• Tidak ada hasil yang ditemukan

Coxiella burnetii

Coxiella burnetii merupakan bakteri like organism, memiliki struktur yang sama dengan bakteri gram negatif dan anplopnya memliki tiga lapisan utama (Soerharnoso 2002). Bakteri ini memiliki ukuran 300x1000 nm, berbentuk batang bipolar dan berukuran yang pendek (Bruner et al. 1973; Merchant et al. 1973). Coetzer (1994) menambahkan bahwa bakteri ini berukuran kecil dan pleomorfik, ukurannya 0.25x1.5 µ pada bentuk batang, 1.25x1.5 µ berbentuk lanceolate, 0.25x1.0 µ bentuk bipolar dan pada bentuk kokus berdiameter 1.25 µ. Agen ini memiliki sifat obligat parasit intraseluler, yaitu parasit yang hanya dapat bertahan hidup di jaringan yang hidup dan akan cepat mati pada lingkungan yang kering dan panas (Tri Akoso 1996).

Gambar 1 Sel dari Coxiella burnetii (Anonimous 2007)

Medic (2000) menyatakan Coxiella burnetii merupakan agen penyakit Q fever. Coxiella burnetii awalnya dimasukkan kedalam golongan rickettsia, tetapi karena perbedaannya, yaitu sangat tahan terhadap bahan kimia dan tekanan fisis, tidak membentuk aglutinin terhadap uji Weil-Felix, tidak menyebabkan kemerahan pada kulit dan dapat dipindahkan ke individu lain tanpa harus melalui vektor, sehingga dimasukkan kedalam genus Coxiella yang akhirnya dikenal sebagai Coxiella burnetii (Burgdorfer 1975).

4 Coxiella burnetii lebih dekat hubungannya dengan spesies bakteri Legionella dan Francisella tularesis dan didalam siklus hidupnya terdapat tahap spora like yang menyebabkan mikroorganisme ini tahan terhadap tekanan psikokimia (Vales et al. 1998; Roult et al. 2003; Smith 2005). Pemanasan dengan suhu 60oC selama 30 menit tidak mampu mematikan agen ini, tapi dengan suhu 72oC selama 15 menit mampu membunuh Coxiella burnetii (Seddon et al. 1965; Merchant et al. 1973). Coxilla burnetii dapat infektif selama 7 bulan sampai 9 bulan pada wool yang dikeringkan dengan suhu 15 oC sampai 20oC dan pada susu yang dipanaskan (62 oC samapai 63oC) selama 30 menit. Resisten terhadap phenol 1% atau formalin 1% (O, neill 1997).

Q Fever

Q fever berasal dari kata (Q) = ”Querry” yang artinya teka-teki, karena pada awal ditemukan penyebab penya kit ini masih menjadi teka-teki (O’Neill 1997). Nama lain dari Qfever di beberapa negara adalah Acute Q fever, Chronic Q fever, Coxiella burnetii fever, Coxiella burnetii vector borne disease, Australian Q fever, Australian Q, Balkan influenza, Balkan nine mile fever, Coxiella burnetii infection, Derrick-bunet disease, Hibernovenal bronchopneumonia, Q fever pneumonia, Querry fever dan Puzzling fever (Acha dan Szyfres 2003).

Q fever bersifat zoonotik dan endemik yang menyerang hewan dan manusia. Kasus pertama yang dilaporkan pada manusia terjadi masa perang dunia ke II di Eropa, Qfever menyerang tentara yang ditugaskan di eropa bagian timur dan selatan. Penyakit ini ditandai dengan pneumonia yang sebelumnya diduga infeksi oleh virus, tetapi setelah diperiksa, gejala tersebut adalah akibat infeksi Coxilla burnetii. Sejak saat itu Qfever mulai dikenal dan telah menyebar hampir di seluruh negara.

Sero epidemiologi Q fever pernah dipelajari dengan test aglutinasi kapiler pada 25 peternakan unggas di daerah Ajmer dan Nainital, India dan dari 589 unggas yang diuji, 78 (13.24%) positif semuanya berasal dari 16 peternakan (Rarotra et al. 1977). Q fever pernah juga dilaporkan menjangkiti pekerja

5 peternakan ayam di Cekoslovakia dan ternyata ayam, itik, kalkun, angsa dan merpati yang ada di peternakan tersebut juga terinfeksi.

Q fever dilaporkan sebagai Kasus Luar Biasa (KLB) pada pekerja di peternakan, di tempat pengepakan daging, di tempat penggemukan ternak, di laboratorium dan pusat-pusat veteriner yang melakukan penelitian dengan domba sebagai binatang percobaan. Merchant (1973) mengungkapkan bahwa 15% pabrik susu yang ada di California bagian selatan terinfeksi oleh Coxiella burnetii.

Survei serologik yang pernah dilakukan di Indonesia terhadap agen Coxiella burnetii yang dimulai dari Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, NTT, Sulawesi Tengah sampai Sulawesi Tenggara didapatkan gambaran prevalensi yang bervariasi, dari 7% di Sumatera Barat sampai 50% di NTT dengan rata-rata 25% (Soeharsono 2002).

a. Gejala Klinis

Infeksi Coxiella burnetii pada ayam tidak menimbulkan gejala klinis, sama halnya pada hewan-hewan lain (Soejoedono 2004). Uji sero epidemiologi yang dilakukan di India menunjukan, bahwa ayam yang terinfeksi oleh Coxiella burnetii akan menghasilkan antibodi setelah hari ke 13 pasca infeksi (JSTOR 2006). Ayam yang terinfeksi dapat menularkan Coxiella burnetii ke telur. Penularan Q fever dari ayam yang terinfeksi ke hewan dan manusia bisa melalui telur dan feces. Menurut Anonimous (2007b) pengujian terhadap telur ayam yang berasal dari pasar telur di Jepang, didapatkan hasil 4.2% positif mengandung material genetik Coxiella burnetii.

Sebagian besar ternak yang terinfeksi Q fever tidak menunjukkan gejala klinis, tapi pernah dilaporkan terjadi kasus keguguran pada domba dan kambing yang terinfeksi Coxiella burnetii. Hal ini ditegaskan oleh Schnurrenberger (1991), bahwa tanda dan gejala Q fever pada domba, kambing dan sapi adalah keguguran dan bronkopneumoni. Hewan yang terinfeksi akan memindahkan agen ke fetus secara transplasental dan dapat menyebabkan keguguran, mengganggu kesuburan atau infertilitas. Infeksi tidak akan menyebabkan turunnya produksi susu dan tidak akan menghambat pertumbuhan anak yang baru lahir (Burgdorfer 1975; Acha et al. 2003).

6 Q fever pada manusia bisa dalam dua fase infeksi, yaitu fase akut dan fase kronis. Fase akut menunjukan gejala penyakit berupa demam akut, sakit kepala yang berat, nyeri otot, myalgia dan dapat menimbulkan keguguran pada wanita hamil, sedangkan pada fase kronis gejala yang timbul berupa komplikasi endokarditis dan pneumonitis yang dapat berakibat fatal dengan tingkat kematian sekitar 1% sampai dengan 2% (Seppon 1965). Demam yang terjadi bisa berlangsung beberapa mi nggu dengan suhu maksimum 40oC sampai 41.1oC dan perlu diwaspadai bila suhu penderita sudah diatas 38.8oC, artinya kondisi penderita sudah sangat parah. Masa inkubasi Q fever 2 minggu sampai 4 minggu, tetapi banyak yang terjadi selama 18 hari sampai 20 hari.

Gambaran 2 foto rontgen pada pasien pneumonia yang terkena Q fever (Anonimous 2006c)

Berat dan lamanya penyakit sangat bervariasi pada hewan dan manusia yang terinfeksi. Infeksi dapat tanpa gejala atau berupa demam non-spesifik ”fever un know origin” (Anonimous 2006a). Penyakit yang cepat ditangani tidak akan menimbulkan resiko yang besar pada penderita, karena mortalitas kasus Q fever cukup rendah, yaitu kurang dari 1% (Seppon 1965).

b. Penularan Penyakit

Penyebaran Coxiella burnetii lebih sering terjadi melalui udara, debu dan vektor. Partikel udara yang mengandung organisme dapat tertiup angin sampai jarak satu setengah mil atau lebih, sedangkan vektor dapat menyebarkan agen melalui gigitan (Merchant 1973). Penularan penyakit biasanya melalui kontak langsung dengan alat yang terpapar plasenta, air ketuban, kotoran binatang yang terinfeksi dan bisa juga melaui vektor. Penularan penyakit Qfever dikenal dengan

7 dua siklus, yaitu; (i) siklus di antara mamalia liar dan arthropoda hemathopagus dan (ii) siklus di antara mamalia domestik.

Ayam yang terinfeksi dapat menularkan penyakit ini melalui telur dan feces. Pengeluaran Coxiella burnetii dari ayam melalui ekskresi atau feces terjadi setelah hari ke tujuh sampai hari ke 40 pasca infeksi (Rarotra et al. 1977). Penularan akan terjadi bila ayam atau hewan lain terpapar dengan feces yang mengandung agen tersebut. Manusia akan tertular bila mengkonsumsi daging atau telur ayam yang terkontaminasi tanpa memasak sampai matang.

Penularan Q fever ke manusia dari ternak sering terjadi secara aerosol dan kontak langsung, sedangkan penularan melaui gigitan arthropoda jarang terjadi. Coxiella burnetii sangat tahan terhadap kekeringan, sehingga sering terjadi infeksi secara tidak langsung malalui wool, rambut hewan dan pakaian (Acha dan Szyfres 2003).

Gambar 3 Bentuk penularan Q fever pada manusia (Anonimous 2006d)

c. Diagnosa

Diagnosa Q fever dapat dilakukan dengan uji serologis. Susunan metode pemeriksaan uji serologis yaitu peralatan fiksasi, tes aglutinasi kapiler, standar aglutinasi rickettsia, slide aglutinasi mikroskopis, resuspensi aglutinasi, tes

3. Penyakit Pneumonitis Endokarditis Granulomas

1. Masuk secara aerosol dari domba, kambing

atau sapi yang terinfeksi.

2. Menyebar melalui peredaran darah

4. Keluar dari tubuh

8 presipitasi radiostop, tes opsonin, penetral serum 3 variasi, pelindung serum, fluoresensi antibodi langsung dan tidak langsung, anapsilasi cutaneus pasif, hubungan uji immuno-enzim. Hasil yang didapatkan pada antigen tahap 1 dan 2 dari tes CF terlihat sangat berbeda (Cox dalam Davis 1981). Diagnosa Q fever akut dapat dilakukan dengan kit diagnostik enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), uji indirec immunfluorescence antibody (IFA) dan Western immuno blot assay. Uji-uji ini dapat dikombinasikan dalam pemeriksaan, karena dengan menggunakan satu uji saja ternyata tidak cukup untuk menunjukkan adanya Coxiella Burnetii.

Diagnosa dapat juga dilakukan dengan mengisolasi Coxiella burnetii dari telur, susu, darah, parasit arthropoda dan jaringan limpa kecil hamster atau plasenta ruminansia. Pada studi khusus dapat dilakukan pemeriksaan dengan sputum, urin, feses, debu dan sampel udara. Keberhasilan dalam mengisolasi Coxiella burnetii sangat ditentukan oleh perawatan yang tepat dalam pengumpulan dan pengangkutan spesimen. Pewarnaan gram tidak bisa digunakan untuk mengidentifikasi agen ini.

d. Pengendalian Penyakit Q fever

1. Pencegahan

Infeksi Coxiella burnetii dapat dicegah dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat yang bekerja dengan risiko tinggi, seperti peternak domba, pemerah susu, peneliti hewan dan pekerja di tempat pemotongan hewan, tentang sumber infeksi, pentingnya disenfeksi dan cara-cara pembuangan sampah produk binatang yang benar. Pasteurisasi susu dengan suhu 62.7oC selama 30 menit atau 71.6oC selama 15 menit untuk mema tikan Coxiella burnetii dan memasak daging atau telur yang akan dikonsumsi dapat menghindarkan diri dari infeksi agen ini.

Williams et al. (1993) menyatakan bahwa vaksinasi pada manusia dan hewan telah direkomendasikan sebagai tindakan pencegahan dan kontrol terhadap Q fever, karena Coxiella burnetii telah menyebar luas baik pada hewan liar maupun hewan domestik. Manajemen peternakan yang baik dapat mencegah ternak terinfeksi oleh Coxiella burnetii dengan mengetahui cara beternak yang

9 baik dan penerapan biosecurity, misalnya; pembersihan lingkungan kandang, disenfeksi dan pengendalian parasit (Anonimous 2007b).

2. Pengobatan

Ternak yang terinfeksi dapat diobati dengan pemberian antibiotik. Chloramphenicol dan Teramicyne merupakan kelompok antibiotik yang digunakan untuk melumpuhkan rickettsia. Obat ini tidak dapat membunuh Coxiella burnetii, sehingga memungkinkan Coxiella burnetii dapat aktif kembali setelah beberapa hari pengobatan. Aureomicyne, chloramphenicol dan streptomicyne tidak terlalu efektif untuk pengobatan Q fever. Doxycycline ditambah rifampin atau quinolone ditambah rifampin dapat juga digunakan untuk pegobatan penyakit ini (Shulmann 1994).

Polymerace Chain Reaction (PCR).

Reaksi berantai polimerase atau PCR merupakan teknik atau metode perbanyakan (amplifikasi) DNA dalam jumlah jutaan dan waktu yang singkat, bisa digunakan pada hewan yang masih hidup atau hewan yang sudah mati. Metode ini berlangsung secara in vitro dengan reaksi sintetis enzimatis dari untaian DNA yang spesifik menggunakan dua oligonukleotida (primer) yang susunan basanya sudah diketahui. Primer yang digunakan untuk mengawali proses amplifikasi DNA harus sesuai dengan target cetakannya. Metode PCR menggunakan dNTP ya ng terdiri dari ATP, dTTP, dCTP dan dGTP sebagai sumber nukleotida (Erlich 1989).

Proses PCR berulang antara 30 sampai 40 siklus dan setiap siklus terdiri dari tiga tahap yaitu denaturation, annealing dan extention. Jumlah DNA yang dihasilkan setelah proses amplifikasi mencapai jutaan DNA, karena penambahan terjadi secara eksposional (Anonimous 2007a). Teknik PCR telah banyak dipakai untuk mendeteksi berbagai macam virus yang menyerang manusia dan hewan, antara lain: virus Epstain-barr dan virus Acquire Imunodeficiency Syndromes (AIDS), virus Bovine leukosis, virus penyakit mulut dan kuku, virus Infectious Laryngotracheitis (ILT), virus kholera pada babi dan virus rabies (Wartazoa 1999).

10

Elektroforesis Agar Gel

Elektroforesis gel agarosa merupakan metode standar yang digunakan untuk pemisahan, identifikasi dan pemurnian fragmen DNA (Sajuthi et al. 1991; Kaufman et al. 1995). Agar diekstraksi dari tumbuhan rumput laut yang mempunyai komponen dasar polimer linear D-galaktosa dan 3,6 anhidro L-galaktosa (Kaufman et al. 1995). Prinsip elektroforesis adalah memisahkan molekul berdasarkan muatan listrik yang dikandungnya. Molekul akan bergerak ke arah elektroda yang polaritasnya berlawanan dengan muatan molekul tersebut (Nur & Adijuwana 1989).

Proses mengerasnya agar dari bentuk cair terjadi karena polimer-polimer linear D-galaktosa dan 3,6 anhidro L-galaktosa saling bereaksi satu sama lain, sehingga dihasilkan suatu rantai polimer linear yang panjang. Jala atau matrix yang dibentuk oleh polimer agar ini akan membantu menyaring secara molekular dan memisahkan fragmen DNA dengan ukuran yang berbeda-beda. Gel agar dan gel poliakrilamida dapat dibuat dalam berbagai bentuk, ukuran serta sifat penyerapannya dan dapat dijalankan atau running dalam sejumlah konfigurasi yang berbeda, tetapi berbagai pilihan dalam menggunakan parameter di atas tergantung dari ukuran fragmen yang akan dipisahkan (Sajuthi et al. 1991).

Dokumen terkait