Analisis Daya Saing, Efisiensi, dan Dampak Kebijakan Pemerintah Efisiensi dan daya saing komoditas susu yang dihasilkan oleh peternakan sapi perah rakyat di Desa Singosari dapat dianalisis dengan menggunakan Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix/PAM). Matriks PAM disusun berdasarkan data penerimaan, biaya produksi, dan keuntungan yang terbagi dalam 2 bagian, yaitu nilai finansial (harga privat) dan nilai ekonomi (harga bayangan atau sosial). Masing-masing biaya produksi pada harga privat dan harga sosial dibagi menjadi input asing (tradable) dan domestik (non tradable) berdasarkan Tabel Alokasi Input Output 2000 (Badan Pusat Statistik 2000).
Berdasarkan hasil analisis matriks PAM dapat diperoleh berbagai informasi mengenai efisiensi dan daya saing peternakan sapi perah rakyat dalam menghasilkan susu segar serta melihat sejauh mana dampak kebijakan pemerintah Tabel 23 Harga privat pakan pada peternakan skala besar di Desa Singosari,
Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2013
No. Uraian Satuan Harga per satuan (Rp)
1 Konsentrat Kilogram 1 400.00 2 Polar Kilogram - 3 Ampas tahu Kilogram 550.00 4 Ampas onggok Colt - 5 Katul Kilogram - 6 Singkong Kilogram -
7 Jerami Colt 200 000.00
Gambar 7 Rantai pemasaran susu segar pada peternakan rakyat skala besar di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2013 Frisian Flag KUD Mojosongo 100% Peternak
terhadap pengembangan peternakan sapi perah rakyat di Desa Singosari. Melalui informasi tersebut dapat diperoleh suatu kesimpulan apakah sebaiknya pemerintah mengimpor atau tetap memproduksi komoditas susu dalam negeri. Tabel 24 menunjukkan hasil analisis matriks PAM pada peternakan sapi perah rakyat di Desa Singosari yang terbagi ke dalam skala kecil, menengah, dan besar.
Berdasarkan Tabel 24, melalui perhitungan analisis finansial dan ekonomi dapat dilihat bahwa peternakan sapi perah rakyat di Desa Singosari cukup menguntungkan bagi para peternak skala menengah dan besar. Hal ini dapat dilihat dari keuntungan privat dan sosial yang bernilai positif. Sedangkan bagi peternak skala kecil tidak memperoleh keuntungan baik privat maupun sosial karena tingginya biaya yang dikeluarkan untuk input tradable dan non tradable.
Hasil yang diperoleh dari perhitungan analisis finansial pada harga privat menunjukkan bahwa peternakan sapi perah rakyat di Desa Singosari menghasilkan penerimaan sebesar Rp 3 382.895 per liter pada skala kecil, Rp 3 208.333 per liter pada skala menengah, dan Rp 3 275.000 per liter pada skala besar. Setelah dikurangi dengan biaya input tradable dan non tradable diperoleh keuntungan sebesar Rp 127.521 per liter pada skala menengah dan Rp 526.392 per liter pada skala besar. Sedangkan bagi skala kecil keuntungan bernilai negatif sebesar Rp 2 623.335 per liter.
Selanjutnya, hasil perhitungan analisis ekonomi berdasarkan harga bayangan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 5 228.380 per liter pada skala kecil, skala menengah, dan skala besar sehingga keuntungan yang diperoleh peternak pada skala kecil sebesar Rp (740.326) per liter, skala menengah Rp 2 125.643 per liter, dan skala besar Rp 2 514.712 per liter (Tabel 24). Tingginya keuntungan ekonomi dari komoditas susu disebabkan harga susu di pasar internasional lebih tinggi dibandingkan dengan pasar domestik, sementara harga
Tabel 24 Matriks PAM pada peternakan sapi perah rakyat di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2013
Uraian Output (Rp/liter) Penerimaan Biaya Input (Rp/liter) Keuntungan (Rp/liter) Tradable Non Tradable
Peternakan Sapi Perah Rakyat Skala Kecil
Nilai Finansial 3 382.895 285.645 5 720.584 -2 623.335
Nilai Ekonomi 5 228.380 285.645 5 683.061 -740.326
Efek Divergensi -1 845.485 0.000 37.523 -1 883.009
Peternakan Sapi Perah Rakyat Skala Menengah
Nilai Finansial 3 208.333 161.792 2 919.021 127.521
Nilai Ekonomi 5 228.380 161.792 2 940.946 2 125.643
Efek Divergensi -2 020.047 0.000 -21.925 -1 998.122
Peternakan Sapi Perah Rakyat Skala Besar
Nilai Finansial 3 275.000 38.819 2 709.788 526.392
Nilai Ekonomi 5 228.380 38.819 2 674.849 2 514.712
sarana produksi cenderung lebih rendah. Sedangkan pada peternakan skala kecil diperoleh nilai keuntungan yang negatif.
Efek divergensi yang dihasilkan matriks PAM timbul karena kegagalan pasar atau distorsi kebijakan. Kegagalan pasar terjadi apabila pasar gagal menciptakan suatu competitive outcome dan harga sosial (harga bayangan atau harga efisiensi) sedangkan kebijakan yang distortif dapat terjadi ketika terdapat intervensi pemerintah yang menyebabkan harga privat (harga aktual atau harga pasar) berbeda dengan harga sosial. Tujuan dari adanya kebijakan yang distortif adalah untuk mencapai pemerataan atau ketahanan pangan.
Berdasarkan hasil analisis matriks PAM, dapat dilakukan perhitungan- perhitungan untuk memperoleh nilai-nilai yang akan menjadi indikator daya saing, efisiensi (keunggulan komparatif), dan dampak kebijakan pemerintah yang terbagi menjadi kebijakan output, kebijakan input, dan kebijakan input-output. Tabel 25 menunjukkan indikator-indikator dari hasil analisis matriks PAM.
Analisis Daya Saing dan Efisiensi (Keunggulan Komparatif)
Analisis daya saing dari suatu komoditas ditentukan oleh nilai Keuntungan Tabel 25 Indikator-indikator matriks PAM di Desa Singosari, Kecamatan
Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2013 Indikator Peternakan Rakyat Skala Kecil Skala Menengah Skala Besar Analisis Daya Saing
Keuntungan Privat -2 623.335 127.521 526.39
Keuntungan Sosial -740.326 2 125.643 2 514.712
Rasio Biaya Privat (PCR) 1.847 0.958 0.837 Rasio Biaya Sumberdaya
Domestik (DRCR) 1.150 0.580 0.515
Dampak Kebijakan Pemerintah Kebijakan Output
Transfer Output (TO) (1 845.49) (2 020.047) (1 953.380) Koefisien Proteksi Output
Nominal (NPCO) 0.647 0.614 0.626
Kebijakan Input
Transfer Input (TI) - - -
Koefisien Proteksi Input
Nominal (NPCI) 1.000 1.000 1.000
Transfer Faktor 37.523 (21.925) 34.939
Kebijakan Input-Output Koefisien Proteksi Efektif
(EPC) 0.627 0.601 0.624
Transfer Bersih (NT) (1 883.009) (1 998.122) (1 988.320)
Koefisien Keuntungan (PC) 3.543 0.060 0.209
Rasio Subsidi bagi Produsen
Privat (Private Profitability/PP) dan nilai Rasio Biaya Privat (Private Cost Ratio/PCR). Keuntungan privat yang dihitung dengan menggunakan harga privat merupakan selisih antara penerimaan penjualan susu segar dengan biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi susu yang dihitung berdasarkan harga pasar yaitu harga setelah adanya intervensi dari pemerintah.
Berdasarkan hasil analisis dari matriks PAM, diperoleh keuntungan privat yang bernilai positif atau lebih besar dari nol pada skala menengah dan besar yang berarti peternak yang menjalankan usaha ternak sapi perah tersebut memperoleh profit di atas normal, memperoleh keuntungan privat, dan dapat bersaing pada tingkat harga privat. Sedangkan pada skala kecil diperoleh nilai keuntungan privat yang bernilai negatif yang berarti bahwa peternak tidak memperoleh keuntungan privat dan tidak dapat bersaing pada tingkat harga privat.
Besarnya keuntungan privat yang diperoleh menunjukkan besarnya penerimaan yang diterima oleh peternak setelah membayar seluruh biaya input produksi. Pada peternakan sapi perah rakyat skala kecil diperoleh nilai keuntungan privat sebesar Rp (2 623.335) per liter, skala menengah sebesar Rp 127.521 per liter, dan skala besar sebesar Rp 526.39 per liter yang berarti bahwa keuntungan yang diterima peternak sapi perah dengan adanya kebijakan pemerintah pada saat dilakukan penelitian sebesar Rp (2 623.335) per liter pada skala kecil, skala menengah sebesar Rp 127.521 per liter, dan skala besar sebesar Rp 526.39 per liter.
Diantara ketiga skala usaha, keuntungan privat terbesar diterima oleh peternak sapi perah skala besar. Perbedaan nilai keuntungan privat diantara ketiga skala disebabkan oleh perbedaan penerimaan harga susu, biaya produksi terutama biaya pakan, dan keseimbangan antara kepemilikan sapi produktif dan non produktif. Biaya pakan untuk pengusahaan sapi perah pada skala besar lebih rendah dibandingkan biaya pakan pada pengusahaan sapi perah skala kecil dan menengah. Disisi lain, jumlah sapi non produktif yang harus ditanggung oleh sapi produktif pada skala besar lebih sedikit dibandingkan jumlah sapi non produktif pada skala kecil dan menengah.
Selain analisis keuntungan privat, penilaian daya saing juga dapat ditentukan oleh nilai Rasio Biaya Privat (PCR). PCR merupakan rasio antara biaya input non tradable dengan nilai tambah atau selisih antara penerimaan dan input tradable pada tingkat harga privat. Nilai PCR menunjukkan bagaimana alokasi sumberdaya diarahkan untuk mencapai efisiensi finansial dalam memproduksi susu segar. Suatu aktivitas usaha akan efisien secara finansial jika nilai PCR yang diperoleh lebih kecil dari 1 (PCR<1). Semakin kecil nilai PCR yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat daya saing yang dimiliki.
Berdasarkan hasil analisis dari matriks PAM, nilai PCR yang diperoleh pada skala menengah dan besar menunjukkan nilai yang lebih kecil dari 1. Sedangkan nilai PCR pada skala kecil menunjukkan nilai yang lebih besar dari 1. Nilai PCR pada peternakan skala menengah sebesar 0.958dan skala besar sebesar 0.837. Hal ini berarti bahwa untuk mendapatkan nilai tambah output sebesar 1 satuan pada harga privat di Desa Singosari diperlukan tambahan biaya faktor domestik kurang dari 1 satuan yaitu sebesar 0.958 untuk skala menengah dan 0.837untuk skala besar. Disisi lain, diperoleh nilai PCR lebih dari 1 pada skala kecil yakni sebesar 1.847. Nilai-nilai PCR pada skala menengah dan besar tersebut menunjukkan bahwa peternakan rakyat di Desa Singosari baik skala menengah maupun besar
memiliki daya saing dan efisien secara finansial. Sedangkan nilai PCR pada skala kecil yang lebih dari 1 menunjukkan bahwa skala kecil tidak memiliki daya saing dan tidak efisien secara finansial. Hal ini disebabkan karena tingginya biaya pakan yang harus dikeluarkan oleh peternak skala kecil dibandingkan skala menengah dan besar. Menurut Siregar (1996), biaya pakan merupakan biaya terbesar karena dapat mencapai 2/3 dari keseluruhan biaya variabel. Selain itu, jumlah sapi non produktif pada skala kecil lebih banyak dibandingkan jumlah sapi produktif sehingga beban biaya sapi non produktif harus ditanggung oleh sapi produktif yang hanya berjumlah 1 hingga 3 ekor pada skala kecil.
Efisiensi atau Keunggulan Komparatif
Analisis keunggulan komparatif dapat ditentukan oleh nilai keuntungan sosial (Social Profitability/SP) dan Rasio Biaya Sumberdaya (Domestic Resource Cost Ratio/DRCR). Keunggulan komparatif adalah indikator untuk menilai apakah komoditas susu segar yang diusahakan oleh ketiga skala usaha di Desa Singosari efisien, mampu bertahan tanpa adanya bantuan dari pemerintah, dan memiliki peluang yang besar sebagai produk substitusi impor. Nilai DRCR juga merupakan indikator yang menentukan apakah sebaiknya pemerintah mengimpor atau memproduksi sendiri susu segar.
Keuntungan sosial merupakan selisih antara besarnya penerimaan sosial yang diterima oleh peternak dengan seluruh biaya input produksi pada kondisi pasar persaingan sempurna dimana tidak ada campur tangan pemerintah. Nilai keuntungan sosial pada peternakan skala kecil sebesar Rp (740.326)per liter, pada peternakan skala menengah sebesar Rp 2 125.643 per liter, dan peternakan skala besar sebesar Rp 2 514.712 per liter. Nilai keuntungan sosial yang bernilai positif atau lebih besar dari nol (SP>0) pada skala usaha menengah dan besar menunjukkan bahwa pengusahaan peternakan sapi perah dalam memproduksi susu segar menguntungkan secara ekonomi walaupun tanpa adanya kebijakan pemerintah. Sedangkan keuntungan sosial pada peternakan skala kecil yang bernilai negatif atau kurang dari nol (SP<0) menunjukkan bahwa skala kecil tidak memiliki keunggulan komparatif dan tidak menguntungkan secara ekonomi.
Perbedaan nilai keuntungan sosial pada ketiga skala usaha disebabkan karena adanya perbedaan biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing peternak di tiap skala usaha, misalnya penggunaan pakan hijauan, konsentrat, mineral, dan penggunaan tenaga kerja. Nilai keuntungan sosial terbesar diperoleh peternakan skala besar karena biaya yang dikeluarkan peternak skala besar lebih rendah dibandingkan peternak skala kecil dan menengah, terutama biaya pakan.
Nilai keuntungan sosial memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan nilai keuntungan privat pada ketiga skala usaha karena harga sosial dari susu segar lebih tinggi yaitu Rp 5 228.380 per liter dibandingkan dengan harga privat pada skala kecil Rp 3 382.895 per liter, skala menengah Rp 3 208.333 per liter, dan skala besar Rp 3 275 per liter. Artinya, kebijakan pemerintah yang diterapkan saat ini seperti kebijakan harga impor (tarif impor) belum mampu mengoptimalkan keuntungan peternak dalam usaha ternak sapi perah.
Selain analisis keuntungan sosial, keunggulan komparatif juga dapat ditentukan oleh nilai Rasio Sumberdaya Domestik (DRCR). Suatu usaha dikatakan efisien secara ekonomi apabila memiliki nilai DRCR yang kurang dari 1 (DRCR<1). Berdasarkan Tabel 18 dapat diketahui bahwa skala menengah dan
besar pada peternakan sapi perah di Desa Singosari memiliki nilai DRCR yang kurang dari 1. Nilai DRCR dari skala menengah sebesar 0.580 dan skala besar sebesar 0.515. Sedangkan nilai DRCR pada skala kecil lebih dari 1 yakni sebesar 1.150. Dengan demikian, skala menengah dan besar pada peternakan sapi perah di Desa Singosari efisien secara ekonomi dan memiliki keunggulan komparatif tanpa adanya kebijakan dari pemerintah. Namun peternakan skala kecil tidak efisien secara ekonomi dan tidak memiliki keunggulan komparatif tanpa adanya kebijakan dari pemerintah.
Peternakan skala besar di Desa Singosari memiliki nilai DRCR paling kecil dibandingkan peternakan skala kecil dan menengah. Nilai DRCR dari skala besar sebesar 0.515 yang berarti untuk memproduksi atau menghemat satu unit nilai tambah output pada peternakan skala besar dibutuhkan biaya sumberdaya domestik lebih kecil dari 1 satuan yang dinilai pada harga sosial yaitu sebesar 0.515. Nilai DRCR terbesar dimiliki oleh peternakan skala kecil dengan nilai 1.150 sehingga biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi atau menghemat satu unit nilai tambah output pada peternakan skala kecil membutuhkan biaya yang lebih besar dibandingkan skala menengah dan besar.
Indikator nilai DRCR yang kurang dari 1, mengindikasikan bahwa pemenuhan kebutuhan akan komoditas susu segar lebih baik diproduksi dalam negeri karena biaya produksi susu segar dalam negeri relatif lebih murah dibandingkan dengan mengimpor susu bubuk dari luar negeri dengan biaya yang jauh lebih tinggi. Namun, faktanya produksi susu dalam negeri saat ini hanya mampu mencukupi kebutuhan susu sebesar 25 persen dari total kebutuhan susu nasional. Oleh karena itu, diperlukan adanya kebijakan dari pemerintah untuk membantu pengembangan dan pengusahaan usaha ternak sapi perah mulai dari sistem hulu hingga hilir.
Nilai DRCR yang lebih kecil dari nilai PCR (DRCR<PCR) menunjukkan bahwa tidak terdapat kebijakan pemerintah yang meningkatkan efisiensi peternak dalam memproduksi susu segar. Menurut penelitian Feryanto (2010) dan Khairunnisa (2011), hal ini terjadi karena pemerintah menghapus subsidi pakan ternak dan obat-obatan pada tahun 2000. Selain itu, adanya penetapan tarif impor sebesar 5 persen semenjak 1 Juli 2009 juga belum maksimal dalam meningkatkan efisiensi peternak.
Disisi lain, penetapan tingkat tarif impor perlu disesuaikan dengan harga di pasar internasional. Tarif bukanlah satu-satunya cara untuk melindungi peternak susu, perlu kebijakan lain yang dapat memberikan insentif bagi peternak untuk berproduksi dan meningkatkan kegiatan usahanya. Hal ini cukup beralasan karena penetapan tarif impor yang terlalu tinggi justru akan menyebabkan inefisiensi alokasi sumberdaya pertanian serta membebani konsumen dan perekonomian nasional (Kustiari et al. 2008).
Dampak Kebijakan Pemerintah
Dalam suatu aktivitas ekonomi, adanya kebijakan dari pemerintah dapat memberikan suatu dampak yang positif maupun negatif kepada para pelaku ekonomi maupun sistem perekonomian tersebut. Adanya penetapan kebijakan juga dapat mempengaruhi peningkatan atau penurunan produksi maupun produktivitas suatu aktivitas ekonomi. Dengan menggunakan hasil analisis
matriks PAM, dapat diketahui dampak berbagai kebijakan terhadap input, output, maupun input-output dari beberapa indikator hasil.
Pada dasarnya, suatu kebijakan perdagangan diterapkan oleh pemerintah bertujuan untuk melindungi produsen dalam negeri. Apabila harga produk impor komoditas serupa lebih rendah dari produksi dalam negeri, maka akan melemahkan daya saing dari produk domestik karena konsumen akan cenderung membeli produk impor serupa yang memiliki harga yang lebih murah dibandingkan produk domestik. Akibatnya, akan terjadi penurunan permintaan terhadap produk domestik yang berimplikasi terhadap penurunan jumlah produksi dalam negeri dan pendapatan produsen lokal. Akan tetapi, dalam permasalahan susu impor hal tersebut tidak berlaku.
Saat ini, harga susu impor jauh lebih tinggi dibandingkan harga susu segar dalam negeri. Pada saat penelitian dilaksanakan, harga susu segar di daerah penelitian berkisar antara Rp 3 208.333 per liter hingga Rp 3 382.895 per liter sedangkan harga susu impor setelah dikonversi sebesar Rp 5 100.86 per liter. Meskipun harga susu impor cenderung lebih tinggi dibandingkan susu segar dalam negeri, Industri Pengolah Susu (IPS) cenderung memilih untuk mengimpor susu dibandingkan membeli dari peternak dalam negeri. Hal ini berimplikasi pada harga beli yang ditawarkan oleh IPS kepada para peternak menjadi lebih rendah. Penetapan harga beli oleh IPS yang rendah akan menurunkan daya saing susu segar dalam negeri. Kebijakan pemerintah seharusnya lebih memihak kepada peternak sapi perah guna meningkatkan daya saing produk dalam negeri. Dampak kebijakan pemerintah terhadap input, output, dan input-output akan dijelaskan berikut ini.
1) Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Output
Dampak kebijakan pemerintah terhadap output dapat dilihat dari nilai Transfer Output (Output Transfer/OT) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (Nominal Protection Coefficient on Output /NPCO). Bentuk distorsi pemerintah dapat berupa subsidi atau hambatan perdagangan berupa tarif dan pajak ekspor-impor.
a. Transfer Output (Output Transfer/OT)
Transfer output timbul karena adanya divergensi pada harga output. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan antara harga privat dengan harga sosial. Nilai transfer output yang negatif menunjukkan adanya divergensi yakni harga privat output susu segar lebih rendah dibandingkan harga sosialnya. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa dengan adanya kebijakan atau intervensi dari pemerintah terhadap output susu segar akan lebih menguntungkan konsumen karena konsumen membeli susu dengan harga yang lebih rendah dari harga yang sebenarnya. Hal ini berarti bahwa terdapat pengalihan surplus dari produsen ke konsumen (IPS).
Berdasarkan hasil analisis matriks PAM, nilai transfer output pada peternakan skala kecil, menengah, maupun besar diperoleh nilai sebesar Rp (1 845.49) per liter pada skala kecil, Rp (2 020.047) per liter pada skala menengah, dan Rp (1 953.380) per liter pada skala besar. Kerugian terbesar dialami oleh para peternak skala menengah sebesar Rp 2 020.047 per liter sedangkan kerugian terkecil dialami oleh peternak skala kecil yakni sebesar Rp 1 845.49 per liter. Perbedaan kerugian pada tiap skala usaha tergantung dari besarnya harga susu per liter yang diterima oleh
peternak. Peternak pada skala menengah mendapatkan harga susu yang paling rendah dibandingkan skala kecil dan besar. Selain itu, besarnya divergensi pada transfer output yang bernilai negatif karena harga sosial susu diperhitungkan berdasarkan harga susu impor yang harganya lebih tinggi dibandingkan harga susu segar dalam negeri dengan standar dan kualitas yang sama.
Kebijakan pemerintah berupa penetapan tarif impor sebesar 5 persen tidak berjalan efektif karena pada kenyataannya peternak masih mengalami kesulitan untuk bersaing dengan susu impor. Kecenderungan IPS yang lebih memilih membeli susu impor dibandingkan susu segar dalam negeri juga merupakan salah satu kendala bagi para peternak lokal untuk meningkatkan usahanya.
b. Koefisien Proteksi Output Nominal (Nominal Protection Coefficient on Output /NPCO)
Rasio merupakan suatu ukuran yang bebas nilai mata uang ataupun jenis komoditas yang digunakan untuk membandingkan output. Rasio yang dibuat untuk mengukur output transfer disebut Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO). Rasio ini menunjukkan seberapa besar harga privat berbeda dengan harga sosial. Bila NPCO lebih besar dari 1 (NPCO>1), berarti harga privat lebih tinggi daripada harga dunia dan sistem usahatani yang diteliti menerima proteksi. Bila NPCO lebih kecil dari 1 (NPCO<1), berarti harga privat lebih rendah dari harga dunia (Pearson dan Gotsch 2005).
Berdasarkan hasil analisis matriks PAM, dapat diketahui bahwa nilai NPCO pada peternakan skala kecil, menengah, maupun besar bernilai kurang dari 1. Pada peternakan skala kecil diperoleh nilai NPCO sebesar 0.647, skala menengah sebesar 0.614, dan skala besar sebesar 0.626. Nilai NPCO yang kurang dari 1 tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang menerapkan tarif impor 5 persen belum berjalan efektif karena menyebabkan harga yang diterima oleh peternak pada skala kecil, menengah, maupun besar lebih rendah dibandingkan harga sosialnya.
2) Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input
Kebijakan pemerintah terhadap harga input dapat berupa penetapan pajak maupun subsidi. Bentuk kebijakan pemerintah seperti subsidi atau hambatan perdagangan (penetapan tarif maupun non tarif) diterapkan dengan harapan agar produsen dapat memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan dapat melindungi produsen dalam negeri. Dampak kebijakan terhadap input dapat dijelaskan melalui nilai Transfer Input (Input Transfer/IT), Koefisien Proteksi Input Nominal (Nominal Coefficient on Input /NPCI), dan Transfer Faktor (Factor Transfer/FT).
a. Transfer Input (Input Transfer/IT)
Nilai transfer input merupakan selisih antara harga privat input
tradable dengan harga sosialnya. Transfer input yang bernilai positif mengindikasikan adanya kebijakan subsidi negatif atau pajak pada unsur input tradable yang akan mengurangi tingkat keuntungan produsen atau dengan kata lain produsen tidak mendapatkan insentif dari kebijakan tersebut. Sebaliknya, jika transfer input bernilai negatif menunjukkan
adanya kebijakan subsidi pada input yang mengakibatkan biaya yang dikeluarkan untuk input pada tingkat harga privat menjadi lebih rendah dibandingkan pada tingkat haga sosial. Hal tersebut menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pada input tradable akan menguntungkan produsen lokal.
Berdasarkan hasil analisis matriks PAM, nilai transfer input pada ketiga skala usaha bernilai nol baik pada peternakan skala kecil, menengah, maupun besar. Hal ini berarti bahwa tidak terdapat pajak ataupun subsidi atas input tradable sehingga harga input tradable yang diterima peternak pada harga privat sama dengan harga sosialnya.
b. Koefisien Proteksi Input Nominal (Nominal Coefficient on Input/NPCI) Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) merupakan rasio untuk mengukur transfer input tradable. Rasio ini menunjukkan seberapa besar perbedaan harga privat dari input tradable dengan harga sosialnya. Nilai NPCI menunjukkan tingkat proteksi atau distorsi yang dibebankan pemerintah pada input tradable bila dibandingkan tanpa adanya kebijakan.
Bila nilai NPCI lebih besar dari 1 (NPCI>1), mengindikasikan bahwa biaya input non tradable lebih mahal daripada biaya input pada tingkat harga dunia. Hal ini menunjukkan adanya proteksi pada produsen input yang dapat menyebabkan kerugian bagi sektor yang menggunakan input tersebut karena biaya produksi menjadi lebih tinggi. Sebaliknya,