• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis Trichoderma berpengaruh sangat nyata terhadap diameter koloni. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 dan Lampiran 3-5.

Tabel 1. Diameter jamur Ceratocystis fimbriata yang diaplikasikan bersama jamur antagonis di laboratorium (cm)

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak duncan pada taraf 5%. P0: Ceratocystis fimbriata, P1: Ceratocystis fimbriata + Trichoderma koningii, P2: Ceratocystis fimbriata + Trichoderma harzianum

Tabel menunjukkan bahwa diameter koloni jamur pada pengamatan 6 Hsi dan 8 Hsi perlakuan tunggal yaitu P0 berbeda nyata dengan perlakuan kombinasi yaitu P1 dan P2. Hal ini dikarenakan pada perlakuan P0 tidak ada faktor yang menghambat pertumbuhan Ceratocystis fimbriata sedangkan pada perlakuan kombinasi pertumbuhan Ceratocystis fimbriata terhambat oleh jamur antagonis Trichoderma koningii dan Trichoderma harzianum. Sebab Jamur Trichoderma mempunyai lebih dari satu cara untuk menghambat pertumbuhan patogen. Hal ini sesuai dengan literatur Soesanto (2008) yang menyatakan bahwa mekanisme penghambatan setiap mikroba antagonis adalah dapat berupa parasitisme langsung, persaingan nutrisi atau antibiosis dan persaingan ruang hidup.

Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa jamur antagonis lebih cepat pertumbuhannya dibandingkan dengan Ceratocystis fimbriata dilihat dari

Perlakuan Pengamatan -

4Hsi 6 Hsi 8Hsi

P0 3,78 5,59a 6,95a

P1 3,94 4,80b 4,83b

15

rendahnya diameter Ceratocystis fimbriata pada P1 dan P2. Hal ini berarti jamur antagonis dapat menekan pertumbuhan patogen sesuai dengan pernyataan Amin, et al., (2011) yang menyatakan bahwa jamur yang tumbuh cepat mampu mengungguli dalam penguasaan ruang dan pada akhirnya dapat menekan pertumbuhan jamur lawannya.

Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa diameter koloni patogen pada perlakuan P1 4,83 cm tidak berbeda nyata dengan P2 4,71 cm. Hal ini dikarenakan jamur Trichoderma koningii dan Trichoderma harzianum sama-samabersifat antagonis terhadap jamur Ceratocystis fimbriata. Hal ini sesuai dengan literatur Hartal et al., (2010) yang menyatakan bahwa jamur Trichoderma sp. menekan pertumbuhan patogen dengan berkompetisi terhadap ruang tumbuh dan nutrisi. Dan menurut Salma dan Gunarto (1999) Trichoderma spp mempunyai kemampuan menghasilkan enzim selulase sehingga dapat merusak dinding sel patogen.

16

Luas Pertumbuhan Koloni

Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan Jenis Trichoderma sp. berpengaruh sangat nyata terhadap luas pertumbuhan koloni. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2 dan Lampiran 6-8.

Tabel 2. Luas pertumbuhan Ceratocystis fimbriata yang diaplikasikan bersama jamur antagonis di laboratorium (cm2)

Perlakuan Pengamatan -

4Hsi 6 Hsi 8Hsi

P0 11,60 21,38a 29,48a

P1 10,93 15,13b 15,29b

P2 10,08 13,51b 15,16b

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak duncan pada taraf 5%.

P0: Ceratocystis fimbriata, P1: Ceratocystis fimbriata +

Trichoderma koningii, P2: Ceratocystis fimbriata + Trichoderma harzianum

Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pada pengamatan 6 Hsi dan 8 Hsi perlakuan P0 berbeda nyata dengan perlakuan P1 dan P2. Hal ini dikarenakan pada perlakuan P1 tidak ada faktor yang menghambat pertumbuhan Ceratocystis fimbriata sedangkan pada perlakuan kombinasi pertumbuhan Ceratocystis fimbriata terhambat oleh jamur antagonis sehingga luas pertumbuhannya rendah. Hal ini sesuai dengan literatur Mukarlina et al., (2010) yang menyatakan bahwa di dalam media uji antagonis terjadi persaingan ruang tumbuh dan nutrisi yang disebabkan adanya kebutuhan cendawan-cendawan tersebut akan nutrisi yang terkandung di dalam media tersebut yaitu berupa karbohidrat, protein, asam aminno esensial dan elemen-elemen mikro.

Luas pertumbuhan koloni pada P1 dan P2 rendah menunjukkan bahwa pertumbuhan Ceratocystis fimbriata terhambat dengan kehadiran jamur antagonis. Hal ini disebabkan karena jamur antagonis lebih cepat pertumbuhannya sehingga

17

memarasit dan menghasilkan pengaruh penghambatan. Hal ini sesuai dengan literatur Hartal et al., (2010) yang menyatakan bahwa Trichoderma mempunyai kemampuan menghasilkan toksin dalam menekan pertumbuhan patogen,

Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa luas pertumbuhan koloni patogen pada perlakuan P1 15,29 cm tidak berbeda nyata dengan P2 15,16 cm. Hal ini dikarenakan jamur Trichoderma koningii dan Trichoderma harzianumsama-samabersifat antagonis terhadap jamur Ceratocystis fimbriata. Hal ini sesuai dengan literatur Soesanto (2008) yang menyatakan bahwa Trichoderma sp menghambat pertumbuhan patogen dengan mekanisme antibiosis, mikroparasitisme dan persaingan ruang hidup.

Daerah Hambatan (Inhibiting Zone)

Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan uji antagonisme berpengaruh sangat nyata terhadap daerah hambatan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3 dan Lampiran 6-9.

Tabel 3. Inhibiting Zone Ceratocystis fimbriata yang diaplikasikan bersama jamur antagonis di laboratorium (%)

Perlakuan Pengamatan -

4Hsi 6 Hsi 8Hsi

P0 0,00b 0,00b 0,00b

P1 8,92a 19,69a 19,69a

P2 11,42a 21.82 a 21,82a

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak duncan pada taraf 5%. P0: Ceratocystis fimbriata, P1: Ceratocystis fimbriata + Trichoderma koningii, P2: Ceratocystis fimbriata + Trichoderma harzianum

Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa persentase daerah hambatan pada perlakuan P1 tidak berbeda nyata terhadap perlakuan P2. Persentase hambatan yang lebih tinggi adalah 21,82% yaitu pada jamur Trichoderma harzianum dan yang lebih rendah adalah 19,69% yaitu jamur

18

Trichodermakoningii. Hal ini menunjukkan bahwa kedua jamur antagonis tersebut dapat mengendalikan pertumbuhan patogen. Hal ini sesuai dengan literatur Purwantisari dan Rini (2009) yang menyatakan bahwa menkanisme yang terjadi pada uji antagonisme adalah antibiosis dan hiperparasit yang dapat diamati dengan terbentuknya zona bening sebagai zona penghambatan pertumbuhan bagi patogen.

Data pengamatan menunjukkan bahwa P0 berbeda nyata dengan P1 dan P2. Hal ini disebabkan bahwa pada perlakuan P0 tidak terdapat daerah hambatan karena tidak ada jamur antagonis yang menghambat pertumbuhan jamur Ceratocystis fimbriata. Hal ini sesuai dengan literatur Hartal et al., (2010) yang menyatakan bahwa Trichoderma koningii dan Trichoderma harzianum memiliki tiga kemampuan untuk menghambat pertumbuhan dan perkembangan patogen yaitu dengan adanya antibiosis dan lisis, kompetisi ruang tumbuh dan nutrisi serta hiperparasit.

Terhambatnya pertumbuhan patogen disebabkan oleh jamur antagonis yang tumbuh cepat mendekati patogen. Penghambatan ini dikarenakan adanya senyawa biologi atau metabolit sekunder yang dihasilkan oleh jamur antagonis. Jamur Trichoderma menghasilkan senyawa aktif biologis secara in vitro, antara lain alkaloid, paxillin, lolitrems dan tetranone steroid. Hal ini sesuai dengan pendapat Shehata et al., (2008) yang menyatakan bahwa salah satu sifat mikroba antagonis adalah pertumbuhannya lebih cepat dibanding dengan patogen dan menghasilkan senyawa antibiotik yang dapat menghambat pertumbuhan patogen.Adanya perbedaan kemampuan menghambat diantara jamur endofit

19

diduga karena jumlah antibiotik atau alkaloid yang dihasilkan oleh masing-masing jamur endofit berbeda.

Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa persentase daya hambatan P2 lebih tinggi daripada P1 yang menyatakan bahwa persentase daya hambat Trichoderma harzianum lebih tinggi dibandingkan Trichoderma koningii. Hal ini dikarenakan pertumbuhan Trichoderma harzianum lebih cepat sehingga mampu menghambat Ceratocystis fimbriata lebih cepat. Hal ini sesuai dengan literatur Nurzannah (2014) yang mengatakan bahwa setiap agen antagonis memiliki kecepatan pertumbuhan yang berbeda-beda.

20

A.

B.

C.

D.

(a. Ceratocystis fimbriata (a. Ceratocystis fimbriata + b. Trichoderma koningii) b. Trichoderma harzianum) Gambar 3. Pengujian Inhibiting Zone pada pengamatan 2 Hsi (A), 4 Hsi (B), 6 Hsi

(C), 8 Hsi (D). a a a a b b b b

21

Dokumen terkait