Gambaran Produksi Hasil Tangkapan Ikan di Kota Palopo
Salah satu pertimbangan dalam pemilihan lokasi industri adalah ketersediaan dan sumber bahan baku, yang dalam hal ini adalah ikan. Oleh sebab itu, pertama-tama dilakukan analisis deskriptif terhadap produksi hasil tangkapan ikan Kota Palopo. Gambaran kondisi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo diperoleh dengan menganalisis beberapa hal berikut ini:
a. Perkembangan produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo dan ketersediaan bahan baku (ikan)
Produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo berpusat pada satu pangkalan pendaratan ikan (PPI) yakni di PPI Pontap. Perkembangan produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo meningkat setiap tahunnya. Sejak tahun 2003 hingga tahun 2008 volume produksi ikan yang didaratkan di PPI Pontap cenderung stabil di kisaran angka 1 000 - 2 000 ton ikan per tahun. Baru pada tahun 2009, 2010, 2011 dan 2012 volume produksi ikan yang didaratkan meningkat hingga masing-masing mencapai 7 010.27 ton, 9 442.00 ton, 9 473.75 ton dan 11 310.10 ton (Gambar 4). Peningkatan volume produksi juga secara langsung meningkatkan nilai produksi ikan (Tabel 5). Pada tahun 2012, total produksi ikan yang didaratkan di Kota Palopo adalah sebesar 11 310.10 ton dengan total nilai produksi sebesar Rp156 524 100 000,00. Jika dibandingkan dengan total produksi tahun 2011 yakni sebesar 9473.75 ton dengan total nilai produksi sebesar Rp145 958 740 000,00 maka diketahui bahwa telah terjadi peningkatan sebesar 19 persen.
Gambar 4 dan 5 juga memperlihatkan bahwa trend produksi hasil tangkapan ikan Kota Palopo tahun 2003 sampai 2012 adalah positif. Dengan demikian dapat diduga bahwa akan selalu terjadi perkembangan peningkatan produksi hasil tangkapan pada setiap tahunnya.
Tabel 5 Volume dan nilai produksi hasil tangkapan di Kota Palopo tahun 2003- 2012
Tahun Volume Produksi (ton) Nilai Produksi (Rp.000)
2003 1 835.80 9 379 610 2004 2 104.87 12 731 500 2005 1 041.34 6 048 998 2006 1 429.83 7 844 065 2007 1 429.83 11 826 471 2008 1 638.44 15 982 843 2009 7 010.27 91 355 405 2010 9 442.00 145 254 997 2011 9 473.75 145 958 740 2012 11 310.10 156 524 100
Sumber: Dinas kelautan dan perikanan Kota Palopo tahun 2004-2013
Sebagai salah satu pusat tempat pendaratan ikan di Sulawesi Selatan, ikan yang didaratkan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pontap tidak hanya berasal dari tangkapan nelayan lokal tetapi juga datang dari beberapa daerah lain seperti Bulukumba, Makassar, Pare-pare, Bone, Sinjai, Palu, Bungku, Ponrang, dan Kendari (Gambar 6). Demikian pun sebaliknya jika hasil tangkapan nelayan di Kota Palopo melimpah maka ikan akan segera dipasarkan ke Makassar, Pare-pare, Masamba, Toraja, Enrekang, Sengkang, Soroako, Soppeng, dan Pinrang. Berdasarkan statistik hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Pontap diketahui bahwa sejak tahun 2009, 2010 dan 2011, hasil tangkapan yang datang dari luar PPI Pontap mengalami peningkatan yakni berturut-turut 37.76 persen, 61.59 persen dan 76.72 persen (Tabel 6). Hal inilah yang menyebabkan terjadinya peningkatan produksi ikan yang signifikan di Kota Palopo.
Tabel 6 Volume produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo asal PPI Pontap dan luar PPI Pontap tahun 2009-2011
Tahun Volume Produksi se Kota Palopo
(ton)
Volume Produksi nelayan PPI Pontap
(ton)
Volume Produksi yang datang dari
luar PPI (ton)
Persentase HT yang datang dari luar PPI
2009 7 010.27 4 363.187 2 647.083 37,76
2010 9 442.00 3 627.040 5 814.960 61,59
2011 9 473.75 2 205.627 7 268.123 76,72
Sumber: DKP dan BPS tahun 2012 (data diolah kembali)
Gambar 4 Perkembangan produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo tahun 2003-2012
Gambar 5 Perkembangan nilai produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo tahun 2003-2012
Gambar 6 Sumber-sumber hasil tangkapan ikan Kota Palopo tahun 2012 Selama ini kegiatan distribusi hasil tangkapan ini terus berlangsung demi mendapatkan harga yang layak. Gambaran kondisi ini mencerminkan bahwa penyuplai ikan akan selalu mencari pasar yang menguntungkannya. Oleh karena itu, jika Kota Palopo mendirikan industri pengolahan ikan maka dapat menjadikannya pusat tujuan distribusi ikan segar di Sulawesi Selatan. Hal ini tidak hanya menguntungkan Kota Palopo tetapi juga daerah-daerah pesisir lainnya di Sulawesi Selatan yang memiliki sumber daya ikan yang melimpah. Sebagaimana yang terjadi di Negara-negara Eropa, sebagai contoh Pelabuhan Perikanan Boulogne-sur-Mer telah menjadi pusat pengolahan ikan terbesar di Eropa. Ikan yang diolah tidak hanya berasal dari hasil tangkapan yang didaratkan di pelabuhan tersebut tetapi juga mengimpor dari negara-negara tetangga (Lubis 2011).
Sebelum mengidentifikasi potensi daerah untuk pengembangan produk olahan ikan, telebih dahulu dilakukan perkiraan jumlah kebutuhan atau estimasi terhadap besarnya daya serap pasar lokal untuk ikan segar di Kota Palopo. Hal ini penting untuk mengetahui ada atau tidaknya bahan baku untuk diolah. Estimasi dilakukan pada tahun 2012. Diketahui bahwa jumlah penduduk Kota Palopo tahun 2012 adalah sebanyak 152 703 jiwa. Tingkat konsumsi ikan perkapita Kota Palopo belum diketahui, oleh sebab itu yang yang dijadikan standar (acuan, indikator) adalah tingkat konsumsi ikan perkapita Sulawesi Selatan yakni sebesar 42.91 kg perkapita per tahun. Daya serap masyarakat lokal untuk ikan segar di Kota Palopo diketahui sebesar 6 552.49 ton ikan per tahun. Produksi perikanan tangkap Kota Palopo tahun 2012 diketahui sebesar 11 310.10 ton ikan per tahun, jadi sisa ikan yang dapat diolah adalah sebesar 4 757.61 ton ikan per tahun. Berbagai studi literatur dilakukan dan disimpulkan bahwa kapasitas produksi atau jumlah bahan baku (ikan) untuk skala industri rumah tangga adalah 5–10 kilogram per hari, indutri skala kecil dengan kapasitas 25 kilogram per hari, industri sedang berkapasitas 1 kuintal per hari, dan industri besar berkapasitas 10 ton per hari. Mempertimbangkan estimasi daya serap pasar lokal untuk ikan segar
Kota Palopo, serta jumlah ikan yang tersisa untuk diolah maka disimpulkan bahwa skala industri yang dapat berkembang di Kota Palopo adalah skala industri rumah tangga, kecil, dan sedang.
Pengembangan industri perikanan tangkap dalam bidang pengolahan ikan, perlu memperhatikan keberlanjutan bahan baku. Suatu perusahaan sangat berkepentingan menjaga agar suplai bahan baku dapat berkesinambungan, dengan harga yang layak dan biaya transportasi rendah. Oleh sebab itu, salah satu pertimbangan dalam memilih lokasi adalah dekat dengan sumber bahan baku (Soeharto 1995). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Tarigan (2009) bahwa salah satu faktor yang dipertimbangkan sebagai daerah yang menguntungkan sebagai lokasi industri adalah ketersediaan bahan baku. Volume produksi perikanan tangkap di Kota Palopo yang cenderung meningkat dan terdapatnya beberapa daerah penyuplai ikan menjadi salah satu indikator positif untuk pendirian industri pengolahan ikan di Kota Palopo. Namun demikian, persentase produksi hasil tangkapan nelayan lokal yang saat ini sangat kecil jika dibandingkan dengan persentase hasil tangkapan ikan yang datang dari luar Kota Palopo juga dapat menjadi suatu ancaman bagi keberlanjutan usaha pengolahan ikan di Kota Palopo. Oleh karena itu, kemandirian menghasilkan bahan baku (dalam hal ini hasil tangkapan) sebaiknya dibangun, dengan cara meningkatkan produksi hasil tangkapan nelayan lokal.
b. Supply chain produk perikanan tangkap di Kota Palopo
Supply chain sebagai sekumpulan aktivitas (dalam bentuk entitas/fasilitas) yang terlibat dalam proses transformasi dan distribusi barang mulai dari bahan baku paling awal dari alam sampai produk jadi pada konsumen akhir. Supply chain untuk produk perikanan dapat terkait dengan sejumlah besar stakeholder diantara nelayan/petani ikan dan konsumen akhir (De Silva dan Yamao 2006). Kegiatan perikanan pada dasarnya merupakan seluruh kegiatan yang mencakup praproduksi, produksi, dan pascaproduksi. Kegiatan praproduksi untuk perikanan tangkap sendiri terdiri dari persiapan yang di dalamnya mencakup penyediaan segala keperluan proses produksi seperti pengisian bahan bakar minyak, penyediaan es dan bekal (makanan dan minuman). Kegiatan produksi dalam perikanan tangkap ialah proses penangkapan yang membutuhkan kapal, alat tangkap, dan nelayan sebagai unit penangkapannya. Kegiatan pascaproduksi dimulai dari penanganan di atas kapal, pengolahan, dan pemasaran. Pada penelitian kali ini, pembahasan supply chain akan difokuskan pada kegiatan pascaproduksi/pascatangkap. Memperhatikan berbagai aktivitas dalam sektor perikanan tangkap pascatangkap yang terjadi di Kota Palopo mulai dari produsen hingga ke konsumen maka diketahui terdapat beberapa supply chain yang terbentuk. Pada Gambar 7 disajikan aliran supply chain untuk produk perikanan tangkap di Kota Palopo.
Stakeholder yang berperan dalam kegiatan ini adalah nelayan dan pencatat (pedagang pertama), pengecer (pedagang ke dua), pengolah ikan dan konsumen. PPI Pontap yang merupakan tempat untuk mendaratkan hasil tangkapan dipandang sebagai satu bagian awal dari rantai suplai yang menyediakan bahan baku (ikan). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ikan yang ada di PPI Pontap berasal dari nelayan setempat dan luar Kota Palopo. Pada kasus perikanan
tangkap di Kota Palopo, TPI PPI Pontap sebagai tempat proses berlangsungnya bagian pascaproduksi/pascatangkap. Kota Palopo hingga saat ini baru memiliki jenis olahan ikan secara tradisional yang berskala industri rumah tangga. Pendistribusian hasil perikanan tangkap Kota Palopo berupa ikan segar dilakukan dengan menggunakan sepeda motor dan mobil.
Supply chain untuk produk perikanan tangkap di Kota Palopo terbagi atas beberapa rantai, diantaranya: 1) produsen (nelayan) bertemu langsung dengan konsumen. Setelah kegiatan penanganan, ikan akan langsung dijual di tempat pendaratan ikan di pelabuhan, sehingga pelabuhan adalah sebagai tempat awal dilakukan pemasaran ikan. Kasus pertama, keseluruhan produsen (nelayan pemilik) yang hasil tangkapannya sedikit menerapkan rantai suplai ini; 2) Nelayan akan menyerahkan ikan kepada pencatat atau pedagang pertama. Pencatat atau pedagang pertama ini yang akan memasarkan ikan kepada konsumen dan atau pedagang ke dua (pengecer) dan atau pengolah ikan. Pedagang kedua akan mendistribusikan ikannya ke konsumen. Pengolah ikan memasarkan hasil olahannya ke konsumen langsung atau ke retail-retail; 3) Produsen (nelayan) langsung menjual hasil tangkapannya kepada pengolah ikan. Sebagian besar nelayan bagan tancap melakukan alur pemasaran rantai ini. Pengolah ikan memasarkan produknya ke retail-retail atau langsung ke konsumen; 4) Produsen merupakan pedagang ikan yang berasal dari luar Kota Palopo yang memasarkan ikannya langsung ke konsumen dan atau kepada pedagang kedua. Keseluruhan rantai suplai ini sudah umum menggambarkan produk perikanan tangkap Indonesia.
Nelayan Kota Palopo Pedagang Ikan dari luar Kota Palopo
Konsumen Pencatat /pedagang ikan ke-1 Pedagang ikan ke-2 Pengolah Ikan (tradisional) Pasar/ retail
Supply chain berkaitan dengan kegiatan/proses untuk memproduksi produk hingga dikirim ke pasar. Selain itu terdapat hal yang lebih diperhatikan oleh pemerintah dan pengusaha yakni value chain. Kedudukan value chain tidak hanya memperhatikan faktor produksi dan teknologi saja melainkan juga efisiensi transpotasi, sistem informasi pasar dan manajemen. Value chain berkaitan dengan sifat atau kualitas/kuantitas dari setiap kegiatan. Oleh karena itu, supply chain sering juga disebut aliran produk, uang, dan informasi (De Silva dan Yamao 2006).
Sebagaimana diketahui bahwa jumlah produksi hasil tangkapan ikan sangat dipengaruhi oleh musim penangkapan. Selain itu, khusus untuk produk perikanan yang sifatnya hight perishable maka dibutuhkan penanganan yang cepat guna menjaga kualitas produk (ikan). Konsep pengelolaan yang dapat digunakan adalah konsep supply chain management (SCM). Konsep SCM menekankan pada kesadaran akan adanya produk yang murah, cepat, dan berkualitas. Tujuan dari SCM adalah untuk mengintegrasikan proses bisnis utama perusahaan mulai dari pemasok sebenarnya sampai ke pengguna akhir melalui penyediaan produk, jasa dan informasi yang memberikan nilai tambah bagi konsumen dan stakeholder lainnya (Setiawan dan Rahardian 2005).
Kontinuitas pengadaan bahan baku dapat dilakukan dengan memperkuat SCMnya. Dengan SCM, setiap lini dari kegiatan perikanan akan saling mendukung sehingga seluruh kegiatan dapat dilakukan sampai akhir dengan lancar. SCM perlu didukung oleh pola integrasi yang baik kepada pemasok maupun konsumen. Frohlich dan Westbrook (2001), menyatakan bahwa pola integrasi menggambarkan arah dan tingkat integrasi perusahaan kepada pemasok dan atau konsumen yang diukur melalui tinggi atau rendahnya kuartil dimana perusahaan melakukan integrasi. Menurut Frohlich dan Westbrook (2001) dalam SCM terdapat lima pola integrasi yang menggambarkan arah dan tingkat integrasi dengan konsumen dan pemasok yaitu : pertama, Inward-facing. Diklasifikasikan dalam kelompok ini jika respon perusahaan kepada pemasok dan konsumen berada pada kuartil bawah. Kedua, Periphery-facing. Diklasifikasikan dalam kelompok ini jika respon perusahaan kepada pemasok dan konsumen berada di atas kuartil bawah tetapi berada di bawah kuartil atas. Ketiga, Supplier-facing. Diklasifikasikan dalam kelompok ini jika respon perusahaan tersebut kepada pemasok berada di kuartil atas dan responnya kepada konsumen berada di bawah kuartil atas. Keempat, Costumer-facing. Diklasifikasikan dalam kelompok ini jika respon perusahaan terhadap konsumen berada di kuartil atas dan responnya kepada pemasok berada dibawah kuartil atas. Kelima, Outward-facing. Termasuk dalam kelompok ini jika respon perusahaan pada pemasok dan konsumen berada di kuartil atas. Gambar pola integrasi supply chain disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 Pola integrasi supply chain
Melihat dari posisi nelayan Kota Palopo sebagai produsen, maka pola integrasi SCM yang sesuai adalah costumer-facing (Gambar 9) (Frohlich dan Westbrook 2001). Costumer-facing artinya nelayan sebagai produsen harus memperluas integrasinya kepada konsumen. Hal ini mengingat produk yang ditawarkan ialah ikan segar yang sifatnya mudah rusak sehingga harus dijual dengan cepat. Oleh karena itu, nelayan harus dapat mengetahui pasar yang potensial untuk mendapatkan konsumen yang potensial juga. Pola integrasi ini juga berlaku bagi pencatat ikan (pedagang pertama) yang memang bertugas untuk menjual hasil tangkapan ikan nelayan. Pencatat ikan bisa merupakan pemilik modal atau pedagang yang secara khusus ditugaskan oleh nelayan atau pemilik modal untuk menjual hasil tangkapan ikannya. Nelayan yang menugaskan pencatat ikan untuk menjual hasil tangkapannya umumnya merupakan nelayan- nelayan yang produksi hasil tangkapannya dalam jumlah besar. Ada juga nelayan- nelayan kecil yang menyerahkan hasil tangkapannya kepada pencatat ikan. Pencatat ikan yang seperti ini mengumpulkan ikan dari beberapa nelayan kecil untuk kemudian dijualkan. Pencatat ikan umumnya mendapatkan komisi sebesar 10 persen dari hasil penjualan ikan.
Pola integrasi SCM untuk pengecer (pedagang ke-2) yang sesuai adalah outward-facing (Gambar 10). Outward-facing berarti pengecer harus memperluas integrasi kepada pemasok dalam hal ini nelayan atau pencatat ikan juga kepada konsumen. Jumlah pengecer ikan yang sangat banyak membuat persaingan juga besar. Oleh sebab itu, para pengecer perlu menerapkan pola integrasi outward- facing sebagai upaya efisiensi usaha.
Pola integrasi yang sesuai untuk pengolah ikan atau pelaku kegiatan industri pengolahan ikan di Kota Palopo adalah Supplier-facing (Gambar 11), yaitu pola integrasi yang luas kepada pemasok (nelayan atau pencatat ikan). Hal ini karena dalam kondisi karakteristik perusahaan pengolahan ikan membutuhkan kontinuitas bahan baku, dalam hal ini ikan segar. Penerapan pola integrasi yang sesuai akan meningkatkan performa usaha. Sebagai contoh penelitian yang dilakukan oleh Setiawan dan Rahardian (2005), kepada beberapa perusahaan jasa
Kuartil atas Kuartil bawah Kuartil atas Kuartil bawah Tanpa integrasi Perluasan integrasi Perluasan integrasi PERUSAHAAN KONSUMEN PEMASOK
makanan, diketahui bahwa semakin perusahaan melakukan integrasi kepada pemasok dan konsumen maka performa akan semakin meningkat.
Gambar 11 Supplier-facing arc of integration
c. Alternatif pengolahan ikan berdasarkan spesies ikan yang dominan dan pola pendaratan ikan
Data statistik produksi hasil tangkapan ikan dari nelayan lokal memperlihatkan terdapat 36 jenis ikan yang didaratkan di PPI Pontap. Jenis ikan dominan yang didaratkan diantaranya ikan kembung (Rastrelliger sp), layang (Decapterus spp), teri (Stolephorus commersoni), peperek (Leiognathus spp), cakalang (Katsuwonus pelamis), tongkol (Euthynnus affinis) dan tembang (sardinella sp). Hal ini sesuai dengan sumber daya ikan yang tersedia di Teluk Bone yaitu jenis pelagis kecil. Berdasarkan jenis ikan tersebut akan dipaparkan jenis olahan yang sesuai. Jenis alat tangkap yang dominan beroperasi di PPI Pontap juga merupakan jenis alat tangkap yang sasaran tangkapnya adalah ikan pelagis kecil diantaranya purse seine (pukat cincin/gae), gill net (jaring insang), bagan perahu, dan bagan tancap.
Produksi hasil tangkapan ikan sangat dipengaruhi oleh musim, sedangkan industri pengolahan sangat bergantung pada kontinuitas bahan baku (ikan). Oleh
Gambar 9
Costumer-facing arc of integration
Gambar 10
sebab itu penting untuk mengetahui pola pendaratan bulanan ikan-ikan yang dominan didaratkan di PPI Pontap agar dapat mengantisipasi kemungkinan kekurangan bahan baku. Mengetahui pola pendaratan bulanan ikan (Gambar 12) akan membantu dalam pengelolaan hasil tangkapan yang jumlahnya sangat fluktuatif setiap bulannya menurut jenis ikan.
Ikan kembung tergolong ke dalam marga Rastrelliger, suku Scombridae. Meskipun bertubuh kecil, ikan ini masih sekerabat dengan tenggiri, tongkol, tuna, madidihang, dan makerel. Di Ambon, ikan ini dikenal dengan nama lema atau tatare, di Makassar disebut banyar atau banyara. Dari sini didapat sebutan kembung banjar dan di medan 'kembung kuring. Ikan kembung termasuk ikan pelagis kecil yang memiliki nilai ekonomis menengah, sehingga terhitung sebagai komoditas yang cukup penting bagi nelayan lokal. Di Kota Palopo ikan kembung ditangkap dengan menggunakan alat tangkap payang, jaring insang hanyut (gillnet), jaring insang tetap, pukat dasar, sero, bagan apung dan bagan tancap. Ikan kembung biasanya dijual segar atau diproses menjadi ikan pindang dan ikan asin agar lebih tahan lama. Menurut Agustini (2003), jenis olahan lain yang menggunakan bahan baku ikan kembung adalah “Aji Furai” atau ikan bumbu kentucky, yang merupakan jenis yang paling di gemari di Jepang. Berdasarkan hasil analisis pola pendaratan bulanan untuk ikan kembung di PPI Pontap diketahui bahwa musim puncak pendaratan pada bulan Februari, September, dan Desember, musim pacekliknya pada bulan April, Mei, Juni, dan Juli.
Ikan layang (Decapterus spp) merupakan salah satu komunitas perikanan pelagis kecil yang penting di Indonesia. Ikan yang tergolong suku Carangidae ini bisa hidup bergerombol. Di Kota Palopo ikan layang ditangkap menggunakan alat tangkap payang, pukat cincin (gae), gillnet, dan bagan apung. Ikan layang dapat diolah menjadi ikan asin, pindang, dan dikalengkan. Hasil analisis pola pendaratan bulanan ikan layang memperlihatkan bahwa musim puncak pendaratan berada pada bulan Februari dan September, sedangkan musim pacekliknya pada bulan Mei, Juni dan Juli.
Ikan teri (Stolephorus commersoni) umumnya hidup di dekat pantai, tetapi pula yang masuk ke muara-muara sungai di air payau, kebanyakan ikan teri hidup dalam bergerombolan sangat besar. Sebetulnya banyak sekali nama ikan teri ini atau spesiesnya. Di Kota Palopo ikan teri ditangkap menggunakan alat tangkap pukat pantai, bagan apung, bagan tancap dan sero. Pengolahan yang umum untuk ikan teri adalah pengasinan, sedangkan di Kota Palopo sendiri selain diasinkan, ikan teri juga diolah menjadi terih gurih. Hasil analisis pola pendaratan bulanan ikan teri memperlihatkan bahwa musim puncak pendaratan berada pada bulan Maret, April dan Oktober, sedangkan musim pacekliknya pada bulan Juni, Juli dan Agustus. Namun demikian secara keseluruhan pola musim pendaratan ikan teri ini tidak terlalu berfluktuatif, diduga karena sifatnya yang menyebar merata sepanjang tahun di pesisir pantai.
Ikan peperek adalah jenis ikan pelagis yang umum ditangkap dengan mengunakan alat tangkap bagan, gillnet, payang dan purse seine. Di PPN Palabuhanratu ikan peperek sebagai bahan baku pemindangan dan pengasinan (Lubis dan Sumiati 2011) ikan peperek dapat digunakan sebagai bahan baku surimi. Di Kota Palopo sendiri, ikan peperek ditangkap menggunakan alat tangkap pukat pantai, bagan apung dan bagan tancap. Analisis pola pendaratan bulanan tangkapan ikan peperek memperlihatkan musim puncaknya berada pada bulan
Januari, September dan Oktober, sedangkan musim pacekliknya pada bulan Februari, Maret dan Juli.
Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) secara biologis suka hidup bergerombol (schooling fish), pemangsa yang rakus dan merupakan ikan perenang cepat lebih dari 10 mil per jam. Jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan cakalang berbeda-beda tergantung daerah. Menurut Lumi et al. (2013), di Sulawesi Utara ikan cakalang ditangkap dengan alat huhate (pole and line) dan pukat cincin (purse seine). Berdasarkan penelitian Lubis dan Sumiati (2011), nelayan PPN Palabuhanratu menangkap ikan cakalang menggunakan jaring insang (gillnet), pancing tonda dan payang. Nelayan PPI Pontap sendiri menangkap ikan cakalang dengan menggunakan alat tangkap purse seine (gae), jaring insang tetap, bagan perahu, rawai tetap dan pancing ulur. Ikan cakalang juga merupakan jenis ikan ekonomis penting yang memberikan kontribusi besar di beberapa daerah, misalnya Provinsi Sulawesi sulawesi Utara khususnya di wilayah administrasi Kota Bitung (Lumi et al. 2013) dan wilayah PPN Palabuhanratu, Sukabumi yang berlokasi di Pantai Selatan Jawa (Lubis dan Sumiati 2011). Industri pengolahan yang menggunakan bahan baku ikan cakalang diantaranya pemindangan, pembekuan, fillet, loin dan pengalengan ikan (Lubis dan Sumiati 2011). Di Kota Palopo sendiri ikan cakalang diolah menjadi abon ikan. Analisis pola pendaratan bulanan untuk ikan cakalang yang didaratkan di PPI Pontap menunjukkan bahwa ikan cakalang berada pada musim puncak pendaratan pada bulan Februari dan Maret, sedangkan musim paceklik di bulan Juni, Juli, September dan Oktober.
Ikan tongkol merupakan jenis ikan yang hidup bergerombol (schooling fish). Jenis alat tangkap yang dapat digunakan untuk menangkap ikan tongkol yang umum di Indonesia diantaranya payang, gillnet, pukat cincin, bagan, dan pancing tonda. Di PPI Pontap alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan tongkol adalah pukat cincin (gae), rawai tetap, dan pancing ulur. Industri pengolahan yang menggunakan bahan baku ikan tongkol diantaranya pemindangan, pengalengan ikan, pembekuan, fillet dan sashimi (Lubis dan Sumiati 2011). Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa musim puncak pendaratan ikan tongkol adalah pada bulan Januari, September, Oktober, November dan Desember, sedangkan musim paceklik jatuh pada bulan Februari, Maret, April dan Mei.
Ikan tembang merupakan jenis ikan pelagis kecil yang cukup penting bagi