LAJU DEKOMPOSISI SECARA AEROBIK DAN KUALITAS
KOMPOS DARI BERBAGAI RESIDU TANAMAN
DENGAN PENAMBAHAN BERBAGAI DEKOMPOSER
T E S I S
Oleh :
DARWIN HARAHAP 067 002001 / TNH
FAKULTAS PERTANIAN PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
T E S I S
Untuk Memperoleh Gelar Magister Pertanian dalam
Program Studi Ilmu Tanah pada Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
Oleh :
DARWIN HARAHAP 067 002001 / TNH
FAKULTAS PERTANIAN PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : LAJU DEKOMPOSISI SECARA AEROBIK DAN
KUALITAS KOMPOS DARI BERBAGAI RESIDU
TANAMAN DENGAN PENAMBAHAN BERBAGAI DEKOMPOSER
Nama Mahasiswa : Darwin Harahap Nomor Pokok : 067 002 001 Program Studi : Ilmu Tanah
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Ir. T. Sabrina, M.AgrSc, Ph.D) ( Ir. Ali Jamil, MP., Ph.D )
Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Dekan,
Tanggal 18 Agustus 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Ir. T. Sabrina, M.Agr.Sc., Ph.D Anggota 1. Ir. Ali Jamil, MP., Ph.D
2. Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP.
ABSTRAK
Darwin Harahap.067002001. Laju Dekomposisi Secara Aerobik dan Kualitas Kompos dari Berbagai Residu Tanaman dengan Penambahan Berbagai Dekomposer.Tujuan Penelitian untuk mengetahui pengaruh beberapa Dekomposer terhadap laju dekomposisi secara aerobik dan kualitas kompos yang dihasilkan dari berbagai residu tanaman. Penelitian dilaksanakan di laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara Medan.Penelitian berlangsung dari bulan April sampai dengan Juni 2009 .Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan menggunakan 2 faktor dan 3 ulangan, faktor pertama adalah jenis residu tanaman sebagai bahan kompos, terdiri dari 4 jenis yaitu jerami padi, eceng gondok, kulit kopi dan kulit kakao, faktor kedua adalah jenis dekomposer terdiri dari 5 jenis yaitu tanpa dekomposer, EM-4, Trichoderma sp, urine domba dan darah rumah potong hewan, sehingga jumlah satuan percobaan menjadi 60 satuan. Peubah yang diamati: kompresibilitas kompos, indeks perkecambahan, rasio C/N, C-organik, kandungan N-total, kadar P dan kadar K. Data pengamatan dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji Duncan’s multiple range test (DMRT). Hasil penelitian menunjukkan laju dekomposisi yang paling tinggi terjadi pada perlakuan kombinasi kulit kakao dengan dekomposer darah rumah potong hewan sedangkan laju dekomposisi yang terendah pada perlakuan kulit kopi tanpa dekomposer. Rasio C/N yang paling rendah adalah perlakuan kombinasi kulit kakao dengan dekomposer Trichoderma sp ,sedangkan rasio C/N yang tertinggi pada kulit kopi tanpa dekomposer. Penurunan rasio C/N diikuti dengan peningkatan nilai kompresibilitas serta peningkatan nilai indeks pertambahan. Rasio C/N, nilai kompresibilitas dan indeks pertambahan dapat digunakan sebagai indikator kematangan kompos. Penggunaan dekomposer darah rumah potong hewan dapat meningkatkan kualitas kompos berupa peningkatan kandungan fosfor dan kalium
ABSTRACT
Darwin Harahap. 067002001. The Aerobic Decomposition Rate and the Quality of Crop Residues Compost by Adding of Some Decomposers. The purpose of this research is to examine the effect of some decomposers to increase the rate of the aerobic decomposition and to enhance the quality of compost from some crop residues. This research was done at North Sumatera Assessment Institute of Agricultural Technology Laboratory Medan from April till June 2009. The research used of a complete block design factorial with 2 factors and 3 replications. The first factor was the type of crop residues as compost material, consists of 4 type of residues; those were rice straw, the water hyacinth, the coffee skin and the cacao skin. The second factor was kinds the type of the decomposer; those were without decomposer, EM-4, Trichoderma sp, the sheep urine and the animal blood from abattoir, then the amount of experimental unit were 60 units. The observed parameters were compost compressibility, index of germination, C/N ratio, C-organic, N-total content, P and K content. Observation data was analyzed using Duncan’s Multiple Range Test (DMRT). The result of this research showed that the highest decomposition rate was found in the combination of cacao skin and animal blood from abattoir treatment, while the lowest decomposition rate was found in the coffee skin compost and in the compost processed without decomposer treatment. The lowest C/N ratio was found in the combination of cacao skin and decomposer of Trichoderma sp treatment, while the highest of C/N ratio was in the compost from coffee skin and in the compost processed without decomposer. The decreasing of C/N ratio was followed by the increasing of compressibility and the index of germination. The C/N ratio, compressibility and the index of germination can be used as indicator for compost maturity. The animal blood from abattoir decomposer can increased compost quality by seeing the increasing of its P and K content.
Key words : Decomposition rate, crop residues, decomposer.
7
UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul : Laju
Dekomposisi Secara Aerobik Dan Kualitas Kompos Dari Berbagai Residu Tanaman
Dengan Penambahan Berbagai Dekomposer.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Ir. T.Sabrina, M.Agr.Sc, Ph.D selaku ketua komisi pembimbing yang telah
banyak membimbing penulis hingga selesainya penulisan tesis ini.
2. Bapak Ir. Ali Jamil, MP, Ph.D selaku anggota komisi pembimbing yang telah
banyak membimbing penulis hingga selesainya penulisan tesis ini.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. B.Sengli J. Damanik, M.Sc selaku dosen penguji yang telah
memberikan saran untuk kelengkapan tesis ini.
4. Ibu Prof.Dr. Ir. Rosmayati, MS selaku dosen penguji yang telah memberikan saran
untuk kelengkapan tesis ini.
5. Ibu Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP, selaku dosen penguji yang telah memberikan
banyak masukan demi kelengkapan tesis ini.
6. Bapak dan Ibu staf pengajar Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang
tidak dapat penulis sampaikan satu per satu, terima kasih penulis atas ilmu yang
7. Bapak Prof. Dr. Ir. Darma Bakti,M.S, sebagai Dekan Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara dan Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., MSc (CTM),
Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
8. Bapak Kepala Balai Pengkajian Teknologi Sumatera Utara yang telah memberikan
bantuan fasilitas dalam meraih gelar Magister Sains ini.
9. Bapak Ir. Musfal, MP, selaku Kepala Laboratorium Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Sumatera Utara yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam
pelaksanaan penelitian.
10.Analisis laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian USU yang telah
membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian.
11.Kepada rekan-rekan mahasiswa SPs USU Program Studi Ilmu Tanah angkatan 2006
yang telah membantu penulis dalam menyelesaiakan tesis ini.
12.Isteriku Hj. Pelita Hati Siregar S.Kep, dan anak-anakku Ernita Afriliany Harahap,
Iman Pebriansyah Harahap dan Muhammad Faisal Harahap yang selalu
memberikan dorongan semangat sehingga penulis dapat menyelesaiakan tesis ini.
Medan, September 2010
9
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karuniaNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul : Laju Dekomposisi Secara
Aerobik Dan Kualitas Kompos Dari Berbagai Residu Tanaman Dengan Penambahan
Berbagai Dekomposer.
Tesis ini merupakan salah satu syarat akademik dalam meraih gelar Magister
Pertanian pada Program Studi Ilmu Tanah di Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari tesis ini mungkin masih ada kekurangan, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang baik dari pembaca. Atas kritik dan saran yang baik
penulis mengucapkan terima kasih. Semoga tesis ini bermanfaat bagi masyarakat
akademisi, praktisi pertanian maupun para petani.
Medan, September 2010
Hormat saya
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 13 Januari 1962 di Padangsidempuan Sumatera
Utara. Penulis adalah anak ke- empat dari tujuh bersaudara dari Ayahanda H. Laru Harahap
(Almarhum) dan Ibunda Syarifah Batubara (Almarhumah). Penulis diberi nama Darwin
Harahap.
Pendidikan yang sudah penulis selesaikan adalah :
1. Sekolah Dasar di SD Negeri 14 Padangsidempuan pada tahun 1974.
2. Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 3 Padangsidempuan pada tahun 1977.
3. Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 2 Padangsidempuan pada tahun 1981.
4. Sarjana Pertanian (S.1) jurusan Budidaya Pertanian pada Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara Medan pada tahun 1987.
5. Pada tahun 2006 penulis melanjutkan penulis melanjutkan pendidikan Magister
Pertanian (S.2) di Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara Medan jurusan
Ilmu Tanah dan selesai pada tahun 2010.
Riwayat pekerjaan penulis adalah:
1. Pada tahun 1991 penulis bekerja di Balai Penelitian Tanaman Hortikultura Solok
Sumatera Barat sebagai peneliti pada pada kelompok pisang hingga tahun 1996.
23. Kegunaa
Dioksida dan Aktivitas Mikroba………. 20
33.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengomposan……… 26
34. Produk
dari Proses Pengomposan……….
13
Perkecambahan………. 41
47. Kandunga Tunggal Jenis Bahan Kompos dan Dekomposer…………... 47
52. Hubungan
Rasio C/N dengan Indeks Perkecambahan……….. 48
53. Hubungan
Kompresibilitas dengan Indeks Perkecambahan…………. 49
54. Hubungan
60. Kandunga
Rasio C/N dengan Indeks Perkecambahan……….. 59
65. Hubungan
Kompresibilitas dengan Indeks Perkecambahan …………. 60
66. Hubungan
15
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
1. Kadar air berbagai bahan kompos yang direkomendasikan ………... 24
2. Kondisi optimal proses pengomposan……… 27
3. Kompresibilitas kompos (g/cm3) dari pengomposan berbagai bahan
dan berbagai dekomposer pada minggu-1……….. 35
4 . Kompresibilitas kompos (g/cm3) dari pengomposan berbagai bahan
dan berbagai dekomposer pada minggu-2……….. 37
5. Kompresibilitas kompos (g/cm3) dari pengomposan berbagai bahan
dan berbagai dekomposer pada minggu-3………. 38
6 Kompresibilitas kompos (g/cm3) dari pengomposan berbagai bahan
dan berbagai dekomposer pada minggu-4………. 39
7. Peningkatan nilai kompresibilitas (g/cm3) kompos dari berbagai bahan residu tanaman selama 4 minggu ………. 39 .
8. Indeks perkecambahan pada berbagai bahan baku dan dekomposer……... 42
9. Kandungan C-organik (%) terhadap berbagai bahan baku dan pemberian
dekomposer... 43
10. Kandungan N-total (%) terhadap berbagai bahan baku dan pemberian
dekomposer……… 44
11. Rasio C/N terhadap berbagai bahan baku dan pemberian dekomposer…… 45
12. Kandungan fosfor (%) terhadap berbagai bahan baku dan pemberian
dekomposer... 46
13. Kandungan kalium (%) terhadap berbagai bahan baku dan pemberian
dekomposer... 47
dekomposer setelah 4 minggu... 48
DAFTAR GAMBAR No. Judul Halaman 1.Perubahan kompresibilitas pengomposan jerami, eceng gondok, kulit kopi dan kulit kakao selama 4 minggu……… 40
2.Grafik pencar rasio C/N dengan indeks perkecambahan... 49
3.Grafik pencar kompresibilitas kompos dengan indeks perkecambahan... 50
17
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
1.Data Pengamatan Kompresibilitas Kompos Minggu ke-1... 70
2. Analisis Sidik Ragam Kompresibilitas Kompos Minggu ke-1... 70
3.Data Pengamatan Kompresibilitas Kompos Minggu ke-2... 71
4.Analisis Sidik Ragam Kompresibilitas Kompos Minggu ke-2... 71
5. Data Pengamatan Kompresibilitas Kompos Minggu ke-3... 72
6. Analisis Sidik Ragam Kompresibilitas Kompos Minggu ke-3... 72
7. Data Pengamatan Kompresibilitas Kompos Minggu ke-4... 73
8. Analisis Sidik Ragam Kompresibilitas Kompos Minggu ke-4... 73
9. Data Pengamatan Indeks Perkecambahan Kompos... 74
10. Analisis Sidik Ragam Indeks Perkecambahan Kompos... 74
11. Data Pengamatan Kandungan C-organik Kompos... 75
12. Analisis Sidik Ragam Kandungan C-organik Kompos... 75
13. Data Pengamatan Kandungan N-total Kompos... 76
14. Analisis Sidik Ragam Kandungan N-total Kompos... 76
15.Data Pengamatan Rasio C/N... 77
16. Analisis Sidik Ragam Rasio C/N Kompos... 77
18. Analisis Sidik Ragam Kandungan Fosfor... 78
19. Data Pengamatan Kandungan Kalium... 79
20. Analisis Sidik Ragam Kandungan Kalium... 79
ABSTRAK
Darwin Harahap.067002001. Laju Dekomposisi Secara Aerobik dan Kualitas Kompos dari Berbagai Residu Tanaman dengan Penambahan Berbagai Dekomposer.Tujuan Penelitian untuk mengetahui pengaruh beberapa Dekomposer terhadap laju dekomposisi secara aerobik dan kualitas kompos yang dihasilkan dari berbagai residu tanaman. Penelitian dilaksanakan di laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara Medan.Penelitian berlangsung dari bulan April sampai dengan Juni 2009 .Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan menggunakan 2 faktor dan 3 ulangan, faktor pertama adalah jenis residu tanaman sebagai bahan kompos, terdiri dari 4 jenis yaitu jerami padi, eceng gondok, kulit kopi dan kulit kakao, faktor kedua adalah jenis dekomposer terdiri dari 5 jenis yaitu tanpa dekomposer, EM-4, Trichoderma sp, urine domba dan darah rumah potong hewan, sehingga jumlah satuan percobaan menjadi 60 satuan. Peubah yang diamati: kompresibilitas kompos, indeks perkecambahan, rasio C/N, C-organik, kandungan N-total, kadar P dan kadar K. Data pengamatan dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji Duncan’s multiple range test (DMRT). Hasil penelitian menunjukkan laju dekomposisi yang paling tinggi terjadi pada perlakuan kombinasi kulit kakao dengan dekomposer darah rumah potong hewan sedangkan laju dekomposisi yang terendah pada perlakuan kulit kopi tanpa dekomposer. Rasio C/N yang paling rendah adalah perlakuan kombinasi kulit kakao dengan dekomposer Trichoderma sp ,sedangkan rasio C/N yang tertinggi pada kulit kopi tanpa dekomposer. Penurunan rasio C/N diikuti dengan peningkatan nilai kompresibilitas serta peningkatan nilai indeks pertambahan. Rasio C/N, nilai kompresibilitas dan indeks pertambahan dapat digunakan sebagai indikator kematangan kompos. Penggunaan dekomposer darah rumah potong hewan dapat meningkatkan kualitas kompos berupa peningkatan kandungan fosfor dan kalium
ABSTRACT
Darwin Harahap. 067002001. The Aerobic Decomposition Rate and the Quality of Crop Residues Compost by Adding of Some Decomposers. The purpose of this research is to examine the effect of some decomposers to increase the rate of the aerobic decomposition and to enhance the quality of compost from some crop residues. This research was done at North Sumatera Assessment Institute of Agricultural Technology Laboratory Medan from April till June 2009. The research used of a complete block design factorial with 2 factors and 3 replications. The first factor was the type of crop residues as compost material, consists of 4 type of residues; those were rice straw, the water hyacinth, the coffee skin and the cacao skin. The second factor was kinds the type of the decomposer; those were without decomposer, EM-4, Trichoderma sp, the sheep urine and the animal blood from abattoir, then the amount of experimental unit were 60 units. The observed parameters were compost compressibility, index of germination, C/N ratio, C-organic, N-total content, P and K content. Observation data was analyzed using Duncan’s Multiple Range Test (DMRT). The result of this research showed that the highest decomposition rate was found in the combination of cacao skin and animal blood from abattoir treatment, while the lowest decomposition rate was found in the coffee skin compost and in the compost processed without decomposer treatment. The lowest C/N ratio was found in the combination of cacao skin and decomposer of Trichoderma sp treatment, while the highest of C/N ratio was in the compost from coffee skin and in the compost processed without decomposer. The decreasing of C/N ratio was followed by the increasing of compressibility and the index of germination. The C/N ratio, compressibility and the index of germination can be used as indicator for compost maturity. The animal blood from abattoir decomposer can increased compost quality by seeing the increasing of its P and K content.
Key words : Decomposition rate, crop residues, decomposer.
19
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kandungan bahan organik tanah pada sebagian besar lahan pertanian di Indonesia
dalam tiga dasawarsa terakhir telah mencapai tingkat rendah bahkan sangat rendah.
Menurut Karama, Marzuki dan Manwan ( 1990), sebagian besar (73%) lahan-lahan
tersebut, baik lahan sawah maupun lahan kering mempunyai kandungan bahan organik
yang rendah (>2%) (Setyorini, 2005; Djakakirana dan Sabihan, 2007). Terabaikannya
pengembalian bahan organik kedalam tanah dan intensifnya penggunaan pupuk kimia pada
lahan pertanian telah menyebabkan mutu fisik dan kimia tanah menurun atau sering disebut
kelelahan lahan (land fatigue) (Sisworo, 2006). Kondisi tanah yang demikian menyebabkan biota tanah yang berpengaruh terhadap fiksasi nitrogen dan kelarutan fosfat menurun,
miskin hara mikro, perlindungan terhadap penyakit rendah, boros terhadap penggunaan
pupuk dan air, serta tanaman peka terhadap kekeringan. Produktivitas tanah dan
keberlanjutan produksi pertanian baik tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan
ditentukan oleh kecukupan kandungan bahan organik tanah. Bahan organik tanah
merupakan komponen penting penentu kesuburan tanah, terutama di daerah tropika seperti
di Indonesia dengan suhu udara dan curah hujan yang tinggi. Kandungan bahan organik
yang rendah menyebabkan partikel tanah mudah pecah oleh curah hujan dan terbawa oleh
desertitifikasi. Rendahnya kandungan bahan organik tanah disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara peran bahan dan hilangnya bahan organik dari tanah utamanya
melalui proses oksidasi biologis dalam tanah. Erosi tanah lapisan atas yang kaya akan
bahan organik juga berperan dalam berkurangnya kandungan bahan organik tanah tersebut.
Bahan organik tanah merupakan cadangan (pool) bahan organik yang dinamis, sehingga perubahan bersih (net change) dalam cadangan tersebut lebih informatif dari pada jumlah mutlaknya (Ellert, 2004).
Sebagian besar residu tanaman seperti kulit buah kakao, kulit kopi, sabut kelapa,
jerami padi, tongkol jagung, eceng gondok dan lain-lain sangat berpotensi untuk diolah
menjadi bahan yang bermanfaat untuk meningkatkan kesuburan tanah secara alami sebagai
pupuk organik/kompos .
Kulit buah kakao merupakan komponen terbesar dari buah kakao yaitu sebesar 70%
berat buah masak. Menurut Widyotomo (2007), pada areal 1 ha pertanaman kakao akan
manghasilkan produk samping segar kulit buah sekitar 5,8 ton. Berdasarkan Data Statistik
Perkebunan tahun 2008, luas areal kakao di Indonesia tercatat 992.448 ha, produksi
560.880 ton dan tingkat produktivitas 657 kg/kg/ha. Bobot buah kakao yang dipanen dari 1
ha akan diperoleh 6200 kg kulit buah. Produksi yang tinggi tersebut menghasilkan kulit
buah kakao sebagai produk samping pertanian meningkat. Menurut Darmono dan Panji
(1999), produk samping kulit buah kakao yang dihasilkan dalam jumlah banyak akan
21
Kandungan hara mineral kulit buah kakao cukup tinggi, khususnya hara kalium dan
nitrogen. Penelitian yang dilakukan oleh Goenadi dan Away (2004) menemukan bahwa
kandungan hara kompos yang dibuat dari kulit buah kakao adalah 1,81% N, 26,61%
C-organik, 0,31% P2O5, 6,8% K2O, 1,22% CaO, 1,37% MgO dan 44,85 cmol/kg KTK.
Residu tanaman kopi terdiri dari kulit buah kopi (pulpa) dan kulit tanduk kopi
(Adam and Dougan, 1982). Produksi kopi pada tahun 2008 mencapai 460.000 ton biji kopi,
maka pulpa kopi yang berupa produk samping tersebut mencapai 120.000 ton, sedangkan
produk kulit tanduk sebesar 220.000 ton (BPS,2008). Produk samping kulit biji ini
menumpuk sehingga menyebabkan gangguan baik berupa bau maupun lalat. Kulit kopi
berpotensi untuk digunakan sebagai sumber bahan organik dengan syarat sudah mengalami
pengomposan terlebih dahulu.
Produksi jerami di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 84 juta ton. Jerami padi
tersebut belum dinilai sebagai produk yang memiliki nilai ekonomis. Pada sistem usaha tani
yang intensif jerami sering dianggap sebagai sisa tanaman yang mengganggu pengolahan
tanah dan penanaman padi. Oleh karena itu 75-80% petani membakar jerami beberapa hari
setelah panen padi.
Penggunaan jerami sebagai bahan organik dapat meningkatkan efisiensi
penggunaan pupuk N, memperbaiki kesuburan tanah dengan menyediakan unsur hara
Eceng gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solm) merupakan gulma yang sangat cepat berkembang. Apabila tidak dikendalikan akan mengakibatkan masalah lingkungan.
Selain memberikan dampak negatif, eceng gondok juga memberikan dampak positif antara
lain sebagai bahan baku pupuk organik. Kandungan N, P, K dalam kompos eceng gondok
masing-masing hádala 0,4% N, 0,114% P dan 7,53% K sedangkan C-organik adalah
47,61% bahan kering (Wahyu, 2008) .
Pada umumnya residu tanaman merupakan sumber bahan organik yang potensial.
Namun tingginya rasio C/N bahan organik tersebut merupakan kendala utama (rasio C/N
kulit kopi 140, jerami padi 80) akibatnya proses dekomposisi secara alami akan berjalan
lebih lama. Pengomposan residu tanaman mesti dilakukan untuk menghindari pengaruh
negatifnya terhadap tanaman, akibat dari rasio C/N bahan yang cukup tinggi, disamping
untuk mengurangi volume bahan agar memudahkan dalam aplikasi serta menghindari
terjadinya pencemaran lingkungan. Laju pengomposan tergantung pada ukuran partikel,
kekuatan struktur bahan, aerasi, komposisi bahan, ketersediaan mikro organisme
(dekomposer), kelembaban, pengadukan dan volume tumpukan (Gray and Bidlestone,
1984). Makin tinggi nisbah C/N bahan baku, makin lama laju pengomposannya.
Sehubungan dengan permasalahan diatas, maka salah satu cara yang dapat dilakukan adalah
dengan pemberian mikroorganisme (dekomposer).
23
Beberapa residu tanaman seperti kulit kopi, kulit kakao, jerami padi dan eceng
gondok cukup banyak tersedia, akan tetapi belum dimanfaatkan secara optimal sehingga
dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Produk samping Residu tanaman
tersebut berpotensi digunakan sebagai sumber bahan organik. Akan tetapi rasio C/N,
kandungan selulosa dan lignin yang tinggi menyebabkan produk residu tanaman tersebut
lambat mengalami dekomposisi secara alami. Salah satu upaya untuk mempercepat proses
pengomposan dapat dilakukan dengan memberikan dekomposer. Berbagai jenis
dekomposer seperti EM-4, Trichoderma sp telah sering digunakan. Sedangkan urine domba dan darah RPH belum banyak digunakan sebagai dekomposer. Berdasarkan alasan tersebut,
maka perlu dilakukan penelitian untuk memanfaatkan residu tanaman menjadi kompos
dengan menggunakan dekomposer yang dapat diperoleh dengan mudah oleh pengguna.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pengaruh beberapa dekomposer terhadap laju dekomposisi
secara aerobik dan kualitas kompos yang dihasilkan dari berbagai produk samping
Hipotesis Penelitian
1. Pemberian dekomposer meningkatkan laju dekomposisi secara aerobik dan kualitas
kompos.
2. Residu tanaman yang berbeda mempunyai laju dekomposisi serta kualitas kompos
3. Pemberian dekomposer pada tiap residu tanaman yang berbeda akan mempengaruhi
laju dekomposisi serta kualitas kompos.
Kegunaan Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat
dalam pemanfaatan residu tanaman sebagai kompos dan peranan dekomposer dalam
mempercepat dan meningkatkan kualitas kompos sehingga dapat memberikan kontribusi
TINJAUAN PUSTAKA
Residu Tanaman
Perkembangan dalam bidang pertanian dan industri pertanian di Indonesia,
seringkali menimbulkan peningkatan residu tanaman yang sebagian besar merupakan
produk samping yang menandung lignoselulosa. Secara kimia produk samping pertanian
mengandung lignoselulosa yang tinggi dapat diolah menjadi produk-produk yang bernilai
ekonomis. Dari residu tanaman antara lain berupa sisa tanaman (jerami, brangkasan, gulma
eceng gondok), sisa hasil pertanian (kulit kopi, kulit kakao, sekam padi, ampas tebu, residu
tanaman kelapa sawit dll). Pupuk kandang berupa (kotoran sapi, kerbau, kambing, ayam
dan kuda) (Kurnia et al 2001; Atmojo, 2002). Produk samping tanaman seperti jerami padi , serasah kacang tanah, serasah jagung dan sabut kelapa sangat berperan sebagai sumber
hara (Alwi dan Nazemi, 2000). Penggunaan residu tanaman sebagai pupuk organik juga
dapat memperbaiki struktur tanah terutama pada lahan marjinal sehingga mampu
memberikan daya dukung yang lebih bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Selanjutnya Djazuli (2002), mengatakan bahwa pengomposan produk samping nilam
dengan cara menggunakan aktivator EM-4 1% dan pupuk kandang selama 3 minggu
menghasilkan kompos produk samping nilam dengan status hara dan tingkat dekomposisi
yang baik dan mampu meningkatkan bobot terna nilam secara nyata pada tiga taraf
Kandungan hara beberapa residu tanaman ternyata cukup tinggi dan bermanfaat
sebagai sumber energi utama mikroorganisme di dalam tanah. Hara dalam residu tanaman
dapat dimanfaatkan setelah mengalami dekomposisi (Robin et al. 2001).
Jerami padi
Jerami padi adalah bagian vegetatif dari tanaman padi (batang, daun, tangkai malai),
pada waktu tanaman padi dipanen, jerami adalah bagian tanaan yang tidak dipungut. Bobot
jerami padi merupakan fungsi dari; rejim air, varietas. Namun apabila jerami padi diberikan
perlakuan tertentu akan mempercepat terjadinya perubahan strukturnya.
Di Indonesia, jerami padi belum dinilai sebagai produk yang memiliki nilai
ekonomis. Pada sistem usaha tani yang intensif jerami sering dianggap sebagai sisa
tanaman yang mengganggu pengolahan tanah dan penanaman padi. Oleh karena itu,
75-80% petani membakar jerami di tempat, beberapa hari setelah padi dipanen. Sebagian
petani memotong jerami dan menimbunnya di pinggir petakan sawah, kemudian
membakarnya. Tujuan utama petani membakar jerami adalah untuk menyingkirkan jerami
dari petakan sawah dengan cara yang praktis. Perhitungan untung rugi atas tindakan
pembakaran jerami belum dipertimbangkan.
Menurut Makarim et al. (2007) akibat pembakaran jerami dapat meningkatkan suhu udara dipermukaan tanah mencapai 700oC, sehingga dapat memusnahkan mikroba yang
27
mikroba yang memiliki fungsi biologis lain, disamping beberapa jenis hara juga akan
hilang akibat pengaruh suhu tinggi pada saat pembakaran jerami.
Jumlah jerami padi memang cukup banyak tergantung pada luas pertanamannya.
Perbandingan antara bobot gabah yang dipanen dengan jerami (grain straw ratio) pada saat panen padi umumnya 2 : 3. Dari satu hektar lahan sawah dihasilkan 5-8 ton jerami,
tergantung pada varietas yang ditanam dan tingkat kesuburan tanah. Kalau produksi gabah
nasional 54 juta ton pada tahun 2007, berarti terdapat 80 juta ton jerami pada tahun
tersebut.
Pada umumnya petani belum memperlakukan jerami sebagai bagian integral dari
usaha tani padi. Hak kepemilikan jerami di sawah tidak jelas, kecuali pada khasus tertentu
dan mereka menyatakan bahwa jerami padinya akan digunakan sendiri. Pengangkutan
jerami keluar petakan sawah berarti kehilangan hara secara permanen dari lahan yang
bersangkutan. Praktek yang demikian menguruskan tanah dan memiskinkan kandungan
bahan organik tanah. Dengan dikembangkannya konsep pertanian ramah lingkungan seperti
pertanian organik, SRI (System Rice Intensification), PTT (Pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu), dan agroekoteknologi, sudah selayaknya jerami didaur ulang di
tempat asalnya (in situ), sehingga terjadi sistem pertanian nirproduk samping (zero waste rice production system). Manfaat jerami perlu digali dan dikembangkan menjadi barang berharga mengingat potensinya yang sangat besar dan tidak akan habis-habisnya. Jerami
padi merupakan sumber bahan organik yang potensial, relatif murah dan mudah didapat.
padi sebagai pupuk organik, karena lamanya waktu pelapukan secara alamiah. Penggunaan
jerami segar secara langsung akan mengganggu terhadap awal pertumbuhan tanaman dan
menyulitkan pengolahan tanah (Pagi dan Kartaadmadja, 2003).
Jerami segar memiliki nisbah C/N lebih besar dari 30. Menurut Tisdale dan Nelson
(1975), bila nisbah C/N lebih besar dari 30 akan terjadi proses immobilisasi N oleh jasad
renik untuk memenuhi kebutuhan akan unsur N. Sumbangan hara dari jerami padi ke tanah
bergantung pada bobot komposisi hara jerami, pengelolaan dan rejim air tanah
(Ponnamperuna, 1985). Bobot biomas juga tergantung pada rejim air,musim, varietas,
kesuburan tanah, dan nisbah gabah /jerami.
Jerami padi dapat digunakan sebagai sumber hara K, karena sekitar 80% K yang
diserap tanaman berada dalam jerami. Oleh karena itu, jerami berpotensi sebagai pengganti
pupuk K anorganik (Odjak, 1992). Jerami selain dapat menggantikan pupuk K pada
tanaman tertentu, juga berperan penting dalam memperbaiki produktivitas tanah sawah
yang dapat meningkatkan efesiensi pupuk dan menjamin kemantapan produksi (Rochayati
at al. 1990; Wihardjaka et al. 2002).
Pemberian jerami dapat meningkatkan kadar C-organik, K-dd, dan KTK tanah
berturut-turut sebesar 13,2%, 28,6%, dan 153% (Widati et al, 2000). Menurut Adiningsih (1992), aplikasi jerami 5 ton tiap hektar dapat meningkatkan N,P,dan K tanah.
Menurut Ponnamperuna (1985), pengembalian jerami ke tanah dapat meningkatkan
29
Semakin mahal dan langkanya pupuk anorganik (urea, SP- 36, KCl, ZA) serta
perlunya konservasi hara tanah melalui pendauran ulang maka pemanfaatan jerami padi
yang berlimpah di lahan sawah perlu diperhitungkan kembali sebagai salah satu alternatif
untuk subsitusi penggunaan pupuk kimia. Tanaman padi yang memproduksi 5 ton /ha
gabah kering panen mengangkut hara dari tanah sekitar 150 kg N, 20 kg P, 150 kg K, dan
20 kg S. Pada saat panen, jerami mengandung sekitar 1/3 jumlah berat N, P, dan S dari total
hara tanaman padi, sedangkan kandungan K rata-rata 89% (berkisar antara 85-92%)
(Gunarto dkk. 2002). Oleh karena itu, jerami padi dapat dijadikan sebagai sumber hara
makro tanaman. Pada tingkat hasil 5 ton/ha dihasilkan 2 ton C/ha yang secara tidak
langsung merupakan sumber hara N.
Kandungan hara jerami padi saat panen bergantung pada kesuburan tanah, kualitas
dan kuantitas air irigasi, jumlah pupuk yang diberikan, kultivar dan musim/iklim.
Ponnamperuna (1985) melaporkan kandungan hara jerami dari berbagai negara berkisar
antara 0,38-1,01% N; 0,01-0,12% P; 1,0-3,0% K; dan 2,5-7,0% Si dengan rata-rata 0,57%
N; 0,07% P; 1,5% K, dan 3,09 Si.
Di Indonesia rata-rata kadar hara jerami padi adalah 0,4% N; 0,02% P; 1,4% K, dan
5,6% Si. Untuk setiap 1 ton gabah (GKG) dari pertanaman padi dihasilkan pula 1,5 ton
jerami yang mengandung 9 kg N, 2 kg P, 25 kg K, 2 kg S, 70 kg Si, 5 kg Ca dan 2 kg Mg.
Apabila konsentrasi hara tersebut mewakili nilai rata-arata jerami, maka produksi jerami di
Indonesia sebesar 29 juta ton/bulan setara dengan 468.000 ton N (setara 1,04 juta ton urea),
ton S, dan 3,9 juta ton Si. Jumlah hara potensial yang berasal dari jerami sisa panen tersebut
sangat besar, namun pemrosesannya sulit, petani belum memiliki metode yang sederhana
dan menguntungkan. Widati et al. (2000) mempelajari pengaruh penggunaan mikroba (Trichoderma sp., Aspergillus sp., Beijerinkia sp., Azotobacter sp., dan EM4) dan jerami padi (disebar atau dibenamkan) terhadap sifat tanah vertic tropaquespts dari Cimalaya
Karawang, dan typic hapludox dari Bandar Abung Lampung, di rumah kaca.
Kesimpulannya, pemberian jerami dengan cara disebar maupun dibenamkan ke tanah vertic
tropaquespts Karawang nyata meningkatkan kandungan C, N, dan K-dd, sedangkan pada
tanah typic hapludox Lampung meningkatkan kandungan N dan K-dd.
Penggunaan 5 ton / bahan organik berupa jerami padi, Sesbania rostrata, atau pupuk kandang pada tanah aluvial Kepanjen Malang dan Banyuangi dengan tipe iklim
masing-maisng C3 dan D2 dapat menggantikan pupuk N anorganik sebanyak 45 kg N/ha
pada tanaman padi sawah. Dengan kata lain jerami padi di tempat tersebut mengandung
0,9% N (Isgianto dkk. 1992).
Juliardi dan Suprihatno (1995) melaporkan bahwa bahan organik berupa Sesbania rostrata, jerami padi, azolla dan pupuk kandang dari kotoran domba, masing-masing diberikan sebanyak 5 ton/ha yang dikombinasikan dengan pupuk urea dengan takaran 0,45,
dan 90 kg / N/ha meningkatkan kandungan N total C organik, P-tersedia, dan K-dd tanah.
Jerami padi mengandung 40-43 % C, senyawa C-N jerami merupakan subtrat bagi
31
lemak, dan protein, Jerami yang dibenamkan ke tanah sawah akan menstimulir fiksasi N
secara heterotrofik maupun fototropik (Ponnamperuna, 1985).
Kandungan bahan organik tanah sawah bergantung pada volume masukan bahan
organik dan koefisien humifikasi. Pemberian jerami padi sebanyak 825 kg/ha dengan kadar
C 43 % dan humifikasi koefisien 0,23 akan menghasilkan 141 kg bukan organik per tahun.
Mala dan Anas (1995) menguji kecepatan berbagai strain Trichoderma harzianum
dalam mengubah jerami menjadi kompos. Tanpa inokulum, proses pemanfaatan jerami
menjadi kompos (C/N rasio < 20) berlangsung selama 40 hari. Dengan inokulasi sebanyak
5% dari bobot jerami, perlakuan T. harzianum strain T. 53.3 dapat mengubah jerami segera menjadi kompos kurang dari 20 hari, strain K.13.2, T.21.2 dan T. 74. 1 selama
20-25 hari.
Jerami padi dapat memperbaiki sifat fisik tanah atau disebut sebagai pembenah
tanah. Brata (1998) melaporkan bahwa pembenaman jerami padi ke guludan ubi jalar dapat
memperbaiki kondisi tanah, mengurangi kekerasan tanah dan penetrasi lebih ringan
dibanding tanpa jerami. Menurut Bertham (2002), pemberian komps jeram padi hasil
dekomposisi Gliocladium sp. dan pemberian pupuk P secara terpisah maupun secara bersama-sama dapat meningkatkan bobot kering akar, bobot kering bagian aas tanaman ,
jumlah polong total, bobot biji tanaman kedelai pada ultisol. Penelitian Arafah dan Sirappa
(2003), menunjukkan bahwa penggunaan jerami padi dengan takaran 2 ton/ha
menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibanding tanpa jerami pada berbagai perlakuan
dikomposkan kedalam sawah secara nyata dapat meningkatkan serapan N tanaman padi
baik musim hujan ataupun musim kemarau. Kemudaian Las et al (1999) bahwa dalam meningkatkan produksi padi perlu dilakukan kelestarian lingkungan produksi ,termasuk
mempertahankankan kandungan bahan organik tanah dengan pemanfaatan jerami padi.
Basyir et al. (1994) melaporkan hasil percobaan jangka panjang (tujuh musim) pemupukan dan pemberian jerami padi pada tanah regosol beriklim D3 di Mojosari tanah
grumosol , iklim C.2 di Ngale, tanah aluvia iklim C3 di Kendalpayak, dan tanah latosal
iklim C3 di Jambegede. Penggunaan hara S dan Zn serta penambahan 5 ton/ha bahan
organik jerami padi, sesbania, azola atau pupuk kandang tidak meningkatkan hasil padi
karena pupuk N dari urea telah diberikan dalam jumlah yang cukup (250 kg/ha) dan hasil
gabah pada perlakuan ini 5 ton/ha.
Di kabupaten Lebak, Banten, jenis tanah podsolik merah kuning, pemberian bahan
organik berupa jerami padi + 50 Sesbania rostrata meningkatkan jumlah anakan, bobot kering tanaman dan serapan N,P,K dan Mg. Namun peningkatan hasil gabah dengan
pemberian bahan organik sangat kecil (Suhartatik, et al. 1999). Mala dan Syaruddin (1990), menyatakan bahwa jerami padi diberi bioaktivator Trichoderma sebanyak 10 ton/ha, mampu menekan penggunaan pupuk kimia hingga 60% untuk tanaman padi.
Eceng Gondok
33
permukaan perairan. Eceng gondok merupakan tanaman herba air, perenial,
perbanyakannya sangat cepat dengan bantuan stolon horizontal yang menghasilkan anakan
tanaman. Stolon tersebut berkembang dari akar, yang perkembangannya didistribusikan
oleh arus air, angin, jala ikan dan kapal kecil. Pertumbuhan optimum tanaman ini pada
temperatur 28oC-35oC, tetapi tanaman ini toleran terhadap lingkungan yang ekstrim (Julien
et al, 2001 ). Penutupan permukaan perairan oleh eceng gondok selain dapat mengganggu aktivitas masyarakat di sekitar perairan, juga mengurangi keanekaragaman spesies yang
tumbuh di perairan. Perkembangan gulma eceng godok sudah sampai pada taraf yang
membahayakan sehingga mengakibatkan timbulnya masalah lingkungan yang harus
diwaspadai. Selain memberikan dampak negatif, eceng gondok juga memberikan dampak
positif antara lain sebagai bahan baku pupuk.
Produksi pupuk eceng gondok skala rumah tangga umumnya masih dilakukan
dengan teknik pengomposan manual, yang memerlukan waktu lama (sekitar dua bulan) dan
membutuhkan lahan yang luas. Kandungan N,P,K kompos eceng gondok (dalam % berat
kering) masing-masing adalah 0,4 N; 0,114 P dan 7,53 K, sedangkan C-organik adalah
47,61 (Wahyu , 2008). Menurut Fryer dan Matsunaka (1988), eceng gondok merupakan
bahan yang sangat potensial untuk digunakan sebagai pupuk organik karena berdasarkan
hasil analisa di laboratorium mengandung antara lain 1,681% N, 0,275% P, 14,286% K,
gogo dan kedelai, yang ditanam secara tunggal masing-masing sebesar 5, 267 ton/ha dan
2,056 ton/ha.
Kulit Kopi
Kulit kopi sebagai residu tanaman kopi terdiri atas kulit buah kopi (pulpa) dan kulit
tanduk kopi. Dengan produksi kopi mencapai 460.000 ton biji kopi, maka pulpa kopi yang
berupa produk samping dapat mencapai 121.000 ton, sedangkan produk samping kulit
tanduk sebesar 22.000 ton. Produk samping kulit tanduk kopi memiliki kadar air relatif
rendah sehingga berpotensi digunakan sebaga bahan bakar untuk pengering kopi. Nilai
kalori kulit tanduk kopi adalah sebesar 4600 kkal/kg, sedangkan pulpa kopi dengan
kandungan air 5% nilai tersebut 3300 kkal/kg (Adams and Dougan, 1982).
Akan tetapi jalan keluar ini agak sulit diterapkan pada pulpa kopi yang diperoleh
dari cara pengolohan basah karena tinginya kadar air bahan tersebut sehingga menjadi
masalah dalam pembuangannya. Selama musim pengolahan biji kopi, produk samping
pulpa kopi menumpuk sehingga menyebabkan bau yang tidak sedap, sementara drainase
dari timbunan pulpa dapat mencermati sumber air disekitarnya.
Sebagai produk samping padat industri kopi, kulit kopi berpotensi untuk digunakan
sebagai sumber bahan organik tanah dengan syarat telah dikomposkan terlebih dahulu. Hal
ini mengingat bahwa nisbah C/N pulpa kulit kopi sekitar 40, sedangkan untuk kulit tanduk
35
Pengomposan produk samping kopi padat mesti dilakukan untuk menghindari
pengaruh negatifnya terhadap tanaman akibat nisbah C/N bahan yang tinggi, disamping
untuk mengurangi volume bahan agar memudahkan dalam aplikasi serta menghindarkan
terjadinya pencemaran lingkungan.
Kandungan hara kompos dari kulit tanduk kopi adalah 0,82 % N, 52,4% C-organik,
0,05% P2O5, 0,84% K2O, 0,58 % CaO, 0,86 MgO, sedangkan kandungan hara kompos
kulit buah kopi (pulpa) adalah 2,98 % N, 45,3 % C-organik, 0,018 % P2O5, 2,28% K2O,
1,22% CaO dan 0,21 % MgO (Baon et al. 2005).
Kulit buah Kakao
Komponen utama dari suatu kakao adalah kulit buah, plasenta, dan biji. Kulit buah
merupakan komponen terbesar dari buah kakao, yaitu lebih dari 70% berat buah masak.
Plasenta biji kakao didalam buah hanya sekitar 27-29%, sedangkan sisanya adalah plasenta
yang merupakan pengikat dari 30-40 biji (Widyotomo et al, 2007). Pada areal pertanian kakao akan menghasilkan produk samping segar kulit buah sekitar 5,8 ton setara dengan
produksi tepung produk samping 912 kg.
Berdasarkan data statistik perkebunan 2006, luas areal kakao di Indonesia tercatat
992.448 ha, produksi 560.880 ton dan tingkat produktivitas 657 kg/ha/tahun. Bobot buah
kakao yang dipanen per ha akan diperoleh 6.200 kg kulit buah dan 2.178 kg biji basah.
Produksi yang tinggi menghasilkan kulit buah kakao sebagai produk samping
yang dihasilkan dalam jumlah banyak akan menjadi masalah jika tidak ditangani dengan
baik. Produksi produk samping padat ini mencapai sekitar 60% dari total produksi buah.
Menurut Spillane (1995), bahwa kulit buah kakao dapat dimanfaatkan sebagai
sumber unsur hara tanaman dalam bentuk kompos, pakan ternak, produk biogas dan
sumber pektin. Sebagai bahan organik , kulit buah kakao mempunyai komposisi hara
senyawa yang sangat potensial sebagai media tumbuh tanaman.
Setelah bijinya diambil, kulit buah merupakan sumber potensial sebagai bahan baku
pupuk kompos. Potensi produk samping kulit buah kakao dari suatu pabrik pengolahan
kakao sebesar 15-22 m3/ha/tahun. Produk samping kulit buah kakao tersebut merupakan
sumber bahan baku pupuk organik. Pengomposan produk samping bio massa dalam hal ini
kulit buah kakao harus dilakukan untuk menghindari pengaruh negatif produk samping
tersebut terhadap tanaman akibat nisbah C/N bahan yang tinggi, disamping untuk
mengurangi volume bahan agar memudahkan dalam aplikasi serta menghindarkan
terjadinya pencemaran lingkungan. Laju pengomposan tergantung pada ukuran partikel,
kandungan bahan, pengadukan, aerasi dan volume tumpukan (Baon et al, 2005).
Selanjutnya menurut Widyotomo et al (2007), produk samping kulit kakao dapat diolah menjadi kompos dan di aplikasikan pada perkebunan kakao atau tanaman keras
lainnya. Dengan pengolahan produk samping kulit kakao menjadi kompos, maka akan
diperoleh dua keuntungan yaitu hilangnya potensi timbunan produk samping sebanyak
37
organik/produk samping pertanian lainnya yaitu pencacahan, penumpukan, pembalikan dan
penyaringan.
Pada dasarnya, kulit buah kakao dimanfaatkan sebagai sumber hara tanaman dalam
bentuk kompos, pakan ternak, produksi biogas dan sumber pektin. Sebagai bahan organik
kulit buah kakao mempunyai komposisi hara dan senyawa yang sagat potensial sebagai
medium tumbuh tanaman. Kadar air dan bahan organik pada produk samping kakao
sekitar 86%, pH, 5,4, N- total 1,30 %, C-organik 33,71%, P2O5 0,186 %. K2O 5,5 %, CaO
0,23 %, dan MgO 0,59% (Soedarsono et al, 1997). Namun demikian, kulit buah kakao sampai saat ini belum banyak mendapat perhatian masyarakat atau perusahaan untuk
dijadikan pupuk organik.
Limbah kulit buah kakao dapat diolah menjadi kompos untuk menambah bahan
organik tanah. Kandungan hara mineral kulit buah kakao cukup tinggi, khususnya hara
kalium dan nitrogen. Dilaporkan bahwa 61% dari total nutrien buah kakao disimpan di
dalam kulit buah. Kandungan hara kompos yang dibuat dari kulit buah kakao adalah 1,81%
N , 26,61% C- organik, 0,31 P2O5 6,08 % K2O , 1,22% CaO, 1,37% MgO dan 44,85
cmol/kg/ KTK (Goenadi dan Away 2004). Menurut Opeke (1984), kulit buak kakao
mengandung protein 9,69%, glukosa 1,16%, sukrosa 0,18%, pektin 5,30% dan theobromin
Pengomposan Aerobik
Pengomposan merupakan proses dekomposisi terkendali secara biologis terhadap
produk samping padat organik dalam kondisi aerobik atau anaerobik. Pengomposan aerobik
berlangsung dengan kondisi terbuka. Dalam hal ini, udara bebas bersentuhan langsung
dengan bahan kompos. Pengontrolan terhadap kadar air, suhu, pH, kelembaban, ukuran
bahan, volume tumpukan bahan, dan pemilihan bahan perlu dilakukan secara intensif untuk
mempertahankan proses pengomposan agar stabil sehingga diperoleh proses pengomposan
yang optimal, kualitas maupun kecepatannya. Pengomposan aerobik merupakan
pengomposan dengan bantuan oksigen bebas dan hasil akhir berupa CO2 H2O, panas, unsur
hara dan sebagian humus (Gaur, 1983). Prinsip pengomposan adalah menurunkan nilai
rasio C/N bahan organik menjadi sama dengan rasio C/N tanah. Nilai rasio C/N tanah
adalah 10-12 (Djuarnani, dkk, 2008).
Laju dan efisiensi proses pengomposan merupakan fungsi dan jumlah dan aktivitas
organisme yang terlibat dalam proses pengomposan tersebut. Beberapa mikroba seperti
Trichoderma, Aspergillus dan Penicillium mampu merombak selulosa menjadi bahan senyawa-senyawa monosakarida, alkohol, CO2 dan asam-asam organik lainnya dengan
menggunakan enzim selulase (Rao, 1994).
Karbon Dioksida dan Aktivitas Mikroba
39
volume karbon dioksida sama dengan volume oksigen yang diabsorbsi. Polisakarosa,
selulosa dan hemiselulosa mengandung 44% karbon ( karbon) dan 50% oksigen. Senyawa
tersebut didekomposisi menjadi monosakarosa secara hirolisa.
(C6H10O5)n+nH2O nC6H12O6
Pada reaksi tersebut tidak ada konsumsi oksigen dan tidak ada karbon dioksida yang
dihasilkan. Karbon dioksida dalam jumlah besar khususnya dihasilkan pada tahap akhir
dekomposisi dari asam asetat menjadi karbon dioksida dan air.
Karbon dioksida yang dihasilkan dalam jumlah yang sama dengan oksigen yang
dibutuhkan dan membentuk banyak energi. Dari reaksi di atas dapat disusun pernyataan:
a. jika karbon dioksida dialirkan melalui pertukaran udara, reaksi akan berlangsung
cepat karena monosakarosa mudah larut serta persediaan oksigen yang cukup.
b. Jika terjadi akumulasi karbon dioksida, maka aktivitas mikroba terhenti dan asam
asetat tidak terurai.
c. Jika diberikan air akan mengabsorbsi karbon dioksida dan oksigen menjadi
berkurang yang menyebabkan kondisi anaerob (Jakobsen, 1994).
Reaksi kimia dekomposisi karbohidrat secara keseluruhan:
Berdasarkan reaksi di atas dikemukakan bahwa aktivitas mikroba berkaitan dengan laju
difusi dan karbon dioksida, akumulasi karbon dioksida yang dihasilkan sama dengan
berkurangnya volume oksigen. Menurut Ljunggren,(1991) dalam Jakobsen, (1994) bahwa
jika konsentrasi oksigen pada pengomposan berkurang dari 21% menjadi 18%, maka
aktivitas mikroba terhenti. Proses pengomposan berhenti apabila konsentrasi oksigen
menurun menjadi 17%.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengomposan a. Ukuran Bahan
Bahan yang berukuran kecil akan cepat didekomposisi karena luas permukaannya
meningkat dan mempermudah aktivitas mikroorganisme perombak. Ukuran bahan mentah
yang terlalu kecil akan menyebabkan rongga udara berkurang sehingga timbunan menjadi
lebih mampat dan pasokan oksigen ke dalam timbunan akan semakin berkurang. Jika
pasokan oksigen berkurang, mikroorganisme yang ada di dalamnya tidak bisa bekerja
secara optimal (Djuarnani et al, 2008). Ukuran bahan yang dianjurkan pada pengomposan aerobik antara 1-7,5 cm (Yuwono, 2006).
b. Rasio C/N
Rasio C/N bahan organik merupakan faktor penting dalam pengomposan. Hal ini
41
menyelesaikan degradasi bahan kompos sehingga waktu pengomposan akan lebih lama dan
kompos yang dihasilkan akan memiliki mutu yang rendah, jika rasio C/N terlalu rendah
(kurang dari 30), kelebihan nitrogen (N) yang tidak dipakai oleh mikroorganisme tidak
dapat diasimilasi dan akan hilang melalui volatilasi sebagai amonia atau terdenitrifikasi
(Djuarnani et al. 2008).
c. Komposisi Bahan
Untuk mendapatkan rasio C/N sebesar 30, dilakukan dengan cara mencampur
beberapa jenis bahan. Caranya dengan membuat perbandingan yang sangat bervariasi,
misalnya 1 bagian bahan yang mempunyai kandungan unsur karbon yang tinggi dengan 2
bagian bahan yang mengandung kandungan unsur karbon yang tinggi dengan 2 bagian
bahan yang mengandung karbon yang rendah (Yuwono, 2006). Pengomposan dari
beberapa macam bahan akan lebih baik dan lebih cepat. Pengomposan bahan organik dari
tanaman akan lebih cepat bila ditambah dengan kotoran hewan. Ada juga yang menambah
bahan makanan dan zat pertumbuhan yang dibutuhkan mikroorganisme sehingga selain
dari bahan organik, mikroorganisme juga mendapatkan bahan tersebut dari luar (Indiriani,
2007).
d. Kelembaban dan Aerasi
Semua organisme memerlukan air untuk hidup. Pada kadar air di bawah 30%
lambat. Pada kadar air yang terlalu tinggi ruang antar partikel bahan menjadi terpenuhi oleh
air dan mencegah pergerakan udara dalam tumpukan bahan. Laju dekomposisi bahan
organik bergantung pada kelembaban dan aerasi yang mendukung aktivitas
mikroorganisme. Kelembaban bahan kompos dapat berkisar antara 40% -100%, tetapi
kelembaban yang optimum untuk pengomposan aerobik berkisar antara 50 - 60%
(Sangatana and Sangatanan, 1987; Mitchel, 1992). Kadar air berbagai bahan yang
direkomendasikan agar proses pembuatan kompos berjalan baik tertera pada Tabel 1
berikut.
Tabel 1. Kadar air berbagai bahan kompos yang direkomendasikan
Bahan Kadar Air (%)
Jerami
Serbuk Gergaji
Sekam
Sampah Kota
Pupuk Kandang
75-85
75-90
75-85
55-65
55-65
Sumber : Djuarnani et al. 2008.
Kisaran kelembaban kompos yang baik harus dipertahankan karena jika tumpukan
terlalu lembab, proses pengomposan menjadi lebih lambat. Kelebihan kandungan air akan
menutupi rongga udara dalam tumpukan bahan kompos sehingga kadar oksigen yang ada
43
Udara mutlak diperlukan oleh mikroba aerobik. Pada pengomposan aerobik
dikondisikan agar setiap bagian kompos mendapatkan suplai udara yang cukup. Aerasi
yang tidak seimbang akan menyebabkan timbunan berada dalam keadaan anaerob dan akan
menyebabkan bau busuk dari gas yang banyak mengandung belerang (Djuarnani et al. 2008).
e. Temperatur
Temperatur ideal untuk pengomposan aerobik adalah 45-650C (Yuwono, 2006).
Pada pengomposan secara aerobik akan terjadi kenaikan temperatur yang cukup kuat
selama 3-5 hari pertama dan temperatur kompos dapat mencapai 55-700C Kisaran
temperatur tersebut merupakan yang terbaik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Pada
kisaran temperatur ini, mikroorganisme dapat tumbuh tiga kali lipat dibandingkan dengan
temperatur yang kurang dari 550C. Selain itu, pada temperatur tersebut enzim yang
dihasilkan juga paling efektif menguraikan bahan organik. Penurunan rasio C/N juga dapat
berjalan dengan sempurna. (Djuarnani, et al. 2008). Pengomposan pada bahan yang memiliki rasio C/N tinggi seperti jerami padi atau jerami gandum, peningkatan temperatur
tidak dapat melebihi 520C keadaan ini menunjukkan bahwa peningkatan temperatur juga
f. Keasaman (pH)
Keasaman atau pH dalam tumpukan kompos juga mempengaruhi aktivitas
mikroorganisme. Kisaran pH pengomposan aerobik yang optimal adalah 6,0-8,0. derajat
keasaman bahan pada permukaan pengomposan umumnya asam sampai dengan netral (pH
6,0-7,0). Jika derajat keasaman terlalu tinggi atau terlalu basah konsumsi oksisgen akan
naik dan akan memberikan hasil yang buruk bagi lingkungan. Derajat keasamaan ang
terlalu tinggi juga akan menyebabkan unsur nitrogen dalam bahan kompos berubah menjadi
amonia. Sebaliknya, dalam keadaan asam akan menyebabkan sebagian mikroorganisme
mati (Yuwono, 2006).
g. Pengadukan / Pembalikan
Pengadukan sangat diperlukan agar cepat tercipta kelembaban yang dibutuhkan saat
proses pengomposan berlangsung. Pengadukanpun dapat menyebabkan terciptanya udara di
bagian timbunan, terjadinya penguraian bahan organik yang mampat, dan proses
penguraian berlangsung merata. Hal ini terjadi karena lapisan pada bagian tengah tumpukan
akan terjadi pengomposan cepat. Pembalikan sebaiknya dilakukan dengan cara pemindahan
lapisan atas ke lapisan tengah, lapisan tengah ke lapisan bawah dan lapisan bawah ke
45
h. Mikroorganisme
Dilihat dari fungsinya, mikroorganisme mesofilik yang hidup pada temperatur
rendah (10-450C) berfungsi untuk memperkecil ukuran partikel bahan organik sehingga
luas permukaan bahan bertambah dan mempercepat proses pengomposan. Sementara itu,
bakteri termofilik yang hidup pada temperatur tinggi (45-650C) yang tumbuh dalam waktu
terbatas berfungsi untuk mengonsumsi karbohidrat dan protein sehingga bahan kompos
dapat terdegradasi dengan cepat (Djuarnani et al. 2008).
Kondisi optimal untuk proses pengomposan menurut Rynk, (1992) adalah seperti
disajikan pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Kondisi optimal proses pengomposan
Uraian Kondisi yang bisa diterima Ideal
Rasio C/N
Kelembaban
Ukuran partikel
pH
Suhu
Konsentrasi oksigen tersedia
Densitas (kg/m3)
Produk dari proses pengomposan
Kualitas kompos sangat ditentukan oleh tingkat kematangan kompos, di samping
kandungan logam beratnya. Bahan organik yang tidak tedekomposisi secara sempurna akan
menimbulkan efek yang merugikan pertumbuhan tanaman. Pemberian kompos yang belum
tanaman dan mikroorganisme tanah. Keadaan ini dapat mengganggu pertumbuhan
tanaman. Menurut Djuarnani et al. (2008) secara umum kompos yang sudah matang dapat dicirikan dengan sifat sebagai berikut:
1. Berwarna coklat tua hingga hitam dan remah
2. Tidak larut dalam air, meskipun sebagian dari kompos bisa membentuk suspensi
3. Sangat larut dalam pelarut alkali, natrium pirifosfat atau anonium oksalat dengan
menghasilkan ekstrak berwarna gelap dan dapat difraksinasi lebih lanjut menjadi zat
humic, fulfic dan humic.
4. Rasio C/N sebesar 20-40, tergantung dari bahan baku dan derajat humifikasi
5. Memiliki kapasitas pemindahan kation dan absorpsi terhadap air yang tinggi.
6. Jika digunakan pada tanah, kompos dapat memberikan efek menguntungkan bagi
tanah dan pertumbuhan tanaman. Nilai pupuknya ditentukan oleh kandungan
nitrogen, fosfor, kalium, kalsium dan magnesium.
7. Memiliki temperatur yang hampir sama dengan temperatur udara
8. Tidak mengandung asam lemak yang menguap
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
(BPTP) Sumatera Utara, Jalan A. H. Nasution No. 1 B Gedong Johor Medan. Penelitian
dilaksanakan dari bulan April sampai dengan Juni 2009.
Bahan dan Alat Penelitian Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jerami padi, eceng
gondok, kulit buah kakao dan kulit buah kopi sebagai bahan kompos, EM-4 (jumlah
mikroba/ml = 4,5 x 106) Trichoderma sp (jumlah mikroba/ml = 37 x 107), urine domba (jumlah mikroba/ml = 1,5 x 103), darah rumah potong hewan (RPH) (jumlah mikroba/ml =
2,0 x 104) sebagai dekomposer, air sebagai pelarut sekaligus menyiram kompos supaya
terjaga kelembabannya, NaOH 0,5 M, BaCl 0,5 M, HCl 1 M, phenopthalen, larutan Bray I
dan bahan-bahan kimia lainnya.
Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pipa PVC berukuran diameter
meter, erlenmeyer, termometer peralatan laboratorium, timbangan analitik, kjeldahl, atomic
absorption spectrophotometer, digester block, buret, pipet diperlukan untuk analisis dan
oven.
Metode Penelitian
Penelitian disusun menurut Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan
menggunakan 2 faktor dan 3 ulangan. Faktor pertama adalah jenis produk samping
pertanian terdiri dari 4 jenis, faktor kedua adalah jenis dekomposer terdiri dari 5 jenis
dekomposer (termasuk satu tanpa dekomposer), sehingga jumlah satuan percobaan : 4 x 5
x 3 = 60 satuan percobaan (Gomez and Gomez, 1995).
Model linier Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial adalah:
Yijk = μ + άi + βj + (άβ)ij + Σk(ij)
Dimana :
Yijk = Nilai hasil pengamatan
μ = Nilai tengah
άi = pengaruh perlakuan bahan kompos ke-i
βj = pengaruh perlakuan dekomposer ke-j
(άβ)ij = pengaruh interaksi perlakuan bahan kompos ke-i dengan kombinasi
perlakuan dekomposer ke-j
37
Faktor pertama adalah jenis produk samping pertanian sebagai bahan kompos terdiri dari;
L1 = Jerami padi
L2 = Eceng gondok
L3 = Kulit kopi
L4 = Kulit Kakao
Faktor kedua adalah jenis dekomposer terdiri dari:
D1 = Tanpa Dekomposer
D2 = EM-4
D3 = Trichoderma sp D4 = Urine domba
D5 = Darah rumah potong hewan ( RPH)
Data pengamatan di analisa secara statistik dengan menggunakan uji Duncan’s Multiple
Range Tes (DMRT) (Steel and Torrie, 1980).
Pelaksanaan Penelitian Persiapan Bahan Organik
- Jerami padi dipotong-potong dengan ukuran 3-5 cm hal ini bertujuan untuk
memperluas permukaan perombakan jerami padi oleh mikro organisme
- Eceng gondok segar dipotong-potong dengan ukuran 3-5 cm
- Kulit kopi yang digunakan adalah produk samping kulit tanduk kopi
Proses Pengomposan
Masing-masing bahan dekomposer diberikan dengan proporsi sebanyak 2 % EM-4,
2 % Trichoderma sp, 5% urine domba dan 5% darah rumah potong hewan. Bahan dekomposer diberikan bersamaan dengan jumlah air yang dibutuhkan oleh tumpukan
kompos agar mencapai kelembaban 60%, dicampur dengan 5 kg bahan kompos.
Masing-masing bahan yang sudah diberikan dekomposer sesuai dengan perlakuannya dimasukkan
ke dalam pipa PVC berukuran diameter 16 cm dan tinggi 46 cm dengan kondisi bahan
dalam kadar air optimum. Setiap pipa PVC berisi bahan kompos tersebut ditempatkan
dalam nampan plastik dengan ujung sebelah bawah terbuka, sedangkan ujung sebelah atas
ditutup dengan lembaran plastik berlubang untuk keperluan aerasi. Setiap minggu bahan
yang dikomposkan diukur kompresibilitasnya dengan menempatkan pemberat dengan
ukuran 5 kg pada ujung atas pipa sehingga pemberat tersebut dapat dengan bebas bergerak
dalam pipa tersebut.
Peubah yang diamati 1. Kompresibilitas
Pengamatan kompresibilitas dilakukan pada interval 1 minggu selama 1 bulan
pengomposan. Kompresibilitas ( C ) dihitung dengan menggunakan rumus:
39
Dimana :
C = Kompresibilitas (g/cm3)
W = bobot beban (gram)
A = luas permukaan lubang pipa (cm2)
h0 = tinggi awal bahan yang sedang dikomposkan dalam pipa (cm)
ht = tinggi akhir bahan setelah diberi pemberat (cm)
2. Indeks Perkecambahan
Setelah selesai pengomposan maka dilaksanakan uji perkecambahan untuk
mengetahui daya tumbuh benih terhadap kompos yang dihasilkan. Biji yang digunakan
sebagai pengujian yaitu biji kacang hijau. Biji direndam dalam larutan garam yang gunanya
untuk seleksi biji bernas. Kemudian disiapkan beberapa kardus makanan (bahan
styrofoam) untuk diisi masing-masing dengan tanah top soil, bahan mentah kompos (jerami padi, eceng gondok, kulit tanduk kopi dan kulit kakao) dan kompos yang dihasilkan dari
masing-masing bahan. Kemudian diletakkan masing-masing 20 biji kacang hijau untuk
setiap perlakuan dan ditutup dengan plastik dan dibiarkan selama dua hari di tempat teduh.
Pada hari ketiga dihitung jumlah biji yang berkecambah pada masing-masing wadah.
Indeks perkecambahan dihitung dengan (Isroi, 2007b) :
3. Kandungan N-total, C-organik dan Rasio C/N
Setelah dilakukan pengukuran kompresibilitasnya, bahan yang sudah dikomposkan
dikeluarkan dari pipa dan dicampur sampai homogen, kemudian sebagian kecil diambil
sebagai contoh untuk dianalisis kandungan C-organik dan N-total. Pengukuran dan
pengamatan dilakukan setelah 4 minggu pengomposan. Rasio C/N diperoleh berdasarkan
hasil analisa C-organik dan N-total. Analisa C-organik dilakukan dengan metode Walkley
and Black dan untuk analisa N-total dengan metode Kjeldahl. Cara pengambilan sampel
untuk analisis C dan N adalah secara komposit dengan mengambil sampel dari bagian atas,
tengah dan bawah kompos.
4. Kadar K dan P total
Kompos pada akhir percobaan pengomposan selama 1 bulan diambil sebagian
sampel dari bagian atas, tengah dan bawah tumpukan bahan pada semua semua perlakuan,
dikeringkan dalam oven pada suhu 600C, setelah kering dihaluskan dengan grinder. Untuk
analisa kadar P total dilakukan dengan metode Spectrophotometer sedangkan untuk K
41
HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL
Kompresibilitas Kompos
Dalam penelitian ini laju dekomposisi residu tanaman diukur berdasarkan
peningkatan kompresibilitas. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan
bahan kompos maupun jenis dekomposer berpengaruh sangat nyata terhadap
kompresibilitas kompos pada minggu ke-1. Kedua perlakuan memperlihatkan adanya
interaksi yang sangat nyata (Lampiran 2). Perlakuan pemberian dekomposer berbeda nyata
dengan tanpa pemberian dekomposer terhadap kompresibilitas semua bahan kompos
(jerami, eceng gondok, kulit kopi dan kulit kakao). Namun kompresibilitas dari bahan
kompos jerami, eceng gondok dan kulit kopi tidak berbeda nyata diantara jenis decomposer
(EM-4, Trichoderma sp dan urine domba).
Tabel 3. Kompresibilitas kompos (g/cm3) dari pengomposan berbagai bahan dan berbagai dekomposer pada minggu ke-1
Bahan Kompos Dekomposer
Jerami E. Gondok K. Kopi K. Kakao Rataan
Tanpa Dekomposer 0,55 b 0,61 b 0,43 b 1,11 d 0,67
EM-4 0,67 a 0,72 a 0,52 a 1,68 ab 0,90
Trichoderma 0.65 a 0,70 a 0,55 a 1,63 c 0,88
Urine Domba 0,65 a 0,71 a 0,55 a 1,70 a 0,90
Rataan 0,64 0,69 0,52 1,56
Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.
Tetapi efek dari berbagai dekomposer berbeda nyata mempengaruhi kompresibilitas dari
bahan kompos kulit kakao, dimana urine domba menghasilkan nilai kompresibilitas
tertinggi. Sementara Trichoderma sp memiliki nilai kompresibilitas terendah dibandingkan dengan dekomposer lain (Tabel 3).
Pada minggu ke-1 kompresibilitas yang paling tinggi adalah 1,70 g/cm3 terjadi pada
interaksi bahan kulit kakao dengan dekomposer urine domba sedangkan yang paling
rendah adalah 0,43 g/cm3 pada bahan kulit kopi tanpa dekomposer.
Pada minggu ke-2 hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan bahan
kompos maupun jenis dekomposer berpengaruh sangat nyata terhadap kompresibilitas
kompos. Kedua perlakuan memperlihatkan adanya interaksi yang sangat nyata (Lampiran
4). Perlakuan pemberian dekomposer berbeda nyata dengan tanpa pemberian dekomposer
terhadap kompresibilitas semua bahan kompos (jerami, eceng gondok, kulit kopi dan kulit
kakao). Namun pemberian berbagai dekomposer tidak berbeda nyata terhadap
kompresibilitas bahan kompos jerami, eceng gondok dan kulit kopi, tetapi berbeda nyata
pada bahan kompos kulit kakao. Kompresibilitas yang paling tinggi adalah 2,77 g/cm3
terjadi pada interaksi bahan kulit kakao dengan dekomposer darah RPH sedangkan yang
43
Pada minggu ke-3 hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan bahan
kompos maupun jenis dekomposer berpengaruh sangat nyata terhadap kompresibilitas
Tabel 4. Kompresibilitas kompos (g/cm3) dari pengomposan berbagai bahan dan berbagai
Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.
Perlakuan pemberian dekomposer berbeda nyata dengan tanpa pemberian
dekomposer terhadap kompresibilitas bahan kompos kulit kakao. Pada bahan kompos
jerami, pemberian dekomposer EM-4 berbeda tidak nyata dengan tanpa dekomposer.
Sedangkan pada bahan kompos eceng gondok pemberian dekomposer EM-4 berbeda nyata
dengan tanpa pemberian dekomposer maupun perlakuan pemberian dekomposer lainnya
(Trichoderma sp, urine domba dan darah RPH). Pada bahan kompos kulit kopi perlakuan pemberian dekomposer EM-4, Trichoderma sp dan urine domba berbeda tidak nyata dengan tanpa pemberian dekomposer, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan pemberian
dekomposer darah RPH. Kompresibilitas yang paling tinggi adalah 5,19 g/cm3 terjadi pada
interaksi bahan kulit kakao dengan dekomposer darah RPH sedangkan yang paling
rendah adalah 0,96 g/cm3 pada bahan kompos jerami dan kulit kopi tanpa dekomposer
(Tabel 5).
Pada minggu ke-4 hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan bahan
45
Tabel 5. Kompresibilitas kompos (g/cm3) dari pengomposan berbagai bahan dan berbagai dekomposer pada minggu-3
Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.
Perlakuan pemberian dekomposer berbeda nyata dengan tanpa pemberian
dekomposer terhadap kompresibilitas bahan kompos jerami, eceng gondok dan kulit kakao.
Pada bahan kompos jerami, semua perlakuan pemberian dekomposer berbeda tidak nyata.
Sedangkan pada bahan kompos eceng gondok pemberian dekomposer darah RPH berbeda
nyata dengan pemberian dekomposer EM-4, Trichoderma sp dan urine domba. Pada bahan kompos kulit kopi perlakuan pemberian dekomposer urine domba berbeda tidak nyata
dengan tanpa pemberian dekomposer, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan pemberian
dekomposer Trichoderma sp. Pada bahan kompos kulit kakao perlakuan pemberian dekomposer darah RPH memberikan nilai kompresibilitas tertinggi yang berbeda nyata
dengan dengan pemberian jenis dekomposer lainnya (EM-4, Trichoderma sp dan urine domba).
Rata-rata peningkatan kompresibilitas yang tertinggi terjadi pada kulit kakao
sebesar 89,00%, disusul oleh eceng gondok sebesar 50,04%, kemudian jerami padi sebesar
sebesar 39,84%.Kompresibilitas yang paling tinggi adalah 11,73 g/cm3 terjadi pada
interaksi bahan kulit kakao dengan dekomposer darah RPH sedangkan yang paling rendah
adalah 1,16 g/cm3 pada bahan kompos kulit kopi tanpa dekomposer (Tabel 6).
Tabel 6. Kompresibilitas kompos (g/cm3) dari pengomposan berbagai bahan dan
Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.
Peningkatan kompresibilitas jerami padi dari minggu ke-1 sampai minggu ke-2
adalah 20,31%, dari minggu ke-2 sampai minggu ke-3 adalah 51,95%, kemudian dari
minggu ke-3 sampai minggu ke-4 adalah 54,70%. Pada bahan eceng gondok dan kulit kopi
kecenderungan peningkatan kompresibilitas hampir sama yakni cenderung meningkat dari
minggu ke-2 sampai minggu ke-3, kemudian menurun pada minggu ke-4.
Tabel 7. Peningkatan nilai kompresibilitas (g/cm3) kompos dari berbagai bahan residu tanaman selama 4 minggu
Jerami E. Gondok Kulit Kopi Kulit Kakao
Kompre Pening Kompre Pening Kompre Pening Kompre Pening
Minggu
Sibilitas katan (%) sibilitas katan (%) Sibilitas katan (%) sibilitas katan (%)
I 0,64 - 0,69 - 0,52 - 1,56 -
II 0,77 20,31 0,86 24,64 0,64 23,08 3,4 117,95