• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Dayasaing Komoditi Udang Negara Eksportir di Pasar Amerika Serikat Tahun 1992 – 2012

Daya Saing suatu komoditi ekspor negara dapat dilihat dengan menggunakan analisis RCA. Analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) dalam penelitian ini digunakan untuk melihat keunggulan komparatif komoditi udang setiap negara eksportir. Tabel dibawah menunjukkan hasil estimasi RCA sepuluh negara eksportir udang ke Amerika selama periode 1992 – 2012.

Hasil estimasi nilai RCA sepuluh negara eksportir merepresentasikan bagaimana dayasaing antarnegara eksportir di pasar Amerika. Nilai RCA terbesar selama periode 1992 – 2012 yaitu Peru, namun belum berarti Peru memiliki pangsa pasar yang besar di Amerika. Jika diurutkan dari tertinggi hingga terrendah yaitu Peru, Thailand, Malaysia, Indonesia, Singapore, India, Mexico, China, Colombia, dan Canada. Rata-rata nilai RCA negara eksportir selama periode 1992 – 2012 yaitu Thailand sebesar 2.75, Indonesia sebesar 2.27, Peru sebesar 3.19, India sebesar 1.53, Kanada sebesar 0.16, Mexico sebesar 1.15, Malaysia sebesar 2.74, China sebesar 1.11, Colombia sebesar 0.67, dan Singapore sebesar 2.04.

Nilai RCA setiap negara eksportir berfluktuasi. Hal ini dapat dikarenakan adanya faktor-faktor yang mengurangi atau menambah jumlah permintaan impor udang oleh Amerika. Negara Thailand terus mengalami peningkatan nilai RCA walaupun pada tahun 2004 mengalami penurunan yang drastis. Hal ini dikarenakan dugaan bahwa Thailand sebagai negara yang termasuk salah satu dari daftar negara anti-dumping sehingga terjadi penurunan ekspor. Namun, tahun- tahun selanjutnya menunjukkan peningkatan yang baik karena Thailand membuktikan bahwa produk udang yang diekspor bukan merupakan produk buangan dan tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah.

Indonesia pada tahun 1993 hingga 1998 tidak memiliki dayasaing dengan negara-negara eksportir lainnya. Hal ini disebabkan akses pasar komoditi ekspor udang di Amerika Serikat mengalami banyak kendala yang terutama akibat ketatnya persyaratan teknis yang harus dilalui, khususnya yang berkaitan dengan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Points). HACCP yang dikeluarkan oleh FDA (Food & Drug Administration) merupakan instrumen yang mengatur standar keamanan makanan (Food Safety Standard). Peningkatan nilai RCA pada awal tahun 2000 menunjukkan bahwa Indonesia telah mampu memproduksi udang dalam jumlah yang banyak dan terjamin keamanannya.

Peru dan Mexico merupakan negara bagian Amerika Latin. Nilai RCA kedua negara tersebut lebih besar dari satu. Artinya Peru dan Mexico memiliki keunggulan komparatif pada komoditi udang. Negara Mexico merupakan salah satu eksportir utama ke Amerika. Penurunan nilai RCA dari Mexico lebih disebabkan oleh banyaknya impor udang dari negara-negara eksportir lainnya.

Namun, Mexico tetap baik dalam mengekspor jumlah produk udangnya ke Amerika.

Canada merupakan salah satu negara yang bagian Amerika Utara yang memiliki nilai RCA kurang dari satu. Artinya Canada tidak memiliki keunggulan komparatif pada komoditi udang. Hal ini dikarenakan Amerika Utara mengalami kepunahan hewan laut yang setiap dekadenya punah sebanyak 4 persen sehingga jumlah udang yang diekspor ke Amerika maupun ke dunia sangat sedikit. Lain halnya dengan negara Colombia. Tahun 1990-an Colombia yang merupakan bagian dari Amerika Latin merupakan salah satu pemasok utama ke Amerika. Sejak tahun 1998 Colombia tidak memiliki keunggulan komparatif pada komoditi udang. Hal ini disebabkannya dampak white spot syndrome viruses (WSSV) sehingga beberapa industri udang di Colombia tutup dan mengurangi jumlah ekspornya ke Amerika.

Malaysia pada tahun 1992 – 2003 tidak memiliki keunggulan komparatif dalam komoditi udangnya. Nilai RCA terendah terjadi pada tahun 1998. Hal ini dikarenakan Amerika mendapatkan pelarangan impor udang dan produk udang dari Malaysia karena ketidakpatuhan dan diduga sebagai penurunan nilai manfaat. Sedangkan negara Singapore pada tahun 1990-an merupakan negara eksportir yang tidak begitu dipandang oleh Amerika. Dibandingkan dengan Sembilan negara ekspotir udang lainnya, Singapore mengekspor udang paling sedikit setiap tahunnya. Namun, semenjak diberlakukannya kebijakan free trade agreements pada tahun 2004 permintaan udang dari negara Singapore semakin meningkat sehingga nilai RCA dimulai tahun 2004 menjadi lebih besar dari satu.

China mengalami dampak dari adanya white spot syndrome viruses (WSSV) pada tahun 1993 yang telah kehilangan US$1 milliar sehingga mengalami penurunan nilai RCA. India pada tahun 1990-an tidak memiliki keunggulan komparatif untuk mengekspor udangnya. China dan India mengalami penurunan nilai RCA semenjak tahun 2004 dapat disebabkan oleh pemberlakuan kebijakan anti-dumping yang ditetapkan oleh negara Amerika.

Pada tahun 2012, negara-negara eksportir mengalami penurunan jumlah ekspor. Hal ini dikarenakan virus EMS yang menyerang beberapa negara terutama Thailand, Malaysia, dan China sehingga Amerika menurunkan jumlah impor udangnya terhadap negara-negara yang terjangkit virus EMS maupun negara yang berdekatan dengan negara yang terjangkit virus tersebut. Indonesia sempat masuk kedalam daftar negara yang terjangkit virus EMS namun hal tersebut tidak terbukti setelah dilakukannya pengujian, serta ekspor udang Indonesia ke dunia mengalami penurunan. Oleh karena itu, nilai RCA pada Indonesia mengalami peningkatan.

Dampak Kebijakan Terhadap Perdagangan Impor Udang di Amerika Serikat

Berdasarkan hasil estimasi model, nilai dummy untuk masing-masing kebijakan yaitu bernilai negatif. Nilai D=1 diberikan kepada negara yang mendapatkan kebijakan pada tahun tersebut sedangkan nilai D=0 diberikan pada tahun yang tidak mendapatkan kebijakan. Nilai variabel dummy untuk kebijakan antidumping tariff yaitu 0.698640 dan dummy untuk kebijakan free trade agrrements bernilai 1.598229 dan berpengaruh secara signifikan terhadap taraf

nyata 5 persen. Hasil ini merepresentasikan bahwa sejak kebijakan antidumping tariff dan free trade agreements diberlakukan, permintaan impor udang dari negara yang mendapat kebijakan secara garis besar mengalami penurunan bila dibandingkan dengan permintaan impor udang sebelum diberlakukannya kebijakan-kebijakan tersebut. Ketika diberlakukannya kebijakan antidumping tariff membuat jumlah permintaan impor menurun sebesar 0.698640 persen, ceteris paribus. Sedangkan dengan ditetapkannya kebijakan free trade agreements yang juga berlaku pada beberapa eksportir udang maka jumlah permintaan impor udang dari Amerika menurun sebesar 1.598229 persen, ceteris paribus. Diterapkannya kebijakan free trade agreements dan implikasinya kepada negara pengekspor udang ke Amerika memberikan hasil yang berbeda secara hipotesis. Kebijakan FTA seharusnya memberikan dampak positif atau peningkatan dalam sistem perdagangan terutama jumlah impor udang. Namun, hasil yang diperoleh merepresentasikan bahwa kebijakan FTA menurunkan jumlah impor. Hal ini dikarenakan kebijakan FTA secara umum tidak berlaku atas perdagangan udang antara Amerika dengan negara pengekspor udang.

Kebijakan pemerintah Amerika terhadap perdagangan multilateral (internasional) mempengaruhi negara tujuan ekspor dan impor Amerika. Kebijakan perdagangan impor udang dari Amerika memberikan dampak yang cukup besar kepada negara eksportir, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penurunan nilai RCA yang begitu besar pada negara China salah satunya diakibatkan oleh ditetapkannya kebijakan antidumping tariff dari Amerika atas tuduhan terhadap harga udang bersubsidi. Hal ini menguntungkan beberapa negara Asia lainnya seperti Indonesia, Singapore, dan Malaysia yang meningkatkan ekspor produk udang ke Amerika sehingga nilai RCA Indonesia dan Malaysia mengalami peningkatan yang drastis. Berbeda dengan negara Thailand, ditetapkannya kebijakan antidumping tariff tidak mempengaruhi permintaan masyarakat Amerika terhadap impor udang Thailand yang dapat dilihat dari nilai RCA Thailand dimana volume ekspor udang Thailand masih dalam jumlah yang besar sehingga kebijakan antidumping tariff tidak berlaku bagi negara Thailand. India merupakan salah satu dari enam negara yang termasuk dalam daftar negara dengan harga ekspor udang bersubsidi. Dengan ditetapkannya kebijakan antidumping tariff mampu menurunkan nilai RCA India di Amerika namun masih memiliki keunggulan komparatif yang kuat. Kebijakan antidumping tariff memberikan keuntungan kepada industri pemasok udang di Amerika seperti Peru dan Mexico yang dapat meningkatkan produksinya untuk konsumsi Amerika Serikat sehingga meningkatkan nilai RCA masing-masing negara.

Dampak kebijakan perdagangan free trade agreements Amerika Serikat dengan beberapa negara di dunia secara tidak langsung mempengaruhi perdagangan impor udang dari Amerika. FTA Amerika Serikat memberikan keleluasan dalam melakukan perdagangan (penghapusan hambatan perdagangan) sehingga meningkatkan ekspor yang dapat dilihat dari nilai RCA negara eksportir udang. Salah satu contoh yaitu negara Singapore, dengan dibuatnya FTA Amerika Serikat – Singapore mampu meningkatkan nilai ekspor udang Singapore ke Amerika serta mampu meningkatkan nilai impor Amerika. FTA Amerika Serikat - Peru juga semakin menguntungkan negara Peru untuk terus meningkatkan produk ekspornya terutama ekspor udang yang dapat dilihat pada nilai RCA lebih dari satu sehingga memiliki keunggulan komparatif sangat kuat. Akan tetapi, FTA

Amerika Serikat tidak selalu memberikan dampak terhadap negara-negara eksportir udang ke Amerika. Seperti Colombia dan Canada yang melakukan FTA dengan Amerika Serikat namun jika dilihat dari nilai RCA masing-masing negara setiap tahunnya cenderung mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan industri udang di masing-masing negara telah kehilangan kualitas dan produksi udangnya sehingga mengalami kebangkrutan hingga punah. Oleh karena itu, FTA Amerika Serikat dengan Kanada dan Kolombia lebih berpengaruh pada produk komoditas ekspor dan impor lainnya.

Dalam terjadinya perdagangan internasional, suatu negara pasti menetapkan kebijakan yang berguna untuk melindungi kondisi negaranya dan juga untuk mendapatkan keuntungan dari kebijakan yang dibuat. Kebijakan tersebut dibuat berdasarkan keadaan yang sedang terjadi dan bagaimana akan terjadi di masa depan sehingga mencegah kerugian. Dalam perdagangan internasionalnya Amerika menetapkan kebijakan dengan beberapa negara untuk mempermudah melakukan ekspor dan impor. Kebijakan tersebut salah satunya berupa kebijakan antidumping tariff untuk perdagangan impor udang yang dilakukan Amerika, Kebijakan ini diterapkan pada beberapa negara yang diduga mendapat subsidi dari pemerintahnya sehingga harga udang menjadi murah di pasar Amerika. Amerika menetapkan persentase harga minimum dan harga maksimum yang dapat diterapkan suatu negara dalam menentukan harga udangnya di pasar Amerika. Kebijakan lainnya yaitu berupa kebijakan free trade agreements yangmana kebijakan ini bersifat umum (baik ekspor maupun impor dengan semua jenis komoditi). Amerika sangat menyetujui adanya perdagangan bebas yang multilateral sehingga memudahkan terjadinya perdagangan dan saling menguntungkan. Free Trade Agreements ini telah dilakukan pada sejumlah negara.

Kebijakan antidumping tariff dan free trade agreements mempengaruhi perdagangan impor udang yang dilakukan oleh Amerika baik secara khusus maupun secara umum. Dampak kebijakan antidumping tariff yang dibuat Amerika pada tahun 2005 kepada beberapa negara eksportir udang dapat langsung dirasakan. Seperti negara China, sebelum terjadinya kebijakan antidumping tariff permintaan impor udang dari Amerika di negara China sangat tinggi yang dapat dilihat pada nilai RCA China yang lebih besar dari satu, namun setelah terjadinya kebijakan tersebut permintaan akan udang China menurun sangat drastis dilihat pada nilai RCA yang kurang dari satu. Hal ini menjelaskan bahwa negara China memperoleh subsidi atas harga udang di pasar Amerika. Hal ini berbeda kepada negara Thailand, walaupun negara Thailand termasuk daftar negara yang mendapatkan kebijakan antidumping tariff namun permintaan jumlah udang dari Thailand tetap besar. Hal ini menjelaskan bahwa Thailand terlepas dari tuduhan sebagai negara yang mendapatkan subsidi dari pemerintah atas harga udang. Hal lain juga menjelaskan bahwa, masyarakat Amerika cenderung lebih memilih mengeluarkan pendapatannya untuk produk udang yang berasal dari Thailand. Sehingga ada atau tidak adanya kebijakan yang dibuat untuk negara Thailand tidak mempengaruhi jumlah permintaan udang dari Thailand. India mendapatkan kebijakan antidumping tariff dari Amerika. Dampak dari kebijakan tersebut dapat dilihat pada penurunan jumlah permintaan impor udang dari Amerika namun tidak drastis. Hal ini dapat terjadi karena udang India tidak begitu banyak mendapatkan subsidi dari pemerintah dan India merupakan negara pengekspor

udang terbesar ke Amerika setelah Thailand. Dampak dibuatnya kebijakan antidumping tariff dapat dirasakan negara-negara lain terutama Canada, Colombia, dan Mexico. Peningkatan jumlah permintaan impor udang dari Amerika terhadap Mexico meningkat walaupun tidak dalam jumlah yang besar sejak disahkannya kebijakan tersebut. Berbeda dengan Mexico, pasokan udang dari Canada dari tahun ke tahun menurun, hal ini dikarenakan punahnya jenis perikanan di Canada termasuk udang.

Amerika merupakan negara yang mendukung dilakukannya perdagangan multilateral. Oleh karena itu, untuk mempermudah transaksi ekspor dan impor yang dilakukan Amerika dengan beberapa negara maka dibuat kebijakan berupa free trade agreements. Kebijakan ini mentolerir hambatan dalam perdagangan namun tidak saling merugikan antarnegara. Beberapa negara eksportir udang juga termasuk dalam daftar mitra yang berkomitmen dalam free trade agreements seperti Peru, Singapore, Colombia, Mexico, dan Canada. Sejak diberlakukannya kebijakan free trade agreements yang berlaku untuk semua komoditas yang diperdagangkan terutama udang, ada negara yang mengalami penurunan dan mengalami peningkatan. Pada negara Peru dan Singapore mengalami peningkatan jumlah permintaan impor udang dari Amerika. Semenjak diberlakukannya kebijakan tersebut, Singapore menyumbang sebesar 1 persen dari nilai impor Amerika Serikat. Kebijakan tersebut juga menguntungkan negara Peru yangmana merupakan bagian Amerika Latin sehingga untuk memasok komoditasnya termasuk udang lebih mudah dan biaya juga lebih rendah sehingga meningkatkan jumlah udang yang diekspor ke Amerika Serikat. Negara Mexico dan Canada tergabung dalam FTA berupa perjanjian NAFTA yaitu perjanjian perdagangan bebas yang bekerjasama dengan negara bagian Amerika Utara. Hal ini menguntungkan bagi negara Mexico yang merupakan pasokan udang terbesar dari Amerika Utara karena dapat mengurangi hambatan untuk mengekspor udangnya ke Amerika Serikat. Sedangkan pada negara Canada mengalami penurunan akibat kepunahan lingkungan perikanan termasuk udang sehingga walaupun kebijakan FTA Amerika Serikat berkomitmen dengan Canada namun jumlah permintaan impor udang dari Canada terus menurun. Dampak dari kebijakan NAFTA dapat dilihat pada kondisi lain dimana Canada dapat mengekspor atau mengimpor komoditi lain ke dan/atau dari Amerika yang dapat saling menguntungkan.

Permintaan impor yang dilakukan oleh suatu negara didorong oleh faktor- faktor yang menyebabkan permintaan impor udang meningkat atau menurun. Pada penelitian ini membahas faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat permintaan impor udang Amerika Serikat. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor secara internal berupa GDP riil negara Amerika, GDP per kapita negara eksportir, indeks harga konsumen, nilai tukar mata uang (kurs), dan jarak ekonomi. Kemudian, faktor-faktor yang mempengaruhi secara eksternal seperti krisis ekonomi Amerika, kebijakan perdagangan udang yaitu antidumping, dan kebijakan free trade agreements yang akan dilihat pengaruhnya terhadap perdagangan udang di Amerika. Penelitian ini menggunakan metode Gravity Model dengan alat analisis Eviews 7. Dari data-data yang diperoleh dan telah diolah serta telah diestimasi, model terbaik yang digunakan yaitu menggunakan fixed effect method karena terjadinya penolakan H0 dimana nilai probability lebih

kecil dari 5 persen ( = 5%) pada Uji Chow dan Uji Haussman. Kemudian, dilakukan pembobotan pada hasil estimasi model dengan fixed effect method yang

dapat menghapus permasalahan dalam model seperti multikolinearitas, heterokedastisitas, dan autokorelasi sehingga memberikan hasil dari model terbaik yang digunakan.

Tabel 9. Hasil estimasi faktor-faktor permintaan impor Amerika

Variabel Koefisien Probabilitas

Konstanta 9.662833 0.0000

GDP riil Amerika 0.124842 0.0000

GDP per Kapita Eksportir 0.796797 0.0000

Kurs -0.897787 0.0000

Indeks Harga Konsumen -0.617381 0.0000

Jarak Ekonomi -0.136077 0.0006

Krisis Ekonomi Amerika -0.000764 0.9881

Kebijakan Antidumping Tariff -0.698640 0.0000

Kebijakan FTA -1.598229 0.0000

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)

Weight Statistic R-squared 0.977652 F-statistic 494.0804 Sum-squared resid 204.8967 Durbin-Watson stat 1.411988 Unweight Statistic R-squared 0.848101 Sum-squared resid 126.6049 Durbin-Watson stat 0.446585

Berdasarkan persamaan regresi tersebut dapat dilihat nilai dari setiap variabel. Konstanta dengan koefisien 0 bernilai positif yaitu 9.662833 yang

artinya apabila variabel-variabel independent sama dengan nol maka diperkirakan tingkat permintaan impor udang akan meningkat. Hasil olah data menunjukkan nilai F (value) sebesar 494.0804 dengan signifikansi F lebih kecil dari taraf nyata 5 persen (0.000 < 0.05) memberikan informasi tentang signifikansi model pada taraf kepercayaan 95 persen ( = 5%), hal ini berarti model yang digunakan signifikan secara statistik karena P < . Sehingga model regresi dapat digunakan karena sudah bersifat signifikan.

Besarnya daya ramal model dapat dijelaskan dengan nilai R-squared sebesar 0.977652 yang berarti model mempunyai daya ramal sebesar 97.77 persen atau sekitar 97.77 persen variasi tingkat permintaan impor udang dari Amerika dapat dijelaskan oleh model. Artinya variasi perubahan tingkat permintaan impor udang dari Amerika dipengaruhi oleh variabel GDP perkapita Amerika, GDP perkapita negara eksportir, jarak ekonomi, kurs, indeks harga konsumen, krisis ekonomi Amerika, kebijakan antidumping, dan kebijakan free trade agreements, sedangkan sisanya sebesar 2.23 persen dijelaskan oleh faktor lain yang tidak dimasukkan dalam model analisa.

Pada uji normalitas, nilai Jarque-Bera dan probability yang diperoleh dari hasil pengolahan data lebih besar dari taraf nyata ( = 5%). Nilai Jarque-Bera sebesar 0.38 persen dengan nilai probability sebesar 0.82 persen. Artinya, error term didalam model telah terdistribusi secara normal. Berdasarkan hasil estimasi dapat dilihat permasalahan heterokedastisitas dan autokorelasi. Karena model telah menggunakan GLS Cross-section SUR maka permasalahan

heterokedastisitas pada model tersebut dianggap teratasi. Masalah autokorelasi dapat dilihat pada nilai Durbin-Watson statistik yang menunjukkan nilai sebesar 1.41. Estimasi dengan pendekatan GLS Cross Section SUR juga telah mengatasi permasalahan autokorelasi pada model tersebut. Uji multikolinearitas dapat dilihat pada nilai korelasi antarvariabel yang terdapat di dalam model (dapat dilihat pada lampiran). Model menunjukkan adanya permasalahan multikolinearitas apabila korelasi antarvariabel mempunyai nilai lebih dari 0.9. Pada hasil pengolahan data ditemukannya nilai korelasi antarvariabel yang melebihi nilai 0.9, namun nilai korelasi tersebut tidak melebihi nilai R-squared sehingga model terbebas dari permasalahan multikolinearitas.

Gross Domestic Product (GDP) riil Amerika

Berdasarkan teori ekonomi, GDP riil Amerika merepresentasikan daya beli masyarakat Amerika. Hasil estimasi yang diperoleh menunjukkan bahwa variabel GDP riil Amerika berpengaruh signifikan terhadap taraf nyata 5 persen dengan nilai koefisien sebesar 0.124842 yang bernilai positif. Artinya, apabila terjadi kenaikan satu persen GDP riil negara Amerika maka meningkatkan permintaan impor udang kepada negaara eksportir sebesar 0.124842 persen, ceteris paribus. Nilai koefisien GDP riil Amerika yang diperoleh dari hasil estimasi merupakan nilai yang cukup kecil. Artinya, impor udang akan tetap dilakukan oleh Amerika walaupun nilai GDP riil Amerika mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan udang menjadi makanan laut utama yang dikonsumsi masyarakat Amerika serta bersedia membeli walaupun terjadi peningkatan harga atau penurunan daya beli masyarakat terhadap produk udang negara eksportir yang dipercaya Amerika, seperti Thailand. Oleh karena itu, seberapa besar terjadinya peningkatan GDP riil Amerika dapat meningkatkan impor udang dalam jumlah yang besar juga.

Gross Domestic Product (GDP) per Kapita Negara Eksportir

Berdasarkan teori ekonomi, GDP per kapita merepresentasikan pendapatan perkapita masyarakat di suatu negara. Hasil estimasi yang diperoleh menunjukkan bahwa variabel GDP perkapita negara ekspotir berpengaruh signifikan terhadap taraf nyata 5 persen dengan nilai koefisien sebesar 0.796797 yang bernilai positif. Artinya, apabila terjadi kenaikan satu persen pendapatan perkapita negara eksportir maka meningkatkan permintaan impor udang dari Amerika sebesar 0.796797 persen, ceteris paribus. Angka yang diperoleh disebabkan oleh nilai GDP perkapita negara eksportir seperti Thailand, Canada, Singapore, Peru, Malaysia, dan Mexico sangat besar yang mempengaruhi peningkatan produksi udang dari negara tersebut. Peningkatan atau penurunan produksi negara eksportir akan meningkatkan atau menurunkan permintaan impor dari Amerika dalam jumlah yang sangat besar hingga dapat mencapai jumlah yang diproduksi negara eksportir.

Nilai Tukar Mata Uang Asing (Kurs)

Hasil estimasi model menunjukkan koefisien variabel nilai tukar mata uang negara eksportir terhadap dollar Amerika Serikat berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5 persen dengan nilai koefisien 0.897787 yang bernilai negatif. Artinya, apabila nilai tukar mata uang negara eksportir menguat terhadap dollar Amerika Serikat sebesar satu persen maka akkan menurunkan jumlah permintaan impor udang dari Amerika sebesar 0.897787 persen, ceteris paribus. Nilai tukar

mata uang asing dalam perdagangan internasional sangat penting karena dijadikan sebagai penyetara nilai dua mata uang yang berbeda. Nilai tukar mata uang hasil estimasi menunjukkan angka yang sangat besar dikarenakan perbedaan mata uang yang cukup besar juga seperti antara Amerika dengan Canada, Peru, dan Singapore. Nilai tukar mata uang negara tersebut dengan Amerika hampir bernilai satu sedangkan negara lainnya memiliki nilai tukar mata uang yang rendah. Oleh karena itu, nilai tukar mata uang memiliki pengaruh yang besar dalam perdagangan. Terjadinya peningkatan atau penurunan nilai tukar mata uang akan menurunkan atau meningkatkan impor dalam jumlah yang sangat besar.

Indeks Harga Konsumen Negara Eksportir

Berdasarkan teori ekonomi, indeks harga konsumen merepresentasikan daya beli konsumen terhadap barang dan jasa. Hasil estimasi yang diperoleh menunjukkan bahwa variabel indeks harga konsumen berpengaruh signifikan terhadap taraf nyata 5 persen dengan nilai koefisien 0.617381 yang bernilai negatif sesuai dengan teori. Artinya, apabila indeks harga konsumen negara konsumen meningkat sebesar satu persen maka akan menurunkan jumlah permintaan impor udang dari Amerika sebesar 0.617381 persen, ceteris paribus. Semakin tinggi indeks harga konsumen mengharuskan daya beli masyarakat tersebut tinggi terhadap udang akibatnya jumlah permintaan impor udang dari Amerikan menurun. Angka yang diperoleh dari hasil estimasi dikarenakan setiap

Dokumen terkait