• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Umum Sekolah

Sekolah dasar Negeri Pasanggrahan II berdiri sejak Tahun 1974 yang terletak di Kampung Cilanggohar, Desa Pasanggrahan, Kecamatan Tegal Waru, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Sekolah ini mendapatkan jenjang akreditasi C. Kegiatan belajar mengajar (KBM) di SDN Pasanggrahan II berlangsung dari hari senin hingga jumat dengan jam belajar berkisar antara empat hingga enam jam.

Sumber daya manusia yang dimiliki oleh SDN Pasanggrahan II berjumlah sembilan orang, yang terdiri dari satu kepala sekolah, dua orang guru tetap dan tujuh orang tenaga pengajar tidak tetap. Fasilitas sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah terdiri dari tujuh unit ruang kelas, satu unit ruang kantor, lapangan olahraga, satu unit kamar mandi dan tempat mencuci tangan. Fasilitas yang terdapat di dalam kelas yaitu meja dan kursi yang disesuaikan dengan jumlah siswa tiap kelas dilengkapi pula satu buah meja dan kursi guru, satu buah whiteboard dan papan tulis, satu buah papan absensi contoh, satu buah jam dinding dan tempat sampah di depan ruang kelas. Sekolah ini mempunyai kegiatan ekstrakulikuler yaitu pramuka dan PMR, Kegiatan ini dilaksanakan seminggu sekali di luar jam pelajaran sekolah.

Kegiatan belajar mengajar untuk kelas satu sampai kelas tiga pada hari Senin sampai Kamis dimulai pada pukul 07.15 sampai dengan pukul 11.00 WIB, sedangkan pada hari Jumat dimulai pukul 07.15 hingga pukul 10.00. Kegiatan belajar mengajar untuk kelas empat sampai kelas enam pada hari Senin sampai Kamis dimulai pada pukul 07.15 sampai dengan pukul 13.00 WIB. Pada hari Jumat kegiatan belajar mengajar dimulai pada pukul 07.15 sampai dengan pukul 10.30 WIB. Sekolah SDN Pasanggrahan II. Kondisi lingkungan lahan pada area sekolah kering dan banyak batu-batuan besar sehingga tanaman hijau sulit tumbuh.

Status Anemia Siswa

Anemia merupakan kondisi kurang darah yang terjadi bila kadar hemoglobin darah kurang dari normal (Depkes 2007). Menurut WHO (2000) yang diacu dalam Arisman (2007), menyatakan bahwa kadar Hb normal untuk anak usia lima hingga sebelas tahun yaitu 11.5 g/dl. Kadar hemoglobin menurut WHO dikategorikan dalam dua kelompok yaitu anemia dan normal, dikatakan anemia jika kadar Hb ≥11.5 g/dl dan anemia jika kadar Hb <11.5 g/dl Data sebaran siswa berdasarkan status anemia yang disajikan dalam Tabel 6 berikut ini. Tabel 6 Sebaran siswa berdasarkan status anemia

Status Anemia n %

Anemia 25 48.08

Normal 27 51.92

Berdasarkan Tabel 6 didapatkan hasil sebanyak 25 siswa (48.08%) mengalami anemia dan sebanyak 27 orang (51.92%) dengan status normal. Hal ini sejalan dengan penelitian Astina (2012) yang menyatakan bahwa prevalensi anemia di Kabupaten Purwakarta sebesar 66.7%. Menurut Depkes (1998) menyatakan bahwa anemia gizi besi (AGB) dapat terjadi karena 1)kandungan zat besi dari makanan yang dikonsumsi tidak mencukupi kebutuhan; 2)meningkatnya kebutuhan tubuh akan zat besi dan 3)meningkatnya pengeluaran zat besi dari tubuh.

Karakteristik Siswa

Data karakteristik siswa yang diamati yaitu meliputi usia, jenis kelamin dan uang saku siswa, contoh dalam penelitian ini merupakan siswa kelas empat dan lima SDN Pasanggrahan II Purwakarta yang berjumlah 52 siswa dengan usia berkisar antara 9 sampai 12 tahun. Menurut Hurlock (2004) kategori usia dibagi menjadi dua yaitu masa akhir kanak-kanak atau late chilhood (6-12 tahun) dan masa remaja awal (13-14 tahun). Uang saku dikelompokkan menurut interval dibagi menjadi 3 kategori, yaitu dikategorikan kurang (<Rp1.000 – Rp2.333), sedang (Rp2.334 - Rp3.666) dan besar (>Rp3667– Rp5000). Data sebaran siswa berdasarkan karakteristik siswa dan status anemia yang disajikan dalam Tabel 7 berikut ini.

Tabel 7 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik siswa dan status anemia

Karakteristik Anemia Normal Total

p n % n % n % Usia 9 11 44 7 25.9 18 34.6 0.48 10 7 28 11 40.7 18 34.6 11 2 8 4 14.8 6 11.5 12 5 20 5 18.5 10 19.2 Total 25 100 27 100 52 100 Jenis Kelamin Perempuan 14 56 16 59.3 30 57.7 0.28 Laki-laki 11 44 11 40.7 22 42.3 Total 25 100 27 100 52 100 Uang Saku Kurang 19 76 24 88.9 43 82.7 0.051 Sedang 5 20 2 7.4 7 13.5 Besar 1 4 1 3.7 2 3.8 Total 25 100 27 100 52 100

Berdasarkan Tabel 7 sebaran karakteristik siswa menurut status anemia, sebagian besar pada kelompok siswa anemia berusia 9 tahun (44%) dengan rata-rata usia siswa pada yaitu 10±1.2, sebagian besar pada kelompok siswa normal berusia 10 tahun (40.7%) dengan rata-rata usia siswa yaitu 10.2±1.05 Berdasarkan uji beda T-Test didapatkan hasil sebesar p>0.05. Hal tersebut menandakan bahwa tidak ada perbedaan usia yang signifikan pada kedua kelompok. Jenis kelamin menurut status anemia didapatkan hasil bahwa sebagian besar jenis kelamin baik kelompok siswa anemia (56%) maupun kelompok siswa normal (57.7%) berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan uji beda T-Test

21 didapatkan hasil nilai p>0.05. Hal tersebut menandakan bahwa tidak ada perbedaan jenis kelamin yang signifikan pada kedua kelompok.

Uang saku menurut status anemia didapatkan hasil sebagian besar baik kelompok siswa anemia (76%) maupun kelompok siswa normal (88.9%) memiliki uang saku dalam kategori Kurang (>Rp1.000 – Rp 2.333). Berdasarkan uji beda T-Test didapatkan hasil nilai p>0.05. Hal tersebut menandakan bahwa tidak ada perbedaan uang saku yang signifikan pada kedua kelompok. Uang saku yang dimiliki siswa rata-rata yaitu untuk kelompok anemia sebesar Rp.1920±942.9 dan kelompok normal sebesar Rp.1740.74±891.9. Alokasi uang siswa yang digunakan sebagian besar yaitu untuk membeli jajanan pangan selama disekolah, contoh yang dibeli oleh sebagian besar siswa yaitu adalah minuman ringan dan chiki. Uang saku yang diperoleh siswa tergantung dari pendapatan yang yang dimiliki orang tua, sehingga pada kedua kelompok siswa rata-rata memiliki uang saku yang kurang.

Uang saku yang diperoleh siswa merupakan pemberian orang tua yang digunakan untuk memenuhi keperluan mereka sehari-hari baik untuk jajan, transportasi atau keperluan lainnya. Salah satu faktor yang mempengaruhi pemberian jumlah uang saku kepada anak sekolah dasar yaitu besarnya pendapatan orang tua. Jumlah uang saku yang semakin besar membuat membuat anak dapat memilih makanan yang beragam dan berkualitas. Besar uang saku anak merupakan indikator sosial ekonomi keluarga. semakin besar uang saku, maka semakin besar peluang anak untuk membeli makanan jajanan, baik di kantin maupun di luar sekolah (Andarwulan et al 2008).

Karakteristik Keluarga

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak (keluarga inti). Besar keluarga merupakan banyaknya anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah (Suhardjo 1989). Karakteristik keluarga data yang diambil yaitu meliputi besar keluarga, pendidikan orang tua (ayah dan ibu), pekerjaaan orang tua (ayah dan ibu) dan pendapatan per kapita.

Besar keluarga di bagi menjadi 3 kategori yaitu kecil (≤4 orang), sedang (5-6 orang) dan besar (≥7 orang) demikian pula tingkat pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak terutama pemberian makan, konsumsi pangan dan status gizi.

Menurut Suhardjo (1989) pendapatan merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi, semakin tinggi pendapatan maka semakin besar peluang untuk memilih pangan yang baik. Meningkatnya pendapatan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Tingginya pendapatan cenderung diikuti dengan tingginya jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi. Data sebaran siswa berdasarkan karakteristik keluarga dan status anemia dapat disajikan dalam Tabel 8 berikut ini.

Tabel 8 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik keluarga dan status anemia

Karakteristik Anemia Normal Total

p n % n % n % Besar Keluarga Kecil(≤ 4 orang) 8 32 6 22.2 14 26.9 0.46 Sedang (5-7 orang) 14 56 20 74.1 34 65.4 Besar (≥ 7 orang) 3 12 1 3.7 4 7.7 Total 25 100 27 100 52 100 Pendidikan Ayah Tidak sekolah 7 28 4 14.8 11 21.2 0.55 SD 15 60 21 77.8 36 69.2 SMP 1 4 1 3.7 2 3.8 SMA 2 8 0 0 2 3.8 Perguruan Tinggi 0 0 1 3.7 1 1.9 Total 25 100 27 100 52 100 Pendidikan Ibu Tidak sekolah 3 12 6 22.2 9 17.3 0.58 SD 21 84 20 74.1 41 78.8 SMP 0 0 0 0 0 0 SMA 0 0 0 0 0 0 Perguruan Tinggi 1 4 1 3.7 2 3.8 Total 25 100 27 100 52 100 Pekerjaan Ayah Petani 3 12 2 7.4 5 9.6 0.58 Buruh bangunan 16 64 17 63 33 63.5 Guru,PNS 1 4 1 3.7 2 3.84 Wiraswasta 5 20 6 22.2 11 21.2 Lainnya 0 0 1 3.7 1 1.9 Total 25 100 27 100 52 100 Pekerjaan Ibu

Ibu rumah tangga 20 80 22 81.5 42 80.8 0.64

Petani 0 0 1 3.7 1 1.9 Guru,PNS 1 4 1 3.7 2 3.8 PRT 1 4 1 3.7 2 3.8 Wiraswasta 3 12 2 7.4 5 9.6 Total 25 100 27 100 52 100 Pendapatan Perkapita Miskin 18 72 23 85.2 41 78.8 0.25 Tidak Miskin 7 28 4 14.8 11 21.2 Total 25 100 27 100 52 100

Berdasarkan Tabel 8 sebaran karakteristik menurut status anemia didapatkan hasil bahwa sebagian besar kelompok siswa anemia (32%) termasuk dalam besar keluarga kategori kecil), (56%) siswa termasuk dalam besar keluarga kategori sedang dan (12%) siswa termasuk dalam kategori keluarga besar. Kemudian pada kelompok siswa normal (22.2%) termasuk dalam besar keluarga kategori kecil, (74.1%) termasuk dalam besar keluarga sedang dan (7.7%) termasuk dalam besar keluarga besar. Berdasarkan uji beda T-Test didapatkan hasil nilai p>0.05. Hal tersebut menandakan tidak ada perbedaan yang signifikan besar keluarga siswa pada kedua kelompok.

Menurut Suhardjo (1989), menyatakan bahwa semakin banyak anggota keluarga maka makanan untuk setiap anggota keluarga akan berkurang dan semakin banyak anggota keluarga maka kebutuhan hidup juga akan meningkat sehingga diperlukan suatu upaya guna peningkatan pendapatan agar kebutuhan

23 dalam keluarga dapat terpenuhi. Pengaturan pengeluaran untuk pangan sehari-hari akan lebih sulit jika jumlah anggota keluarga lebih banyak, hal ini menyebabkan kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi anggota keluarga tidak mencukupi kebutuhannya(Sediaoetama 2000).

Menurut Sukandar (2007), menyatakan bahwa tingkat pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak terutama pemberian makan, konsumsi pangan dan status gizi. Umumnya pendidikan seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang berpendidikan tinggi cenderung memilih makanan yang murah tetapi kandungan gizinya tinggi, sesuai jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik.

Berdasarkan tingkat pendidikan ayah didapatkan hasil bahwa sebagian besar baik kelompok siswa anemia (60%) maupun kelompok siswa normal (77.8%) pendidikan terakhir ayah yaitu SD (sekolah dasar). Berdasarkan uji beda T-Test didapatkan hasil nilai p>0.05. Hal tersebut menandakan bahwa pendidikan terakhir ayah tidak ada perbedaan yang signifikan pada kedua kelompok.

Sukandar (2007), menyatakan bahwa orang yang berpendidikan tinggi cenderung memilih makanan yang murah tetapi kandungan gizinya tinggi, sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil sehingga kebutuhan gizi dapat terpenuhi dengan baik. Menurut Atmarita (2004) menyatakan bahwa tingkat pendidikan orang tua yang lebih tinggi akan memberi stimulasi lingkungan (fisik, social, dan psikologis) bagi anak-anaknya dibandingkan dengan orang tua yang tingkat pendidikannya rendah.

Berdasarkan pendidikan ibu didapatkan hasil bahwa sebagian besar baik kelompok siswa anemia (84%) maupun kelompok siswa normal (74.1%) pendidikan terakhir ibu yaitu pada tingkatan SD (sekolah dasar). Berdasarkan uji beda T-Test didapatkan hasil nilai p>0.05. Hal tersebut menandakan bahwa pendidikan terakhir ibu tidak ada perbedaan yang signifikan pada kedua kelompok.

Pekerjaan orang tua yang terdiri dari pekerjaan ayah dan ibu, didapatkan hasil bahwa sebagian besar baik kelompok siswa anemia (64%) maupun kelompok siwa normal (63%) pekerjaan ayah siswa adalah sebagai buruh bangunan. Berdasarkan uji beda T-Test didapatkan hasil nilai p>0.05. Hal tersebut menandakan tidak ada perbedaan yang signifikan pekerjaan ayah pada kedua kelompok.

Menurut Suhardjo (1989), menyatakan bahwa jenis pekerjaan yang dimiliki seseorang merupakan faktor yang paling menentukan kuantitas dan kualitas makanan karena jenis pekerjaan memiliki hubungan dengan pendapatan yang diterima.

Pekerjaan ibu didapatkan hasil bahwa sebagian besar baik kelompok anemia (80%) maupun kolompok siswa normal (81.5%) pekerjaan ibu siswa adalah tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga. Berdasarkan uji beda T-Test didapatkan hasil nilai p>0.05. Hal tersebut menandakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pekerjaan ibu pada kedua kelompok. Menurut Suhardjo (1989) ibu yang bekerja tidak lagi memiliki waktu untuk mempersiapkan makanan bagi keluarga, namun seseorang istri yang turut bekerja akan meningkatkan pendapatan keluarga.

Pendapatan perkapita dikelompokan berdasarkan garis kemiskinan Kabupaten Purwakarta tahun 2010 yaitu 226.118/kapita/bulan. Berdasarkan data pendapatan perkapita dapat dilihat bahwa sebagian besar baik kelompok status anemia (72%) maupun kelompok siswa normal (85.2%) tingkat pendapatan keluarga dikategorikan pada keluarga miskin. Berdasarkan uji beda T-Test diketahui nilai p>0.05. Hal ini menunjukan bahwa tidak ada perbedaan signifikan pendapatan perkapita pada kedua kelompok. Pendapatan perkapita pada kedua kelompok sebagian besar dikategorikan pada keluarga miskin, hal tersebut akan mempengaruhi terhadap kuantitas dan kualitas makan yang akan dikonsumsi dan daya beli makanan sehingga akan mempengaruhi kebiasaan makan siswa, khususnya kebiasaan pangan sumber zat besi yang salah satu faktor penyebab langsung anemia.

Pendapatan merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi, semakin tinggi pendapatan maka semakin besar peluang untuk memilih pangan yang baik (Suhardjo 1989). Penurunan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan serta aksesibilitas yang rendah akan berdampak negatif pada kesehatan anak yang rentan terhadap gangguan kesehatan dan gizi (Hardinsyah 2007).

Pengetahuan Gizi

Pengetahuan gizi dan kesehatan adalah pengetahuan tentang peranan makanan dan zat gizi, sumber-sumber zat gizi pada makanan dan makanan yang aman untuk dimakan sehingga tidak menimbulkan penyakit serta cara mengolah makanan yang baik agar zat gizi tidak menimbulkan penyakit (Notoatmodjo 1993).

Pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga pernyataan yaitu 1)status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan; 2)setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal; 3)ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga masyarakat dapat belajar menggunakan pangan dengan baik bagi kesejahteraan gizi.

Tingkat pengetahuan gizi sanagatberpengaruh terhadap sikap dan perilaku hidu sehat. Perubahan sikap dan perilaku sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan akan lebih mudah menyerap informasi dan mengimplementasikan dalam perilaku dan gaya hidup, khusunya dalam hal kesehatan pangan dan gizi (Hurlock 1998).

Pertanyaan - pertanyaan pangan dan gizi yang diajukan dalam penelitian ini sebanyak 20 pertanyaan yang meliputi pengetahuan gizi umum, pengetahuan jajanan dan pengetahuan tentang anemia, dimana dari masing-masing pertanyaan diberikan skor kemudian dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu kurang, sedang dan baik. Data sebaran siswa berdasarkan jawaban benar dari pertanyaan pengetahuan gizi dalam Tabel 9 berikut ini.

25 Tabel 9 Sebaran siswa berdasarkan jawaban benar dari pertanyaan pengetahuan

gizi dan status anemia

No Pertanyaan Anemia (n:25) Normal (n:27) Total (n:52) n % n % n %

1 Pengertian makanan bergizi 20 80 22 81.5 42 80.8

2 Manfaat makanan bergizi 11 44 12 44.4 23 44.2

3 Sumber makanan yang mengandung vitamin dan mineral

10 40 10 37.0 20 38.5

4 Sumber makanan yang mengandung karbohidrat

15 60 8 29.6 23 44.2

5 Sumber makanan yang mengandung lemak

15 60 14 51.9 29 55.8

6 Sumber makanan yang mengandung proteinhewani

14 56 19 70.4 33 63.5

7 Sumber makanan yang mengandung protein nabati

5 20 7 25.9 12 23.1

8 Sumber makanan yang mengandung vitamin A

18 72 19 70.4 37 71.2

9 Pengertian makanan sehat 17 68 24 88.9 41 78.8

10 Contoh makanan seimbang 17 68 23 85.2 40 76.9

11 Contoh makanan jajanan sumber karbohidrat

15 60 10 37 25 48.1

12 Contoh makanan jajanan sumber hewani

0 0 4 14.8 4 7.7

13 Contoh makanan jajanan sumber nabati

8 32 4 14.8 12 23.1

14 Contoh minuman yang baik untuk tubuh 19 76 23 85.2 42 80.8 15 Pengertianmakanan jajanan 3 12 8 29.6 11 21.2 16 Pengertian anemia 12 48 13 48.1 25 48.1 17 Penyebab anemia 4 16 10 37 14 26.9 18 Tanda-tanda anemia 5 20 7 25.9 12 23.1

19 Cara pencegahan anemia 2 8 6 22.2 8 15.4

20 Contoh makanan yang tidak termasuk makanan sumber zat besi

7 28 10 37 17 32.7

Anak usia sekolah dasar berada pada usia pertumbuhan dan perkembangan. Kelompok usia ini beresiko mengalami masalah kekurangan gizi, hal tersebut terjadi karena nafsu makan yang kurang selama periode tertentu. Berdasarkan Tabel 9 didapatkan hasil bahwa pertanyaan yang masih sama-sama belum dimengerti kedua kelompok siswa baik kelompok siswa anemia maupun normal yaitu mengenai pertanyaan contoh makanan sumber jajanan hewani (7.7%), sumber makanan yang mengandung protein nabati (23.1%), contoh makanan jajanan sumber nabati (23.1%), pengertian makanan jajanan (21.2%), tanda-tanda anemia (23.1%) dan cara pencegahan anemia (15.4%), sehingga perlu adanya pendidikan pengetahuan gizi terhadap pengetahuan jajanan pangan dan pengetahuan tentang anemia dan pencegahannya.

Pertanyaan yang paling banyak dijawab oleh kedua responden yaitu tentang pengertian makanan bergizi (80.8%) kemudian dari jawaban pertanyaan pengetahuan gizi dikategorikan berdasarkan Khomsan (2000) yang membagi

pengetahuan gizi menjadi tiga, yakni baik dengan skor >80%, sedang dengan skor 60-80%, dan kurang dengan skor <60%. Data sebaran siswa berdasarkan tingkat pengetahuan gizi dan status anemia disajikan dalam Tabel 10 berikut ini.

Tabel 10 Sebaran siswa berdasarkan tingkat pengetahuan gizi dan status anemia

Pengetahuan gizi Anemia Normal Total

p n % n % n % Kurang (<60) 22 88 20 74.1 42 80.8 0.34 Sedang (60-80) 3 12 7 25.9 10 19.2 Baik (>80) 0 0 0 0 0 0 Total 25 100 27 100 52 200

Berdasarkan Tabel 10 sebaran kategori tingkat pengetahuan gizi didapatkan hasil bahwa sebagian besar tingkat pengetahuan baik kelompok siswa anemia (88%) maupun kelompok siswa normal (74.1%) memiliki tingkat pengetahuan gizi dalam kategori kurang dan tidak ada seorangpun siswa yang mempunyai tingkat pengetahuan dalam kategori baik. Berdasarkan uji beda T-Test didapatkan hasil nilai p >0.05. Hal tersebut menandakan tidak ada perbedaan yang signifikan pengetahuan gizi siswa pada kedua kelompok.

Menurut Irawati et al (1992), menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang, maka akan cenderung memilih makanan yang murah dengan nilai gizi yang lebih tinggi sesuai dengan jenis pangan yang tersedia sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi, berdasarkan pertanyataan tersebut diharapkan contoh dapat lebih memenuhi kebutuhan zat gizinya.

Kebiasaan Makan Kebiasaan Makan Sehari dan Kebiasaan Sarapan

Kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang berpengaruh terhadap sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan. Frekuensi makan akan menentukan jumlah makanan yang masuk ke dalam tubuh seseorang sehingga akan menentukan tingkat kecukupan gizi.

Kebiasaan makan akan mempengaruhi pilihan terhadap makanan yang akan dikonsumsi. Apabila hal ini terjadi dan berlangsung dalam waktu lama maka dapat membentuk pola konsumsi pangan suatu individu atau masyarakat. Kebiasaan makan yang salah dapat mempengaruhi konsumsi pangan, dalam hal ini penyerapan zat-zat gizi yang terkandung di dalam makanan. Apabila zat-zat gizi yang diserap tidak cukup baik kuantitas maupun kualitasnya maka dalam jangka panjang dapat mempengaruhi status gizi individu (Suhardjo 1989). Data sebaran siswa berdasarkan frekuensi makan sehari, frekuensi sarapan dan status anemia disajikan dalam Tabel 11 berikut ini.

27 Tabel 11 Sebaran siswa berdasarkan frekuensi makan sehari, frekuensi sarapan

dan status anemia

Frekuensi Anemia Normal Total

p

n % n % n %

Frekuensi makan sehari

1 kali 1 4 1 3.7 2 3.8 0.24

2 kali 10 40 19 70.4 29 55.8

3 kali 14 56 7 25.9 21 40.4

4 kali 0 0 0 0 0 0.0

Total 25 100 27 100 52 100

Frekuensi sarapan pagi

Tidak pernah 0 0 0 0 0 0 0.27

Jarang (<4kali/minggu) 15 60 11 40.7 26 50

Sering (4-6kali/minggu) 7 28 7 25.9 14 26.9

Selalu (7 kali/minggu) 3 12 9 33.3 12 23.1

Total 25 100 27 100 52 100

Berdasarkan Tabel 11 sebaran kebiasaan frekuensi makan sehari didapatkan hasil bahwa pada kelompok siswa anemia (56%) sebagian besar memiliki frekuensi makan yaitu 3 kali dalam sehari dan pada kelompok siswa normal (70.4%) sebagian besar siswa memiliki frekuensi makan yaitu 2 kali dalam sehari demikian pula untuk kebiasaan sarapan baik kelompok siswa anemia (60%) maupun kelompok siswa normal (40.7%) melakukan sarapan dengan kategori jarang (<4kali/minggu). Berdasarkan uji beda T-Test didapatkan hasil nilai p>0.05. Hal tersebut menandakan tidak ada perbedaan yang signifikan frekuensi makan sehari dan kebiasaan sarapan siswa pada kedua kelompok siswa. Kebiasaan sarapan pada kedua kelompok rata-rata sebagian besar jenis pangan yang biasa mereka konsumsi yaitu nasi uduk dan mie instan sedangkan untuk kebiasaan makan sehari sebagian besar kelompok siswa anemia dan normal tergolong kurang bergizi, beragam dan berimbang.

Seseorang sebaiknya makan utama beberapa kali dalam sehari. Secara kuantitas dan kualitas akan sulit untuk memenuhi kebutuhan zat gizi apabila hanya dari satu atau dua kali makan dalam sehari. Keterbatasan volume lambung menyebabkan tidak bisa makan sekaligus dalam jumlah banyak. Hal inilah yang menyebabkan makan dilakukan beberapa kali sehari termasuk makan pagi (Khomsan 2002).

Frekuensi makan per hari merupakan salah satu aspek dalam kebiasaan makan. Frekuensi makan bisa menjadi penduga tingkat konsumsi gizi, artinya semakin tinggi frekuensi makan maka peluang terpenuhinya kecukupan gizi semakin besar. Konsumsi yang beraneka ragam relatif akan menjamin terpenuhinya kecukupan sumber zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur bagi anak.Kebiasaan sarapan memiliki arti penting dalam hal penyediaan energi untuk menunjang aktivitas di pagi hari sampai tiba saatnya waktu makan selanjutnya karena melakukan sarapan dapat menunjang 25% dari total kebutuhan energi harian (Khomsan 2002).

Kebiasaan Mengkonsumsi Pangan Hewani dan Turunannya

Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi. Konsumsi pangan yang cukup dapat membuat keadaan kesehatan

seseorang menjadi lebih baik. Anak-anak dalam kehidupannya sangat aktif dan sedang dalam masa pertumbuhan yang cepat sehingga harus mendapatkan makanan yang bergizi. Data sebaran siswa berdasarkan konsumsi pangan hewani dan turunannya serta status anemia disajikan dalam Tabel 12 berikut ini.

Tabel 12 Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan konsumsi pangan hewani dan turunannya serta status anemia

Frekuensi Anemia Normal Total

p

n % n % n %

Frekuensi konsumsi daging berwarna merah

Tidak pernah 19 76 20 74.1 39 75 0.43

Jarang (<4kali/minggu) 6 24 7 25.9 13 25

Sering (4-6 kali/minggu) 0 0 0 0 0 0

Selalu (7kali/minggu) 0 0 0 0 0 0

Total 25 100 27 100 52 100

Frekuensi konsumsi daging berwarna putih (daging ayam, daging burung)

Tidak Pernah 14 56 7 25.9 21 40.4 0.04

Jarang (<4kali/minggu) 8 32 16 59.3 24 46.2

Sering(4-6 kali/minggu) 2 8 3 11.1 5 9.6

Selalu (7kali/minggu) 1 4 1 3.7 2 3.8

Total 25 100 27 100 52 100

Frekuensi konsumsi telur

Tidak pernah 0 0 1 3.7 1 1.9 0.7

Jarang (<4kali/minggu) 14 56 17 63.0 31 59.6

Sering(4-6 kali/minggu) 9 36 7 25.9 16 30.8

Selalu (7kali/minggu) 2 8 2 7.4 4 7.7

Total 25 100 27 100 52 100

Frekuensi konsumsi ikan segar

Tidak pernah 2 8 2 7.4 4 7.7 0.16

Jarang (<4kali/minggu) 20 80 13 48.1 33 63.5

Sering(4-6 kali/minggu) 3 12 10 37.0 13 25.0

Selalu (7kali/minggu) 0 0 2 7.4 2 3.8

Total 25 100 27 100 52 100

Frekuensi konsumsi susu

Tidak pernah 4 16 4 14.8 8 15.4 0.87

Jarang (<4kali/minggu) 14 56 20 74.1 34 65.4

Sering(4-6 kali/minggu) 5 20 2 7.4 7 13.5

Selalu (7kali/minggu) 2 8 1 3.7 3 5.8

Total 25 100 27 100 52 100

Berdasarkan Tabel 12 sebaran kebiasaan konsumsi pangan hewani didapatkan hasil bahwa pada kelompok siswa anemia sebagian besar baik frekuensi konsumsi daging berwarna merah (76%) maupun konsumsi daging putih (56%) seperti daging ayam dan burung menyatakan bahwa meraka tidak pernah mengkonsumsinya selama satu minggu, frekuensi konsumsi telur (56%) maupun ikan segar (80%) memiliki frekuensi makan dalam kategori jarang. Konsumsi pangan daging merah pada kedua kelompok menyatakan tidak pernah dalam seminggu dikarenakan, sebagian besar konsumsi daging merah hanya pada saat perayaan-perayaan besar tertentu seperti idul firi dan idul adha.

Kelompok siswa normal sebagian besar frekuensi konsumsi daging berwarna merah (74.1%) menyatakan tidak pernah demikian pula untuk daging berwarna putih (59.3%), telur (63%) dan ikan segar (48.1%) memiliki frekuensi

29 makan dalam kategori jarang (<4kali/minggu). Berdasarkan uji beda T-Test didapatkan hasil konsumsi daging berwarna merah, konsumsi telur, dan konsumsi ikan segar memiliki nilai p>0.05, hal tersebut menandakan tidak ada perbedaan yang signifikan antara frekuensi pangan sumber hewani yang meliputi daging berwarna merah, telur dan ikan terhadap kedua kelompok, sedangkan berdasarkan uji beda T-Test didapatkan hasil untuk frekuensi daging putih atau unggas (daging ayam dan daging burung) berbeda signifikan antara kelompok siswa anemia dengan normal dengan nilai p<0.05.

Berdasarkan hasil sebaran kebiasaan konsumsi susu, didapatkan hasil bahwa baik kelompok siswa anemia (56%) maupun kelompok siswa normal (74.1%) jarang mengkonsumsi susu. Berdasarkan uji beda T-Test didapatkan hasil nilai p>0.05 hal tersebut menandakan tidak ada perbedaan yang signifikan frekuensi konsumsi susu siswa pada kedua kelompok. Jenis konsumsi susu yang dikonsumsi pada sebagian besar siswa yaitu susu kental manis (SKM).

Dokumen terkait