• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Pengemasan dan Pengangkutan Susu Bubuk Skim Impor

Susu bubuk skim impor yang digunakan untuk penelitian ini berjumlah sebanyak 40 sampel yang berasal dari 5 (lima) negara pengekspor yang sering dilalulintaskan melalui Balai Karantina Hewan Kelas I Tanjung Priok Jakarta berdasarkan frekuensi kedatangannya.

Susu bubuk skim impor ini sebelum diekspor mengalami proses pengemasan yang bertujuan untuk menjamin keamanan produk selama proses pengangkutan dan penyimpanan sehingga aman sampai ke konsumen (Brown dalam Herdiana 2007). Susu bubuk skim ini didalam kontainer dikemas dalam berbagai ukuran kantung, namun yang digunakan sebagai sampel untuk penelitian ini pengemasannya dilakukan didalam kantung berukuran 25 kg. Kemasan susu bubuk skim impor ini terdiri dari 2 (dua) lapis, yaitu dengan menggunakan plastik transparan pada lapisan bagian dalam. Plastik digunakan karena plastik memiliki sifat yang kuat dan kencang, mencegah kelembaban dan gas, tahan terhadap serangan, transparansi dapat dilihat kandungannya dan fleksibel. Setelah itu pada bagian luarnya digunakan kertas semen sebanyak 4 (empat) lapis sehingga kemasan akan menjadi lebih kuat dan kokoh serta dapat terhindar dari kerusakan terutama pada saat pengangkutan.

Dalam proses pengangkutan, susu bubuk skim impor ini disimpan dalam kontainer yang dijaga suhu dan kelembabannya serta terpisah dari kontainer

produk asal hewan lainnya. Menurut Nielsen dalam Herdiana (2007), suhu dan

kelembaban pada kontainer susu bubuk skim impor tersebut berkisar antara 23 –

25 0C dan dengan kelembaban 65 – 68 %. Suhu dan kelembaban tersebut telah

sesuai dengan suhu dan kelembaban standar untuk penyimpanan yang juga berkisar antara 24 – 25 0C dan 65 – 68 %. Suhu dan kelembaban perlu dijaga hingga susu bubuk skim impor tersebut sampai di Indonesia. Karena suhu dan kelembaban akan sangat berpengaruh terhadap kualitas susu bubuk skim tersebut.

Lamanya perjalanan susu bubuk skim impor ini dari negara asalnya sangat bervariasi, tergantung jarak antara negara pengekspor dengan letak negara Indonesia. Sampel susu dari Australia membutuhkan waktu + 5 hari, Denmark +

33 hari, Belanda + 27 hari, New Zealand + 8 hari dan Jerman + 27 hari hingga sampai ke Indonesia. Selama itu pula suhu, kelembaban dan sirkulasi udara dalam kapal pengangkut perlu terjaga.

Alat angkut yang digunakan adalah kapal besar yang didesain khusus sebagai alat pengangkut barang/kontainer. Kapal ini mempunyai ventilasi udara yang baik sehingga sirkulasi udara tetap terjaga. Selain membawa kontainer susu bubuk kapal ini juga membawa daging dan produk olahannya serta produk olahan

susu lainnya (keju, cream dan butter) yang disimpan pada kontainer yang

berbeda. Suhu dan kelembaban pada kapal tersebut berkisar antara 28 – 29 0C dan 88 – 90 %.

Sedangkan bahan alat penyimpan susu bubuk skim ini terbuat dari besi dengan suhu dan kelembaban masing-masing berkisar antara 230 – 25 0C dan 65 – 68 %. Hal ini telah sesuai dengan suhu dan kelembaban standar untuk penyimpanan selama dalam perjalanan. Sehingga kualitas dari susu bubuk skim ini tetap terjaga hingga sampai ke Indonesia.

Pemeriksaan Organoleptis

Susu merupakan media yang baik sekali bagi pertumbuhan mikroba sehingga apabila penanganannya tidak baik akan dapat menimbulkan penyakit yang berbahaya (“zoonosis”). Disamping itu susu sangat mudah sekali menjadi rusak terutama karena susu merupakan bahan biologik. Untuk itu dilakukan beberapa pemeriksaan terhadap keamanan susu tersebut. Diantaranya adalah pemeriksaan organoleptis atau sensoris.

Prinsip dari pemeriksaan organoleptis adalah analisa terhadap warna, bau, rasa dan konsistensi susu yang dilakukan dengan menggunakan panca indra. Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan terhadap 40 sampel menunjukkan warna putih kekuningan atau krem, bau atau aroma yang khas susu, rasanya agak manis dan enak serta konsistensi yang lembut atau halus dan tidak memperlihatkan adanya gumpalan. Hal ini menandakan bahwa susu bubuk skim impor tersebut memiliki kualitas yang baik.

Warna air susu dapat berubah dari satu warna ke warna yang lain, tergantung dari bangsa ternak, jenis pakan, jumlah lemak, bahan padat dan bahan

pembentuk warna. Warna air susu berkisar dari putih kebiruan hingga kuning keemasan. Warna putih dari susu merupakan hasil dispersi dari refleksi cahaya oleh globula lemak dan partikel koloidal dari kasein dan kalsium phosphat. Warna kuningadalah karena lemak dan karoten yang dapat larut. Bila lemak diambil dari susu maka susu akan menunjukkan warna kebiruan (Saleh 2004).

Rasa dan bau susu memiliki hubungan yang sangat erat dalam menentukan kualitas susu. Susu terasa sedikit manis, hal ini dikarenakan susu mengandung laktosa. Cita rasa yang kurang normal mudah sekali berkembang didalam susu. Salah satu faktornya adalah sebagai akibat pencemaran dan pertumbuhan bakteri yang dapat menyebabkan kerusakan pada susu tersebut. Sedangkan bau susu mudah berubah dari bau khas susu yang sedap menjadi tidak sedap, hal ini disebabkan oleh sifat lemak susu yang mudah menyerap bau disekitarnya.

Susu bubuk mengandung kasein yang dapat mengumpal dan mengeras selama masa penyimpanan. Hal ini dikarenakan sifat kasein yang mudah menggumpal bila ditambah asam pekat, enzim proteolitik, alkohol pekat atau karena pemanasan. Penambahan asam pekat akan menyebabkan molekul-molekul susu tidak akan saling tolak menolak dan terjadi penarikan ion Ca++ oleh asam kuat di dalam molekul kasein yang akan menyebabkan penggumpalan kasein di dalam susu. Apabila kasein menggumpal selama penyimpanan maka susu bubuk skim akan mengalami kerusakan yaitu berkurangnya daya larut sebagai indikator kerusakannya.

Selain mengandung kasein, susu bubuk juga mengandung laktosa yang dapat menyerap air. Susu apabila diletakkan pada tempat yang lembab atau kadar air tinggi maka laktosa tersebut akan dengan mudah menyerap air, yang akan mengakibatkan penggumpalan pada susu bubuk tersebut (Juergens et al. 2002).

Laktosa adalah bentuk karbohidrat yang terdapat di dalam air susu yang ditemukan dalam keadaan larut. Sifat air susu yang sedikit manis ditentukan oleh laktosa. Kadar laktosa dalam air susu dapat dirusak oleh beberapa jenis kuman pembentuk asam susu. Menurut Shiddieqy 2005, laktosa dapat mempengaruhi tekanan osmosa susu, titik beku, dan titik didih. Keberadaan laktosa dalam susu merupakan salah satu keunikan dari susu itu sendiri, karena laktosa tidak terdapat di alam kecuali sebagai produk dari kelenjar susu. Laktosa merupakan zat

makanan yang menyediakan energi bagi tubuh. Namun, laktosa ini harus dipecah menjadi glukosa dan galaktosa oleh enzim bernama laktase agar dapat diserap usus.

Nilai pH dari tiap-tiap sampel yang digunakan berkisar antara 6,4 – 7 dengan rata-rata dan sebarannya pada selang kepercayaan 95 % (α=0,05) untuk tiap kode sampel dapat dilihat pada Tabel 7 dan Gambar 3 berikut.

Tabel 7 Rataan Nilai pH pada Susu Bubuk Skim Impor

No. Negara Asal Rataan pH dan Sebarannya pada Selang Kepercayaan 95 % (α=0,05) 1 New Zealand 6,70 + 0,147 2 Denmark 6,78 + 0,328 3 Jerman 6,78 + 0,328 4 Australia 6,65 + 0,115 5 Belanda 6,68 + 0,125 6,7 6,78 6,78 6,65 6,68 6,55 6,6 6,65 6,7 6,75 6,8 New Zealand

Denmark Jerman Australia Belanda pH

Gambar 3 Rataan Nilai pH pada Susu Bubuk Skim Impor

Susu bubuk skim yang berasal dari Denmark dan Jerman memiliki rataan dan sebaran yang sama dan merupakan rataan tertinggi dan sebaran yang terpanjang. Sementara susu bubuk skim dari Australia memiliki rataan terendah dan sebaran terpendek. Menurut Syarief dan Halid (1997), susu bubuk yang telah dicairkan kembali memiliki pH yang sama dengan susu cair, yaitu berkisar antara 6,5 – 7,5.

pH merupakan salah satu faktor stimulans untuk pertumbuhan bakteri. Menurut Saksono dan Saksono (1986), pada umumnya bakteri dapat memperbanyak dirinya pada pH antara 4 – 10. Namun, pH yang tepat untuk sebagian bakteri adalah mendekati normal terutama pada produk makanan asal hewan, salah satunya adalah susu.

Pemeriksaan Mikrobiologis

Pengujian Total Bakteri dengan Metode Total Plate Count (TPC) Prinsip dari pengujian ini adalah jika satu sel bakteri ditumbuhkan pada media agar maka akan tumbuh menjadi satu koloni yang nampak dengan mata. Jumlah koloni yang diperoleh dinyatakan dengan colony forming unit per g/ml atau luasan tertentu dari contoh.

Dari data yang diperoleh dapat dilihat bahwa rataan bakteri pada selang kepercayaan 95 % dengan α = 0,05 sangat bervariasi. Tetapi jumlah total bakteri tersebut masih berada dibawah nilai maksimal yang ditetapkan pada SNI No. 01- 2970-1999 dan SNI No. 01-6366-2000. Dimana nilai maksimal yang ditetapkan adalah sebesar 5 x 104 cfu/g.

Susu bubuk skim yang berasal dari Denmark memiliki rataan tertinggi dan dengan sebaran yang cukup panjang. Namun, sebaran terpanjang pada selang kepercayaan 95 % (α=0,05) terdapat pada susu bubuk skim asal Jerman. Hal ini disebabkan oleh perbedaan yang sangat signifikan terhadap jumlah bakteri yang ditemukan pada tiap-tiap sampel susu bubuk skim asal Jerman tersebut. Sebaran antara susu bubuk skim asal Denmark dan Australia hampir sama, namun susu bubuk skim asal Denmark memiliki rataan jumlah total bakteri yang lebih tinggi. Ini berarti bakteri yang ditemukan pada susu bubuk skim asal Denmark lebih tinggi dibandingkan dengan Australia. Secara umum, susu bubuk skim asal Denmark ini memiliki jumlah total bakteri yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain. Susu bubuk skim asal Belanda memiliki jumlah total bakteri terendah. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 8 dan Gambar 4 berikut.

Tabel 8 Rataan Jumlah Total Bakteri (TPC) pada Susu Bubuk Skim Impor No. Negara Asal TPC ( x 101 cfu/g )

1 New Zealand 9,9 + 2,74 2 Denmark 10,6 + 4,05 3 Jerman 6,9 + 6,59 4 Australia 6,8 + 4,18 5 Belanda 2,4 + 2,82 9,9 10,6 6,9 6,8 2,4 0 2 4 6 8 10 12 New Zealand

Denmark Jerman Australia Belanda ( x 101 cfu/g )

Gambar 4. Rataan Nilai Jumlah Total Bakteri (TPC) pada Susu Bubuk Skim Impor

Mikroba merupakan pencemar utama pada makanan. Sekitar + 90 % makanan yang tercemar merupakan akibat dari bakteri (Lukman, 2007). Sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada makanan tersebut, misalnya berbau dan berlendir. Sebagian bakteri dapat juga menghasilkan toxin, sehingga mengakibatkan keracunan pada manusia yang mengkonsumsinya. Salah satunya adalah Staphylococcus aureus yang menghasilkan enterotoxin.

Keberadaan mikroba dalam susu bubuk ataupun produk hasil olahannya sangat bergantung pada jumlah dan jenis bakteri pada susu mentah, suhu pemanasan, higiene dan pengolahan pada saat pengeringan. Selain itu kebersihan pekerja dalam pengolahan susu bubuk skim juga mempengaruhi higiene dari susu bubuk skim impor tersebut.

Keberadaan Staphylococcus aureus dalam Susu Bubuk Skim Impor Pemeriksaan S. aureus bertujuan untuk mengetahui keberadaan bakteri S. aureus dalam susu bubuk skim yang dapat menjadi agen penyebab keracunan

makanan. Prinsip dari pemeriksaan S. aureus sama dengan prinsip pemeriksaan jumlah total bakteri. Yaitu jika satu sel bakteri ditumbuhkan pada media agar maka akan tumbuh menjadi satu koloni yang nampak dengan mata.

Dari hasil penelitian ini, dapat dilihat bahwa tidak ditemukannya bakteri S. aureus pada seluruh (40 sampel) susu bubuk skim yang digunakan pada pengujian ini. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 9 dan Gambar 5 berikut.

Tabel 9 Hasil Pengujian Jumlah Bakteri S. aureus pada Susu Bubuk Skim Impor

No. Negara Asal S. aureus ( cfu/g )

1 New Zealand 0 2 Denmark 0 3 Jerman 0 4 Australia 0 5 Belanda 0 0 0 0 0 0 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1 New Zealand

Denmark Jerman Australia Belanda cfu/g

Gambar 5 Hasil pengujian jumlah bakteri S. aureus pada susu bubuk skim impor

Tidak ditemukannya bakteri S. aureus ini berarti susu bubuk skim impor tersebut memiliki mutu yang cukup baik. Hal ini mungkin dikarenakan oleh karena berasal dari susu mentah yang baik, penanganan serta pengolahan yang higiene.

S. aureus dapat berada di dalam udara, debu, limbah, air, susu, makanan atau pada peralatan makanan, permukaan lingkungan, manusia atau binatang. Apabila makanan atau produk olahannya yang tercemar bakteri ini dikonsumsi

oleh manusia, maka akan dapat menyebabkan keracunan. Manusia dan binatang merupakan reservoar utamanya dan menjadi tempat bersarang bagi bakteri ini terutama pada hidung, kerongkongan, kulit dan rambut.

S. aureus yang berdiam di daerah pernafasan pada orang sehat dapat menyebabkan penyakit sinusitis pada rongga hidung, mulut, dada dan menyebabkan demam. Penggunaan masker dapat mencegah terjadinya kontaminasi langsung dari pernafasan ke makanan (Saksono dan Saksono 1986).

Gejala keracunan makanan akibat bakteri ini berjalan sangat cepat dan

seringkali dalam bentuk akut. Dampak keracunan S. aureus ini akan sangat

bergantung pada kepekaan individu terhadap toksin, jumlah makanan tercemar yang dikonsumsi dan status kesehatan dari individu tersebut. Pada umumnya makanan dapat tercemar apabila tidak disimpan pada suhu diatas 60 0C / 140 0F atau pada suhu dibawah 7,2 0C / 45 0F.

Gejala yang paling umum akibat keracunan enterotoksin adalah mual, muntah, kram pada perut (abdomen), diare dan kelemahan. Pada tingkatan yang lebih parah dapat terjadi sakit kepala, kram otot, peningkatan denyut nadi, perubahan tekanan darah dan kadang-kadang sampai pingsan. Treatment untuk mengatasinya dapat dilakukan dengan mengganti cairan, garam dan mineral yang hilang akibat diare dan muntah (Stehulak, 1998).

Untuk pencegahan dari keracunan makanan tersebut adalah dengan melakukan tindakan mencuci tangan sebelum mempersiapkan makanan. Pekerja yang mempunyai infeksi/peradangan kulit tidak diperbolehkan untuk menangani makanan. Peralatan persiapan makanan harus secara menyeluruh dicuci sebelum digunakan. Kelebihan makanan harus segera disimpan pada suhu di atas 140 0F atau di bawah 40 z0F (Stehulak, 1998).

Dokumen terkait