• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Peternak

Umur, pendidikan, pengalaman, penyuluhan, dan jumlah sapi merupakan indikator yang dapat digunakan untuk menentukan karakteristik peternak sapi perah. Indikator yang membentuk karakteristik peternak dapat berpengaruh terhadap produksi susu yang dihasilkan. Hasil survei yang dilakukan terhadap tiga kelompok peternak sapi perah (n=10) dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Karakteristik kelompok peternak

No. Karakteristik Kelompok Peternak A B C Total n % n % n % n % 1. Umur ≤15 16-65 0 1 0 100 0 1 0 100 0 8 0 100 0 10 0 100 >65 0 0 0 0 0 0 0 0 2. Pendidikan terakhir SD 0 0 0 0 4 50 4 40 SMP 0 0 0 0 3 37.5 3 30 SMA 0 0 0 0 0 0 0 0 Perguruan Tinggi 1 100 1 100 1 12.5 3 30 3. Lama beternak 0-5 tahun 0 0 0 0 3 37.5 3 30 >5-10 tahun 0 0 0 0 2 25 2 20 >10 tahun 1 100 1 100 3 37.5 5 50 4. Mengikuti pelatihan Ya 1 100 1 100 3 37.5 5 50 Tidak 0 0 0 0 5 62.5 5 50

5. Jumlah sapi laktasi

≤9 0 0 0 0 7 87.5 7 70

>9 1 100 1 100 1 12.5 3 30

Tabel 5 menunjukkan bahwa semua peternak masuk dalam kategori dewasa dengan umur 16-65 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa peternak yang memasok susu segar ke industri keju di Sukabumi tergolong usia produktif. Sesuai pendapat Sardiman (2009) penduduk usia kerja yang produktif adalah penduduk yang berusia antara 15-64 tahun. Umur produktif secara normatif menandakan kematangan fisik maupun psikologis. Menurut Soeharjo dan Patong (1973) yang diacu dalam Alim dan Nurlina (2009) usia produktif merupakan usia saat

seseorang dapat mengoptimalkan segala hal yang memengaruhi persepsi misalnya pengalaman, proses belajar, cakrawala, dan pengetahuan.

Pendidikan merupakan salah satu faktor utama dalam bidang pertanian untuk melancarkan usaha karena dengan pendidikan petani dapat lebih menambah pengetahuan, keterampilan, dan cara-cara baru dalam melakukan suatu usaha (Mosher 1981). Pendidikan seluruh peternak bervariasi mulai dari pendidikan SD (40%), SMP (30%), dan Perguruan Tinggi (30%). Seluruh kelompok A dan B memiliki tingkat pendidikan terakhir hingga Perguruan Tinggi (100%), sedangkan mayoritas kelompok C memiliki tingkat pendidikan terakhir hingga Sekolah Dasar (50%). Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok C keadaan pendidikan masih tergolong rendah dibandingkan dengan kelompok A dan B. Rendahnya pendidikan seorang peternak dapat disebabkan keadaan sosial ekonomi, terbatasnya fasilitas pendidikan yang ada di daerah tersebut, dan diduga pada masa lalu belum memungkinkan dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Perbedaaan pengetahuan dalam pemeliharan serta perawatan ternak tentunya turut mempengaruhi kuantitas serta kualitas susu yang dihasilkan. Alim dan Nurlina (2009) menyatakan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh terhadap kemampuan penyerapan informasi, tingkat pengetahuan, serta cara berpikir peternak.

Pengalaman peternak sangat penting karena pengalaman menggambarkan baik atau buruknya suatu usaha peternak. Pekerjaan beternak sapi perah adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan perhatian yang intensif sehingga keberhasilan dan kegagalan suatu peternak dalam usahanya dapat menjadi suatu pembelajaran di masa yang akan datang. Mayoritas peternak memiliki pengalaman beternak selama lebih dari 10 tahun (50%). Hal ini terlihat dari kelompok peternak A dan B yang seluruhnya telah beternak selama lebih dari 10 tahun (100%), sedangkan kelompok peternak C memiliki tingkat pengalaman yang bervariasi, yaitu 0-5 tahun (37.5%), lebih dari 5-10 tahun (25%), dan lebih dari 10 tahun (37.5%). Pembentukan pengalaman yang baik bagi seorang peternak umumnya memerlukan waktu yang cukup lama. Pengalaman yang dimiliki oleh peternak dapat berasal dari pengalaman pribadi, pelatihan, dan penyuluhan. Pengalaman yang dimiliki peternak ini akan membuat peternak lebih mandiri dan terampil

dalam pengelolaan usaha ternaknya (Alim & Nurlina 2009). Pengalaman ini juga dapat berperan besar dalam meningkatkan produksi ternak misalnya susu.

Sebanyak 50% peternak telah mengikuti pelatihan dan 50% lainnya belum pernah mengikuti pelatihan. Seluruh kelompok peternak A dan B 100% telah mengikuti pelatihan, namun mayoritas kelompok peternak C 62.5% belum pernah mengikuti pelatihan. Pelatihan dan penyuluhan bagi para peternak sangat bermanfaat dalam sebuah peternakan. Penyuluhan peternak dapat menambah pengetahuan peternak terutama bagi peternak yang berpendidikan rendah. Tujuan diadakannya sebuah penyuluhan diharapkan dapat membantu penyebaran inovasi kepada para peternak sehingga dapat mengadopsi inovasi yang dianjurkan guna peningkatan usaha ternaknya dan kesejahteraan peternak itu sendiri. Kompetensi kewirausahaan peternak dapat ditingkatkan dengan memberi penyuluhan dan pelatihan bagi peternak dan pemanfaatan tenaga kerja yang didukung oleh sarana, prasarana, informasi, dan kebijakan pemerintah yang mendukung usaha peternakan sapi perah. Materi penyuluhan yang diberikan kepada peternak dapat difokuskan pada masalah yang sedang dihadapi para peternak (Muatif et al. 2008). Penyuluhan dapat diperoleh dari petugas kesehatan hewan setempat dan Petugas Dinas Peternakan setempat.

Jumlah sapi laktasi pada sebuah peternakan juga sangat perlu diperhatikan. Jumlah sapi yang banyak tentu membutuhkan modal yang besar dan juga manajemen yang baik agar sapi dapat berproduksi dengan baik. Sebanyak 70% peternak memiliki jumlah sapi laktasi kurang dari atau sama dengan 9 sapi laktasi yang didominasi pada kelompok C yaitu sebanyak 87.5%, sedangkan kelompok A dan B memiliki jumlah sapi lebih dari 9 sapi laktasi. Jumlah sapi perah laktasi juga mempengaruhi keberhasilan suatu peternakan. Jumlah sapi yang banyak akan membuat peternak untuk memberikan perhatian yang intensif dan penanganan manajemen secara profesional.

Residu Antibiotik dalam Susu Segar

Yoghurt test merupakan salah satu uji untuk menganalisa susu yang mengandung residu antibiotik dengan prinsip menggunakan bakteri yang dikenal peka terhadap antibiotik tertentu sebagai indikator. Hasil uji residu antibiotik

menunjukkan susu dengan konsistensi kental dinyatakan tidak mengandung residu antibiotik. Hal ini disebabkan karena konsistensi kental menunjukkan bahwa starter pada susu bekerja dengan baik sesuai dengan penambahan yoghurt culture. Hasil uji negatif akan ditunjukkan dengan konsistensi susu yang cair. Hal ini disebabkan karena starter pada susu sudah tidak bekerja karena keberadaan residu antibiotik dalam susu akan menghambat pertumbuhan bakteri yang terdapat pada yoghurt culture. Keberadaan residu antibiotik dalam susu dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembentuk asam, misalnya pada proses fermentasi keju (Mohsenzadeh & Bahrainipour 2008).

Penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan aturan pemakaian untuk pengobatan maupun imbuhan pakan dapat menjadi masalah di kemudian hari. Hal ini dapat dicegah apabila peternak memperhatikan jenis antibiotik, dosis, dan withdrawal time. Pemerintah telah menetapkan peraturan Menteri Pertanian 2007 tentang pengawasan obat hewan sebagai dasar pelaksanaan pengawasan bagi petugas pengawas terhadap pelaku usaha dalam penyediaan, pembuatan, peredaran, dan pemakaian obat hewan, dengan tujuan agar obat hewan yang beredar dalam masyarakat terjaga khasiat, mutu, dan keamananya, terdaftar, serta tepat dalam pemakaiannya. Tabel 6 memperlihatkan hasil uji residu antibiotik dalam susu segar pada ketiga kelompok peternak.

Tabel 6 Hasil uji residu antibiotik dalam susu segar Kelompok

Peternak Jumlah sampel (n) n positif persentase (%)

A 4 - 0

B 6 2 33

C 8 3 37.5

Hasil yoghurt test memperlihatkan bahwa seluruh sampel susu (100%) yang diperoleh dari kelompok peternak A tidak ditemukan adanya residu antibiotik, sebesar 33% dari sampel susu kelompok peternak B mengandung residu antibiotik, dan pada sampel susu kelompok peternak C diperoleh residu antibiotik sebesar 37.5%. Keberadaan residu antibiotik pada sampel susu disebabkan oleh pemakaian antibiotik yang tidak sesuai dengan anjuran pemakaian (dosis dan withdrawal time). Withdrawal time suatu antibiotik tidak sama dengan antibiotik yang lainya, tergantung juga dari jenis ternak dan cara pemakaian antibiotik

(Murdiati & Bahri 1991). Pemakaian antibiotik harus memperhatikan withdrawal time yaitu kurun waktu dari saat pemberian obat terakhir hingga ternak bisa dipotong atau produknya bisa dikonsumsi. Setelah withdrawal time terlampaui, diharapkan tidak ditemukan lagi residu atau konsentrasinya lebih rendah dari batas maksimum residu yang diperbolehkan sehingga produk ternak aman untuk dikonsumsi.

Persyaratan kandungan antibiotik yang rendah bahkan negatif menjadi suatu persyaratan yang semakin kuat disampaikan oleh pihak Industri Pengolahan Susu (IPS). Untuk memenuhi persyaratan yang dimaksud, keberadaan residu antibiotik dalam susu segar ditetapkan dalam SNI No. 3141.1:2011 (BSN 2011). Menurut Adetunji (2011) keberadaan residu antibiotik dalam susu sebagai bahan dasar utama pembuatan keju masih bisa diterima jika level residu tersebut masih berada di bawah batas maksimum. Batas maksimum keberadaan residu antibiotik pada keju, yaitu: 0.0040±0.0018 ppm pada streptomisin, 0.0062±0.00026 ppm pada penisillin-G, dan 0.0023±0.0008 ppm pada tetrasiklin. Hal ini berbeda dengan SNI (2011) tentang susu segar yang menstandarkan keberadaan residu antibiotik (golongan β-laktam, tetrasiklin, aminoglikosida, dan makrolida) harus negatif di dalam susu sebagai bahan dasar utama pembuatan keju.

Persentasi peternak sapi perah di Indonesia yang mematuhi waktu henti obat dengan tidak menjual susu segar ke koperasi selama kurun waktu 2-5 hari setelah pengobatan adalah sebesar 8.16% (Bahri et al. 1993; Kusumaningsih et al. 1996). Kusumaningsih et al. (1996) juga mengungkapkan bahwa peternak di Jawa Barat yang mengetahui jenis obat yang digunakan oleh Petugas Dinas Peternakan atau Koperasi hanya 20%. Sebanyak 14.28% dari 20% peternak tersebut telah mengetahui waktu henti obat, namun yang mematuhi waktu henti obat dengan tidak menjual susu ke koperasi selama 2-5 hari setelah pengobatan hanya 8.16% peternak. Obat hewan sangat bervariasi yang dipengaruhi oleh jenis obat, spesies hewan, faktor genetik ternak, iklim setempat, cara pemberian, dosis obat, status kesehatan hewan, produk ternak yang dihasilkan, batas toleransi residu obat, dan formulasi obat (Murdiati & Bahri 1991).

Susu segar yang diuji merupakan bahan dasar pembuatan keju di satu industri pembuatan keju di Sukabumi. Dengan melihat hasil uji yoghurt pada

sampel susu dari kelompok peternak A yang tidak mengandung residu antibiotik telah memenuhi standarisasi SNI No. 3141.1:2011 sehingga layak dan aman digunakan sebagai bahan dasar pembuatan keju. Sementara untuk susu segar dari kelompok peternak B dan C yang positif mengandung residu antibiotik tidak sesuai dengan standarisasi SNI No. 3141.1:2011 sehingga tidak baik digunakan sebagai bahan dasar pembuatan keju dan tidak aman bagi kesehatan di samping tidak diketahui jenis residu antibiotik yang terkandung di dalam susu segar.

Susu segar yang mengandung residu antibiotik akan menghasilkan produk keju yang kurang baik. Keberadaan antibiotik dalam susu sebagai bahan dasar pembuatan keju dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme yang digunakan untuk pembentukan keasaman dan pengembangan cita rasa serta aroma pada keju. Mikroorganisme pembentuk cita rasa dan aroma pada keju yang akan dihambat oleh residu antibiotik dalam susu sebagai bahan dasar pembuatan keju adalah Lactobacillus delbrueckii subspesies bulgaricus (Rivals et al. 2007).

Antibiotik dapat menghalangi pertumbuhan bakteri dalam susu. Terhambatnya pertumbuhan bakteri dalam susu pada saat proses pengolahan susu lebih lanjut menyebabkan gagalnya starter oleh bakteri dalam susu dan susu akan di tolak (Buckle et al. 1987). Hal inilah yang menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar karena produk yang tidak sesuai pada keju yang dihasilkan (Keceli & Robinson 1997).

Kehadiran residu antibiotik dalam susu, selain berpengaruh terhadap produk keju yang akan diolah, juga berpengaruh terhadap kesehatan manusia yang mengkonsumsi produk tersebut. Menurut Murdiati dan Bahri (1991) residu antibiotik dalam makanan sangat berbahaya karena dapat menyebabkan reaksi alergi, resistensi bakteri, dan keracunan. Resistensi dapat terjadi karena pemakaian antibiotik yang tidak tepat dan tidak baik dalam memilih jenis antibiotik maupun dosis serta lama pemakaian sebagai pengobatan dan juga sebagai imbuhan pakan. Reaksi alergi merupakan bentuk efek samping yang biasanya disebabkan oleh antibiotik penisilin (Ganiswarna et al. 1995). Hal ini dikarenakan penisilin mempunyai aktivitas antigen yang sangat kuat. Sebanyak 4- 10% populasi manusia di dunia diperkirakan memiliki sensitifitas yang tinggi

terhadap penisilin dan turunannya, padahal obat golongan penisilin masih banyak digunakan, baik pada manusia maupun ternak. Selain itu, terdapat golongan antibiotik yang dapat menyebabkan reaksi keracunan yaitu golongan tetrasiklin dan kloramfenikol. Hal ini dikemukakan oleh Kielwein (1981) bahwa reaksi keracunan antibiotik tersebut sering menyebabkan iritasi lambung sehingga dapat mengakibatkan diare.

Mutu susu yang bebas residu antibiotik perlu mendapat perhatian yang serius karena merupakan salah satu persyaratan agar susu diterima oleh industri pengolahan susu dan juga aman bagi konsumen. Hal ini dapat tercapai apabila penanganan sapi perah dan cara produksi susu segar menerapkan aspek-aspek good farming practices (GFP).

Faktor yang Memengaruhi Keberadaan Residu Antibiotik

Keberadaan residu antibiotik dalam susu sapi dapat dipengaruhi oleh karakteristik masing-masing peternak. Umur, pendidikan terakhir, lama beternak, pelatihan, dan jumlah sapi laktasi merupakan karakteristik yang diamati pada 10 orang peternak. Tabel 7 memperlihatkan hubungan karakteristik peternak terhadap keberadaan residu dalam susu sapi segar

Tabel 7 Hubungan karakteristik peternak terhadap keberadaan residu dalam susu sapi segar

No. Karakteristik peternak Keberadaan residu

r P

1 Umur 0.182 0.614

2 Pendidikan terakhir -0.642* 0.046

3 Lama beternak -0.470 0.171

4 Pelatihan 0.497 0.171

5 Jumlah sapi laktasi -0.644* 0.045

Keterangan: *Menunjukkan hubungan yang nyata pada nilai P<0.05 (hubungan dua arah)

Karakteristik peternak yang menunjukkan hubungan nyata terhadap keberadaan residu dalam susu sapi yaitu karakteristik pendidikan terakhir dengan nilai P<0.05 dan nilai r mendekati -1. Hal ini menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara pendidikan terakhir dengan residu Antibiotik. Korelasi yang terjadi antara pendidikan terakhir dengan residu antibiotik

menunjukkan korelasi yang kuat dan bersifat terbalik. Semakin tinggi pendidikan maka residu antibiotik yang terdapat dalam susu akan semakin rendah.

Hal ini dapat dilihat pada setiap kelompok peternak. Peternak A memiliki tingkat pendidikan terakhir Perguruan Tinggi dan tidak ditemukan adanya residu antibiotik dalam susu segar yang dihasilkan. Berbeda dengan kelompok peternak B yang menunjukkan hasil positif residu antibiotik dalam susu (33%) meskipun tingkat pendidikan terakhirnya hingga perguruan tinggi. Hal ini mungkin dikarenakan tingkat pendidikan yang diperoleh oleh peternak pada kelompok B ini tidak berhubungan dengan bidang peternakan dan kesehatan hewan. Sementara dari kelompok peternak C dapat dilihat pendidikan yang bervariasi mulai tingkat SD, SMP, dan Perguruan Tinggi dengan hasil positif residu antibiotik dalam susu (37.5%). Keberadaan residu antibiotik pada sampel kelompok peternak C ini mungkin dikarenakan tingkat pendidikan yang bervariasi dari 8 orang peternak. Sampel dari peternak yang telah memiliki tingkat pendidikan yang tinggi mungkin saja tidak mengandung residu antibiotik dalam susunya, namun terjadi pencampuran dengan sampel dari peternak lainnya yang positif residu antibiotik karena masih rendahnya tingkat pendidikan mereka. Rakhmat (1996) menyatakan seseorang yang memiliki pendidikan formal yang lebih tinggi akan memiliki motivasi yang lebih tinggi serta wawasan yang lebih luas dalam menganalisa suatu kejadian.

Selain tingkat pendidikan, jumlah sapi laktasi juga menunjukan hubungan yang signifikan (P<0.05) dan bersifat negatif (r mendekati -1). Korelasi yang terjadi antara jumlah sapi laktasi yang dimiliki dengan residu antibiotik menunjukkan korelasi yang kuat dan bersifat terbalik. Semakin tinggi jumlah sapi laktasi maka semakin rendah residu antibiotik dalam susu. Hal ini terlihat pada kelompok peternak A yang memiliki lebih dari 9 sapi laktasi namun negatif terhadap residu antibiotik, sedangkan mayoritas peternak pada kelompok peternak C memiliki kurang dari 9 sapi laktasi namun positif terhadap residu antibiotik. Hasil ini berbeda dengan pendapat Murdiati dan Bahri (1991) yang menyatakan kecenderungan untuk memelihara ternak dalam jumlah besar telah menyebabkan cepatnya penularan penyakit dari ternak yang satu dengan ternak yang lainnya. Akibatnya, pemakaian antibiotik juga ikut meningkat sehingga ternak dalam

jumlah yang besar akan memungkinkan terdapatnya residu antibiotik dalam produksi susunya. Namun, hal ini tidak selalu diasumsikan benar karena pada umumnya peternak dengan jumlah sapi yang banyak akan menangani ternaknya secara profesional untuk mendapatkan hasil yang terbaik.

Umur, lama beternak, dan pelatihan tidak memiliki hubungan yang nyata dengan keberadaan residu antibiotik dalam susu segar. Mayoritas peternak berumur lebih dari 41 tahun yang memungkinkan peternak telah mendapatkan pengetahuan yang lebih baik, namun hal ini tidak berpengaruh nyata pada keberadaan residu antibiotik dalam susu segar. Sama halnya dengan lama beternak yang tidak menunjukkan hubungan yang nyata dengan keberadaan residu antibiotik dalam susu segar. Hal ini sesuai dengan pendapat Muatif et al. (2008) bahwa pengalaman peternak atau lama beternak tidak berhubungan dengan kompetensi kewirausahaan peternak.

Pelatihan dan penyuluhan dalam sebuah peternakan dimaksudkan dalam rangka penyebaran inovasi ke peternak, guna peningkatan usaha ternaknya, dan kesejahteraan peternak itu sendiri. Pelatihan yang telah didapatkan sebagian peternak tidak menunjukkan hubungan yang nyata terhadap keberadaan residu antibiotik dalam susu segar. Hal ini diduga bahwa peternak kurang inovatif terhadap hal-hal yang ditawarkan oleh penyuluh atau pelatihan dan penyuluhan diabaikan oleh peternak karena pelatihan dan penyuluhan tersebut lebih banyak bersifat teknis yang telah mereka kuasai.

Faktor lain yang diduga dari kegagalan suatu penyuluhan yaitu karena keterbatasan modal, ketidakberanian dalam mengambil resiko, dan ketidaksesuaian informasi dengan kebutuhan peternak sehingga informasi yang didapat belum bisa diaplikasikan oleh peternak (Muatif et al. 2008). Upaya untuk mengembangkan kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah dapat dilakukan melalui program penyuluhan dengan strategi yang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Strategi penyuluhan yang tepat adalah terjadinya partisipasi aktif dari kelayannya (sasaran penyuluhan). Setelah penyuluhan sebaiknya dilakukan pendampingan yang dapat mendorong peternak agar bisa langsung mengaplikasikan informasi yang baru saja didapat dari sebuah penyuluhan.

Karakteristik seorang peternak dalam usaha sapi perah perlu mendapat perhatian yang sangat serius dari berbagai pihak dalam upaya meningkatkan kinerja peternak sapi perah guna meningkatkan produktivitas sapi perah. Menurut Kaliky dan Hidayat (2006) selain karakteristik peternak, perbaikan tehnologi setempat atau tehnologi inovatif juga perlu dilakukan untuk membantu usaha para peternak. Aspek lain yang juga turut berkontribusi dalam usaha sapi perah adalah aspek ekonomi dan aspek sosial para peternak. Aspek ini juga berpengaruh terhadap mutu susu segar yang dihasilkan oleh sapi perah. Aspek ekonomi yang perlu diperhatikan adalah pendapatan peternak yang relatif rendah dan berada dibawah Upah Minimum Regional (UMR), sedangkan aspek sosial yang perlu diperhatikan adalah faktor geografis dan alat atau biaya transfortasi yang sulit dan mahal di daerah peternakan tersebut.

Dokumen terkait