• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini dilakukan di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Pemilihan Jawa Tengah dan Kabupaten Boyolali dilakukan secara sengaja (purposive sampling) berdasarkan data statistik dari Direktorat Jenderal Peternakan (2011c) yang menyebutkan bahwa Jawa Tengah merupakan provinsi ketiga yang memiliki usaha ternak sapi perah dengan produksi susu segar yang cukup tinggi setelah Jawa Timur dan Jawa Barat. Selanjutnya, Kabupaten Boyolali merupakan kabupaten yang memiliki usaha ternak sapi perah dengan produksi susu segar tertinggi di Jawa Tengah. Lokasi penelitian difokuskan di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive sampling) atas pertimbangan bahwa (1) Desa Singosari merupakan desa yang mayoritas warganya merupakan peternak sapi perah dengan produksi susu segar tertinggi di Kecamatan Mojosongo, (2) Kecamatan Mojosongo merupakan kecamatan sentra produksi susu segar di Kabupaten Boyolali. Pelaksanaan penelitian berlangsung pada bulan Februari sampai Maret 2013.

Jenis, Sumber Data, dan Metode Pengambilan Data

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan pengamatan langsung (observasi), pengisian kuesioner, dan wawancara langsung kepada peternak, pengurus KUD Mojosongo, peloper susu, dan narasumber dari Dinas Peternakan Kabupaten Boyolali.

Data sekunder dapat diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Dinas Peternakan Kabupaten Boyolali, dan studi pustaka dari literatur dan buku. Data sekunder yang dibutuhkan meliputi : (1) kebijakan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten yang berkaitan dengan usaha ternak sapi perah dan komoditas susu, (2) data ekspor dan impor, (3) perkembangan harga susu (domestik dan impor), dan (4) nilai tukar. Untuk input dan output yang diperdagangkan secara internasional, harga sosial dapat dihitung berdasarkan harga perdagangan internasional. Untuk komoditas yang diimpor dipakai harga CIF (Cost, Insurance, and Freight). Untuk komoditas yang diekspor digunakan harga FOB (Free on Board). Selanjutnya, untuk menghitung harga sosial input non tradable digunakan prinsip opportunity cost .

Metode Penentuan Sampel

Dalam penelitian ini, responden yang diteliti adalah para peternak sapi perah rakyat yang berada di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali. Jumlah responden yang diambil sebanyak 30 orang peternak dengan menggunakan metode stratified proportionate random sampling dan membagi para peternak dalam 3 skala usaha berdasarkan kepemilikan jumlah sapi perah

laktasi (Erwidodo dan Sayaka 1998). Peternak yang memiliki sapi laktasi sebanyak 1 hingga 3 ekor dikategorikan sebagai usaha ternak skala kecil, kepemilikan sapi laktasi 4 hingga 7 ekor dikategorikan sebagai usaha ternak skala menengah, dan kepemilikan sapi laktasi lebih dari 7 ekor dikategorikan sebagai usaha ternak skala besar. Jumlah populasi peternak sapi perah di Desa Singosari sebanyak 80 orang, dimana jumlah peternak skala kecil sebanyak 52 orang, peternak skala menengah sebanyak 23 orang, dan peternak skala besar sebanyak 5 orang. Dari tiap strata diambil 19 peternak skala kecil, 9 peternak skala menengah, dan 2 peternak skala besar. Penentuan jumlah responden peternak sapi perah terkait dengan keadaan dari populasi yang bersifat homogen dalam hal struktur biaya sehingga jumlah 30 orang sampel dianggap sudah mewakili karakteristik dan keragaman struktur biaya usaha ternak sapi perah. Selain itu, alat analisis PAM lebih membutuhkan informasi yang banyak baik dari segi aspek maupun kedalaman dibandingkan dengan besarnya jumlah petani yang diwawancara karena bujet data untuk PAM dapat diambil dari contoh yang tidak terlalu besar (Pearson et al. 2005) .

Metode Analisis Data

Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif dan kuantitatif. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan menggunakan Microsoft Excel. Pengolahan data terdiri dari 2 tahapan, yaitu analisis daya saing dengan menggunakan PAM dan analisis daya saing dengan adanya perubahan kebijakan pemerintah dengan menggunakan analisis sensitivitas. Pengolahan data dengan menggunakan alat analisis PAM harus melalui beberapa tahapan, yaitu (1) penentuan input usaha ternak sapi perah, (2) pengalokasian input ke dalam komponen tradable dan non tradable, (3) penentuan harga bayangan input dan output produksi.

Hasil analisis PAM dapat digunakan untuk mengidentifikasi apakah komoditas susu segar yang dihasilkan dari peternakan sapi perah rakyat di Kabupaten Boyolali memiliki daya saing dengan adanya kebijakan input-output yang berlaku, mengidentifikasi perubahan keuntungan apabila kebijakan berubah, serta mengidentifikasi apakah suatu wilayah memiliki tingkat efisiensi yang tinggi atau rendah dalam memproduksi susu segar. Dengan demikian, dapat diketahui nantinya apakah Kabupaten Boyolali tetap memproduksi sendiri atau mengimpor susu.

Penentuan Input dan Output Usaha Ternak Sapi Perah

Dalam penelitian ini, input yang diperhitungkan adalah semua komponen input yang digunakan dalam proses produksi. Komponen input tersebut meliputi pakan ternak, obat-obatan, tenaga kerja, peralatan, lahan, pajak, biaya air, biaya listrik, dan biaya tataniaga. Output yang dihasilkan berupa susu segar yang siap dijual.

Pengalokasian Komponen Biaya Asing dan Domestik

Komponen biaya yang dikeluarkan selama proses produksi terdiri dari komponen biaya asing (tradable) dan domestik (non tradable). Pengalokasian biaya menjadi komponen biaya tradable dan non tradable dilakukan dengan 2

pendekatan, yaitu pendekatan langsung (direct approach) dan pendekatan total (total approach) (Monke dan Pearson 1989).

Pendekatan langsung mengasumsikan bahwa seluruh biaya input tradable,

baik impor maupun produksi dalam negeri, dinilai sebagai komponen biaya asing. Pendekatan ini dapat digunakan jika tambahan permintaan input tradable dipenuhi dari perdagangan internasional. Dengan kata lain, input non tradable yang berasal dari pasar domestik ditetapkan sebagai komponen domestik dan input asing yang digunakan dalam proses produksi barang non tradable tetap dihitung sebagai komponen biaya asing.

Pendekatan total mengasumsikan bahwa setiap biaya dari input tradable

dibagi ke dalam komponen biaya domestik dan asing serta digunakan apabila produsen domestik dilindungi. Penelitian ini menggunakan pendekatan total dalam mengalokasikan biaya ke dalam komponen biaya input tradable dan non tradable. Input yang termasuk dalam komponen tradable adalah pakan konsentrat, obat-obatan, serta biaya tataniaga. Selanjutnya, komponen input non tradable

yaitu pakan hijauan, ampas tahu, tenaga kerja, sewa lahan, biaya air, biaya listrik, peralatan dan input lainnya sesuai dengan penggunaan tabel Input Output 2000. Metode Penentuan Biaya Tataniaga

Biaya tataniaga adalah biaya yang dikeluarkan untuk menambah nilai atau kegunaan suatu barang akibat perubahan kegunaan tempat, kegunaan bentuk, dan kegunaan waktu (Gittinger 1986). Biaya tataniaga terdiri dari biaya transportasi pakan dari produsen hingga ke peternak dan biaya pengangkutan susu dari peternak hingga ke koperasi.

Metode Penentuan Harga Bayangan (Harga Sosial)

Harga bayangan adalah sebagian harga yang terjadi dalam perekonomian pada keadaan persaingan sempurna dan kondisinya dalam keadaan keseimbangan (Gittinger 1986). Untuk memperoleh nilai yang mendekati biaya imbangan atau harga bayangan perlu dilakukan penyesuaian terhadap harga pasar yang berlaku (harga privat). Hal ini perlu dilakukan karena cukup sulit menemukan kondisi biaya imbangan sama dengan harga pasar (harga privat). Alasan penggunaan harga bayangan adalah sebagai berikut :

a) Harga privat tidak selalu mencerminkan apa yang sebenarnya diperoleh masyarakat melalui produksi yang dihasilkan dari aktivitas tersebut.

b) Harga privat tidak selalu mencerminkan apa yang sebenarnya dikorbankan seandainya sejumlah sumber daya yang dipilih digunakan dalam aktivitas lain yang masih memungkinkan di masyarakat.

Berikut metode yang digunakan untuk menentukan harga bayangan nilai tukar, harga bayangan output, dan harga bayangan input :

1. Harga Bayangan Nilai Tukar

Penetapan nilai tukar rupiah didasarkan atas perkembangan nilai tukar mata uang asing yang menjadi acuan (US Dollar). Menurut Rosegrant et al. (1987)

dalam Swastika dan Ilham (2001), menghitung harga bayangan nilai tukar mata uang asing adalah dengan mencari faktor konversi terhadap nilai tukar resmi. Metode tersebut dirumuskan sebagai berikut :

SER = OER SCF SCFt : Xt + Mt Mt ( Xt – Txt) + ( Mt + Tmt) Keterangan :

SCFt : Faktor konversi standar untuk tahun ke-t Xt : Nilai ekspor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp) Mt : Nilai impor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp)

Txt : Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor untuk tahun ke-t (Rp) Tmt : Penerimaan pemerintah dari pajak impor untuk tahun ke-t ( Rp) Setelah mendapatkan nilai SCFt, penentuan harga bayangan nilai tukar mata uang asing ditentukan dengan rumus Squire dan Van der Tak dalam Kadariah (2001) sebagai berikut :

Keterangan :

SER : Shadow Exchange Rate atau Nilai Tukar Bayangan ( Rp/US$) OER : Official Exchange Rate atau Nilai Tukar Resmi ( Rp/ US$) SCF : Standard Convertion Factor atau Faktor Konversi Standar

Perhitungan harga bayangan nilai tukar didasarkan pada informasi total nilai ekspor dan impor Indonesia pada tahun 2013 serta total penerimaan pemerintah dari pajak ekspor dan impor untuk tahun 2013. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (2013), nilai total ekspor (Xt) Indonesia pada tahun 2013 sebesar 30 040 205 418 US$ dan nilai impor (Mt) sebesar 30 200 361 878 US$. Selanjutnya, untuk penerimaan pemerintah dari pajak ekspor (TXt) sebesar Rp 31 702 000 000 miliar dan penerimaan pemerintah dari pajak impor (TMt) sebesar Rp 27 003 000 000 miliar.

Menurut Saptana (1999) dalam Feryanto (2010), dengan adanya kebijakan makro di Indonesia yang menerapkan nilai tukar bebas atau mengambang (floating exchange rate) sejak tahun 1996 serta kebijakan deregulatif berupa penurunan tarif bea masuk dan pajak ekspor maka diasumsikan nilai tukar uang yang terjadi di pasar uang dapat menggambarkan harga bayangan nilai tukar uang. Berdasarkan asumsi tersebut, maka nilai kurs Rupiah terhadap US Dollar adalah rata-rata kurs nilai tengah yang terjadi pada saat penelitian berlangsung yakni bulan Februari dan Maret 2013 sebesar Rp 9695.8/US Dollar (Bank Indonesia 2013). Berdasarkan data-data di atas, maka dapat diperoleh nilai faktor konversi standar atau SCF sebesar 1.00 sehingga diperoleh nilai SER sebesar Rp 9 695.72/US$

2. Harga Bayangan Output

Harga perbatasan (border price) adalah harga yang digunakan sebagai harga bayangan output. Saat ini Indonesia berada dalam posisi sebagai negara pengimpor untuk produk susu dan sapi perah bibit. Komoditas susu segar yang dihasilkan peternak di lokasi penelitian merupakan substitusi impor. Oleh karena itu, harga bayangan output yang dipakai adalah harga CIF (Cost, Insurance, Freight) di pelabuhan impor yang telah dikonversi terlebih dahulu dengan menggunakan harga bayangan nilai tukar Rupiah SER (Shadow Exchange Rate)

Harga bayangan output = [(cif x SER) + biaya tataniaga]

ditambah biaya tataniaga yang dikeluarkan dari pelabuhan ke IPS sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut :

Untuk menghitung harga susu dunia setara dengan harga susu segar dalam negeri, peneliti menggunakan formulasi yang mengacu kepada Erwidodo dan Sayaka dalam Atien et al. (2009). Formulasi tersebut menggunakan pendekatan dimana harga susu dunia dihitung atas dasar harga satu kilogram Full Cream Milk Powder (FCMP) setara dengan 8 liter susu segar. Sekitar 80 persen biaya satu kilogram FCMP merupakan biaya susu segar ditambah biaya tataniaga (biaya transportasi dan handling/bongkar muat) dari pelabuhan sampai ke peternak yaitu sebesar 2.5 persen.

Perhitungan harga susu FCMP didasarkan pada data rata-rata harga susu bulan Februari hingga Maret 2013 (International Dairy Product Prices 2013). Harga rata-rata susu FCMP per liter setelah dikonversi sebesar Rp 5 100.86. Harga tersebut sudah termasuk biaya pengapalan dan asuransi. Selanjutnya, harga bayangan susu yang digunakan sebesar Rp 5 228.38 per liter susu, nilai tersebut diperoleh dari harga susu impor dikalikan dengan SER dan ditambah 2.5 persen biaya tataniaga.

3. Harga Bayangan Input

a. Harga Bayangan Pakan Ternak dan Obat-obatan

Pakan yang digunakan oleh para peternak di peternakan sapi perah rakyat terdiri dari pakan hijauan, pakan konsentrat, dan ampas tahu. Pakan hijauan yang dibutuhkan oleh peternak sebagian besar diperoleh dari lahan tegalan baik sewa maupun pribadi sedangkan pakan konsentrat dan ampas tahu dibeli oleh peternak melalui koperasi, pasar, maupun peloper susu. Penentuan harga bayangan pakan disamakan dengan harga yang berlaku di pasar karena sejak tahun 2000 subsidi pakan telah dicabut.

b. Harga Bayangan Tenaga Kerja

Dalam pasar persaingan sempurna tingkat upah pasar mencerminkan nilai produktivitas marginalnya (Gittinger 1986). Tingkat upah memiliki nilai yang berbeda untuk setiap kriteria tenaga kerja. Untuk tenaga kerja terdidik, upah tenaga kerja bayangan sama dengan upah pasar (finansial) sedangkan untuk tenaga kerja tidak terdidik, harga bayangan upahnya disesuaikan terhadap harga upah pasar (finansial) dengan asumsi tenaga kerja tersebut belum bekerja sesuai dengan tingkat produktivitasnya. Tenaga kerja yang digunakan oleh peternak dalam membantu usahanya merupakan tenaga kerja tidak tetap dan pada umumnya tidak terdidik sehingga harga bayangan tenaga kerja dihitung dengan menggunakan pendekatan perhitungan yang dilakukan Yusdja (2001) dan Suryana (1980) dalam Emilya (2001) yaitu sebesar 80 persen dari tingkat upah yang berlaku di daerah penelitian.

c. Harga Bayangan Lahan

Lahan merupakan salah satu faktor produksi yang termasuk ke dalam input non tradable dalam sistem usahatani. Menurut Gittinger (1986), harga bayangan lahan ditentukan berdasarkan nilai sewa lahan yang

diperhitungkan tiap musim tanam yang berlaku di masing-masing tempat. Namun, cukup sulit untuk mengukur nilai dari suatu usahatani yang dilakukan dalam suatu lahan oleh karena itu penentuan harga bayangan dilakukan berdasarkan nilai sewa lahan tersebut.

d. Harga Bayangan Pajak

Dalam penelitian ini, harga bayangan pajak dikeluarkan dari penilaian harga bayangan. Oleh karena itu, harga finansial untuk pajak bumi dan bangunan (PBB) dalam penelitian ini dihitung dalam waktu satu bulan sedangkan harga bayangannya tidak diperhitungkan. Hal ini dikarenakan pajak merupakan bagian dari hasil neto proyek yang diserahkan kepada pemerintah untuk digunakan bagi kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan. Oleh karena itu, pajak tidak dianggap sebagai biaya (Kadariah 2001).

Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix)

PAM (Policy Analysis Matrix) merupakan salah satu alat analisis yang digunakan untuk menganalisis daya saing, efisiensi atau keunggulan komparatif, serta dampak kebijakan pemerintah terhadap sistem komoditas. Metode PAM membantu pengambil kebijakan baik di pusat maupun daerah untuk menelaah 3 isu sentral analisis kebijakan pertanian. Isu pertama, apakah sebuah sistem usahatani memiliki daya saing pada tingkat harga dan teknologi yang ada. Sebuah kebijakan harga akan mengubah nilai ouput, biaya input, dan keuntungan privat. Perbedaan keuntungan privat sebelum dan sesudah kebijakan menunjukkan adanya pengaruh dari perubahan kebijakan atas daya saing pada tingkat harga aktual (harga pasar). Isu kedua, adalah dampak investasi publik berupa pembangunan infrastruktur baru terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Efisiensi diukur dengan tingkat keuntungan sosial berdasarkan harga efisiensi. Perbedaan keuntungan sosial sebelum dan sesudah adanya investasi publik menunjukkan adanya peningkatan keuntungan sosial. Isu ketiga, yaitu dampak investasi baru dalam bentuk riset atau teknologi pertanian terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Perbedaan keuntungan sosial sebelum dan sesudah investasi dalam bentuk riset menunjukkan manfaat dari investasi tersebut (Pearson

et al. 2005). Beberapa indikator kunci yang dapat diperoleh dari PAM antara lain : 1. Analisis Keuntungan Privat dan Sosial

a. Private Profitability (PP), D = A – ( B + C )

Keuntungan privat merupakan indikator daya saing dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input, dan transfer kebijakan. Nilai keuntungan privat diperoleh dari pengurangan pendapatan privat dengan biaya privat yang sesungguhnya dibayarkan atau diterima petani. Apabila D>0, maka sistem komoditas menghasilkan keuntungan di atas biaya normal sehingga secara finansial layak diusahakan.

b. Social Profitability (SP), H = E – ( F + G )

Keuntungan sosial merupakan indikator efisiensi atau keunggulan komparatif dari sistem komoditas pada kondisi tidak ada divergensi harga akibat kebijakan. Apabila H>0, maka sistem komoditas layak dikembangkan karena efisien dan dapat memberikan keunggulan komparatif, sebaliknya jika H<0, maka sistem komoditas tidak efisien,

tidak memiliki keunggulan komparatif dan tidak menguntungkan secara ekonomi.

2. Analisis Daya Saing dan Keunggulan Komparatif (Efisiensi Ekonomi) a. Private Cost Ratio (PCR) = C/(A-B)

Nilai PCR menunjukkan nilai efisiensi suatu aktivitas ekonomi secara finansial. Merupakan indikator yang menunjukkan kemampuan sistem usahatani untuk membiayai faktor domestik pada harga privat dan tetap kompetitif. Apabila PCR<1, maka sistem komoditas semakin memiliki daya saing.

b. Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) = G/(E-F)

Nilai DRCR menunjukkan kemampuan suatu sistem komoditas membiayai faktor domestik pada harga sosial. Merupakan indikator yang menunjukkan seberapa besar jumlah sumberdaya domestik dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa. Jika sistem komoditas memiliki nilai DRCR<1, maka suatu aktivitas ekonomi atau sistem komoditas tersebut semakin efisien, memiliki keunggulan komparatif yang tinggi, dan mampu bertahan tanpa bantuan serta intervensi pemerintah. Terdapat beberapa asumsi yang harus dipenuhi agar konsep DRCR dapat diterapkan dalam analisis ekonomi yaitu (1) ada pengaruh dari pemerintah pada nilai tukar, (2) ada pengaruh dalam perdagangan komoditas yang dianalisis berupa peraturan dan pembatasan dari pemerintah, (3) output bersifat tradable, (4) biaya produksi dari tambahan satu satuan output ditentukan oleh hubungan input-output (teknologi) yang konstan dan harga relatif faktor input tetap, dan (5) harga bayangan input dan output serta nilai tukar uang yang dapat dihitung dan mewakili biaya sumberdaya sosial yang sebenarnya.

3. Dampak Kebijakan Pemerintah a. Kebijakan Output

(1)Output Transfer (OT) = A-E

Transfer output merupakan selisih antara penerimaan privat dengan penerimaan sosial. Nilai OT menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang ditetapkan pada output sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan pada harga output privat dan sosial. Jika nilai OT positif atau OT>0 maka terdapat instrumen kebijakan pemerintah berupa transfer (insentif) dari konsumen terhadap produsen. Hal ini menyebabkan konsumen mendapat harga yang lebih tinggi dari harga sebenarnya. Namun apabila nilai OT negatif atau OT<0 berarti kebijakan pemerintah melalui mekanisme pasar output menyebabkan harga output domestik lebih rendah dari harga sosial. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah belum sepenuhnya memberikan insentif optimal terhadap pengembangan usaha komoditas dan konsumen mendapat harga yang lebih rendah dari harga sebenarnya.

(2)Nominal Protection Coeficient on Output (NPCO) = A/E

Nilai NPCO menunjukkan seberapa besar harga output domestik (harga privat) berbeda dengan harga sosial. Jika nilai NPCO>1 maka kebijakan pemerintah bersifat protektif terhadap output. Hal

ini menyebabkan harga aktual komoditas yang diterima petani lebih besar dari harga sosial sehingga kebijakan pemerintah mendorong peningkatan produksi. Semakin besar nilai NPCO maka semakin tinggi proteksi pemerintah terhadap output.

b. Kebijakan Input

(1)Input Transfer (IT), J= B-F

Transfer input terjadi ketika terdapat perbedaan pada harga input tradable yang menyebabkan biaya input tradable privat berbeda dengan biaya sosial. Nilai IT yang positif menyebabkan pajak atau transfer sumberdaya keluar dari sistem. Hal ini menunjukkan besarnya transfer melalui penerapan tarif impor kepada produsen.

(2)Nominal Protection Coefficient on Tradable Input (NPCI), = B/F NPCI merupakan rasio untuk mengukur transfer input tradable.

NPCI menunjukkan seberapa besar perbedaan harga domestik dari

input tradable dengan harga sosial. Jika nilai NPCI>1 maka biaya domestik lebih mahal daripada biaya input pada tingkat harga dunia. Hal ini menunjukkan adanya proteksi pada produsen input yang dapat menyebabkan kerugian bagi sektor yang menggunakan input tersebut karena biaya produksi menjadi lebih tinggi. Sebaliknya, jika nilai NPCI<1 maka biaya input domestik lebih rendah dibandingkan dengan biaya input pada tingkat harga dunia. Hal ini menunjukkan adanya subsidi oleh kebijakan yang ada sehingga proses produksi pada usahatani menggunakan input dalam negeri.

(3)Trasfer Factor (TF), K = C-G

Transfer faktor disebabkan karena adanya perbedaan pada faktor domestik yang menyebabkan harga privat domestik berbeda dengan harga sosial. Transfer faktor dapat bernilai positif atau negatif. Transfer faktor yang bernilai positif berarti terdapat transfer sumberdaya keluar sistem atau menyebabkan terjadinya implisit pajak. Sedangkan transfer faktor bernilai negatif berarti terdapat transfer sumberdaya ke dalam sistem atau menyebabkan terjadinya implisit subsidi.

c. Kebijakan Input- Output

(1)Effective Protection Coefficient (EPC) = (A-B) / (E-F)

Merupakan indikator tingkat proteksi simultan terhadap input- output tradable. Kebijakan bersifat protektif jika nilai EPC>1. Semakin besar nilai EPC, berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap komoditas pertanian domestik.

(2)Net Transfer, L = D-H

Nilai transfer bersih menunjukkah selisih antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial. Transfer bersih adalah penjumlahan dari transfer output, transfer input, dan transfer faktor domestik. Apabila L>1 maka terjadi penambahan pada surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output. Sedangkan apabila nilai L<1 berarti terjadi pengurangan pada surplus produsen akibat dari adanya suatu kebijakan yang diterapkan pada input dan output.

Dampak dari seluruh transfer atas keuntungan privat dapat diukur dengan Profitability Coefficeint (PC). Jika PC>1 berarti secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen.

(4) Subsidy Ratio to Producer (SRP) = (D-H)/E

Merupakan indikator yang menunjukkan seluruh dampak transfer yang merupakan perbandingan antara transfer bersih dengan nilai output pada tingkat harga dunia. Nilai SRP yang negatif menggambarkan kebijakan pemerintah atau distorsi pasar yang ada memberikan dampak yang merugikan kepada aktivitas ekonomi atau sistem komoditas. Sebaliknya, apabila SRP bernilai positif maka kebijakan pemerintah memberikan dampak yang menguntungkan.

Analisis Sensitivitas

Setelah dilakukan analisis dengan metode PAM maka perlu dilakukan analisis sensitivitas yang bertujuan untuk melihat bagaimana hasil analisis suatu aktivitas ekonomi bila terjadi perubahan dalam perhitungan biaya atau manfaat. Suatu analisis kepekaan dilakukan dengan mengubah suatu unsur atau mengkombinasikan unsur-unsur dan menentukan pengaruh dari perubahan tersebut pada analisis semula. Menurut Kadariah (1978), analisis sensitivitas dapat dilakukan melalui beberapa cara yang meliputi (1) mengubah besarnya variabel- variabel yang penting, masing-masing terpisah atau beberapa dalam kombinasi dengan suatu persentase dan menentukan seberapa besar kepekaan hasil perhitungan terhadap perubahan-perubahan tersebut, dan (2) menentukan tingkat perubahan yang membuat proyek tidak dapat diterima. Analisis sensitivitas dapat membantu dalam menentukan unsur-unsur kritikal yang berperan dalam menentukan hasil dan proyek. Analisis kepekaan dilakukan dengan mengubah suatu unsur atau kombinasi unsur kemudian menentukan pengaruh dari perubahan

Dokumen terkait