• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deteksi Residu Antibiotik dalam Susu Segar yang Digunakan sebagai Bahan Baku Utama Pembuatan Keju

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Deteksi Residu Antibiotik dalam Susu Segar yang Digunakan sebagai Bahan Baku Utama Pembuatan Keju"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

YUNITA HUTASOIT. Detection of Antibiotic Residues in Raw Milk Used as Raw Material of Cheese. Under direction of HADRI LATIF.

Antimicrobial drugs have been used in dairy industry for more than five decades. Dairy herd health is closely associated with milk production and economic sustainability. Therefore, maintenance of herd health is closely dependent upon disease prevention and therapeutic drug use for a range of diseases. The presence of antibiotic residues in milk is a public health issue. The purpose of the present study ware to know the relationships of farmer characteristics and antibiotic residues presence in raw milk, wich used as cheese production. Farmer characteristics (age, education, breeding time, training, and number of lactating cows) were used to find the relationship between the farmer’s knowledge and the presence of antibiotic residues in raw milk. The yoghurt tests method was used to figure out the existence of antibiotic residues in raw milk as the basic material for making cheese. Eighteen raw milk samples were taken from three farmer groups that supply the milk to the cheese factory in Sukabumi. Yoghurt test showed that the milk from group A did not contain antibiotic residues, while the milk from group B and C contained antibiotic residues. Farmer characteristics indicating significant correlation with antibiotic residues presence were farmer’s education and number of lactating cows.

(2)

YUNITA HUTASOIT. Deteksi Residu Antibiotik dalam Susu Segar yang Digunakan sebagai Bahan Baku Utama Pembuatan Keju. Dibimbing oleh HADRI LATIF.

Susu merupakan bahan makanan sempurna karena mengandung hampir semua zat makanan yang dibutuhkan oleh tubuh. Perbaikan kualitas susu perlu dilakukan untuk memeroleh kualitas susu segar yang baik, termasuk syarat susu segar yang harus bebas dari residu antibiotik. Kandungan residu antibiotik yang rendah bahkan negatif merupakan salah satu syarat susu segar sebagai bahan baku utama pembuatan keju. Keberadaan residu antibiotik dalam susu dapat disebabkan oleh penggunaan antibiotik sebagai pengobatan ternak dari penyakit infeksi, pemacu pertumbuhan (growth promotor), dan meningkatkan reproduksi ternak. Penggunaan antibiotik yang tidak teratur, tidak tepat dosis, tidak sesuai dengan diagnosa penyakit, dan tidak memperhatikan waktu henti obat (withdrawal time) dapat menyebabkan residu dalam susu yang cukup berbahaya bagi kesehatan manusia yang mengkonsumsinya. Susu yang mengandung residu antibiotik bila digunakan untuk pembuatan keju akan menghasilkan keju yang kurang baik mutunya dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan manusia jika produk ini dikonsumsi.

Terdapat 18 jenis sampel susu segar yang diambil dari 3 kelompok peternak yang memasok susu ke industri pembuatan keju di Kabupaten Sukabumi. Residu antibiotik dalam susu segar dianalisa menggunakan metode yoghurt test. Hasil diamati dengan melihat konsistensi susu. Konsistensi susu yang kental menunjukkan tidak adanya kandungan residu antibiotik dalam susu segar, sedangkan konsistensi susu cair menunjukkan adanya kandungan residu antibiotik dalam susu segar.

Terdapat lima variabel yang dapat diukur untuk menggambarkan karakteristik peternak yang memengaruhi keberadaan residu antibiotik dalam susu segar yaitu umur, pendidikan terakhir, lama beternak, pelatihan, dan jumlah sapi laktasi yang dimiliki. Responden dalam pengisian kuesioner adalah 10 orang peternak dari tiga kelompok peternak yang memasok susu segar ke industri keju di Kabupaten Sukabumi. Data karakteristik kelompok peternak yang diperoleh menunjukkan bahwa semua peternak masuk dalam kategori usia dewasa dengan umur 16-65 tahun. Seluruh kelompok peternak A dan B memiliki tingkat pendidikan terakhir hingga perguruan tinggi (100%), sedangkan mayoritas kelompok peternak C memiliki tingkat pendidikan terakhir hingga sekolah dasar (50%). Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok peternak C keadaan pendidikan masih tergolong rendah dibandingkan dengan kelompok A dan B.

(3)

sama dengan 9 sapi laktasi yang didominasi pada kelompok peternak C yaitu sebanyak 87.5%, sedangkan kelompok peternak A dan B memiliki jumlah sapi lebih dari 9 sapi laktasi.

Hasil Yoghurt test memperlihatkan bahwa seluruh sampel susu (100%) yang diperoleh dari kelompok peternak A tidak ditemukan adanya residu antibiotik, sebesar 33% dari sampel susu kelompok peternak B mengandung residu antibiotik, dan pada sampel susu kelompok peternak C diperoleh residu antibiotik sebesar 37.5%. Keberadaan residu antibiotik pada sampel susu kemungkinan disebabkan oleh pemakaian antibiotik yang tidak sesuai dengan anjuran pemakaian (dosis dan whitdrawal time).

Karakteristik peternak yang menunjukkan hubungan nyata terhadap keberadaan residu dalam susu sapi yaitu karakteristik pendidikan terakhir dengan nilai P<0.05 dan nilai r mendekati -1. Hal ini menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara pendidikan terakhir dengan residu antibiotik. Korelasi yang terjadi antara pendidikan terakhir dengan residu antibiotik menunjukkan korelasi yang kuat dan bersifat terbalik. Semakin tinggi pendidikan maka residu antibiotik yang terdapat dalam susu akan semakin rendah.

Selain tingkat pendidikan, jumlah sapi laktasi juga menunjukan hubungan yang signifikan (P<0.05) dan bersifat negatif (r mendekati -1). Korelasi yang terjadi antara jumlah sapi laktasi yang dimiliki dengan residu antibiotik menunjukkan korelasi yang kuat dan bersifat terbalik. Semakin tinggi jumlah sapi laktasi maka semakin rendah residu antibiotik dalam susu. Hal ini terlihat pada kelompok peternak A yang memiliki lebih dari 9 sapi laktasi namun negatif terhadap residu antibiotik, sedangkan mayoritas peternak pada kelompok peternak C memiliki kurang dari 9 sapi laktasi namun positif terhadap residu antibiotik.

Umur, lama beternak, dan pelatihan tidak memiliki hubungan yang nyata terhadap keberadaan residu antibiotik dalam susu segar. Mayoritas peternak berumur lebih dari 41 tahun yang memungkinkan peternak telah mendapatkan pengetahuan yang lebih baik, namun hal ini tidak berpengaruh nyata pada keberadaan residu antibiotik dalam susu segar.

(4)

PEMBUATAN KEJU

YUNITA HUTASOIT

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Deteksi Residu Antibiotik dalam Susu Segar yang Digunakan sebagai Bahan Baku Utama Pembuatan Keju adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2012

(6)

YUNITA HUTASOIT. Detection of Antibiotic Residues in Raw Milk Used as Raw Material of Cheese. Under direction of HADRI LATIF.

Antimicrobial drugs have been used in dairy industry for more than five decades. Dairy herd health is closely associated with milk production and economic sustainability. Therefore, maintenance of herd health is closely dependent upon disease prevention and therapeutic drug use for a range of diseases. The presence of antibiotic residues in milk is a public health issue. The purpose of the present study ware to know the relationships of farmer characteristics and antibiotic residues presence in raw milk, wich used as cheese production. Farmer characteristics (age, education, breeding time, training, and number of lactating cows) were used to find the relationship between the farmer’s knowledge and the presence of antibiotic residues in raw milk. The yoghurt tests method was used to figure out the existence of antibiotic residues in raw milk as the basic material for making cheese. Eighteen raw milk samples were taken from three farmer groups that supply the milk to the cheese factory in Sukabumi. Yoghurt test showed that the milk from group A did not contain antibiotic residues, while the milk from group B and C contained antibiotic residues. Farmer characteristics indicating significant correlation with antibiotic residues presence were farmer’s education and number of lactating cows.

(7)

YUNITA HUTASOIT. Deteksi Residu Antibiotik dalam Susu Segar yang Digunakan sebagai Bahan Baku Utama Pembuatan Keju. Dibimbing oleh HADRI LATIF.

Susu merupakan bahan makanan sempurna karena mengandung hampir semua zat makanan yang dibutuhkan oleh tubuh. Perbaikan kualitas susu perlu dilakukan untuk memeroleh kualitas susu segar yang baik, termasuk syarat susu segar yang harus bebas dari residu antibiotik. Kandungan residu antibiotik yang rendah bahkan negatif merupakan salah satu syarat susu segar sebagai bahan baku utama pembuatan keju. Keberadaan residu antibiotik dalam susu dapat disebabkan oleh penggunaan antibiotik sebagai pengobatan ternak dari penyakit infeksi, pemacu pertumbuhan (growth promotor), dan meningkatkan reproduksi ternak. Penggunaan antibiotik yang tidak teratur, tidak tepat dosis, tidak sesuai dengan diagnosa penyakit, dan tidak memperhatikan waktu henti obat (withdrawal time) dapat menyebabkan residu dalam susu yang cukup berbahaya bagi kesehatan manusia yang mengkonsumsinya. Susu yang mengandung residu antibiotik bila digunakan untuk pembuatan keju akan menghasilkan keju yang kurang baik mutunya dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan manusia jika produk ini dikonsumsi.

Terdapat 18 jenis sampel susu segar yang diambil dari 3 kelompok peternak yang memasok susu ke industri pembuatan keju di Kabupaten Sukabumi. Residu antibiotik dalam susu segar dianalisa menggunakan metode yoghurt test. Hasil diamati dengan melihat konsistensi susu. Konsistensi susu yang kental menunjukkan tidak adanya kandungan residu antibiotik dalam susu segar, sedangkan konsistensi susu cair menunjukkan adanya kandungan residu antibiotik dalam susu segar.

Terdapat lima variabel yang dapat diukur untuk menggambarkan karakteristik peternak yang memengaruhi keberadaan residu antibiotik dalam susu segar yaitu umur, pendidikan terakhir, lama beternak, pelatihan, dan jumlah sapi laktasi yang dimiliki. Responden dalam pengisian kuesioner adalah 10 orang peternak dari tiga kelompok peternak yang memasok susu segar ke industri keju di Kabupaten Sukabumi. Data karakteristik kelompok peternak yang diperoleh menunjukkan bahwa semua peternak masuk dalam kategori usia dewasa dengan umur 16-65 tahun. Seluruh kelompok peternak A dan B memiliki tingkat pendidikan terakhir hingga perguruan tinggi (100%), sedangkan mayoritas kelompok peternak C memiliki tingkat pendidikan terakhir hingga sekolah dasar (50%). Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok peternak C keadaan pendidikan masih tergolong rendah dibandingkan dengan kelompok A dan B.

(8)

sama dengan 9 sapi laktasi yang didominasi pada kelompok peternak C yaitu sebanyak 87.5%, sedangkan kelompok peternak A dan B memiliki jumlah sapi lebih dari 9 sapi laktasi.

Hasil Yoghurt test memperlihatkan bahwa seluruh sampel susu (100%) yang diperoleh dari kelompok peternak A tidak ditemukan adanya residu antibiotik, sebesar 33% dari sampel susu kelompok peternak B mengandung residu antibiotik, dan pada sampel susu kelompok peternak C diperoleh residu antibiotik sebesar 37.5%. Keberadaan residu antibiotik pada sampel susu kemungkinan disebabkan oleh pemakaian antibiotik yang tidak sesuai dengan anjuran pemakaian (dosis dan whitdrawal time).

Karakteristik peternak yang menunjukkan hubungan nyata terhadap keberadaan residu dalam susu sapi yaitu karakteristik pendidikan terakhir dengan nilai P<0.05 dan nilai r mendekati -1. Hal ini menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara pendidikan terakhir dengan residu antibiotik. Korelasi yang terjadi antara pendidikan terakhir dengan residu antibiotik menunjukkan korelasi yang kuat dan bersifat terbalik. Semakin tinggi pendidikan maka residu antibiotik yang terdapat dalam susu akan semakin rendah.

Selain tingkat pendidikan, jumlah sapi laktasi juga menunjukan hubungan yang signifikan (P<0.05) dan bersifat negatif (r mendekati -1). Korelasi yang terjadi antara jumlah sapi laktasi yang dimiliki dengan residu antibiotik menunjukkan korelasi yang kuat dan bersifat terbalik. Semakin tinggi jumlah sapi laktasi maka semakin rendah residu antibiotik dalam susu. Hal ini terlihat pada kelompok peternak A yang memiliki lebih dari 9 sapi laktasi namun negatif terhadap residu antibiotik, sedangkan mayoritas peternak pada kelompok peternak C memiliki kurang dari 9 sapi laktasi namun positif terhadap residu antibiotik.

Umur, lama beternak, dan pelatihan tidak memiliki hubungan yang nyata terhadap keberadaan residu antibiotik dalam susu segar. Mayoritas peternak berumur lebih dari 41 tahun yang memungkinkan peternak telah mendapatkan pengetahuan yang lebih baik, namun hal ini tidak berpengaruh nyata pada keberadaan residu antibiotik dalam susu segar.

(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(10)

PEMBUATAN KEJU

LE

YUNITA HUTASOIT

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(11)

Judul Skripsi : Deteksi Residu Antibiotik dalam Susu Segar yang Digunakan sebagai Bahan Baku Utama Pembuatan Keju

Nama : Yunita Hutasoit

NIM : B04080032

Disetujui

Dr. drh. Hadri Latif, M.Si Ketua

Diketahui

drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur Penulis panjatkan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Deteksi Residu Antibiotik dalam Susu Segar yang Digunakan sebagai Bahan Baku Utama Pembuatan Keju dari kelompok peternak di Sukabumi yang memasok susu ke industri pembuatan Keju. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Selama Penyusunan skripsi ini Penulis telah mendapat berbagai bantuan baik materi, informasi, saran, dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak: Dr. drh. Hadri Latif, M.Si sebagai Dosen Pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada Penulis. Di samping itu, penghargaan Penulis sampaikan kepada Dr. drh. Trioso Purnawarman, M.Si sebagai Dosen Pembimbing Akademik. Selanjutnya ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si selaku Dosen Penilai seminar dan drh. H. Abdul Gani Amri Siregar, M.S selaku Dosen Moderator seminar, serta drh. H. Agus Setiyono, Ph.D, AVPet dan drh. Supratikno, M.Si, PAVet selaku Dosen Penguji ujian akhir Sarjana Kedokteran Hewan yang telah memberikan masukan untuk penyempurnaan penulisan skripsi ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. drh. Agatha Winny Sanjaya, M.S, Prof. Dr. drh. Mirnawati Bachrum Sudarwanto, drh. Herwin Pisestiyani, M.Si, beserta Staf Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB yang telah membantu Penulis selama penelitian dan pengumpulan data. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Peternak-Peternak di Sukabumi yang telah bersedia menjadi Responden dalam penelitian ini, kepada teman-teman satu penelitian (Ester, Adik, dan Wulan), teman-teman satu Dosen Pembimbing skripsi (Susi dan Nurul Aini) yang banyak membantu Penulis selama proses penyusunan skripsi ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayahanda tercinta Hotman Warned Hutasoit, Ibunda Rindu Ompusunggu, abang, serta adik-adikku tersayang yang selalu memberikan dukungan serta doa terhadap Penulis juga menyampaikan ungkapan terima kasih kepada teman-teman satu kos (Bang Daniel, Bang Agung, Stevany, Melisa, Tri, Lorenza, dan Dora), teman-teman satu angkatan (Avenzoar), serta semua pihak yang telah membantu terwujudnya skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2012

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Aritonang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara pada tanggal 25 Juni 1990 dari pasangan Hotman Warned Padeli Hutasoit dan Rindu Ompusunggu. Penulis merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara.

Tahun 2002 Penulis lulus dari SD Inpres No 175798 Aritonang Kecamatan Muara, Tapanuli Utara. Tahun 2005 Penulis lulus dari SMP N 2 Muara, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara. Tahun 2008 Penulis lulus dari SMA N 1 Muara dan lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB Fakultas Kedokteran Hewan.

(14)

DAFTAR ISI

Dampak Residu Antibiotik dalam Susu Segar Sebagai Bahan Baku Pembuatan Keju ... Dampak Residu Antibiotik dalam Keju terhadap Kesehatan Manusia ... Metode Pengujian Residu Antibiotik... Yoghurt Test ... Bioassay ... Enzyme-Linked Immunosorbent assay ... High Performance Liquid Chromatography ...

3 Pengambilan dan Jumlah Sampel ... Alat dan bahan ... Desain Penelitian ... Metode Penelitian ... Pengumpulan Data Kuesioner ... Metode Pengujian Residu Antibiotik ... Analisis Data ... Residu Antibiotik dalam Susu Segar ... Faktor yang Memengaruhi Residu Antibiotik ...

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kandungan vitamin dalam susu segar ... 3

2 Kandungan beberapa mineral dalam susu ... 4

3 Syarat mutu susu segar berdasarkan SNI 3141.1:2011 ... 5

4 Withdrawal time beberapa antibiotik di dalam susu... 11

5 Karakteristik kelompok peternak... 19

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Susu merupakan bahan makanan dengan komposisi yang ideal karena susu mengandung hampir semua zat makanan yang dibutuhkan oleh tubuh dan dapat diserap oleh darah dengan sempurna (Saleh 2004). Susu memiliki nilai gizi yang sangat tinggi sehingga perlu perhatian yang intensif untuk keamanan produk susu agar dapat memenuhi ketersediaan susu dan kelayakan untuk dikonsumsi.

Susu sebagai bahan dasar pembuatan keju dapat berasal dari berbagai spesies mamalia dengan komposisi yang berbeda antara hewan yang satu dengan hewan yang lainnya. Kualitas susu akan berkurang jika susu mengandung bahan

lain yang dapat mengganggu kesehatan, misalnya residu antibiotik. Kandungan antibiotik yang rendah bahkan negatif menjadi suatu persyaratan dari pihak

Industri Pengolahan Susu.

Keberadaan residu antibiotik dalam susu dapat disebabkan oleh penggunaan antibiotik untuk pengobatan ternak dari penyakit infeksi, pemacu pertumbuhan (growth promotor), dan meningkatkan reproduksi ternak (Bell 1986). Penggunaan antibiotik yang tidak teratur, tidak tepat dosis, tidak sesuai dengan diagnosa penyakit, dan tidak memerhatikan waktu henti obat (withdrawal time) dapat menyebabkan residu dalam susu yang berbahaya bagi kesehatan manusia yang mengkonsumsinya. Herrick (1993) melaporkan bahwa sekitar 50% penyimpangan residu antibiotik pada produk ternak disebabkan tidak dipatuhinya withdrawal time.

(17)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan karakteristik peternak dengan keberadaan residu antibiotik dalam susu sapi segar dan untuk mengetahui keberadaan residu antibiotik dalam susu segar yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan keju.

Manfaat Penelitian

Penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai karakteristik peternak yang memengaruhi keberadaan residu antibiotik dalam susu segar dan memberikan informasi mengenai keberadaan residu antibiotik dalam susu segar yang dapat memengaruhi kualitas keju yang dihasilkan.

Hipotesis

1. Karakteristik peternak sapi perah berpengaruh terhadap keberadaan residu antibiotik dalam susu segar.

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Susu Segar

Susu merupakan hasil sekresi kelenjar ambing dan bahan makanan pertama bagi bayi manusia dan hewan setelah dilahirkan (Misgiyarta et al. 2005). Susu mengandung 87.90% air yang berfungsi sebagai pelarut bahan kering dan berfungsi sebagai penentu nilai gizi susu. Susunan lemak susu terdiri dari lemak majemuk, yaitu lemak murni yang terdiri atas tiga molekul asam lemak yang terikat pada suatu molekul gliserin (Saleh 2004). Konsumen biasanya mengkonsumsi susu, baik dalam bentuk segar maupun dalam bentuk olahan. Konsumen yang mengkonsumsi susu atau produk olahan susu dilindungi oleh

pemerintah dengan ditetapkannya standar mutu susu dan produk olahannya dalam bentuk Standar Nasional Indonesia (SNI). Menurut Rahardjo (1998) standar mutu

merupakan rincian persyaratan produk yang mencakup kriteria 1) organoleptik, antara lain: bau, rasa, kenampakan, dan warna; 2) fisika, yaitu bentuk, ukuran, dan kotoran; 3) kimia, antara lain: pH, kadar nutrisi atau senyawa kimia; dan 4) mikrobial, antara lain: jumlah kapang/jamur, yeast, bakteri yang ditetapkan dengan tujuan untuk menjaga keamanan dan konsitensi mutu dari waktu ke waktu.

Susu mengandung komponen yang sangat penting bagi tubuh yaitu lemak, protein susu, laktosa, mineral, dan vitamin. Susu merupakan sumber vitamin yang cukup baik bagi tubuh. Susu mengandung vitamin yang larut dalam air (vitamin B dan C) dan vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A, D, dan E). Kandungan vitamin susu disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Kandungan vitamin dalam susu segar (Buckle et al. 1987) No. Vitamin kandungan per 100g susu

1. vitamin A 160 IU (International Unit)

(19)

Susu mengandung zat-zat mineral yang sangat esensial dan penting untuk dikonsumsi manusia. Mineral dalam susu dibedakan menjadi makromineral dan mikromineral. Makromineral yang penting dalam susu adalah kalsium (Ca), fosfor (P), natrium (Na), klor (Cl), dan magnesium (Mg). Ca dan P berperan penting dalam pembentukan tulang dan gigi. Mikromineral yang penting adalah zat besi (Fe), iodium (I), seng (Zn), selenium (Se), tembaga (Cu), kobalt (Co), dan flour (F). Zat besi merupakan mikromineral yang merupakan komponen hemoglobin sel darah merah (Buckle et al 1987). Kandungan beberapa mineral dalam susu dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kandungan beberapa mineral dalam susu (Buckle et al. 1987) No. Unsur %

1. Potasium 0.140 2. Kalsium 0.125 3. Klorin 0.103 4. Fosfor 0.096 5. Sodium 0.056 6. Magnesium 0.012 7. Sulfur 0.025

Susu yang baik adalah susu yang mengandung sedikit bakteri, tidak mengandung spora mikroba patogen, bersih dari debu atau kotoran lainnya, mempunyai cita rasa (flavour) yang baik, tidak dipalsukan, dan tidak mengandung residu antibiotik. Susu segar harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar aman dikonsumsi dan dapat digunakan untuk proses pengolahan lanjutan. Persyaratan kualitas susu untuk menjadi suatu produk olahan mencakup persyaratan:

fisika-kimia (chemico-physical-requirement) dan keberadaan bakteri (bacteriological requirement). Pertumbuhan bakteri yang cepat pada susu segar menyebabkan bau

(20)

Syarat mutu dari susu segar dapat dilihat pada Tabel 3

Tabel 3 Syarat mutu susu segar berdasarkan SNI 3141.1:2011 (BSN 2011)

No. Karakteristik Syarat

1. Berat jenis (pada suhu 27.5 °C) 10.270

2. Kadar lemak minimum 3.0%

3. Kadar bahan kering tampa lemak minimum 7.8%

4. Kadar protein minimum 2.8%

5. Warna, bau, rasa dan kekentalan tidak ada perubahan

6. Derajat asam 6-7.5 °SH

7. Uji alkohol (70%) Negatif

8. pH 6.3-6.75

9. Cemaran mikroba maksimum:

a. Total kuman 1 x 106 CFU/ml

b.Salmonella Negatif

c. E.coli (patogen) negatif

d.Koliform 1 x 103 CFU/ml

10. Jumlah sel somatis maksimum 4 x 105 sel/ml 11. Cemaran logam berbahaya, maksimum

a. Timbal (Pb) 0.02 ppm

(21)

Tahapan dalam pembuatan keju diantaranya adalah persiapan susu segar, pasteurisasi, penambahan enzim untuk pembentukan curd (koagulan), pemotong-an curd, pemasakan curd, dan pengurangan whey. Proses berikutnya bergantung pada jenis keju yang akan dihasilkan. Koagulasi susu dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah pH, suhu, ketersediaan ion kalsium, dan kualitas susu itu sendiri. Starter keju adalah kultur aktif dari mikroorganisme non-patogen yang ditumbuhkan dalam susu atau whey yang berperan dalam pembentukan karakteristik dan mutu tertentu pada berbagai jenis produk susu (Daulay 1991).

Keju dibuat dengan cara menggumpalkan protein susu dengan menggunakan enzim renin (Winarno 1993). Enzim renin dapat diperoleh dalam bentuk rennet. Enzim ini bekerja dengan cara merusak dispersi koloidal kalsium fosfokaseinat sehingga terbentuk gel atau tahu susu. Jenis keju bergantung pada perlakuan tahu susu, misalnya lamanya tahu tersebut pada saat dikenakan dalam suasana asam, panas, dan kondisi-kondisi pematangan (Buckle et al. 2009).

Suhu optimum yang diperlukan untuk penggumpalan yaitu 40°C (Winarno 1993). Susu yang akan digumpalkan tidak boleh dipanaskan tertalu lama karena akan menyebabkan perubahan disposisi ion kalsium dalam susu. Endapan atau gel akan terjadi saat ion kalsium bereaksi dengan protein. Meskipun sebagian besar keju dibuat dengan renin, ada juga beberapa keju yang dibuat dengan menambahkan asam pada susu. Faktor lain yang turut menentukan jenis keju adalah keterlibatan mikroba dan proses peraman keju (Winarno 1993).

(22)

Antibiotik

Antibiotik adalah suatu zat yang dihasilkan oleh berbagai jasad renik seperti bakteri dan jamur yang dapat membasmi dan membunuh mikroba lain. Saat ini banyak antibiotik yang dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh (Ganiswarna et al. 1995). Antibiotik yang diperoleh secara alami dari mikroorganisme disebut antibiotik alami, sedangkan antibiotik yang disintesis di laboratorium disebut antibiotik sintesis, misalnya sulfonamid dan kuinolon.

Menurut Ganiswarna et al. (1995), antibiotik dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat toksisitas selektif, yaitu antibiotik yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroba yang disebut sebagai aktivitas bakteriostatik dan antibiotik yang bersifat membunuh mikroba disebut sebagai aktivitas bakterisid. Berdasarkan mekanisme kerja, antibiotik dibagi dalam lima kelompok, yaitu : a. Antibiotik yang dapat menghambat metabolisme sel bakteri, contohnya

sulfonamid, trimetropim, asam p-aminosalisilat (PAS), dan sulfon.

b. Antibiotik yang menghambat sintesa dinding sel bakteri, contohnya penisilin, sefalosporin, basitrasin, vankomisin, dan sikloserin.

c. Antibiotik yang mengganggu keutuhan membran sel bakteri, contohnya polimiksin.

d. Antibiotik yang menghambat sintesa protein sel mikroba, contohnya golongan aminoglikosida, makrolida, linkomisin, tetrasiklin, dan kloramfenikol.

e. Antibiotik yang menghambat sintesa asam nukleat sel bakteri, contohnya

rifampisin dan golongan kuinolon.

Penggunaan Antibiotik

(23)

Lebih dari 90% kasus mastitis disebabkan oleh infeksi intramammary, terutama disebabkan oleh spesies Streptococcus dan Staphylococcus. Pengobatan dengan antibiotik selama laktasi dan pada inisiasi periode kering kandang adalah praktek manajemen yang umum dilakukan sehingga kemungkinan besar akan terdapat residu antibiotik pada saat pemerahan susu sapi. Susu yang memiliki residu antibiotik akan mengalami penyingkiran karena susu yang mengandung antibiotik dapat merugikan industri dan juga berbahaya bagi kesehatan konsumen (Brady & Katz 1988). Jenis-jenis residu antibiotik yang umum terdapat dalam susu antara lain:

1. Penisilin

Penisilin diperoleh dari jamur genus penisilin (Penicillium notatum) dan diperoleh dari ektraksi kultur gabungan yang ditumbuhkan dalam media tertentu (Brooks et al. 2001). Penisilin efektif terutama terhadap mikroba Gram positif. Penisillin didistribusikan luas di dalam tubuh. Penisilin didistribusikan dengan cepat dari plasma darah ke dalam jaringan tubuh dengan persentase volume distribusi sebesar 50%. Sebagian besar penisilin akan diekskresikan melalui ginjal, yaitu sekitar 60-80% dari obat yang dimasukkan, sedangkan ekskresi melalui kelenjar susu hanya 16% dari yang ada di dalam plasma (Admin 2007).

Ikatan protein penisilin ialah 65% (Ganiswarna et al. 1995). Menurut Brooks et al. (2001) penisilin sebagai obat antimikroba dikelompokkan menjadi

empat kelompok utama:

a. Penisilin G, yaitu penisilin yang memiliki aktivitas terkuat melawan organisme Gram positif, Spirochaetatetapi rentan terhadap hidrolisa oleh β -lactamase dan labil terhadap asam.

b. Nafsilin, yaitu penisilin yang relatif tahan terhadap β-lactamase tetapi

aktivitas lebih rendah melawan organisme Gram positif dan tidak aktif melawan organisme Gram negatif.

c. Ampisilin dan Piperasilin, yaitu penisilin yang memiliki aktivitas yang tinggi melawan kedua organisme Gram positif dan Gram negatif tetapi dapat

(24)

d. Penisilin V, Kloksasilin, dan Amoksisilin, yaitu penisilin yang relatif stabil pada asam lambung dan cocok untuk pemberian oral.

Menurut Brooks et al. (2001) penisilin alami yang paling sering digunakan adalah penisilin G. Penisilin ini merupakan obat pilihan untuk infeksi-infeksi yang disebabkan oleh Streptococcus, Pneumococcus, Meningococcus, Spirochaeta, Clostridia, bakteri Gram positif aerob, Staphylococcus, dan Aktinococcus yang bukan penghasil penisilinase.

2. Tetrasiklin

Tetrasiklin bersifat bakteriostatik, yaitu menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif serta merupakan obat pilihan untuk infeksi yang disebabkan oleh riketsia, klamidia, dan mikoplasma. Menurut Mutschler (1991) tetrasiklin adalah obat yang sering digunakan untuk mengatasi bruselosis pada peternakan sapi perah. Tetrasiklin diabsorbsi dari saluran usus dan didistribusikan secara luas pada jaringan tubuh. Obat ini akan dieksresikan terutama lewat empedu dan tinja (Brooks et al. 2001). Menurut Karlina et al. (2009) golongan tetrasiklin akan diekresikan juga melalui susu karena obat ini dapat menembus membran barrier dan terdapat dalam susu dalam kadar yang relatif tinggi.

3. Sulfonamid

Sulfonamid adalah salah satu antibiotik yang pemakaiannya sangat luas untuk pengobatan penyakit akibat bakteri. Sulfonamid banyak digunakan karena harganya murah, efisien, dan memiliki efek yang unggul dalam mencegah dan mengobati penyakit infeksius. Sulfonamid bekerja dengan cara menghambat sintesis asam folat oleh bakteri (Dalimunthe 2009).

(25)

4. Aminoglikosida

Aminoglikosida merupakan antibiotik yang bekerja secara langsung pada ribosom, membran sel, dan menghambat sintesis protein pada bakteri sehingga menyebabkan kematian pada bakteri. Penerapan antibiotik ini dilakukan secara injeksi, baik secara subkutan maupun intramuskular. Aminoglikosida bersifat bakterisida yang berspektrum luas (Wiraternak 2011). Aminoglikosida sering digunakan dalam penanggulangan infeksi berat oleh bakteri Gram negatif. Stabilitasnya cukup baik pada suhu kamar terutama dalam bentuk kering, misalnya streptomisin. Absorbsi aminoglikosida lebih baik melalui parenteral sehingga absorbsi terjadi dengan cepat dan tuntas. Rute ekskresi dari aminoglikosida adalah melalui susu dan ginjal (Adams 2001).

5. Makrolida

Makrolida merupakan antibiotik berspektrum sempit, namun cukup efektif untuk membunuh bakteri Gram positif dan mikoplasma. Makrolida bekerja dengan mengganggu proses sintesis protein pada bakteri yang kemudian akan menyebabkan kematian pada bakteri (Wiraternak 2011). Makrolida diabsorbsi di usus halus setelah pemberian melalui oral (Plumb & Pharm 1999). Makrolida diekskresikan terutama melalui empedu dan sekitar 50% dapat ditemukan di dalam susu.

Penggunaan antibiotik di dunia peternakan sebagai pengobatan dan sebagai

(26)

terakhir hingga ternak boleh dipotong atau produknya dapat dikonsumsi (Bahri et al. 2005).

Hewan ternak yang diobati menggunakan preparat antibiotik seharusnya dibiarkan selama waktu yang ditetapkan dan susu tersebut tidak boleh dikonsumsi sampai bebas dari bahan-bahan antibiotik (Scarya et al. 2009). Withdrawal time beberapa antibiotik di dalam susu disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Withdrawal time beberapa antibiotik di dalam susu Nama antibiotik Withdrawal time Sumber

Penisilin 96 jam Bishop (2005)

Eritromisin 36 jam Bishop (2005)

Tetrasiklin 86 jam Scarya et al. (2009)

Streptomisin 48 jam Bishop (2005)

Tylosin 204 jam Litterio et al. (2007)

Dampak Residu Antibiotik dalam Susu Segar sebagai Bahan Baku Pembuatan Keju

Starter yang digunakan untuk pembuatan keju sangat sensitif terhadap keberadaan residu antibiotik yang terdapat dalam susu yang akan digunakan sebagai bahan dasar pembuatan keju. Keberadaan antibiotik atau agen kemoterapi lainnya dalam susu akan menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme yang diperlukan untuk pembentuan keasaman dan pengembangan cita rasa dan aroma pada keju (Tamime & Deeth 1980).

Kehadiran residu antibiotik penisilin dalam susu yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan keju akan menghambat atau membunuh starter yang

(27)

Menurut Thahir et al. (2005) suatu konsep jaminan mutu yang diterapkan untuk pangan dikenal dengan hazard analysis critical control points (HACCP). Hazard analysis critical control points merupakan suatu sistem pengawasan mutu industri pangan yang menjamin keamanan pangan dan mengukur bahaya atau resiko yang mungkin timbul serta menetapkan pengawasan tertentu dalam usaha pengendalian mutu pada seluruh rantai produksi pangan.

Keamanan pangan merupakan tanggung jawab bersama baik dari pihak pemerintah, produsen, dan konsumen. Sumber daya manusia sangat penting dalam meningkatkan keamanan pangan terutama di bidang industri. Usaha peningkatan sumber daya manusia dengan meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan (formal) dan pelatihan sangat penting dilaksanakan.

Dampak Residu Antibiotik dalam Keju terhadap Kesehatan Konsumen Residu antibiotik dalam pangan menjadi ancaman potensial terhadap kesehatan, yaitu dari aspek toksikologi, aspek mikrobiologi, dan aspek imunopatologis (Murdiati & Bahri 1991). Dilihat dari aspek toksikologi, residu antibiotik bersifat toksik terhadap organ tubuh seperti hati, ginjal, dan pusat hemopoiesis (pembentukan darah). Reaksi toksik atau keracunan dapat disebabkan oleh antibiotik golongan tetrasiklin dan kloramfenikol. Golongan antibiotik ini dapat menyebabkan reaksi keracunan dan iritasi lambung sehingga dapat menyebabkan diare. Gejala lain yang sering terlihat adalah gangguan

(28)

kelompok antibiotik β-laktam yang bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel. Diperkirakan 4-10% populasi manusia di dunia telah alergi terhadap penisilin dan turunannya, padahal obat golongan penisilin masih banyak digunakan baik pada manusia maupun ternak (Sudarwanto 1990).

Ruegg dan Tabone (2005) melaporkan bahwa pemberian antibiotik secara oral tidak menimbulkan respon imun yang cepat dibandingkan pemberian antibiotik secara sistemik. Reaksi alergi (dermatitis, pruritis, dan urtikaria) dari pre-sensitivitas individu yang disebabkan oleh residu β-lactam dalam susu telah terjadi pada beberapa orang (Dewdney & Edwards 1984).

Residu streptomisin adalah salah satu jenis residu antibiotik yang sangat umum di dalam susu. Residu antibiotik ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan reaksi alergi, hilangnya kemampuan pendengaran, keseimbangan tubuh, dan resisten terhadap bakteri. Streptomisin tahan terhadap pemanasan tinggi dan sering terdapat dalam susu pasteurisasi serta susu evaporasi (Roostita et al. 2005).

Streptomisin memiliki titik didih yang sangat tinggi, maka sangat sulit untuk menurunkan konsentrasi residu jika menggunakan suhu pemanasan (Sundlof et al. 1995; Mitchell et al. 1998). Menurut Lukman & Sudarwanto (1992) penurunan konsentrasi residu streptomisin dapat dilakukan dengan suhu pemanasan 120 °C selama 5 menit. Menurut Roostita et al. (2005) cara terbaik untuk mengurangi konsentrasi residu antibiotik streptomisin adalah dengan proses high temperature short time (HTST) (90 °C selama 25 detik) karena dapat menurunkan residu

streptomisin dari 100% menjadi 85.73%. Moats (1988) menyatakan inaktivasi 100% antibiotik golongan penisilin memerlukan waktu 1.705 menit dengan suhu pasteurisasi 71 °C dan akan lebih cepat apabila suhu yang digunakan lebih tinggi.

(29)

dan dapat menyebabkan resistensi antibiotik pada flora usus manusia. Golongan dari sulfonamid, yaitu sulfamethazin dan sulfadimin pernah dilaporkan dapat menyebabkan tumor pada uji bioassay hewan rodensia dan juga sangat toksik pada kelenjar tiroid.

Kehadiran residu antibiotik dalam susu menjadi perhatian besar karena berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat dan dapat menyebabkan kerugian pada peternak. Semakin besar penggunaan antibiotik, baik untuk pengobatan (terapi) maupun sebagai imbuhan pakan, semakin besar pula manfaat yang diperoleh namun semakin besar resiko dalam keamanan pangan (Yuningsih 2005). Terjadinya resiko pada keamanan pangan yang disebabkan oleh residu antibiotik menjadi masalah yang harus benar-benar diperhatikan. Menurut Sridadi (1990) perlu dilakukan langkah-langkah pengamanan penggunaan antibiotik dalam peternakan untuk mendapat manfaat yang maksimal dari penggunaan antibiotik dan meminimalkan resiko. Langkah-langkah tersebut adalah:

a. Langkah pengamanan penggunaan antibiotik dalam terapi penyakit infeksi. Penggunaan antibiotik untuk terapi harus didasarkan pada diagnosa yang tepat dan penggunaannya yang lebih selektif, seperti: pembatasan dalam pemakaian, pergiliran antibiotik yang dipakai, diversifikasi dengan memanfaatkan penemuan antibiotik yang baru dan kombinasi antibiotik yang telah teruji.

b. Langkah pengamananan penggunaan antibiotik dalam terapi profilaksis.

Pengobatan dan pencegahan penyakit sebaiknya dilakukan pada saat sapi dalam masa kering kandang dengan dosis yang besar sehingga pada saat laktasi tidak terjadi residu antibiotik, misalnya pada saat pengobatan mastitis.

(30)

Metode Pengujian Residu Antibiotik

Banyak metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi residu antibiotik dalam susu segar sapi. Metode-metode tersebut diantaranya uji yoghurt test (Mohsenzadeh & Bahrainipour 2008), bioassay (Eenennaam et al. 1993), enzyme-liked immunosorbent assay (Wang et al. 2009), dan high performance liquid chromatography (Wehr & Frank 2004).

Yoghurt Test

Menurut Mohsenzadeh dan Bahrainipour (2008) proses dari yoghurt test ini yaitu susu dengan pH 6.0, dipanaskan dengan penangas air untuk beberapa saat pada 45 °C dan diinokulasikan dengan yoghurt culture yang terdiri dari campuran Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus delbrueckii subspesies bulgaricus. Yoghurt test disiapkan dengan campuran 1 g biakan yoghurt culture segar dengan 99 ml susu skim yang telah dipanaskan pada suhu 95 °C selama 5 menit. Setelah semua tercampur secara homogen, yoghurt culture ditempatkan dalam penangas air pada suhu 42 °C selama 2.5 jam untuk memroduksi asam dalam susu. Kemudian diamati konsistensi susu antara kental atau encer. Hasil kultur disimpan pada suhu 5 °C.

Penelitian yang dilakukan Mohsenzadeh dan Bahrainipour (2008) menyatakan bahwa yoghurt test memiliki kemampuan mendeteksi residu antibiotik di dalam susu. Yoghurt test memiliki sensitivitas terhadap 15 jenis

antibiotik, yaitu penisilin-G, ampisilin, amoksisilin, sefaleksin, sefazolin, oxytetrasiklin, klortetrasiklin, tetrasiklin, doksisiklin, sulfadimidin, gentamisin, spektinomisin, eritromisin, tylosin, dan kloramfenikol. Uji ini merupakan salah satu uji untuk menentukan keberadaan residu antibiotik secara umum.

(31)

Bioassay

Bioassay merupakan salah satu metode pengujian yang menggunakan

mikroorganisme untuk mendeteksi senyawa antibiotik yang masih aktif (BSN 2008). Menurut Zulfianti (2005) prinsip uji bioassay adalah adanya daya hambat terhadap pertumbuhan bakteri oleh antibiotik yang terkandung dalam produk peternakan yang menunjukkan positif adanya residu. Besarnya diameter daerah hambat dapat dilihat dan diukur di sekitar kertas cakram. Besarnya diameter ini menunjukkan konsentrasi residu antibiotik (Pikkemaat et al. 2009). Sebaliknya, jika tidak ada daya hambat pertumbuhan bakteri oleh antibiotik, maka produk peternakan dinyatakan tidak mengandung residu antibiotik atau negatif terhadap residu antibiotik.

Enzyme-liked immunosorbent assay

Enzyme-liked immunosorbent assay (ELISA) merupakan salah satu uji untuk diagnosis dalam pengendalian penyakit hewan, deteksi residu antibiotik, hormon, dan residu pestisida yang terdapat dalam susu sebagai akibat dari pengobatan atau pemacu pertumbuhan pada hewan. Metode ELISA merupakan metode yang sederhana, cepat, spesifik, dan memiliki sensitivitas yang tinggi untuk menganalisa beberapa sampel dalam waktu yang sama (Cliquet et al. 2001).

Prinsip ELISA adalah menggunakan antigen atau antibodi yang akan diikatkan pada matriks padat (mikrowell plate) untuk menangkap antigen atau

antibodi yang ada di dalam larutan sampel. Kompleks antigen-antibodi atau antibodi-antigen yang terbentuk akan dideteksi dengan menggunakan antibodi atau antigen yang sudah dilabel dengan enzim. Konsentrasi ikatan komplek antigen-antibodi atau sebaliknya akan dibantu oleh substrat enzim yang dibaca dalam ELISA plate reader (Latif 2004).

High Performance liquid Chromatography

(32)
(33)

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai Agustus 2011. Sampel susu segar diambil dari tiga kelompok peternak yang memasok susu segar ke industri keju di Sukabumi. Data tentang karakteristik peternak diambil menggunakan kuesioner di Sukabumi. Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB).

Pengambilan dan Jumlah Sampel

Sampel susu segar diambil di tempat penampungan yang berasal dari 3 kelompok peternak pemasok susu untuk pabrik keju dengan jumlah yang

berbeda-beda dari setiap kelompok peternak. Jumlah keseluruhan sampel sebanyak 18 sampel yaitu, 4 sampel dari kelompok peternak A, 6 sampel dari kelompok peternak B, dan 8 sampel dari kelompok peternak C. Volume sampel minimal 500 ml. Setiap sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik steril, diberi label, dan disimpan ke dalam cool box berisi es selama proses transportasi.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah cool box, ice pack, plastik 1 liter, label, spidol marker, gelas ukur 250 ml, erlenmeyer 500 ml, tabung reaksi, rak tabung, penjepit tabung reaksi, pipet, kain lap, alat pemusing (sentrifus), penangas air.

(34)

Desain Penelitian

Penelitian dibagi menjadi dua tahap, yaitu (1) pengambilan data mengenai karakteristik peternak melalui kuesioner, dan (2) pengujian sampel susu segar terhadap keberadaan residu antibiotik dilakukan di laboratorium. Hasil kuisioner dibandingkan dengan hasil pengujian sampel di laboratorium.

Metode Penelitian Pengumpulan Data Kuesioner

Pengumpulan data mengenai karakteristik peternak dilakukan dengan metode wawancara untuk pengisian kuesioner mencakup lima variabel yang dapat diukur untuk menggambarkan karakteristik peternak yang mempengaruhi keberadaan residu antibiotik dalam susu segar yaitu umur, pendidikan terakhir, lama beternak, pelatihan, dan jumlah sapi laktasi yang dimiliki. Data yang terkumpul dari hasil wawancara kuesioner ditabulasikan berdasarkan jenis variabel dan kategori variabel.

Metode Pengujian Residu Antibiotik

Metode pengujian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yoghurt test untuk menganalisa keberadaan residu antibiotik dalam susu segar dengan menggunakan bakteri yang dikenal peka terhadap antibiotik tertentu sebagai indikator. Adapun langkah-langkah yoghurt test adalah sebagai berikut:

1. 10 ml contoh susu dimasukkan ke dalam tabung reaksi. 2. Susu dipanaskan pada 85 °C selama 5 menit.

3. Susu didinginkan pada suhu 45 °C, lalu ditambahkan 1 ml starter yoghurt dan didiamkan selama 2 jam pada suhu 42-45 °C.

4. Hasil diamati :

(35)

Analisis Data

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Peternak

Umur, pendidikan, pengalaman, penyuluhan, dan jumlah sapi merupakan indikator yang dapat digunakan untuk menentukan karakteristik peternak sapi perah. Indikator yang membentuk karakteristik peternak dapat berpengaruh terhadap produksi susu yang dihasilkan. Hasil survei yang dilakukan terhadap tiga kelompok peternak sapi perah (n=10) dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Karakteristik kelompok peternak

No. Karakteristik

4. Mengikuti pelatihan

Ya 1 100 1 100 3 37.5 5 50

Tidak 0 0 0 0 5 62.5 5 50

5. Jumlah sapi laktasi

≤9 0 0 0 0 7 87.5 7 70

>9 1 100 1 100 1 12.5 3 30

(37)

seseorang dapat mengoptimalkan segala hal yang memengaruhi persepsi misalnya pengalaman, proses belajar, cakrawala, dan pengetahuan.

Pendidikan merupakan salah satu faktor utama dalam bidang pertanian untuk melancarkan usaha karena dengan pendidikan petani dapat lebih menambah pengetahuan, keterampilan, dan cara-cara baru dalam melakukan suatu usaha (Mosher 1981). Pendidikan seluruh peternak bervariasi mulai dari pendidikan SD (40%), SMP (30%), dan Perguruan Tinggi (30%). Seluruh kelompok A dan B memiliki tingkat pendidikan terakhir hingga Perguruan Tinggi (100%), sedangkan mayoritas kelompok C memiliki tingkat pendidikan terakhir hingga Sekolah Dasar (50%). Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok C keadaan pendidikan masih tergolong rendah dibandingkan dengan kelompok A dan B. Rendahnya pendidikan seorang peternak dapat disebabkan keadaan sosial ekonomi, terbatasnya fasilitas pendidikan yang ada di daerah tersebut, dan diduga pada masa lalu belum memungkinkan dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Perbedaaan pengetahuan dalam pemeliharan serta perawatan ternak tentunya turut mempengaruhi kuantitas serta kualitas susu yang dihasilkan. Alim dan Nurlina (2009) menyatakan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh terhadap kemampuan penyerapan informasi, tingkat pengetahuan, serta cara berpikir peternak.

Pengalaman peternak sangat penting karena pengalaman menggambarkan baik atau buruknya suatu usaha peternak. Pekerjaan beternak sapi perah adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan perhatian yang intensif sehingga keberhasilan

(38)

dalam pengelolaan usaha ternaknya (Alim & Nurlina 2009). Pengalaman ini juga dapat berperan besar dalam meningkatkan produksi ternak misalnya susu.

Sebanyak 50% peternak telah mengikuti pelatihan dan 50% lainnya belum pernah mengikuti pelatihan. Seluruh kelompok peternak A dan B 100% telah mengikuti pelatihan, namun mayoritas kelompok peternak C 62.5% belum pernah mengikuti pelatihan. Pelatihan dan penyuluhan bagi para peternak sangat bermanfaat dalam sebuah peternakan. Penyuluhan peternak dapat menambah pengetahuan peternak terutama bagi peternak yang berpendidikan rendah. Tujuan diadakannya sebuah penyuluhan diharapkan dapat membantu penyebaran inovasi kepada para peternak sehingga dapat mengadopsi inovasi yang dianjurkan guna peningkatan usaha ternaknya dan kesejahteraan peternak itu sendiri. Kompetensi kewirausahaan peternak dapat ditingkatkan dengan memberi penyuluhan dan pelatihan bagi peternak dan pemanfaatan tenaga kerja yang didukung oleh sarana, prasarana, informasi, dan kebijakan pemerintah yang mendukung usaha peternakan sapi perah. Materi penyuluhan yang diberikan kepada peternak dapat difokuskan pada masalah yang sedang dihadapi para peternak (Muatif et al. 2008). Penyuluhan dapat diperoleh dari petugas kesehatan hewan setempat dan Petugas Dinas Peternakan setempat.

Jumlah sapi laktasi pada sebuah peternakan juga sangat perlu diperhatikan. Jumlah sapi yang banyak tentu membutuhkan modal yang besar dan juga manajemen yang baik agar sapi dapat berproduksi dengan baik. Sebanyak 70%

peternak memiliki jumlah sapi laktasi kurang dari atau sama dengan 9 sapi laktasi yang didominasi pada kelompok C yaitu sebanyak 87.5%, sedangkan kelompok A dan B memiliki jumlah sapi lebih dari 9 sapi laktasi. Jumlah sapi perah laktasi juga mempengaruhi keberhasilan suatu peternakan. Jumlah sapi yang banyak akan membuat peternak untuk memberikan perhatian yang intensif dan penanganan manajemen secara profesional.

Residu Antibiotik dalam Susu Segar

(39)

menunjukkan susu dengan konsistensi kental dinyatakan tidak mengandung residu antibiotik. Hal ini disebabkan karena konsistensi kental menunjukkan bahwa starter pada susu bekerja dengan baik sesuai dengan penambahan yoghurt culture. Hasil uji negatif akan ditunjukkan dengan konsistensi susu yang cair. Hal ini disebabkan karena starter pada susu sudah tidak bekerja karena keberadaan residu antibiotik dalam susu akan menghambat pertumbuhan bakteri yang terdapat pada yoghurt culture. Keberadaan residu antibiotik dalam susu dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembentuk asam, misalnya pada proses fermentasi keju (Mohsenzadeh & Bahrainipour 2008).

Penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan aturan pemakaian untuk pengobatan maupun imbuhan pakan dapat menjadi masalah di kemudian hari. Hal ini dapat dicegah apabila peternak memperhatikan jenis antibiotik, dosis, dan withdrawal time. Pemerintah telah menetapkan peraturan Menteri Pertanian 2007 tentang pengawasan obat hewan sebagai dasar pelaksanaan pengawasan bagi petugas pengawas terhadap pelaku usaha dalam penyediaan, pembuatan, peredaran, dan pemakaian obat hewan, dengan tujuan agar obat hewan yang beredar dalam masyarakat terjaga khasiat, mutu, dan keamananya, terdaftar, serta tepat dalam pemakaiannya. Tabel 6 memperlihatkan hasil uji residu antibiotik dalam susu segar pada ketiga kelompok peternak.

Tabel 6 Hasil uji residu antibiotik dalam susu segar Kelompok

Peternak Jumlah sampel (n) n positif persentase (%)

A 4 - 0

B 6 2 33

C 8 3 37.5

Hasil yoghurt test memperlihatkan bahwa seluruh sampel susu (100%) yang diperoleh dari kelompok peternak A tidak ditemukan adanya residu antibiotik, sebesar 33% dari sampel susu kelompok peternak B mengandung residu antibiotik, dan pada sampel susu kelompok peternak C diperoleh residu antibiotik sebesar 37.5%. Keberadaan residu antibiotik pada sampel susu disebabkan oleh

pemakaian antibiotik yang tidak sesuai dengan anjuran pemakaian (dosis dan withdrawal time). Withdrawal time suatu antibiotik tidak sama dengan antibiotik

(40)

(Murdiati & Bahri 1991). Pemakaian antibiotik harus memperhatikan withdrawal time yaitu kurun waktu dari saat pemberian obat terakhir hingga ternak bisa

dipotong atau produknya bisa dikonsumsi. Setelah withdrawal time terlampaui, diharapkan tidak ditemukan lagi residu atau konsentrasinya lebih rendah dari batas maksimum residu yang diperbolehkan sehingga produk ternak aman untuk dikonsumsi.

Persyaratan kandungan antibiotik yang rendah bahkan negatif menjadi suatu persyaratan yang semakin kuat disampaikan oleh pihak Industri Pengolahan Susu (IPS). Untuk memenuhi persyaratan yang dimaksud, keberadaan residu antibiotik dalam susu segar ditetapkan dalam SNI No. 3141.1:2011 (BSN 2011). Menurut Adetunji (2011) keberadaan residu antibiotik dalam susu sebagai bahan dasar utama pembuatan keju masih bisa diterima jika level residu tersebut masih berada di bawah batas maksimum. Batas maksimum keberadaan residu antibiotik pada keju, yaitu: 0.0040±0.0018 ppm pada streptomisin, 0.0062±0.00026 ppm pada penisillin-G, dan 0.0023±0.0008 ppm pada tetrasiklin. Hal ini berbeda dengan SNI (2011) tentang susu segar yang menstandarkan keberadaan residu antibiotik (golongan β-laktam, tetrasiklin, aminoglikosida, dan makrolida) harus negatif di dalam susu sebagai bahan dasar utama pembuatan keju.

Persentasi peternak sapi perah di Indonesia yang mematuhi waktu henti obat dengan tidak menjual susu segar ke koperasi selama kurun waktu 2-5 hari setelah pengobatan adalah sebesar 8.16% (Bahri et al. 1993; Kusumaningsih et al. 1996).

Kusumaningsih et al. (1996) juga mengungkapkan bahwa peternak di Jawa Barat yang mengetahui jenis obat yang digunakan oleh Petugas Dinas Peternakan atau Koperasi hanya 20%. Sebanyak 14.28% dari 20% peternak tersebut telah mengetahui waktu henti obat, namun yang mematuhi waktu henti obat dengan tidak menjual susu ke koperasi selama 2-5 hari setelah pengobatan hanya 8.16% peternak. Obat hewan sangat bervariasi yang dipengaruhi oleh jenis obat, spesies hewan, faktor genetik ternak, iklim setempat, cara pemberian, dosis obat, status kesehatan hewan, produk ternak yang dihasilkan, batas toleransi residu obat, dan formulasi obat (Murdiati & Bahri 1991).

(41)

sampel susu dari kelompok peternak A yang tidak mengandung residu antibiotik telah memenuhi standarisasi SNI No. 3141.1:2011 sehingga layak dan aman digunakan sebagai bahan dasar pembuatan keju. Sementara untuk susu segar dari kelompok peternak B dan C yang positif mengandung residu antibiotik tidak sesuai dengan standarisasi SNI No. 3141.1:2011 sehingga tidak baik digunakan sebagai bahan dasar pembuatan keju dan tidak aman bagi kesehatan di samping tidak diketahui jenis residu antibiotik yang terkandung di dalam susu segar.

Susu segar yang mengandung residu antibiotik akan menghasilkan produk keju yang kurang baik. Keberadaan antibiotik dalam susu sebagai bahan dasar pembuatan keju dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme yang digunakan untuk pembentukan keasaman dan pengembangan cita rasa serta aroma pada keju. Mikroorganisme pembentuk cita rasa dan aroma pada keju yang akan dihambat oleh residu antibiotik dalam susu sebagai bahan dasar pembuatan keju adalah Lactobacillus delbrueckii subspesies bulgaricus (Rivals et al. 2007).

Antibiotik dapat menghalangi pertumbuhan bakteri dalam susu. Terhambatnya pertumbuhan bakteri dalam susu pada saat proses pengolahan susu lebih lanjut menyebabkan gagalnya starter oleh bakteri dalam susu dan susu akan di tolak (Buckle et al. 1987). Hal inilah yang menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar karena produk yang tidak sesuai pada keju yang dihasilkan (Keceli & Robinson 1997).

(42)

terhadap penisilin dan turunannya, padahal obat golongan penisilin masih banyak digunakan, baik pada manusia maupun ternak. Selain itu, terdapat golongan antibiotik yang dapat menyebabkan reaksi keracunan yaitu golongan tetrasiklin dan kloramfenikol. Hal ini dikemukakan oleh Kielwein (1981) bahwa reaksi keracunan antibiotik tersebut sering menyebabkan iritasi lambung sehingga dapat mengakibatkan diare.

Mutu susu yang bebas residu antibiotik perlu mendapat perhatian yang serius karena merupakan salah satu persyaratan agar susu diterima oleh industri pengolahan susu dan juga aman bagi konsumen. Hal ini dapat tercapai apabila penanganan sapi perah dan cara produksi susu segar menerapkan aspek-aspek good farming practices (GFP).

Faktor yang Memengaruhi Keberadaan Residu Antibiotik

Keberadaan residu antibiotik dalam susu sapi dapat dipengaruhi oleh karakteristik masing-masing peternak. Umur, pendidikan terakhir, lama beternak, pelatihan, dan jumlah sapi laktasi merupakan karakteristik yang diamati pada 10 orang peternak. Tabel 7 memperlihatkan hubungan karakteristik peternak terhadap keberadaan residu dalam susu sapi segar

Tabel 7 Hubungan karakteristik peternak terhadap keberadaan residu dalam susu sapi segar

No. Karakteristik peternak Keberadaan residu

r P

1 Umur 0.182 0.614

2 Pendidikan terakhir -0.642* 0.046

3 Lama beternak -0.470 0.171

4 Pelatihan 0.497 0.171

5 Jumlah sapi laktasi -0.644* 0.045

Keterangan: *Menunjukkan hubungan yang nyata pada nilai P<0.05 (hubungan dua arah)

(43)

menunjukkan korelasi yang kuat dan bersifat terbalik. Semakin tinggi pendidikan maka residu antibiotik yang terdapat dalam susu akan semakin rendah.

Hal ini dapat dilihat pada setiap kelompok peternak. Peternak A memiliki tingkat pendidikan terakhir Perguruan Tinggi dan tidak ditemukan adanya residu antibiotik dalam susu segar yang dihasilkan. Berbeda dengan kelompok peternak B yang menunjukkan hasil positif residu antibiotik dalam susu (33%) meskipun tingkat pendidikan terakhirnya hingga perguruan tinggi. Hal ini mungkin dikarenakan tingkat pendidikan yang diperoleh oleh peternak pada kelompok B ini tidak berhubungan dengan bidang peternakan dan kesehatan hewan. Sementara dari kelompok peternak C dapat dilihat pendidikan yang bervariasi mulai tingkat SD, SMP, dan Perguruan Tinggi dengan hasil positif residu antibiotik dalam susu (37.5%). Keberadaan residu antibiotik pada sampel kelompok peternak C ini mungkin dikarenakan tingkat pendidikan yang bervariasi dari 8 orang peternak. Sampel dari peternak yang telah memiliki tingkat pendidikan yang tinggi mungkin saja tidak mengandung residu antibiotik dalam susunya, namun terjadi pencampuran dengan sampel dari peternak lainnya yang positif residu antibiotik karena masih rendahnya tingkat pendidikan mereka. Rakhmat (1996) menyatakan seseorang yang memiliki pendidikan formal yang lebih tinggi akan memiliki motivasi yang lebih tinggi serta wawasan yang lebih luas dalam menganalisa suatu kejadian.

Selain tingkat pendidikan, jumlah sapi laktasi juga menunjukan hubungan

(44)

jumlah yang besar akan memungkinkan terdapatnya residu antibiotik dalam produksi susunya. Namun, hal ini tidak selalu diasumsikan benar karena pada umumnya peternak dengan jumlah sapi yang banyak akan menangani ternaknya secara profesional untuk mendapatkan hasil yang terbaik.

Umur, lama beternak, dan pelatihan tidak memiliki hubungan yang nyata dengan keberadaan residu antibiotik dalam susu segar. Mayoritas peternak berumur lebih dari 41 tahun yang memungkinkan peternak telah mendapatkan pengetahuan yang lebih baik, namun hal ini tidak berpengaruh nyata pada keberadaan residu antibiotik dalam susu segar. Sama halnya dengan lama beternak yang tidak menunjukkan hubungan yang nyata dengan keberadaan residu antibiotik dalam susu segar. Hal ini sesuai dengan pendapat Muatif et al. (2008) bahwa pengalaman peternak atau lama beternak tidak berhubungan dengan kompetensi kewirausahaan peternak.

Pelatihan dan penyuluhan dalam sebuah peternakan dimaksudkan dalam rangka penyebaran inovasi ke peternak, guna peningkatan usaha ternaknya, dan kesejahteraan peternak itu sendiri. Pelatihan yang telah didapatkan sebagian peternak tidak menunjukkan hubungan yang nyata terhadap keberadaan residu antibiotik dalam susu segar. Hal ini diduga bahwa peternak kurang inovatif terhadap hal-hal yang ditawarkan oleh penyuluh atau pelatihan dan penyuluhan diabaikan oleh peternak karena pelatihan dan penyuluhan tersebut lebih banyak bersifat teknis yang telah mereka kuasai.

(45)
(46)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Residu antibiotik ditemukan di dalam susu sapi segar pada kelompok peternak yang memasok susu ke industri keju di daerah Sukabumi.

2. Karakteristik peternak yang berhubungan dengan keberadaan residu antibiotik dalam susu segar adalah tingkat pendidikan terakhir dan jumlah sapi laktasi yang dimiliki.

Saran

1. Penerapan good farming practices (GFP)sangat diperlukan dalam sebuah peternakan sapi perah untuk mencegah keberadaan residu antibiotik dalam susu segar. Untuk itu industri keju disarankan untuk membina peternak agar dapat menerapkan GFP di peternakan sapi perah yang mensuplai susu segar ke industri mereka.

2. Industri pengolah keju perlu melakukan pengujian residu antibiotik secara rutin untuk mencegah adanya susu yang mengandung residu antibiotik

(47)

DAFTAR PUSTAKA

Adams HR. 2001. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Ed ke-8. United States of America: Iowa State Press. 1201 hlm.

Adetunji VO. 2011. Effects of processing on antibiotic residues (streptomycin, penicillin-G and tetracycline) in soft cheese and yoghurt processing lines. Pakistan J Nutr 10 (8): 792-795.

Admin. 2007. Penicillin dan Penggunaanya dalam Dunia Veteriner [terhubung berkala]. http://www.pojok-vet.com/article/43-obat-dll/119-penicillin.html [20 Maret 2012].

Alim S, Nurlina L. 2009. Respon peternak sapi perah anggota kuda terhadap kegiatan penyuluhan peternakan [terhubung berkala]. http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/12/respon_peternak_sapi _perah_anggota_kud.pdf [19 April 2012].

Bahri S, Masbulan E, Kusumaningsih A. 2005. Proses praproduksi sebagai faktor penting dalam menghasilkan produk ternak yang aman untuk manusia. J Litbang Pertanian, 24(1).

Bell I. 1986. Rational chemotherapeutics. In Poultry Health. Proceeding of The Post Graduated Committee in Veterinary and Centre for Veterinary Education No. 92: London, May 1986. London: The University of Sydney in Association with Australian Veterinary Poultry Association. pp 199-209.

Bishop MY. 2005. The Veterinary Formula. Ed ke-6. Cambridge: Great Britain University Press.

Brady M, Katz S. 1988. Antibiotic/antimicrobial residues in milk. J Food Prot 51: 8-11.

Brooks GF, Butel JS, Morse SA. 2001. Medical Microbiology [Penerjemah dan Editor : Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran: Universitas Airlangga]. McGrau-Hill Companies inc. Atlanta.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2011. SNI No. 7424.1: 2008 tentang Metode Uji Tapis (Screening Test) Residu Antibiotik pada Daging, Telur, dan Susu secara Bioassay. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2011. SNI No. 3141.1: 2011 tentang Susu Segar. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

(48)

Cliquet P, Cox E, Dorpe CV, Schacht E, Goddeeris BM. 2001. Generation of class-selective monoclonal antibodies againt the penicillin group. J Agric Food Chem 49: 3349-3355.

Dalimunthe A. 2009.Interaksi pada Obat Antimikroba. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Daulay D. 1991. Fermentasi Keju. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Dewdney JM, & Edwards RG. 1984. Penicillin hypersensitivity – is milk significant hazard?. J Royal Soc Med 77: 866-877.

Eenennaam ALV, Cullor JS, Peran VL, Gardner A, Smith WL, Dellinoer J, Outerbocks WM. 1993. Evaluation of milk antibiotic residue screening tests in cattle with naturally occurring clinical mastitis. Dairy Sci 76: 3041-3053.

Ganiswarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafriaidi. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Herrick JB. 1993. Food for thought for food animal veterinarians: violative residues. JAVMA. 203(8): 1122-1123.

Karlina, Siagian RI, Wijaya A. 2009. Farmakokinetika klinik tetrasiklin [terhubung berkala]. http://yosefw.wordpress.com/2009/03/19/ farmakokinetika-klinik- tetrasiklin [20 Maret 2012].

Kaliky R, Hidayat N. 2006. Karakteristik peternak sapi perah di desa Kepuh Harjo Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman [Makalah]. Di dalam: Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.

Keceli T, Robinson RK. 1997. Dairy products: The real risks. Dairy Ind Inter 62(4): 29-33.

Kielwein G. 1981. Leitfaden der Milchkunde und Milchhygiene. Parey Studientexte 11. Berlin. Verlag Paul Parey.

Kusumaningsih A, Murdiati TB, Bahri S. 1996. Pengetahuan peternak serta waktu henti obat dan hubungannya dengan residu antibiotik pada susu. Med Kedokteran Hewan 12(4): 260-267.

Latif H. 2004. Analisa residu antibiotik pada susu bubuk dengan menggunakan beberapa metode pengujian [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

(49)

Lukman DW, Sudarwanto M. 1992. Pengaruh Pemanasan Terhadap Residu Antibiotik dalam Susu. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Lukman DW, Purnawarman T. 2009. Penuntun Praktikum Higiene Pangan. Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Misgiyarta, Roswita S, Munarso SJ, Abubakar, Usmiati S. 2005. Status tingkat residu antibiotik pada susu segar [makalah]. Di dalam: Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.

Mitchell JM, Griffiths MW, McEwen SA, McNab WB, Yee AE. 1998. Antimicrobial drug residues in milk and meat: Causes, concerns, prevalence, regulations, tests and test performance – A review. J Food Prot 61:742-756.

Moats WA. 1988. Inactivation of antibiotics by heating in foods and other substrates-a review. J Food Prot 51 (6): 491-497.

Mohsenzadeh M, Bahrainipour A. 2008. The detection limits of antimicrobial agents in cow’s milk by a simple yoghurt culture test. J Bio Sci (18): 2282 -2285.

Mosher AT. 1981. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Ed ke-7. Jakarta: CV Yasaguna.

Muatif, Krismiwati, Basita GS, Djoko S, Pang SA. 2008. Kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah: kasus peternak sapi perah rakyat di kabupaten pasuruan Jawa Timur dan kabupaten Bandung Jawa Barat [terhubung berkala]. http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/41024 [3 Mei 2012].

Murdiati TB, Bahri S . 1991 . Pola penggunaan antibiotik dalam peternakan ayam di Jawa Barat, kemungkinan hubungan dengan masalah residu. Prosiding Kongres llmiah ke-8; Jakarta, 4-6 November 1991: 445-448. Jakarta: ISFI. Hlm 445-448.

Mutschler E. 1991. Dinamika Obat. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

[Permentan]. Peraturan Menteri Pertanian. 2007 Keputusan Menteri Pertanian Nomor 074/U/2007 tentang Pengawasan Obat Hewan. Jakarta: Permentan.

Pikkemaat MG, Rapallini MLBA, Van Dijk SO, Elfrink JWA. 2009. Comparison of three microbial screening methods for antibiotics using routine monitoring samples. Anal Chem Act 637: 298-304.

(50)

Putranto EH. 2006. Analisis keuntungan usaha peternakan sapi perah rakyat di Jawa Tengah [tesis]. Semarang: Program Pasca-Sarjana, Universitas Diponegoro.

Rahardjo. 1998. Evaluasi penulisan judul, definisi, istilah, klasifikasi, dan syarat mutu pada SNI produk pangan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan dan Gizi. Yogyakarta: 3 Mei 2012.

Rakhmat J. 1996. Komunikasi massa. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Rivals JP et al. 2007. Cryotolerance of Lactobacillus delbrueckii subspesies bulgaricus CFL1 is modified by acguisition of antibiotic resistance. Cryobiol 55: 19-26.

Roostita LB, Ellin H, Ichsan SH. 2005. The effects of cow milk evaporation and pasteurization towards streptomycin residue contents on milk products. Di dalam: The 3rd International Conference of Indonesian Society for Lactic Acid Bacteria (3rd IC-ISLAB). Prosiding of Faculty of Animal Husbandry, University of Padjadjaran. Bandung. 14 Juli. Bandung.

Ruegg PL, Tabone TJ. 2005. The relationship between antibiotic residue violations and somatic cell counts in Wisconsin dairy herds. J Dairy Sci 83: 2805–2809.

Saleh E. 2004. Teknologi Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Medan: Program Studi Produksi Ternak. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Samanidou VF, Tolika EP, Papadoyannis IN. 2008. Chromatographic residue analysis of sulfonamides in food stuffs of animal origin. Sep Purific Rev 37: 327–373.

Sardiman AM. 2009. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers.

Scarya J et al. 2009. Construction and testing of EGFP based bacterial biosensor for the detection of residual tetracyclines in milk and water. India Res J Microbiol 4(3): 104-111.

Soeharjo & Patong. 1973. Sendi-sendi Usaha Tani. Bogor: Departemen Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian IPB.

Sridadi W. 1990. Tinjauan penggunaan antibiotik di Indonesia saat ini dan yang akan dating [Makalah]. Di dalam: Seminar Nasional Penggunaan Antibiotik dalam Bidang Kedokteran Hewan.

(51)

Sundlof SF, Kaneene JB, Miller R. 1995. National survey on veterinarian-initiated use in lactating dairy cows. JAVMA 207: 347-352.

Tamine AY & Deeth HC. 1980. Yoghurt technology and biochemistry. J Food Protect 43(12): 939-977.

Thahir R, Munarso SJ, dan Usmiati S. 2005. Review hasil-hasil penelitian keamanan pangan produk peternakan. Prosiding Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan; Bogor, 14 September 2005. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm. 18−26.

Wang S, Xu B, Zhang Y, He JX. 2009. Development of enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) for the detection of neomycin residues in pig muscle, chicken muscle, egg, fish, milk and kidney. Meat Sci 82: 53-58.

Wehr M, Frank JF. 2004. Standard Methods for The Examination of Dairy Products. Washington: American Public Health Association.

Winarno FG. 1993. Pangan: Gizi, Teknologi, dan Konsumen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Wiraternak. 2011. Jenis-jenis antibiotik [terhubung berkala]. http://www.wiraternak.com/2012/04/jenis-jenis-antibiotik.html [03 April 2012].

Yamani MI, Al-Kurdi LMA, Haddadin MSY, Robinson RK. 1999. A simple test for the detection of antibiotics and other chemical residues in ex-farm milk. Food Cont 10: 35-39.

Yuningsih. 2005. Keberadaan residu antibiotik dalam produk peternakan (susu dan daging) [Makalah]. Di dalam: Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan. Bogor. Balai Penelitian Veteriner.

Zeng SS, Escobar EN, Brown CI. 1996. Evaluation of screening tests for detection of antibiotic residues ingoat milk. Small Rum Res 21: 155-160

Gambar

Tabel 2 Kandungan beberapa mineral dalam susu (Buckle et al. 1987)
Tabel 3 Syarat mutu susu segar berdasarkan SNI 3141.1:2011 (BSN 2011)
Tabel 5 Karakteristik kelompok peternak
Tabel 2 Kandungan beberapa mineral dalam susu (Buckle et al. 1987)
+3

Referensi

Dokumen terkait