecepatan Tumbuh (Kct) dan Potensi Tumbuh Maksimum (PTM) pada Genotipe yang Diuji dengan Tiga Macam Penyerbukan

Penyerbukan alami Penyerbukan sendiri Penyerbukan silang

Genotipe DB Kct PTM DB Kct PTM DB Kct PTM

Dokumen terkait