• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL

Kompresibilitas Kompos

Dalam penelitian ini laju dekomposisi residu tanaman diukur berdasarkan peningkatan kompresibilitas. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan bahan kompos maupun jenis dekomposer berpengaruh sangat nyata terhadap kompresibilitas kompos pada minggu ke-1. Kedua perlakuan memperlihatkan adanya interaksi yang sangat nyata (Lampiran 2). Perlakuan pemberian dekomposer berbeda nyata dengan tanpa pemberian dekomposer terhadap kompresibilitas semua bahan kompos (jerami, eceng gondok, kulit kopi dan kulit kakao). Namun kompresibilitas dari bahan kompos jerami, eceng gondok dan kulit kopi tidak berbeda nyata diantara jenis decomposer (EM-4, Trichoderma sp dan urine domba).

Tabel 3. Kompresibilitas kompos (g/cm3) dari pengomposan berbagai bahan dan berbagai dekomposer pada minggu ke-1

Bahan Kompos Dekomposer

Jerami E. Gondok K. Kopi K. Kakao Rataan

Tanpa Dekomposer 0,55 b 0,61 b 0,43 b 1,11 d 0,67

EM-4 0,67 a 0,72 a 0,52 a 1,68 ab 0,90

Trichoderma 0.65 a 0,70 a 0,55 a 1,63 c 0,88

Urine Domba 0,65 a 0,71 a 0,55 a 1,70 a 0,90

Rataan 0,64 0,69 0,52 1,56

Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.

Tetapi efek dari berbagai dekomposer berbeda nyata mempengaruhi kompresibilitas dari bahan kompos kulit kakao, dimana urine domba menghasilkan nilai kompresibilitas tertinggi. Sementara Trichoderma sp memiliki nilai kompresibilitas terendah dibandingkan dengan dekomposer lain (Tabel 3).

Pada minggu ke-1 kompresibilitas yang paling tinggi adalah 1,70 g/cm3 terjadi pada interaksi bahan kulit kakao dengan dekomposer urine domba sedangkan yang paling rendah adalah 0,43 g/cm3 pada bahan kulit kopi tanpa dekomposer.

Pada minggu ke-2 hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan bahan kompos maupun jenis dekomposer berpengaruh sangat nyata terhadap kompresibilitas kompos. Kedua perlakuan memperlihatkan adanya interaksi yang sangat nyata (Lampiran 4). Perlakuan pemberian dekomposer berbeda nyata dengan tanpa pemberian dekomposer terhadap kompresibilitas semua bahan kompos (jerami, eceng gondok, kulit kopi dan kulit kakao). Namun pemberian berbagai dekomposer tidak berbeda nyata terhadap kompresibilitas bahan kompos jerami, eceng gondok dan kulit kopi, tetapi berbeda nyata pada bahan kompos kulit kakao. Kompresibilitas yang paling tinggi adalah 2,77 g/cm3 terjadi pada interaksi bahan kulit kakao dengan dekomposer darah RPH sedangkan yang paling rendah adalah 0,57 g/cm3 pada bahan kulit kopi tanpa dekomposer (Tabel 4).

43

Pada minggu ke-3 hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan bahan kompos maupun jenis dekomposer berpengaruh sangat nyata terhadap kompresibilitas kompos. Kedua perlakuan memperlihatkan adanya interaksi yang nyata (Lampiran 6).

Tabel 4. Kompresibilitas kompos (g/cm3) dari pengomposan berbagai bahan dan berbagai dekomposer pada minggu-2

Bahan Kompos Dekomposer

Jerami E. Gondok K. Kopi K. Kakao Rataan

Tanpa Dekomposer 0,68 b 0,73 b 0,57 b 1,67 d 0,91 EM-4 0,78 a 0,87 a 0,64 a 2,51 c 1,20 Trichoderma 0,81 a 0,89 a 0,66 a 2,69 b 1,27 Urine Domba 0,78 a 0,90 a 0,66 a 2,69 b 1,26 Darah RPH 0,80 a 0,91 a 0,68 a 2,77 a 1,29 Rataan 0,77 0,86 0,64 2,47

Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.

Perlakuan pemberian dekomposer berbeda nyata dengan tanpa pemberian dekomposer terhadap kompresibilitas bahan kompos kulit kakao. Pada bahan kompos jerami, pemberian dekomposer EM-4 berbeda tidak nyata dengan tanpa dekomposer. Sedangkan pada bahan kompos eceng gondok pemberian dekomposer EM-4 berbeda nyata dengan tanpa pemberian dekomposer maupun perlakuan pemberian dekomposer lainnya (Trichoderma sp, urine domba dan darah RPH). Pada bahan kompos kulit kopi perlakuan pemberian dekomposer EM-4, Trichoderma sp dan urine domba berbeda tidak nyata dengan tanpa pemberian dekomposer, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan pemberian dekomposer darah RPH. Kompresibilitas yang paling tinggi adalah 5,19 g/cm3 terjadi pada interaksi bahan kulit kakao dengan dekomposer darah RPH sedangkan yang paling rendah adalah 0,96 g/cm3 pada bahan kompos jerami dan kulit kopi tanpa dekomposer (Tabel 5).

Pada minggu ke-4 hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan bahan kompos maupun jenis dekomposer berpengaruh sangat nyata terhadap kompresibilitas

45

Tabel 5. Kompresibilitas kompos (g/cm3) dari pengomposan berbagai bahan dan berbagai dekomposer pada minggu-3

Bahan Kompos Dekomposer

Jerami E. Gondok K. Kopi K. Kakao Rataan

Tanpa Dekomposer 0,96 b 1,38 b 0,96 b 3,26 c 1,64 EM-4 1,15 ab 1,92 a 1,12 ab 4,68 b 2,22 Trichoderma 1,28 a 1,52 b 1,20 ab 4,79 b 2,20 Urine Domba 1,21 a 1,49 b 1,00 b 4,62 b 2,08 Darah RPH 1,28 a 1,60 b 1,30 a 5,19 a 2,34 Rataan 1,17 1,58 1,12 4,51

Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.

Perlakuan pemberian dekomposer berbeda nyata dengan tanpa pemberian dekomposer terhadap kompresibilitas bahan kompos jerami, eceng gondok dan kulit kakao. Pada bahan kompos jerami, semua perlakuan pemberian dekomposer berbeda tidak nyata. Sedangkan pada bahan kompos eceng gondok pemberian dekomposer darah RPH berbeda nyata dengan pemberian dekomposer EM-4, Trichoderma sp dan urine domba. Pada bahan kompos kulit kopi perlakuan pemberian dekomposer urine domba berbeda tidak nyata dengan tanpa pemberian dekomposer, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan pemberian dekomposer Trichoderma sp. Pada bahan kompos kulit kakao perlakuan pemberian dekomposer darah RPH memberikan nilai kompresibilitas tertinggi yang berbeda nyata dengan dengan pemberian jenis dekomposer lainnya (EM-4, Trichoderma sp dan urine domba).

Rata-rata peningkatan kompresibilitas yang tertinggi terjadi pada kulit kakao sebesar 89,00%, disusul oleh eceng gondok sebesar 50,04%, kemudian jerami padi sebesar 42,32% dan yang terendah adalah kulit kopi dengan rata-rata peningkatan kompresibilitas

sebesar 39,84%.Kompresibilitas yang paling tinggi adalah 11,73 g/cm3 terjadi pada interaksi bahan kulit kakao dengan dekomposer darah RPH sedangkan yang paling rendah adalah 1,16 g/cm3 pada bahan kompos kulit kopi tanpa dekomposer (Tabel 6).

Tabel 6. Kompresibilitas kompos (g/cm3) dari pengomposan berbagai bahan dan berbagai dekomposer pada minggu-4

Bahan Kompos Dekomposer

Jerami E. Gondok K. Kopi K. Kakao Rataan

Tanpa Dekomposer 1,45 b 1,62 c 1,16 c 7,32 e 2,89 EM-4 1,91 a 2,31 b 1,38 ab 9,38 d 3,74 Trichoderma 1,88 a 2,32 b 1,51 a 9,96 c 3,92 Urine Domba 1,86 a 2,27 b 1,32 bc 10,43 b 3,97 Darah RPH 1,94 a 2,69 a 1,45 ab 11,73 a 4,45 Rataan 1,81 2,24 1,36 9,76

Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.

Peningkatan kompresibilitas jerami padi dari minggu ke-1 sampai minggu ke-2 adalah 20,31%, dari minggu ke-2 sampai minggu ke-3 adalah 51,95%, kemudian dari minggu ke-3 sampai minggu ke-4 adalah 54,70%. Pada bahan eceng gondok dan kulit kopi kecenderungan peningkatan kompresibilitas hampir sama yakni cenderung meningkat dari minggu ke-2 sampai minggu ke-3, kemudian menurun pada minggu ke-4.

Tabel 7. Peningkatan nilai kompresibilitas (g/cm3) kompos dari berbagai bahan residu tanaman selama 4 minggu

Jerami E. Gondok Kulit Kopi Kulit Kakao

Kompre Pening Kompre Pening Kompre Pening Kompre Pening

Minggu

Sibilitas katan (%) sibilitas katan (%) Sibilitas katan (%) sibilitas katan (%)

I 0,64 - 0,69 - 0,52 - 1,56 -

II 0,77 20,31 0,86 24,64 0,64 23,08 3,4 117,95

47

Pada kulit kakao peningkatan nilai kompresibilitas pada minggu ke-2 adalah 117,95%, pada minggu ke-3 terjadi penurunan menjadi 32,65%, dan pada minggu ke-4 cenderung meningkat yakni 116,41%. Pada minggu ke-4, kompresibilitas kompos kulit kakao adalah 9,76 g/cm3 yang lebih tujuh kali lipat dari kompresibilitas kompos kulit kopi sebesar 1,36 g/cm3 (Tabel 7). 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00

Jerami E. Gondok Kulit Kopi Kulit Kakao

Minggu I Minggu II 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00

Jerami E. Gondok Kulit Kopi Kulit Kakao

Minggu III 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00

Jerami E. Gondok Kulit Kopi Kulit Kakao

Minggu IV 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00

Jerami E. Gondok Kulit Kopi Kulit Kakao Tanpa EM4 Tricho Urin Darah

Gambar 1. Perubahan kompresibilitas pengomposan jerami, eceng gondok, kulit kopi dan kulit kakao selama 4 minggu

Bahan Kompos K om pre si b il it as (g/ cm 3 )

Peningkatan kompresibilitas kulit kakao jauh lebih tinggi dari pada bahan kompos lainnya, diikuti oleh eceng gondok pada urutan ke dua, jerami padi pada urutan ketiga dan kulit kopi pada urutan terakhir (Gambar 1). Pemberian dekomposer juga berpengaruh nyata terhadap peningkatan kompresibilitas kompos dibandingkan dengan tanpa pemberian dekomposer.

Indeks Perkecambahan

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan bahan kompos maupun jenis dekomposer berpengaruh sangat nyata terhadap indeks perkecambahan. Kedua perlakuan memperlihatkan adanya interaksi yang sangat nyata terhadap indeks perkecambahan (Lampiran 10). Perlakuan pemberian dekomposer berbeda nyata dengan perlakuan tanpa dekomposer terhadap indeks perkecambahan pada bahan kompos jerami, eceng gondok dan kulit kakao. Pada bahan kompos kulit kopi perlakuan pemberian dekomposer EM-4 dan Trichoderma sp berbeda tidak nyata dengan tanpa pemberian dekomposer. Perlakuan pemberian dekomposer EM-4, Trichoderma sp, urine domba dan darah RPH berbeda tidak nyata terhadap indeks perkecambahan bahan kompos jerami, kulit kopi dan kulit kakao. Pada bahan kompos eceng gondok indeks perkecambahan dari perlakuan pemberian dekomposer darah RPH (0,89) berbeda nyata dengan perlakuan pemberian dekomposer EM-4 (0,81), Trichoderma sp (0,79) dan urine domba (0,69). Indeks perkecambahan yang tertinggi dari seluruh perlakuan sebesar 1,14 terjadi pada interaksi bahan kompos kulit kakao dengan dekomposer darah RPH, sedangkan indeks perkecambahan yang paling rendah adalah 0,27 pada bahan kulit kopi tanpa dekomposer

49

(Tabel 8). Pengomposan jerami padi, eceng gondok, kulit kopi dan kulit kakao tanpa menggunakan dekomposer dapat menekan indeks perkecambahan.

Tabel 8. Indeks perkecambahan pada berbagai bahan baku dan dekomposer Bahan Kompos

Dekomposer

Jerami E. Gondok K. Kopi K. Kakao Rataan

Tanpa Dekomposer 0,58 b 0,57 d 0,27 b 0,53 b 0,49 EM-4 0,78 a 0,81 b 0,51 ab 0,98 a 0,77 Trichoderma 0,75 a 0,79 b 0,51 ab 1,10 a 0,79 Urine Domba 0,72 a 0,69 c 0,64 a 1,13 a 0,80 Darah RPH 0,78 a 0,89 a 0,65 a 1,14 a 0,86 Rataan 0,72 0,75 0,52 0,98

Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.

Kandungan C-organik

Perlakuan bahan kompos maupun jenis dekomposer berpengaruh sangat nyata terhadap C-organik kompos. Kedua perlakuan memperlihatkan adanya interaksi yang sangat nyata terhadap kandungan C-organik kompos (Lampiran 12). Perlakuan pemberian dekomposer berbeda nyata dengan perlakuan tanpa dekomposer terhadap kandungan C-organik pada bahan kompos jerami, kulit kopi dan kulit kakao. Pada bahan kompos eceng gondok perlakuan pemberian dekomposer EM-4 dan Trichoderma sp berbeda tidak nyata dengan tanpa pemberian dekomposer. Perlakuan pemberian dekomposer Trichoderma sp, urine domba dan darah RPH berbeda tidak nyata terhadap kandungan C-organik bahan kompos kulit kakao. Kandungan C-organik tertinggi terjadi pada kulit kopi tanpa dekomposer adalah 52,24, terendah terjadi pada kulit kakao dengan dekomposer urine Domba dan darah RPH masing-masing 25,38 (Tabel 9).

Tabel 9. Kandungan C-organik (%) terhadap berbagai bahan baku dan pemberian dekomposer

Bahan Kompos Dekomposer

Jerami E. Gondok K. Kopi K. Kakao Rataan Tanpa Dekomposer 36,31 a 31,47 b 52,24 a 31,39 a 37,85 EM-4 31,35 c 31,16 b 47,25 b 26,16 b 33,98 Trichoderma 32,23 b 31,55 b 46,19 c 25,42 c 33,84 Urine Domba 32,00 b 32,45 a 46,50 c 25,38 c 34,08 Darah RPH 30,82 d 30,13 c 45,28 d 25,38 c 32,90 Rataan 32,54 31,35 47,49 26,75

Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.

Kandungan N-total

Perlakuan bahan kompos maupun jenis dekomposer berpengaruh sangat nyata terhadap kandungan N-total kompos. Kedua perlakuan memperlihatkan adanya interaksi yang sangat nyata terhadap kandungan N-total kompos (Lampiran 14). Perlakuan pemberian dekomposer berbeda nyata dengan perlakuan tanpa dekomposer terhadap kandungan N-total pada semua bahan kompos. Perlakuan pemberian darah RPH memberikan kandungan N-total yang paling tinggi dan berbeda nyata pada bahan kompos jerami, eceng gondok dan kulit kopi. Sedangkan pada bahan kompos kulit kakao perlakuan pemberian berbagai dekomposer berbeda tidak nyata terhadap kandungan N-total. Kandungan N-total tertinggi terjadi pada interaksi bahan kompos kulit kopi dengan dekomposer darah RPH sebesar 2,09%, terendah pada eceng gondok tanpa dekomposer sebesar 0,95% (Tabel 10).

51

Tabel 10. Kandungan N-total (%) terhadap berbagai bahan baku dan pemberian dekomposer

Bahan Kompos Dekomposer

Jerami E. Gondok K. Kopi K. Kakao Rataan

Tanpa Dekomposer 1,32 d 0,95 d 1,29 d 1,22 b 1,19 EM-4 1,64 ab 1,65 b 1,77 b 1,82 a 1,72 Trichoderma 1,55 c 1,52 c 1,72 b 1,83 a 1,65 Urine Domba 1,60 bc 1,49 c 1,61 c 1,82 a 1,63 Darah RPH 1,69 a 1,92 a 2,09 a 1,82 a 1,88 Rataan 1,56 1,51 1,69 1,70

Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.

Rasio C/N

Perlakuan bahan kompos maupun jenis dekomposer berpengaruh sangat nyata terhadap rasio C/N kompos. Kedua perlakuan memperlihatkan adanya interaksi yang sangat nyata terhadap rasio C/N kompos (Lampiran 16). Secara umum perlakuan tanpa dekomposer mempunyai rasio C/N yang tertinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan pemberian dekomposer pada semua bahan kompos. Perlakuan pemberian darah RPH memberikan rasio C/N yang paling rendah dan berbeda nyata pada bahan kompos jerami, eceng gondok dan kulit kopi. Sedangkan pada bahan kompos kulit kakao perlakuan pemberian berbagai dekomposer berbeda tidak nyata terhadap rasio C/N. Rasio C/N tertinggi terjadi pada kulit kopi tanpa decomposer sebesar 44,91 dan yang terendah terjadi pada interaksi bahan kompos kulit kakao dengan dekomposer Trichoderma sp sebesar 13,89 (Tabel 11).

Tabel 11. Rasio C/N terhadap berbagai bahan baku dan pemberian dekomposer Bahan Kompos

Dekomposer

Jerami E. Gondok K. Kopi K. Kakao Rataan Tanpa Dekomposer 27,46 a 33,02 a 44,91 a 25,68 a 32,77 EM-4 19,07 cd 18,94 d 26,70 b 14,34 b 19,76 Trichoderma 20,75 b 20,76 c 26,75 b 13,89 b 20,54 Urine Domba 20,00 bc 21,73 b 23,85 c 13,92 b 19,88 Darah RPH 18,31 d 15,64 e 21,74 d 13,97 b 17,42 Rataan 21,12 22,02 28,79 16,36

Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.

Kandungan Fosfor

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan bahan kompos maupun jenis dekomposer berpengaruh sangat nyata terhadap kandungan fosfor kompos. Kedua perlakuan memperlihatkan adanya interaksi yang sangat nyata terhadap kandungan fosfor kompos (Lampiran 18). Perlakuan pemberian dekomposer berbeda nyata dengan perlakuan tanpa dekomposer terhadap kandungan fosfor pada bahan kompos jerami dan eceng gondok. Sedangkan pada bahan kompos kulit kopi dan kulit kakao perlakuan pemberian dekomposer EM-4 dan Trichoderma sp berbeda tidak nyata dengan tanpa dekomposer. Perlakuan pemberian dekomposer darah RPH memberikan kandungan fosfor tertinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan pemberian dekomposer EM-4, Trichoderma sp dan urine domba pada bahan kompos jerami dan eceng gondok. Kandungan fosfor yang paling tinggi adalah 1,88% terjadi pada interaksi bahan kompos eceng gondok dengan dekomposer darah RPH sedangkan yang paling rendah adalah 0,06% pada kompos kulit kopi tanpa

53

Tabel 12. Kandungan fosfor (%) terhadap berbagai bahan baku dan pemberian dekomposer Bahan Kompos

Dekomposer

Jerami E. Gondok K. Kopi K. Kakao Rataan

Tanpa Dekomposer 0,19 c 1,14 d 0,06 b 0,22 b 0,40 EM-4 0,24 b 1,21 c 0,08 b 0,25 b 0,44 Trichoderma 0,23 b 1,31 b 0,06 b 0,24 b 0,46 Urine Domba 0,27 b 1,34 b 1,13 a 0,35 a 0,77 Darah RPH 0,32 a 1,88 a 1,15 a 0,36 a 0,93 Rataan 0,25 1,37 0,50 0,28

Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.

Kandungan Kalium

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan bahan kompos maupun jenis dekomposer berpengaruh sangat nyata terhadap kandungan kalium kompos. Kedua perlakuan memperlihatkan adanya interaksi yang sangat nyata terhadap kandungan fosfor kompos (Lampiran 20). Perlakuan pemberian dekomposer berbeda tidak nyata dengan perlakuan tanpa dekomposer terhadap kandungan kalium pada bahan kompos jerami dan kulit kopi. Sedangkan pada bahan kompos eceng gondok dan kulit kakao perlakuan pemberian dekomposer Trichoderma sp dan urine sapi berbeda tidak nyata dengan tanpa dekomposer. Kandungan kalium yang paling tinggi adalah 2,98% terjadi pada interaksi kompos kulit kakao dengan dekomposer darah RPH sedangkan yang paling rendah adalah 0,40% pada kompos jerami tanpa dekomposer (Tabel 13).

Tabel 13. Kandungan kalium (%) terhadap berbagai bahan baku dan pemberian dekomposer

Bahan Kompos Dekomposer

Jerami E. Gondok K. Kopi K. Kakao Rataan

Tanpa Dekomposer 0,40 1,14b 0,86 2,56 b 1,24 EM-4 0,45 0,87c 0,87 2,88 a 1,27 Trichoderma 0,46A 1,31b 0,86 2,58 b 1,30 Urine Domba 0,44 1,34b 0,94 2,49 b 1,30 Darah RPH 0,43 1,90a 0,93 2,98 a 1,56 Rataan 0,44 1,31 0,89 2,70

Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.

Pengaruh Tunggal Jenis Bahan Kompos dan Dekomposer

Berdasarkan perlakuan jenis bahan kompos diperoleh kompresibilitas kompos yang paling tinggi terjadi pada bahan kompos kulit kakao (9,76 g/cm3) dan terendah terjadi pada bahan kompos kulit kopi (1,36 g/cm3). Rasio C/N nilai yang paling tinggi diperoleh pada bahan kompos kulit kopi 28,79 dan yang terendah diperoleh pada bahan kompos kulit kakao 16,36. Kandungan P yang paling tinggi diperoleh pada bahan kompos eceng gondok 1,37% dan yang terendah diperoleh pada bahan kompos jerami 0,25%. Kandungan K yang paling tinggi diperoleh pada bahan kompos kulit kakao 2,70% dan yang terendah pada bahan kompos jerami 0,44.

Berdasarkan perlakuan jenis dekomposer diperoleh kompresibilitas kompos yang paling tinggi terjadi pada jenis decomposer darah RPH (4,45 g/cm3) dan terendah terjadi pada perlakuan tanpa dekomposer (2,89 g/cm3). Rasio C/N nilai yang paling tinggi

55

tinggi diperoleh pada perlakuan jenis dekomposer darah RPH sebesar 0,93% dan yang terendah diperoleh pada perlakuan tanpa dekomposer 0,40%. Kandungan K yang paling tinggi diperoleh pada perlakuan jenis dekomposer darah RPH 1,56% dan yang terendah pada perlakuan tanpa dekomposer 1,24.

Tabel 14. Kompresibilitas, indeks perkecambahan dan komposisi hara kompos yang dihasilkan dari berbagai bahan kompos dan jenis dekomposer setelah 4 bulan Perlakuan Kompr. (g/cm3) I. P. C-organik (%) N-total (%) C/N P K Bahan Kompos Jerami 1,81d 0,72b 32,54b 1,56b 21,12b 0,25c 0,44c E. Gondok 2,24c 0,75b 31,35c 1,51b 22,02b 1,37a 1,31b

K. Kopi 1,36b 0,52c 47,49a 1,69a 28,79a 0,50b 0,89bc

K. Kakao 9,76a 0,98a 26,75d 1,70a 16,36c 0,28c 2,70a

Dekomposer

Tanpa 2,89d 0,49c 37,85a 1,19d 32,77a 0,40d 1,24b

EM-4 3,74c 0,77b 33,98d 1,72b 19,76b 0,44c 1,27b

Trichoderma sp 3,92b 0,79b 33,84d 1,65c 20,54b 0,46c 1,30b Urine Domba 3,97b 0,80ab 34,08b 1,63c 19,88b 0,77b 1,30b Darah RPH 4,45a 0,86a 32,90c 1,88a 17,42c 0,93a 1,56a

Hubungan Rasio C/N dengan Indeks Perkecambahan

Secara umum hubungan antara rasio C/N dengan indeks perkecambahan menunjukkan korelasi negatif yang kuat. Hal ini berarti semakin rendah rasio C/N, maka indeks perkecambahan semakin tinggi demikian sebaliknya. Nilai koefisien korelasi (r) dari masing-masing bahan adalah : jerami padi r = - 0,94, eceng gondok r = - 0,92, kulit kopi r = - 0,94 dan kulit kakao r = - 0,96. Sebaran data rasio C/N kompos dengan indeks perkecambahan dapat dilihat pada Gambar 3. berikut:

Jerami Padi 0,50 0,55 0,60 0,65 0,70 0,75 0,80 0,85 16,5 18,5 20,5 22,5 24,5 26,5 28,5 30,5 Eceng Gondok 0,50 0,55 0,60 0,65 0,70 0,75 0,80 0,85 0,90 0,95 15 20 25 30 35 Kulit Kopi 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 18 23 28 33 38 43 48 Kulit Kakao 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1,0 1,1 1,2 12 14 16 18 20 22 24 26 28

Gambar 2. Grafik pencar rasio C/N dengan indeks perkecambahan Hubungan Kompresibilitas dengan Indeks Perkecambahan

Secara umum hubungan antara kompresibilitas dengan indeks perkecambahan menunjukkan korelasi positif yang kuat. Hal ini berarti semakin tinggi kompresibilitas, maka indeks perkecambahan juga semakin tinggi. Nilai koefisien korelasi (r) dari masing-masing bahan : jerami padi r = 0,94, eceng gondok r = 0,90, kulit kopi r = 0,56 dan kulit

Rasio C/N Inde ks P erk ec am ba h an

57

kakao r = 0,90. Sebaran data kompresibilitas kompos dengan indeks perkecambahan dapat dilihat pada Gambar 4. berikut:

Jerami Padi 0,40 0,45 0,50 0,55 0,60 0,65 0,70 0,75 0,80 0,85 1,4 1,5 1,6 1,7 1,8 1,9 2 Eceng Gondok 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90 1,00 1,5 1,7 1,9 2,1 2,3 2,5 2,7 2,9 Kulit Kopi 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 1,10 1,20 1,30 1,40 1,50 1,60 Kulit Kakao 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90 1,00 1,10 1,20 7 8 9 10 11 12 13

Gambar 3. Grafik pencar kompresibilitas kompos dengan indeks perkecambahan

Hubungan Kompresibilitas dengan Rasio C/N

Secara umum hubungan antara kompresibilitas dengan rasio C/N menunjukkan korelasi negatif yang kuat. Hal ini berarti semakin rendah rasio C/N, maka kompresibilitas

Kompresibilitas (g/cm3) Inde ks P erk ec am ba h an

semakin tinggi, demikian sebalinya. Nilai koefisien korelasi (r) dan koefisien determinasi (R2) dari masing-masing bahan : jerami padi r = - 0,98, eceng gondok r = - 0,98, kulit kopi r = - 0,74 dan kulit kakao r = - 0,85. Sebaran data rasio C/N kompos dengan kompresibilitas dapat dilihat pada Gambar 5. berikut:

Jerami Padi 18 20 22 24 26 28 30 1,4 1,5 1,6 1,7 1,8 1,9 2 Eceng Gondok 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 1,5 2 2,5 3 Kulit Kopi 22 27 32 37 42 47 1,12 1,22 1,32 1,42 1,52 1,62 Kulit Kakao 13 15 17 19 21 23 25 27 29 7 8 9 10 11 12 1 Kompresibilitas (g/cm3) Ra si o C/ N

i

PEMBAHASAN

Kompresibilitas Kompos

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan laju kompresibilitas dipengaruhi oleh bahan kompos dan jenis dekomposer. Peningkatan laju kompresibilitas kulit kakao jauh lebih tinggi dari pada bahan kompos lainnya. Kompresibilitas kompos kulit kakao nyata lebih tinggi dari pada eceng gondok, jerami padi dan kulit kopi. Peningkatan kompresibilitas jerami padi dari minggu ke-1 sampai minggu ke-2 adalah 20,31%, dari minggu ke-2 sampai minggu ke-3 meningkat menjadi 51,95%, kemudian dari minggu ke-3 sampai minggu ke-4 juga meningkat menjadi 54,70%. Pada bahan eceng gondok dan kulit kopi kecenderungan peningkatan kompresibilitas hampir sama yakni cenderung meningkat pada minggu ke-1 sampai minggu ke-2, pada minggu ke-2 sampai minggu ke-3 kompresibilitas juga meningkat, kemudian pada minggu ke-3 sampai minggu ke-4 cenderung menurun yaitu 41,77% pada eceng gondok dan 21,43% pada kulit kopi. Sedangkan pada kulit kakao peningkatan nilai kompresibilitas terjadi pada minggu ke-1 sampai minggu ke-2 sebesar 117,95%, setelah minggu ke-2 sampai minggu ke-3 terjadi penurunan menjadi 32,65%, dan dari minggu ke-3 sampai minggu ke-4 cenderung meningkat yakni masing-masing 116,41%. Pengomposan kulit kakao selama 4 minggu mengakibatkan kompresibilitas kompos kulit kakao mencapai 9,76 g/cm3 yang merupakan lebih tujuh kali lipat dari kompresibilitas kompos kulit kopi sebesar 1,36 g/cm3. Adanya kecenderungan peningkatan kompresibilitas kemungkinan disebabkan terjadinya

dilepas ke lingkungannya. Perubahan kompresibilitas menunjukkan perubahan volume bahan. Dengan berjalannya waktu volume bahan makin berkurang yang besarnya tergantung pada jenis bahan (Baon et al. 2005). Terjadi penyusutan volume/bobot kompos seiring dengan kematangan kompos. Besarnya penyusutan tergantung pada karakteristik bahan mentah dan tingkat kematangan kompos. Berkurangnya volume bahan pengomposan ini disebabkan selama proses dekomposisi bahan organik sebagian kadar karbon dikonversi menjadi penyusun sel mikroba disebut biomasa, dan sebagian lainnya digunakan untuk respirasi dan dikonversi menjadi panas, karbon dioksida, amonia dan uap air (Jakobsen, 1994). Umumnya sekitar 2/3 dari karbon dibebaskan sebagai CO2 dan 1/3 bahagiannya lagi bersenyawa dengan nitrogen dalam sel hidup mikrooganisme (Sutedjo et al. 1991). Menurut Matus, 1994 bahwa pengomposan bahan organik juga termasuk peruraian secara fisik sehingga berdampak pada kompresibilitas bahan yang dikomposkan.

Pemberian dekomposer berpengaruh nyata terhadap laju dekomposisi walaupun tidak sebesar pengaruh bahan kompos. Kompresibilitas akibat pemberian darah dari rumah pemotongan hewan (RPH) cenderung lebih tinggi dari pada pemberian EM-4, Trichoderma

sp dan urin Domba. Walaupun populasi mikroorganisme di dalam dekomposer darah RPH lebih rendah daripada populasi mikroorganisme pada dekomposer lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa ada faktor lain yang terdapat di dalam darah RPH yang mampu memacu proses pengomposan. Faktor lain yang berpengaruh selain jenis dan populasi mikroorganisme serta lingkungan adalah kehadiran aktivator. Aktivator pengomposan

iii

senyawa seperti protein, asam amino dan lain-lainnya. Beberapa aktivator alami yang dapat digunakan dalam pengomposan adalah pupuk kandang, darah hewan dan urine (Martin dan Gershuny, 1992). Pengaruh darah RPH terhadap kompresibilitas lebih nyata terlihat pada waktu pengomposan 4 minggu. Darah hewan mengandung banyak sekali ion, molekul anorganik dan molekul organik yang sedang diangkut ke berbagai bagian tubuh. Darah hewan terdiri dari plasma yang mengandung gas, glukosa, lemak, substansi non protein, nitrogen, enzim, hormon, vitamin dan pigmen. Protein plasma terdiri dari 90% air dan 10% zat padat. Bahan padat ini terdiri dari 7% protein yang meliputi antibodi, fosfolipida kolesterol, glukosa, enzim sedangkan bahan anorganik bukan protein terdiri dari P, Na, Ca, K, Mg, Fe dan HCO3 (Fradson, 1981). Kemudian darah hewan mengandung nitrogen yang tinggi yaitu 10-14% per berat kering (Setyorini dkk, 2007). Hal inilah kemungkinan yang menyebabkan darah RPH ini mempunyai laju dekomposisi yang lebih tinggi karena kandungan nitrogen dalam darah meningkatkan aktivitas mikroorganisme selama proses dekomposisi.

Indeks Perkecambahan

Berdasarkan hasil percobaan diperoleh bahwa perlakuan bahan kompos maupun jenis dekomposer berpengaruh sangat nyata terhadap indeks perkecambahan. Rata-rata indeks perkecambahan yang paling tinggi terjadi pada kompos kulit kakao dan yang paling rendah pada kompos kulit kopi. Hal ini berhubungan dengan tingkat kematangan kompos yang berarti laju dekomposisi kulit kakao lebih tinggi dari pada kulit kopi. Kemudian

adalah darah RPH sebesar 0,86 dan yang terendah adalah tanpa dekomposer sebesar 0,49. Menurut Isroi (2007) nilai indeks perkecambahan berhubungan dengan tingkat

Dokumen terkait