• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Perairan Selat Malaka, Kabupaten Serdang Bedagai

Kabupaten Serdang Bedagai adalah salah satu Kabupaten yang berada di kawasan Pantai Timur Sumatera Utara. Secara geografis Kabupaten Serdang Bedagai terletak pada posisi 2°57” Lintang Utara, 3°16” Lintang Selatan, 98°33” Bujur Timur, 99°27” Bujur Barat, dengan ketinggian berkisar 0 – 500 meter di atas permukaan laut. Kabupaten Serdang Bedagai memiliki iklim tropis dimana kondisi iklimnya hampir sama dengan Kabupaten Deli Serdang sebagai kabupaten induk. Rata-rata kelembapan udara per bulan sekitar 79%, curah hujan berkisar antara 120 sampai dengan 331 mm perbulan dengan periodik tertinggi pada bulan September 2006, hari hujan per bulan berkisar 8-20 hari dengan periode hari hujan yang besar pada bulan Mei - Juni 2006. Rata-rata kecepatan angin berkisar 0,42 m/dt dengan tingkat penguapan sekitar 3,9 mm/hari. Temperatur udara per bulan minimum 22,2°C dan maksimum 31,9°C (BPS Serdang Bedagai, 2008).

Kabupaten Serdang Bedagai merupakan Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI) 571 yang berada di Perairan Selat Malaka dan Laut Andaman. Luas kawasan Pesisir Timur Sumatera Utara adalah 43.133,44 km². Kawasan ini cukup subur, suhu udara tinggi, kelembaban udara tinggi dan curah hujan relatif tinggi. Topografi pantai umumnya landai dengan laut yang dangkal. Sesuai dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Serdang Bedagai (2008), Kabupaten Serdang Bedagai, sebagai daerah yang mempunyai wilayah pesisir dengan panjang garis pantai ± 95 km yang meliputi 5 Kecamatan yakni Kecamatan Pantai Cermin, Kecamatan Perbaungan, Kecamatan Teluk Mengkudu, Kecamatan Tanjung Beringin dan Kecamatan Bandar Khalifah. Kabupaten Serdang Bedagai

terdapat nelayan dengan jumlah 12.587 jiwa yang mendiami 23 desa yang ada disepanjang pesisir (Tabel 15).

Ikan Tembang (Sardinella sp.) di Perairan Selat Malaka

Perairan Selat Malaka salah satunya dimanfaatkan Kabupaten Serdang Bedagai untuk kegiatan perikanan tangkap dengan wilayah Kewenangan tingkat Kabupaten yaitu 4 mil laut dari garis pantai (Lampiran 8). Ikan tembang merupakan salah satu kelompok ikan yang dominan di perairan Selat Malaka untuk wilayah Kabupaten Serdang Bedagai sejak tahun 2010, yang biasa ditemukan kurang lebih di kedalaman 100 m. Produksi perikanan tangkap yang juga cukup tinggi adalah ikan tetengkek, ikan kembung dan ikan gulamah.

Jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap sumberdaya ikan tembang (Sardinella sp.) di perairan Selat Malaka yaitu : purse seine, jaring insang hanyut (gillnet), pancing dan payang. Ukuran mata jaring yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan tembang 1 inci sampai 2 inci, yang juga dapat menyebabkan tekanan penangkapan terhadap sumberdaya ikan tembang. Sesuai dengan Syakila (2009), ukuran mata jaring yang semakin kecil sampai 1,5 inci dapat mengindikasikan adanya tekanan penangkapan terhadap sumberdaya ikan tembang. Jenis alat tangkap ini dioperasikan untuk wilayah kewenangan Kabupaten Serdang Bedagai, khususnya yang digunakan oleh nelayan pada 6 Kecamatan (Pantai Cermin, Perbaungan, Teluk Mengkudu, Sei Rampah, Tanjung Beringin dan Bandar Khalifah). Ikan tembang yang tertangkap di perairan Selat Malaka di daratkan di TPI tiap desa yang ada untuk dipasarkan di pasar-pasar

tradisional Kabupaten Serdang Bedagai. Ikan ini dijual dalam keadaan utuh dan segar, dengan harga rata-rata Rp. 3.000/kg.

Pendugaan Potensi Lestari (MSY) dan Effort Optimum

Pendugaan potensi sumberdaya ikan menggunakan data produksi dan upaya penangkapan yang dilakukan pada tiap tahunnya. Data produksi penangkapan ikan tembang pada penelitian ini adalah data dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2008–2012). Namun tidak diperoleh data produksi dari tiap alat tangkap pada tahun 2008 dan 2009, sehingga perlu dilakukan estimasi produksi per alat tangkap (Lampiran 1) dengan produksi dan upaya penangkapan dari tiap alat tangkap yang dapat dilihat pada tabel 10 dan 11. Produksi dari tiap alat tangkap tahun 2008-2012 (Gambar 11), pukat cincin 2008; 111,5 ton, 2009; 94,5 ton, 2010; 1.187,5 ton, 2011; 1.698 ton dan 2012; 203 ton. Produksi jaring insang hanyut (gillnet) tahun 2008; 1,319 ton, 2009; 1,118 ton, 2010; 1.609,6 ton, 2011; 1.425 ton dan 2012; 666,3 ton. Produksi alat tangkap pancing tahun 2008; 2,849 ton, 2009; 2,145 ton, 2010; 1.205,8 ton, 2011; 1.732,2 ton dan 2012; 275,4 ton. Produksi alat tangkap payang tahun 2008; 3,878 ton, 2009; 3,289 ton, 2010; 294 ton, 2011; 398 ton dan 2012; 430,4 ton.

Berdasarkan jumlah produksi dari tiap alat tangkap, pukat cincin (purse

seine) merupakan alat tangkap yang memiliki produksi tertinggi dari tahun 2008

sampai 2010 (111,5 ton; 94,5 ton; 1.187,5 ton). Sementara di tahun 2011 produksi tertinggi pada alat tangkap pancing (1.732,2 ton) dan tahun 2012 pada alat tangkap jaring insang hanyut (gillnet) yaitu 666,3 ton. Produksi terendah tahun 2008 dan 2009 pada alat tangkap jaring insang hanyut, yaitu 1,319 ton dan 1,118

ton. Sementara pada tahun 2010 dan 2011 pada alat tangkap payang, yaitu 294 ton dan 398 ton. Pada tahun 2012 produksi terendah pada alat tangkap pancing, yaitu 275,4 ton.

Gambar 11. Produksi tahunan sumberdaya ikan tembang di perairan Selat Malaka Dapat disimpulkan bahwa produksi ikan tembang dari tahun 2008-2012 dengan menggunakan alat tangkap jaring insang hanyut, pukat cincin, payang dan pancing sangat tidak stabil. Hal ini dapat mengindikasikan tidak terjaminnya perekonomian masyarakat nelayan Kabupaten Serdang Bedagai. Sesuai dengan Mamuaya et. al (2007), menyatakan bahwa produksi ikan yang stabil dengan nilai yang cukup tinggi dapat menjamin keberlanjutan ekonomi perikanan bagi daerah sekitarnya. Ekonomi perikanan akan berkembang dengan baik sangat tergantung pada kontribusi masyarakat kawasan untuk menghasilkan produk yang dibutuhkan pasar secara kontinyu.

Upaya penangkapan atau effort dengan satuan trip yang dilakukan dari tiap alat tangkap dapat dilihat jumlah hari melaut dari tiap alat tangkap (Tabel 12).

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2008 2009 2010 2011 2012 Tahun P r od uks i ( T on ) purse seine jaring insang hanyut pancing payang

Pada tahun 2008 dan 2009 data effort tidak diperoleh, sehingga perlu estimasi

effort (Lampiran 2.). Effort dari tiap alat tangkap untuk sumberdaya ikan tembang

dapat dilihat pada (Gambar 12). Effort tertinggi terdapat pada alat tangkap jaring insang hanyut dari tahun 2008 sampai 2012, yaitu : 2008; 66.000 trip, 2009; 66.000 trip, 2010; 49.500 trip, 2011; 55.000 trip dan 2012; 1.364 trip. Sementara

effort terendah dari tahun 2008 sampai 2012 pada alat tangkap pukat cincin, yaitu

: 2008; 19.920 trip, 2009; 19.920 trip, 2010; 14.940 trip, 2011; 14.525 trip dan 2012; 490 trip.

Gambar 12. Effort tahunan sumberdaya ikan tembang di perairan Selat Malaka

Effort alat tangkap pancing tahun 2008; 25.200 trip, 2009; 25.200 trip,

2010; 19.904 trip, 2011; 21.270 trip dan 2012; 1.240 trip. Pada alat tangkap payang effort tahun 2008; 31.200 trip, 2009; 31.200 trip, 2010; 15.600 trip, 2011; 19.500 trip dan 2012; 1.178 trip.

Hasil tangkapan per upaya penangkapan dapat dilihat pada Lampiran 3, sementara standarisasi effort pada Lampiran 4 dan tabel 13. Dari data di atas

0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000 2008 2009 2010 2011 2012 Tahun E ff or t (T r ip ) purse seine jaring insang hanyut pancing payang

menunjukkan bahwa effort dari tiap alat tangkap cenderung menurun tiap tahunnya, dengan jaring insang hanyut yang mendominasi effort. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa jaring insang hanyut merupakan alat tangkap yang digunakan secara aktif pada siang hari oleh masyarakat nelayan di Kabupaten Serdang Bedagai. Meskipun menurut BRPL (2004), pukat cincin (purse seine) merupakan alat tangkap ikan pelagis kecil yang paling efektif sejak diperkenalkan pada tahun 70-an di perairan Selat Malaka. Namun pengoperasian jaring insang hanyut yang lebih sederhana dan tidak membutuhkan banyak ABK dibandingkan pukat cincin, sehingga nelayan lebih memilih menggunakan jaring insang hanyut. Sementara untuk penurunan effort yang cukup signifikan diduga karena usaha yang dilakukan dalam mengoptimalkan pemanfaatan, agar effort tidak melebihi

effort optimumnya.

Sebelum dilakukan analisis pendugaan potensi lestari (MSY) dan upaya tangkap optimum (f opt) terlebih dahulu ditentukan model yang cocok untuk dipergunakan dalam analisis lanjutan (Lampiran 5). Penentuan model tersebut didasarkan pada hubungan antara effort dengan nilai CPUE (model Schaefer) atau

effort dengan Ln CPUE (model Fox), hasil analisa pada Tabel 8.

Tabel 8. Pendugaan potensi dengan metode surplus produksi

Nilai Schaefer Fox Satuan

a 242,7331463 4,9691769 b -0,002903777 0,0000050155 MSY 5.072.650,023 10.556.736,76 kg/tahun F optimum 41.796,099 199.405,92 trip/tahun R 0,286 0,122 R2 0,082 0,015

Berdasarkan analisis potensi sumberdaya ikan tembang diperoleh konstanta (a) sebesar 242,7331463 dan koefisien regresi (b) sebesar -0,002903777, dengan menggunakan formula model Schaefer maka didapatkan hasil dugaan potensi lestari (MSY) sumberdaya ikan tembang di perairan Selat Malaka sebesar 5.072,65 ton/tahun dengan effort optimum (f opt) 41.796 trip/tahun. Sementara berdasarkan analisis regresi, didapatkan nilai koefisien korelasi (R) sebesar 0,286 dan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,082. Sedangkan dengan menggunakan formula model Fox diperoleh konstanta (a) sebesar 4,9691769 dan koefisien regresi (b) sebesar 0.000005015 dengan potensi potensi lestari (MSY) sebesar 10.556,736 ton dan effort optimum (f opt) sebesar 199.405trip/tahun. Berdasarkan analisis regresi nilai koefisien korelasi (R) sebesar 0,122 dan koefisien determinasi (R2

Penurunan produktivitas hasil tangkapan (CPUE) dari sumberdaya ikan tembang akibat peningkatan aktivitas penangkapan (effort), demikian juga sebaliknya dapat dilihat pada Gambar 13. Hal ini dapat dibuktikan dengan penambahan effort mencapai effort optimumnya berbanding lurus dengan peningkatan produksi. Sebaliknya penambahan effort melebihi effort optimumnya berbanding terbalik terhadap produksi atau penurunan produksi yang menunjukkan telah terjadi overfishing. Sesuai dengan Widodo dan Suadi (2006), bahwa patokan suatu perikanan tangkap sedang menuju overfishing adalah waktu melaut lebih panjang, lokasi penangkapan semakin jauh, produkstivitas atau laju tangkap (CPUE) cenderung menurun, ukuran ikan sasaran semakin kecil dan biaya operasi penangkapan semakin meningkat.

Gambar 13. Regresi linear antara effort dengan CPUE ikan tembang (model Schaefer)

Hubungan antara catch dengan effort pada sumberdaya ikan tembang ditunjukkan dalam persamaan C = 242,7331463 f – 0,002903777f 2, sedangkan hubungan CPUE dengan effort dengan persamaan CPUE = 242,7331463 – 0,002903777 f. Sementara hubungan CPUE dan effort dengan persamaan regresi linear model Schaefer yaitu y = -0,0029 x + 242,73 dan R2

Sementara penurunan produktivitas hasil tangkapan (ln CPUE) dari sumberdaya ikan tembang akibat peningkatan aktivitas penangkapan (effort) dengan model Fox dapat dilihat pada Gambar 14. Hubungan antara catch dengan

effort dapat ditunjukkan dalam persamaan C= f exp 4,9691769 – 0,0000050155 f.

Sedangkan hubungan ln CPUE dan effort pada sumberdaya ikan tembang dengan persamaan regresi linear y = 0,0000050155x + 4,9692 dan R

= 0,082, yang artinya setiap terjadi peningkatan effort sebanyak 1 trip maka CPUE akan berkurang sebesar 0,0029 kg per trip.

2 = 0,015, yang y = -0.0029x + 242.73 R² = 0.082 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650 0 10000 20000 30000 40000 50000 C P U E ( K g /Tr ip ) Effort (Trip)

artinya setiap terjadi peningkatan effort sebanyak 1 trip maka CPUE akan berkurang sebesar 5 kg per trip.

Hasil analisis pendugaan potensi ikan tembang dengan menggunakan model Schaefer dan Fox, menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) dengan menggunakan model Schaefer lebih besar atau mendekati angka 1 yang artinya hubungan keeratan antara produksi dengan effort lebih kuat, jika dibandingkan dengan nilai koefisien determinasi (R2) model Fox.

Gambar 14. Regersi linear effort dengan ln CPUE ikan tembang (model Fox)

Sesuai dengan Walpole (1995), menyatakan model yang memiliki nilai koefisien determinasi (R2

Produksi sumberdaya ikan tembang di perairan Selat Malaka, Kabupaten Serdang Bedagai (Lampiran 4) pada tahun 2008 sebesar 119,546 ton dengan ) lebih besar menunjukkan model tersebut mempunyai hubungan yang lebih dekat dengan model sebenarnya. Hal ini menunjukkan model Schaefer lebih mewakili untuk pendugaan potensi ikan tembang di perairan Selat Malaka, sehingga dapat dilakukan analisis selanjutya dalam melihat tingkat pemanfaatan, pengupayaan dan tangkapan yang diperbolehkan.

y = 0,000005015x + 4.9692 R² = 0.015 0 1 2 3 4 5 6 7 0 10000 20000 30000 40000 50000 Ln C P U E ( K g /Tr ip ) Effort (Trip)

effort 1.565 trip, sementara pada tahun 2009 produksi menurun (101,052 ton)

dengan effort yang sama. Pada tahun 2010 dengan effort yang meningkat secara signifikan, yaitu sebesar 45.974 trip sehingga produksi sebesar 4.296,9 ton dan pada tahun 2011 effort menurun (34.963 trip), sehingga produksi meningkat mencapai 5.253,2 ton. Sementara pada tahun 2012 effort menurun menjadi 2.729 trip, sehingga produksi juga menurun menjadi 1.575,1 ton. Produksi ikan tembang yang cukup fluktuatif dipengaruhi jumlah unit dan perkembangan teknologi penangkapan yang dioperasikan nelayan dari waktu ke waktu. Menurut Hartoto,

et.al (2009), pola penggunaan alat tangkap/armada penangkapan dapat

berubah-ubah dalam waktu yang sama tergantung dari ketrampilan dan perkembangan teknik penangkapan yang disukai nelayan, serta musim ikan.

Gambar 15. Maximum sustainable yield dan effort optimum ikan tembang (model Schaefer)

Potensi lestari (MSY) untuk sumberdaya ikan tembang di perairan Selat Malaka, Kabupaten Serdang Bedagai sebesar 5.072,65 ton/tahun, sementara effort

2008 2009 2010 2011 2012 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000 5500 6000 0 20000 40000 60000 80000 100000 P ro duk si ( T o n) Effort (Trip) F opt 41.796 MSY 5.072,65 ton/tahun

optimum (f opt) sebesar 41.796 trip/tahun, yang artinya jika effort dilakukan melebihi effort optimum maka akan menurunkan nilai produksi. Berikut kurva potensi lestari terlihat pada Gambar 15, yang menunjukkan bahwa pada tahun 2010 effort (45.974 trip/tahun) dengan produksi 4.296,9 ton/tahun melebihi effort optimum, sehingga produksi lebih kecil dibandingkan dengan tahun 2011 dengan

effort sebesar 34.963 trip/tahun sehingga produksi sebesar 5.253,2 ton/tahun.

Tabel 9. Kondisi ikan tembang tahun 2008-2012

Tahun MSY (Ton/tahun) TAC (Ton/tahun) Produksi (Ton) 2008 223 2009 189 2010 5.072,65 4.058,12 4.296,9 2011 5.253,2 2012 1.575,1 Keterangan :

Upaya penangkapan kurang

Effort optimum Overfishing

Kondisi ini menunjukkan bahwa pada tahun 2010, sumberdaya ikan tembang mengalami overfishing karena tingkat upaya penangkapan yang melebihi

effort optimum sehingga produksi lebih sedikit dibandingkan dengan tahun 2011

(Tabel 9). Hal ini didukung oleh Widodo dan Suadi (2006), yang menyatakan bahwa biological overfishing akan terjadi manakala tingkat upaya penangkapan dalam suatu perikanan tertentu telah melampaui tingkat yang diperlukan untuk menghasilkan potensi maksimum lestari (MSY), namun dapat dicegah dengan melakukan pengaturan upaya penangkapan dan pola penangkapan. Sementara pada tahun 2011 merupakan upaya penangkapan yang paling optimum dilakukan, sehingga produksi sangat tinggi hingga melewati potensi lestarinya. Namun, pada

tahun 2012 kemungkinan dikarenakan usaha untuk menjaga kelestarian sumberdaya perikanan, sehingga effort diturunkan secara signifikan, yang jauh dari nilai effort optimumnya sehingga produksipun jauh menurun.

Pendugaan Tingkat Pemanfaatan dan Pengupayaan

Tingkat pemanfaatan dan pengupayaan sumberdaya ikan tembang di perairan Selat Malaka, Kabupaten Serdang Bedagai dari tahun 2008-2012 dapat dilihat pada Gambar 16. Tingkat pemanfaatan ikan tembang pada tahun 2008 sebesar 2,356% dengan tingkat pengupayaan 3,754%, sementara pada tahun 2009 tingkat pemanfaatan menurun sebesar 0,364% menjadi 1,992% dengan tingkat pengupayaan yang sama, hal ini dapat diartikan bahwa pengupayaan masih sangat perlu ditingkatkan. Tahun 2010 tingkat pemanfaatan meningkat sebesar 82,715% atau menjadi 84,707% seiring peningkatan tingkat pengupayaan sebesar 106,251% menjadi 109,996%. Hal ini menunjukkan tingkat pengupayaan telah melebihi 100%, sehingga tingkat pemanfaatan berlebih atau telah terjadi

overfishing yang dapat mengancam kepunahan terhadap sumberdaya ikan

tembang. Pemanfaatan sumberdaya ikan yang tidak dapat dikendalikan juga dapat diartikan sebagai penurunan hasil tangkapan.

Untuk mengoptimalkan tingkat pemanfaatan, pada tahun 2011 tingkat pengupayaan di turunkan sebesar 26,334% menjadi 83,652%, sehingga tingkat pemanfaatan meningkat sebesar 18,852% dari tahun 2010 menjadi 103,559%. Sesuai dengan komisi pendugaan Stok Ikan Laut Nasional (1997) diacu dalam Murniati (2011), tingkat pemanfaatan tergolong kepada tingkat optimum dengan

hasil tangkapan yang sudah mencapai 66,6%-99,9%, yang artinya penambahan upaya tidak dapat meningkatkan hasil.

Gambar 16. Tingkat pemanfaatan dan tingkat pengupayaan ikan tembang (model Schaefer)

Sementara tahun 2012 tingkat pengupayaan menurun secara signifikan sebesar 77,121% dari tahun 2011, sehingga tingkat pengupayaan menjadi 6,531% dengan tingkat pemanfaatan yang juga menurun sebesar 72,509% menjadi 31,05%, artinya penambahan upaya masih mungkin dilakukan untuk mengoptimalkan pemanfaatan. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada tahun 2011, merupakan pemanfaatan dan tingkat pengupayaan sumberdaya ikan tembang yang cukup optimum. Sesuai dengan Purwanto (2003), pada saat mencapai produksi maksimum sebaiknya nelayan berhenti mengembangkan upaya penangkapan sehingga sumberdaya ikan akan lestari dan pemanfaatan sumberdaya secara biologis berada pada tingkat yang optimum.

Rata–rata pemanfaatan sumberdaya ikan tembang dari tahun 2008-2012 adalah 44,7328% dengan rata-rata tingkat pengupayaan sebesar 41,533%, yang

0 20 40 60 80 100 120 2008 2009 2010 2011 2012 Tahun P e r se n tas e ( %) TPc TPf

artinya tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan tembang di perairan Selat Malaka, Kabupaten Serdang Bedagai masih dalam kondisi lestari, masih dibawah kondisi

overfishing. Sehingga dalam hal ini masih dimungkinkan untuk pengoptimalan

hasil dengan penambahan upaya penangkapan. Tangkapan yang diperbolehkan untuk sumberdaya ikan tembang adalah 80% dari potensi lestarinya yaitu 4.058,12 ton/tahun (Lampiran 6). Sesuai dengan FAO (1995), jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB/TAC) adalah delapan puluh persen dari potensi maksimum lestarinya (MSY).

Status Keberlanjutan Ikan Tembang

Status keberlanjutan sumberdaya ikan tembang dapat dilihat dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan yang terdiri dari beberapa atribut sebagai indikator keberlanjutan perikanan. Analisis kriteria keberlanjutan menggunakan permodelan bendera dengan menghitung frekuensi bendera berdasarkan ambang batas kritis (Crritical thershold Value/CTV) ditunjukkan pada Tabel 9, sementara skenario keberlanjutan perikanan dapat dilihat pada Lampiran 8.

Tabel 10. Persentase keberlanjutan dari tiap atribut

Dimensi Atribut Persentase Ket

3 2 1

Ekologi Status eksploitasi 100% - -

Rentang migrasi 42,857% 10,204% 46,938% Tingkatan kolaps 1,02% 75,51% 23,469% Jumlah spesies tangkapan - 100% - Ukuran ikan tangkapan 28,571% 55,102% 16,326% Perubahan

tingkat tropik

3,061% 64,285% 32,653% Tangkapan belum dewasa 28,871% 45,918% 25,51% Ekonomi Harga jual 44,898% 37,755% 17,346%

Tingkat pendapatan 2,04% 26,53% 71,428% Sumber pendapatan lain 65,306% 21,428% 13,265%

Dimensi Atribut Persentase Ket

3 2 1

Pasar utama 3,061% 11,224% 85,714%

Subsidi 13,265% 15,306% 71,428%

Sosial Pola kerja 36,734% 10,204% 53,061%

Rumah tangga nelayan - 100% -

Pengalaman nelayan 5,102% 19,387% 75,51% Pelaku usaha baru 46,938% 30,612% 22,449% Status konflik 17,346% 28,571% 54,081% Kontribusi pendapatan 25,51% 52,04% 22,449% Kesadaran lingkungan 39,795% 54,081% 6,122% Partisipasi keluarga 4,081% 43,877% 52,04% Teknologi Ukuran Kapal 13,265% 62,244% 24,489%

Lama trip - - 100% Rumpon 52,04% 41,836% 6,122% Tempat pendaratan 100% - - Penanganan di perahu 7,142% 4,081% 88,775% Pengolahan pra-jual - - 100% Perubahan kapasitas tangkap 30,612% 52,04% 17,346% Selektivitas alat tangkap 12,244% 82,653% 5,102% Kelembagaan Ketersediaan aturan 3,061% 47,959% 48,979%

Lembaga pelaksana (formal/non formal) 1,02% 75,51% 23,469% Penegakan aturan 17,346% 38,775% 43,877% Pelabuhan perikanan - - 100% Pelibatan nelayan - - 100%

KUD dan Lembaga Keuangan Mikro 3,061% 30,612% 66,326% Kelompok nelayan 21,428% 2,04% 76,53% IUU fishing 10,204% 22,449% 67,346% Keterangan : 67% - 100% = Keberlanjutan 34% - 66% = Cukup berkelanjutan 0 - 33% = Tidak berkelanjutan

Data di atas menjelaskan bahwa atribut yang paling mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi adalah status eksploitasi yang masih dibawah kisaran tangkapan maksimum lestari dan tingkat pemanfaatan yang masih tergolong sedang. Kondisi ini menunjukkan sumberdaya ikan tembang masih Tabel 10. Lanjutan..

lestari dan berada dibawah kondisi overfishing. Hal ini sesuai dengan Djamali (2007), yang menyatakan bahwa tingkat eksploitasi dinilai mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi karena berbanding terbalik dengan ketersediaan stok ikan di perairan. Selanjutnya dipengaruhi oleh rentang migrasi, yang mana para nelayan lebih banyak melakukan penangkapan sampai 2 mil laut dibandingkan sampai 4 mil laut. Ukuran ikan tangkapan dan tangkapan belum dewasa cukup berkelanjutan, sedangkan perubahan tingkat tropik, jumlah spesies tangkapan dan tingkat kolaps tidak berkelanjutan.

Sementara yang paling mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekonomi adalah atribut sumber pendapatan lain, sebab masyarakat nelayan pada umumnya

one day trip, artinya berangkat dan pulang dalam satu hari, sehingga tingkat

pendapatan masyarakat nelayan Serdang Bedagai pada masih tergolong rendah dalam sektor perikanan. Selanjutanya serapan tenaga kerja lebih dari 50% dalam sektor perikanan, harga jual yang biasanya berkisar ± Rp. 10.000,-/kg dan kepemilikan usaha cukup berkelanjutan. Sedangkan kepemilikan usaha, subsidi dari pemerintah, pasar utama yang merupakan pemasaran lokal, tingkat pendapatan sekitar 71% masyarakat nelayan lebih kecil dari dua juta rupiah dan kontribusi terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) tidak mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekonomi. Hal ini sesuai dengan BPS Serdang Bedagai (2007), PDRB sektor perikanan rata-rata hanya 9,13% dari tahun 2003-2006.

Dimensi sosial yang paling mempengaruhi adalah pelaku usaha baru, kesadaran lingkungan tentang kelestarian sumberdaya yang masih rendah oleh masyarakat nelayan dan pola kerja nelayan yang umumnya individual. Sedangkan kontribusi pendapatan, status konflik, pengalaman nelayan, partisipasi keluarga

dan rumah tangga nelayan tidak berkelanjutan atatu tidak terlalau mempengaruhi keberlanjutan dimensi sosial.

Atribut yang paling mempengaruhi dimensi teknologi adalah tempat pendaratan ikan di desa mereka sendiri, sehingga produksi perikanan tidak dipasarkan di luar daerah atau skala Nasional. Sedangkan pola penangkapan ikan tanpa menggunakan alat bantu penangkapan seperti rumpon juga mempengaruhi keberlanjutan dimensi teknologi, sehingga produksi tidak terlalu tinggi. Perubahan kapasitas penangkapan, ukuran kapal, selektivitas alat tangkap yang digunakan, penanganan di perahu, lama trip dan pengolahan pra-jual tidak mempengaruhi keberlanjutan dimensi teknologi. Hal ini disebabkan oleh ukuran kapal yang kecil, alat tangkap yang kurang selektif, one day trip dan tidak adanya pengolahan hasil tangkapan sebelum dijual menyebabkan hasil tangkapan yang sedikit dan harga jualnya juga tidak terlalu tinggi.

Sementara atribut dimensi kelembagaan tidak ada yang mempengaruhi keberlanjutannya, sebab tidak adanya ketersediaan dan penegakan aturan, tidak adanya lembaga pengelolaan, pelabuhan perikanan dan pelibatan nelayan dalam penyusunan aturan, kelompok nelayan dan lembaga keuangan mikro yang pasif. Untuk meningkatkan status keberlanjutan tiap dimensi, perlu dilakukan perbaikan terhadap tiap atribut yang paling mempengaruhi nilai indeks tersebut.

Analisis dimensi ekologi terdapat 14,286 jumlah bendera yang berkelanjutan, 14,286 jumlah bendera yang cukup berkelanjutan dan 6,705 jumlah bendera yang tidak berkelanjutan (Gambar 17). Dimensi ekonomi sebesar 12,245 jumlah bendera yang berkelanjutan, 4,719 jumlah bendera yang cukup berkelanjutan dan 10,714 jumlah bendera yang tidak berkelanjutan. Dimensi

sosial sebesar 5,867 jumlah bendera yang berkelanjutan, 10,077 jumlah bendera yang cukup berkelanjutan dan 9,438 jumlah bendera yang tidak berkelanjutan. Sementara dimensi teknologi dan kelembagaan sebesar 12,5 jumlah bendera yang berkelanjutan dan tidak berkelanjutan. 10,322 jumlah bendera yang cukup berkelanjutan untuk dimensi teknologi dan 9,438 jumlah bendera untuk dimensi kelembagaan. Hal ini menunjukkan bahwa untuk dimensi ekologi, teknologi dan kelembagaan untuk sumberdaya ikan tembang termasuk kedalam kategori tidak berkelanjutan. Sementara dimensi ekonomi dan sosial termasuk kedalam kategori cukup berkelanjutan.

Gambar 17. Keberlanjutan ikan tembang

Dimensi teknologi tidak berkelanjutan yang artinya pemanfaatan sumberdaya ikan tembang di perairan Selat Malaka untuk wilayah kewenangan Kabupaten Serdang Bedagai belum memperhatikan teknologi yang digunakan oleh para nelayan agar sumberdaya ikan tembang tetap lestari. Salah satu faktor yang cukup besar mempengaruhi kurangnya keberlanjutan dimensi teknologi terletak pada atribut selektivitas alat tangkap, yaitu ukuran minimum mata jaring

0 2 4 6 8 10 12 14 16 Eko log i Eko nom i Sos ial Tekn ologi Kel embag aan Dimensi J um la h B ende ra berkelanjutan cukup berkelanjutan tidak berkelanjutan

yang digunakan oleh para nelayan 1 inci untuk alat tangkap jaring insang hanyut. Seharusnya untuk jalur penangkapan ikan I, sesuai dengan PER.02/MEN/2011 ukuran mesh size > 1,5 inci untuk alat tangkap jaring insang hanyut, mesh size ≥ 2 untuk alat tangkap payang, mesh size ≥ 1 untuk alat tangkap pukat cincin dan mata pancing nomor 6 untuk rawai dasar. Selain itu, menurut Nababan (2007), penggunaan alat tangkap yang selektif disamping bermanfaat bagi pengelolaan sumberdaya perikanan, juga bermanfaat secara ekonomi. Hal ini dikarenakan alat tangkap yang selektif diharapkan akan diperoleh ukuran ikan sesuai dengan kebutuhan pasar dan mengurangi resiko ikan tidak laku di pasar.

Selanjutnya dimensi kelembagaan yang tidak berkelanjutan, dengan salah satu faktor yang mempengaruhi adalah atribut jumlah lembaga yang ada namun tidak berfungsi secara aktif dan kurangnya aturan dalam pengelolaan perikanan baik formal maupun non formal. Dalam hal ini, perlu kerja sama antar nelyan

Dokumen terkait