• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kecamatan Parung merupakan salah satu pusat peternakan ayam ras petelur di Jawa Barat khususnya Kabupaten Bogor. Pada tahun 2005 terdapat 128 peternakan dengan jumlah populasi 3.109.480 ekor ayam ras petelur yang tersebar di 18 kecamatan. Populasi ayam Ras petelur yang ada di Kecamatan Parung sebanyak 249.000 ekor atau sekitar 8% dari jumlah total ayam ras petelur yang ada di Kabupaten Bogor (Dinas Peternakan dan Perikanan 2005).

Tabel 1 Populasi ayam ras petelur di Kabupaten Bogor pada tahun 2005 (sumber: Buku Saku Peternakan dan Perikanan. Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor 2005)

No. Kecamatan Populasi (ekor) jumlah peternakan 1 Rumpin 625.500 24 2 Kemang 222.500 16 3 Parung 249.000 15 4 Gunung Sindur 1.188.000 48 5 Tajur Halang 105.000 2 6 Cibinong 50.000 2 7 Jonggol 120.000 3 8 Cigudeg 97.000 4 9 Parung Panjang 65.000 1 10 Jasinga 65.000 2 11 Cileungsi 35.750 1 12 Tenjo 72.000 1 13 Cariu 45.000 1 14 Cibungbulang 40.000 1 15 Megamendung 32.230 3 16 Nanggung 25.000 1 17 Tamansari 62.500 2 18 Cigombong 7.500 1 Jumlah 3.109.480 128

15 Sampel darah yang akan dideteksi berasal dari dua peternakan yang ada di Kecamatan Parung. Kedua peternakan tersebut sudah memenuhi syarat perencanaan penelitian, yaitu peternakan ayam ras petelur dengan populasi lebih dari 25.000 ekor/peternakan. Proses pengambilan darah dilakukan dengan mengikuti teknis yang dianjurkan, yaitu dengan menperhatikan aspek keselamatan hewan dan manusia. Darah diambil pada vena axilaris, kemudian dimasukkan ke dalam tabung EDTA.

Ekstraksi darah bertujuan untuk mendapatkan DNA. Proses ekstraksi diawali dengan melisiskan sel-sel darah, sehingga DNA terbebas dari sel. DNA kemudian dipisahkan dari komponen sel lainnya seperti protein dengan menggunakan larutan pencuci (sollution II). Sollution III ditambahkan untuk mengisolasi DNA dan setelah ditambah dengan larutan isoprophanol, DNA akan mengalami presipitasi. Presipitasi DNA akan terlihat jelas berupa bena ng-benang tipis berwarna putih. Pemberian alkohol bertujuan untuk memurnikan dan membersihkan DNA dari bahan-bahan lain yang digunakan dalam proses ekstraksi. Hasil akhir ekstraksi yang baik dan benar berupa DNA murni yang bisa dipakai dalam pengujian yang menggunakan DNA (Takara Bio 2005). DNA hasil ekstraksi dispektrofotometer dengan panjang gelombang 260 nm untuk memeriksa kemurniannya, selanjutnya DNA digunakan untuk uji PCR.

DNA diamplifikasi menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Amplifikasi DNA dengan metode PCR menggunakan primer yang dirancang berdasarkan sekuen spesifik membran luar Coxiella burnetii dengan berat molekul 27 kDa. Primer yang digunakan sebanyak dua pasang terdiri dari primer 1 (5,-AGT AGA AGC ATC CCA AGC ATT G-3,) berpasangan dengan primer 2 (5,-TGC CTG CTA GCT GTA ACG ATT G-3,) yang digunakan pada putaran pertama dan primer 3 (5,-GAA GCG CAA CAA GAA GAA CAC-3,) berpasangan dengan primer 4 (5,-TTG GAA GTT ATC ACG CAG TTG-3,) yang digunakan untuk putaran kedua proses PCR (Takara Bio 2005).

Prosedur PCR meliputi tiga tahap, yaitu tahap denaturation, annealing dan extension (polimerase). DNA template untai ganda didenaturasi pada suhu 940C selama 1 menit, sehingga kedua untaian DNA terpisah. Tahap annealing terjadi pengikatan pasangan primer yang berlangsung pada suhu 540C selama 1 menit,

16 sehingga kedua primer berikatan dengan masing-masing DNA target. Jumlah primer lebih banyak dari template,maka kemungkinan template berikatan dengan primer lebih besar daripada template berikatan dengan template lainnya. DNA polimerase akan mengkatalis penambahan nukleotida pada tahap extension (polimerase) dalam suhu 720C selama 1 menit. PCR berlangsung sampai 36 siklus dan fragmen DNA akan diamplifikasikan secara eksposional yang akan menghasilkan berjuta-juta salinan DNA template.

Gambar 4 Prinsip kerja PCR (Anonimous 2007a)

Produk PCR selanjutnya dielektroforesis menggunakan gel agarose elektroforesis. Gel yang digunakan berupa polimer bertautan silang (crosslinked) yang konsentrasinya dapat diatur sesuai dengan sampel yang diuji (Sajuthi et al. 1991). Elektroforesis pada sampel DNA yang diuji menggunakan media agar dengan konsentrasi 3%. Proses elektroforesis akan menganalisa dan memisahkan DNA berdasarkan berat atau panjang DNA. Molekul DNA bergerak dari elektroda

17 1.00 1.20 1.40 1.60 1.80 2.00 ratio 0 2 4 6 8 Frequency Mean = 1.6484 Std. Dev. = 0.25233 N = 20

negatif menuju elektroda positif. Kecepatan pergerakan DNA berdasarkan berat dan panjang DNA. DNA yang berukuran kecil akan lebih cepat bergerak, sedangkan DNA dengan berat molekul lebih besar akan semakin sulit melewati pori atau rongga agar (Anonimous 2007a).

Proses pewarnaan (stainning) menggunakan ethidium bromida untuk dapat melihat pita (band) molekul DNA dilakukan setelah proses elektroforesis. Satu lajur (lane) merupakan arah pergerakan satu sampel dari sumur gel. Pita-pita yang sejajar pada akhir elektroforesis mengandung molekul yang bergerak dengan kecepatan yang sama, berarti molekul-molekul DNA tersebut memiliki ukuran yang sama (Anonimous 2007a). Hasil elektroforesis dapat terlihat melalui pengamatan dengan UV transluminator. Penganalisaan dengan elektroforesis memerlukan kontrol positif dan kontrol negatif. Kontrol positif merupakan DNA Coxiella burnetii Strain Nine Mile 2 ATCC (NM2) yang ditambah dengan PCR mixture dan kontrol negatif terdiri dari DNA Staphylococcus aureus strain cowan 1 ditambah dengan PCR mixture.

Gambar 5 Grafik Ratio 260/280 spektrofotometer sampel darah ayam petelur di Kecamatan Parung, Bogor.

Kemurnian DNA yang didapatkan dari spektrofotometer bervariasi. Ratio terendah DNA adalah 1.000 dan tertinggi 2.000. Menurut Colclough et al. (2004)

Frekwensi

Rata-rata = 1.648 Std. Dev. = 0.252 N = 21

18 DNA yang murni memiliki kisaran nilai ratio 260/280 antara 1.500 sampai dengan 2.100. Hasil penilaian kemur nian DNA digambarkan pada grafik diatas dan terlihat rentang yang tidak terlalu jauh antara ratio DNA yang diuji. Mengacu pada rataan ratio kemurnian DNA, yaitunya 1.648, dapat diambil kesimpulan, bahwa DNA yang diekstraksi adalah DNA murni. Hasil spektrofotometer bukanlah jaminan untuk kelayakan uji PCR, karena metode PCR sangat spesifik dan sensitif. Proses PCR hanya akan mengidentifikasi objek yang akan diteliti sesuai dengan mixture yang digunakan, sehingga metode PCR yang menggunakan mixture untuk mengidentifikasi DNA hanya akan menunjukan hasil PCR tentang DNA.

Gambar 6 Hasil pengamatan dengan UV transluminator DNA yang dipreparasi dengan metode PCR.

DNA Coxiella burnetii akan menunjukkan hasil amplifikasi PCR I 501 bp dan PCR II 438 bp. Hasil elektroforesis dari 21 sampel darah ayam yang berasal dari dua peternakan yang ada di Kecamatan Parung, Kabupatan Bogor tidak menunjukkan DNA Coxiella burnetii. Hasil ini dapat terlihat dari gambar diatas, bahwa tidak ada barisan pita elektroforesis yang sejajar dengan kontrol positif PCR II.

19 Tabel 2 Hasil Pengamatan elektroforesis sampel darah ayam dari Kecamatan

Parung No

.

Asal sampel Kode sampel Hasil pengamatan PCR

1. Pet. A B1 Negatif B2 Negatif B3 Negatif B4 Negatif B5 Negatif B6 Negatif B7 Negatif B9 Negatif B10 Negatif 2 Pet. B B11 Negatif B12 Negatif B13 Negatif B14 Negatif B15 Negatif B16 Negatif B17 Negatif B18 Negatif B19 Negatif B20 Negatif B21 Negatif B24 Negatif jumlah 21

Coxiella burnetii pernah dideteksi di Indonesia sebelumnya. Survei serologik terhadap keberadaan Coxiella burnetii dilakukan dibeberapa daerah di Indonesia dan didapatkan prevalensi bervariasi dengan rata-rata 25% (Soeharsono 2002). Hasil dari pengujian tersebut membuktikan bahwa di Indonesia sudah terdapat agen Coxiella burnetii. Penelitian yang dilakukan terhadap 175 ekor sapi Brahman cross yang berasal dari Bogor, 12 ekor (6.8%) diantaranya mengandung

20 DNA Coxiella burnetii (Mahatmi 2006). Penelitian Coxiella burnetii pada ayam yang dilakukan oleh M.S. Sethi, Bhupender Singh dan M.P. Yadap pada tahun 1977 di India melalui uji serologis didapatkan bahwa ayam akan membentuk antibodi 13 hari setelah terinfeksi oleh Coxiella burnetii (JSTOR 2007). Penelitian yang dilakukan di Jepang dengan sampel telur ayam yang berasal dari pasar menunjukan 4.2% telur yang diperiksa terinfeksi oleh Coxiella burnetii (Anonimous 2006c).

Sampel darah yang dideteksi tidak ditemukan DNA Coxiella burnetii disebabkankan oleh banyak faktor. Pertama; ayam yang dideteksi tersebut tidak terinfeksi oleh Coxiella burnetii. Kedua; ayam sudah terinfeksi, namun pada saat pengambilan sampel, agen tidak berada dalam peredaran darah, tapi telah berada dalam jaringan.

Manajemen peternakan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan ayam tidak terinfeksi oleh Coxiella burnetii. Peternakan Layer yang diambil sampel darah untuk deteksi Coxiella burnetii telah memiliki manajemen peternakan yang baik, seperti dengan menerapkan biosecurity dan program pengawasan, pengendalian dan program pengobatan yang teratur. Lalu lintas di area peternakan dijaga dengan baik. Orang atau kendaraan yang akan masuk dan keluar dari area peternakan didesinfeksi terlebih dahulu. Pemberian antibiotik dilakukan secara intensif melalui pakan dan air minum. Antibiotik memiliki kemampuan untuk menghancurkan dan melumpuhkan mikroorganisme termasuk Coxiella burnetii. Antibiotik yang digunakan pada kedua peternakan ini, diantaranya eritromisin, amoksisilin dan oksitetrasiklin. Amoksisilin dan oksitetrasiklin merupakan antibiotik yang memiliki spektrum luas, yaitu aktivitas kerjanya efektif pada mikroorganisme gram-positif maupun gram-negatif. Oksitetrasiklin merupakan antibiotik yang dirujuk dalam pengendalian dan pengobatan infeksi Coxiella burnetii.

Program pengendalian ektoparasit juga sudah diterapkan dengan baik. Kedua peternakan melakukan desinfeksi secara menyeluruh terhadap kandang, gudang dan peralatan peternakan ketika kandang kosong ternak. Pengangkatan kotoran yang biasanya menjadi sarang vektor mikroorganisme dilakukan secara rutin, sehingga semakin kecil kemungkinan ayam kontak dengan vektor Coxiella

21 burnetii. Faktor-faktor inilah ya ng paling memungkinkan ayam yang dideteksi bebas dari infeksi Coxiella burneti.

KESIMPULAN

Deteksi Coxiella burnetii pada ayam ras petelur dilakukan dengan mendeteksi DNA dengan menggunakan metode PCR. Sampel darah berasal dari dua peternakan ayam ras yang berada di Kecamatan Parung. Hasil yang didapatkan bahwa dari 21 sampel darah ayam yang dideteksi tidak ditemukan DNA Coxiella burnetii, artinya hasil penelitian negatif. Manajemen pada kedua peternakan yang diambil sampel darah sudah berjalan dengan baik, diantaranya; perlakuan biosecurity dan pengobatan dengan pemberian antibiotik yang intensif. Hal ini menjadi faktor yang sangat memungkinkan ayam yang dideteksi tidak terinfeksi olen Coxiella burnetii.

SARAN

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang Coxiella burnetii dengan menggunakan sampel yang berbeda dari ayam ras petelur, baik yang ada di Kecamatan Parung maupun kecamatan-kecamatan lain di Kabupaten Bogor. Perlunya peningkatan penelitian mengenai Coxiella burnetii untuk lebih membuka pengetahuan masyarakat terutama peternak yang sekarang ini masih awan tentang agen penyakit ini.

DAFTAR PUSTAKA

Acha PN, Szyfres B. 1987. Zoonosis and Comunicable Diseases Common to Man and Animals. Pan American Health Organization. Hlm : 261 – 265.

Acha PN, Szyfrs B. 2003a. Zoonoses and Communicable Disease Common to Man and Animals. Volume I : Bacterioses and Mycoses. 3 rd Ed. Pan American Health Organization. Washington DC.

Acha PN, Szyfrs B. 2003b. Zoonoses and Communicable Disease Common to Man and Animals. Volume II : Chlamydioses, Rickkettsioses and Viroses. Pan American Health Organization. Washington DC.

Acha PN, Szyfrs B. 2003c. Zoonoses and Communicable Disease Common to Man and Animals. Volume III: Parasitoses Pan American Health Organization. Washington DC.

Akoso BT. 1996. Kesehatan SapiPanduan bagi Petugas, Mahasiswa, Penyuluh, dan Peternak”. Karisius. Yogyakarta.

Anonimous. 2006a. Perkembangan Teknik Diagnostic Q Fever. http: //peternakan.litbang.deptan.go.id/ index [25 Juni 2006).

Anonimous. 2006b. Q Fever . http://www.cos.gatech.edu/story.php?id=628 [28 Juli 2006].

Anonimous. 2006c . Q Fever . http://www.mevis.de/~hhj/Lunge /ima/InfQThA467. JPG. [28 Juli 2006].

Anonimous. 2006d. Q Fever .http://gsbs.utmb.edu/microbook/ch038.htm [28 Juli 2006].

Anonimous. 2006e. Century of Rickettsiology: Emerging, Reemerging Rickettsioses,

Molecular Diagnostics, and Emerging Veterinary Rickettsioses.

http://www.annalsnyas.org/cgi/content/abstract/1078/1/502. [8 agustus 2007].

Anonimous. 2007a. Reaksi Berantai Polimerase.

htt://id.wikipedia.org/wiki/Biologi molekuler [20 Februari 2007].

Anonimous. 2007b. Q fever. htt://www.cdc.gov/ncidod/diseases/sub menus/sub_q_fever htm [1 juni 2007].

Bruner DW, Gillespie JH. 1973. Hagan,s Infectious Diseases of Domestic Animals. London. Cornell University Press.

24 Burgdorfer W. 1975. Q fever. 1975 . Dalam : Hubbert WT, McCulloch WF dan Schnurrenberger PR, (Eds). Diseases Transmitted from Animals to Man. Charles C. Thomas Publ. Co. Springfield, Illinosis.

Calescof, Pascual, Montes M, Marimon JM. Illa G. 1998. High Seroprevalence of Coxiella burnetii Infection in Eastern Cantabria (Spain). Int. J. Epidemiol 27 : 142 – 488.

Coetzer JAW, Thomson GR, Tustin RC. 1994. Infectious Diseases of Livestock Vol I. Oxford University Press. Hlm: 381-385.

Colclouugh T. 2004. National Genetics ReferenceLaboratory (Manchester). Academic Unit of Medical Genetics and Regional Genetics Service. Saint Mary,s Hospital. Hathersage Road. Manchester M13 0JH.

Davis JW, Lars HK, Daniel OT. 1981. Infections Diseases of Wild Mammals. The lowa State University Press, Ames, Lowa, USA. hlm: 388-395.

Dinas Peternakan dan Perikanan. 2005. Buku Saku Peternakan dan Perikanan Tahun 2005. Kabupaten Bogor.

Erlich HA. 1989. PCR Technology : Principles and Application for DNA Amplification Ed ke-2. United States and Canada: Stockton Press.

Ferguson J. 1997. Q Fever. Microbiology HAPS. http : // www.haps.nsw.gov [29 Juni 2006].

JSTOR. 2007. Experimental Infection of Coxiella burnetii in Chicken: Clinical Symptoms, Serologic Response, and Transmission Through Egg.

http://links.jstor.org/sici?sici=00052086(197807%2F09)22%3A3%3C391 %3AEIOCBI%3E2.0.CO%3B2-M. [8 Agustus 2007].

Kaufman PB, Wu W, Kim D, Sekse LJ. 1995. Handbook of Molecular and Cellular Methods in Biology and Medicine. United State of Amerika : CRC Press. Inc.

Levy D. 2004. Infections Diseases. Greater Baltimore. MD. Verimed Healthcare Newyork. www.nlm.nih.gov [29 Juni 2006].

Mahatmi H. 2006. Studi Q Fever pada Ruminansia di Wilayah Bogor dan Provinsi Bali [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Medic A. 2000. Q fever Epidemic Among Employees in Factory in Subrub of Zadar. Croatia. Zadar Institut of Public Health Croatia.

Merchant IA, David R. 1973. An Outline of the Infectious Diseases of Domestic Animals. New Delhi. Oxford and IBH Publishing Co.

25 Nur MA, Adijuwana H. 1989. Teknik Pemisahan dalam Analisis Biologi. Bogor : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, PAU Ilmu Hayat IPB Bab 6, elektroforesis; hlm: 117 - 127.

Nguyen SV, Hirai K. 1998. Differentiation of Coxiella burnetii Isolates by Sequance Determinatin and PCR Resttriction Fragment Length. Polymorphism Analysis of Isolacitrate Dehidrogenase Gene. Departemen of Veterinary Microbiology. Faculty of Agriculture. Gifu University. Japan.

O’Neill J. 1997. Q fever Information Kit For the Australian Meat Industry. Meat and Livestock, Australian. www.Q fever.org [9 Juni 2006].

Raoult. 2003. Q fever. Universiat Delamediterrance Marseille. France.

Sajuthi D, Hendra A, Pamungkas J. 1991. Penuntun Praktikum Biologi Sel Molekuler. Bogor; Life Science Inter University Center IPB.

Schnurrentberger PR, Paul R, William TH (Penerjemah: Anonimous. 1991. Ikhtisar Zoonosis. ITB Bandung). Hlm: 152 - 154.

Seppon A. 1965. Bakterial Diseases Vol II “Diseases of Domestic Animals in Australia part 5”. Communicalth of Australia Department of Health. Australia.

Shulman, Stanford T, John PP, Herbert MS (Penerjemah : Wahab, Samik). 1994 . Dasar Biologis dan Klinis Penyakit Infeksi. FKH-UGM. Yogyakarta.

Smith JF. 2005. Q fever. Medical Library.

Soeharsono. 2002. Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Yogyakarta : Kanisius.

Soejoedono RR. 2000. Zoonosis. Laboratorium Kesmavet FKH-IPB. Bogor.

Takara Bio. 2005. Moleculer Biology Product for Life Science Research. Japan. Takara Bio Inc.

Van deer Hoedan J.1964. Zoonoses Elsever Publishing Company. Amsterdam-London-New York. Pp : 880-886.

Van Peenen PFD. Koesharjono CSW, Saroso JS, Irving GS. 1974. Serological Survey of Cattle from a Slaugterhouse in Jakarta, Indonesia. Bull. Penelitian Kesehatan Hlm : 1 – 8.

[WARTAZOA] Buletin ILmu Peternakan Indonesia. 1999. Aplikasi Polymese Chain Reaction (PCR) Dalam Diagnosis Penyakit Malignant Catarrhal Fever (MCF) di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Bogor.

26 Williams JC, Peacock MG, Race RE.1993. Immunization of Dogs with Q Fever

Vaccine: Comparison of phase I, II, and phase I CMR Coxiella burnetii vaccines. Amj Physiol. 1999. Juni : 276 (6pt 2) : RI 653-60 (Februari 2005).

Zhang GQ. 1998. Clinical Evaluation of a New PCR Assay for Detection of Coxiella burnetii in Human Serum Sample. Departemen of Veterinary Microbiology. Faculty of Agriculture. Japan.

Zhang GQ, To H, Yamagichi T, Fukushi H, Hirai K. 1997. Differentiation of Coxiella burnetii by Sequence Analysis of The Gene (Com 1) Encoding a27-k Da Outer Membrane Protein. Departement of Veterinary Microbiological, Faculty of Agriculture, Gifu Unifersity. Japan.

Dokumen terkait