Prioritas Tanaman Hutan Rakyat
Penetapan jenis tanaman yang menjadi prioritas untuk dikembangkan bagi hutan rakyat di Lombok Tengah didasarkan pada preferensi masyarakat terhadap jenis komoditas tanaman yang diinginkan. Keberminatan masyarakat terhadap pengembangan komoditas hutan rakyat didapat berdasarkan data rekapitulasi usulan masyarakat dalam program pembentukan Kebun Bibit Rakyat (KBR).
Dalam mendukung pengembangan hutan rakyat di daerah, pemerintah pusat pada tahun terakhir mencanangkan pembentukan KBR yang berlokasi di desa dekat dengan tempat penanaman. Program ini bertujuan untuk memudahkan masyarakat memperoleh bibit tanaman kayu yang berkualitas dan untuk meminimalkan jarak dan ongkos transportasi sehingga biaya dapat ditekan. Seluruh stakeholder berpartisipasi aktif dalam kegiatan ini, terutama masyarakat, yaitu dalam pemilihan jenis tanaman yang akan dikembangan dalam KBR yang didasarkan pada keberminatan masyarakat (aspek sosial).
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lombok Tengah menerima usulan dari setiap kelompok tani untuk jenis-jenis bibit yang akan dikembangkan sesuai dengan keminatan masyarakat dalam pembentukan KBR. Berdasarkan usulan tersebut diketahui preferensi masyarakat terhadap jenis tanaman kayu apa yang berpotensi dan paling diminati oleh masyarakat untuk ditanam pada masing-masing kelompok tani di Lombok Tengah. Preferensi masyarakat terhadap jenis tanaman hutan rakyat dapat dilihat pada Gambar 12.
27
Berdasarkan data pada Gambar 12, komoditas Sengon, Mahoni dan Jati merupakan jenis tanaman yang paling banyak diminati. Daerah Lombok Tengah bagian selatan, masyarakat lebih menyukai jati karena cocok dengan wilayahnya yang kering, sedangkan bagian utara masyarakat lebih menyukai mahoni dan sengon karena memiliki pertumbuhan yang cepat untuk kedua jenis tersebut. Jenis rajumas, gmelina dan trembesi lebih banyak ditanam di tipe jalan, pekarangan sebagai tanaman pembatas lahan dan sekaligus untuk tanaman peneduh. Peta penyebaran jenis tanaman hutan rakyat dapat dilihat pada Gambar 13.
Berdasarkan data Ijin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik (IPKTM) dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lombok Tengah, jumlah produksi hutan rakyat dari tahun 2007 – 2011 hampir sama, dengan rata-rata produksi per tahun sebesar 2.700 m3/tahun (Tabel 7).
Gambar 13 Peta Penyebaran Jenis Tanaman Hutan Rakyat per Kecamatan berdasarkan Jenis Kayu
Gambar 12 Preferensi Masyarakat terhadap Tanaman Hutan Rakyat di Lombok Tengah
Sengon Mahoni Jati Gmelina Trembesi Rajumas Jenis Tanaman Preferensi Masyarakat 22 21 19 8 7 5 0 5 10 15 20 25 Jum
28
Dari Tabel 7 terlihat bahwa tiga produksi tertinggi adalah kayu Sengon, Mahoni dan Jati, hal ini disebabkan karena ketiga jenis ini memiliki area tanam terluas pada tanah milik, terutama sengon dimana pada awal tahun 1990an pemerintah pernah mencanangkan program menanam sengon secara luas yang dinamakan sengonisasi.
Kayu sengon mudah diproses karena mempunyai bentuk bulat memanjang. Sengon banyak digunakan untuk berbagai keperluan seperti kayu gergajian dan papan partikel, selain itu juga kayu sengon juga banyak digunakan sebagai bahan baku sebagai kerajinan tangan seperti patung, sehingga banyak permintaan terutama dari para pengrajin di Bali. Sengon merupakan jenis fast growing species (FGS) dimana kayunya bisa dipanen dalam waktu relatif singkat hanya 6 - 7 tahun, oleh karena itu disukai oleh petani untuk dibudidayakan, selain alasan permintaan yang tinggi.
Rata-rata produksi tahunan mahoni di Lombok Tengah tidak jauh berbeda dengan sengon. Konsumen menyukai mahoni karena memiliki batang yang lurus dan mudah untuk dibuat papan tanpa perlakuan khusus. Mahoni memiliki corak dan warna yang dinilai oleh masyarkat sangat bagus untuk dijadikan bahan bangunan seperti pintu dan jendela serta dinilai kayu yang kuat.
Selain Sengon dan Mahoni, permintaan komoditas tanaman Jati juga tetap bagus walaupun umur panen Jati tergolong lama yaitu 20 tahun. Dengan memiliki karakteristik kayu yang bagus, kayu jati banyak digunakan untuk mebel dan bahan bangunan dengan harga jauh lebih tinggi dibanding kayu jenis FGS, walaupun saat ini telah banyak dikembangkan tanaman Jati varietas unggul seperti jati unggul nusantara, jati emas, jati super dan jati plus perhutani (Sumarna 2011), tetapi masyarakat kurang menyukai tanaman jati unggul dari luar daerah karena memiliki pertumbuhan yang kurang baik, sehingga masyarakat lebih senang menanam jati lokal.
Dari hasil analisis di atas maka dapat ditetapkan tanaman yang potensial untuk dikembangkan pada hutan rakyat di Kabupaten Lombok Tengah adalah jenis Sengon, Mahoni dan Jati yang diharapkan akan memberikan manfaat ekonomi, ekologi dan sosial bagi masyarakat.
Tabel 7 Produksi Hutan Rakyat di Lombok Tengah tahun 2007-2011
No. Jenis Kayu Rakyat 2007 2008 2009 2010 2011 Jumlah (m3) (m3) (m3) (m3) (m3) (m3) 1 Sengon 1.354 1.460 1.714 730 877 6.135 2 Mahoni 325 1.145 1.710 732 706 4.618 3 Jati 137 295 19 86 179 716 4 Durian 83 126 15 30 38 291 5 Gmelina 67 17 12 80 51 226 6 Rajumas 48 102 12 78 37 278 7 Rimba Lainnya 600 36 40 234 327 1.238 Jumlah (m3) 2.614 3.181 3.522 1.970 2.215 13.502 Sumber : Dishutbun Kab. Lombok Tengah (2012)
29 Analisis Finansial Pengembangan Hutan Rakyat
Secara umum, model pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Lombok Tengah dibagi menjadi dua yaitu: (1) Pada bagian utara umumnya hutan rakyat berupa polikultur karena lahannya lebih subur dengan curah hujan yang memadai serta lahan kosong atau kritis lebih sedikit dan (2) Bagian selatan hutan rakyat lebih banyak ditanam dengan pola monokultur karena lahannya banyak berupa lahan kosong dan kritis sehingga ditanam dengan pohon yang seragam. Contoh pola tanam hutan rakyat dapat dilihat pada Gambar 14.
Analisis finansial pengusahaan hasil hutan rakyat pada penelitian ini dibatasi pada pola monokultur dengan jarak tanam 3 x 3 m. Hal ini karena usaha budi daya hutan rakyat yang diusahakan secara polikultur biasanya dipadu dengan agroforestry sehingga terlalu banyak variabel yang harus dianalisis. Terlalu beragamnya tanaman semusim yang ditumpangsarikan dengan tanaman kayu serta perbedaan waktu panen membuat usaha sistem polikultur sulit dianalisis secara finansial.
Analisis finansial hutan rakyat bertujuan untuk mengetahui kelayakan usaha budi daya melalui perhitungan kriteria investasi. Analisis ini dapat membantu petani untuk memilih komposisi jenis yang sebaiknya dikembangkan dan menentukan daur yang paling menguntungkan melalui berbagai pilihan (Rachman et al. 2007).
Dalam penelitian ini, digunakan asumsi tiga tingkat suku bunga mulai dari rentang tahun 2005 sampai dengan 2013 (Bank Indonesia 2013) yaitu yang berlaku pada saat penelitian yaitu sebesar 7,25%, pada waktu suku bunga terendah (5,75%) dan saat tertinggi pada level 7,75% (14 Mei 2013), hal ini dilakukan untuk melihat sensitifitas kelayakan pengusahaan hutan rakyat pada beberapa tingkat suku bunga yang pernah ada. Tingkat suku bunga dan analisis finansial disajikan pada Tabel 8.
(a) (b)
30
Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 8, pengusahaan hutan rakyat jenis komoditas Sengon dengan daur tebang 6 tahun pada tingkat suku bunga 7,25%, 5,75% dan 12,75% memenuhi kriteria kelayakan usaha (masih menguntungkan untuk dilakukan), hal ini dapat dilihat dari nilai NPV yang positif dan B/C Rasio lebih dari satu serta tingkat bunga yang berlaku sekarang masih lebih kecil dari nilai IRR.
Analisis kelayakan usaha mahoni dan jati juga menunjukkan bahwa investasi penanaman mahoni dan jati layak untuk diteruskan. Nilai NPV pada Mahoni pada ketiga tingkat suku bunga menunjukkan nilai positif. B/C Ratio yang juga lebih besar dari 0 dan IRR lebih besar dari tingkat suku bunga saat ini, demikian juga untuk pengusahaan hutan rakyat Jati dimana nilai NPV > 0, Net B/C Ratio > 1 dan IRR > tingkat bunga yang berlaku sehingga usaha hutan rakyat layak dilaksanakan.
Nilai masa pengembalian (pay back periode) budi daya tanaman kayu rakyat yang dicapai pada saat akhir daur tebang, menunjukan nilai NPV yang positif di akhir daur. Hasil analisis disajikan pada Lampiran 1-9.
Meskipun memiliki nilai NVP positif, dari sisi lamanya masa pengembalian, kegiatan usaha monokultur hutan rakyat bisa memberatkan petani karena lamanya waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh hasil, oleh sebab itu selain hasil panen didapat di akhir daur, petani hutan rakyat memperoleh keuntungan dari hasil antara yaitu melalui penjarangan. Tujuan dari kegiatan ini adalah memelihara pohon-pohon yang terbaik pada suatu tegakan dengan memberi ruang tumbuh yang cukup bagi tegakan tinggal sehingga pada akhir daur akan diperoleh tegakan hutan yang memiliki massa kayu yang besar dan berkualitas tinggi.
Menurut Holt (1951) dalam Manan (1971), penjarangan memberikan dua keuntungan, yaitu: (1) Perubahan produksi dari kuantitatif ke kualitatif dengan jalan seleksi dan (2)Mendapatkan hasil yang seharusnya terbuang karena kematian alami. Pohon yang dipilih untuk dijarangi adalah pohon-pohon yang terkena hama, cacat, miskin riap dan tertekan
Berdasarkan analisis finansial sebagaimana tersaji pada Lampiran 1 – 9, komoditas Sengon akan mendapatkan hasil penjarangan sebesar Rp 30.398.000,- pada umur 3 tahun. Mahoni dan Jati yang dilakukan penjarangan pada umur 10, akan mendapatkan hasil dari penjarangan masing-masing sebesar Rp 4.966.000,- Tabel 8 Analisis Finansial Tanaman Sengon, Mahoni dan Jati per Hektar
No Tingkat Suku
Bunga Analisis Finansial
Pengusahaan Per Daur Tebang Sengon (6 Tahun) Mahoni (20 Tahun) Jati (20Tahun) 1 7.25% Saat Penelitian 8 Oktober 2013 1. NPV (Rp x 1.000) 2. IRR (%) 3. BCR (%) 97.287 95,32 9,13 73.698 21,20 4,86 166.028 26,09 9,42 2 5.75% Terendah 5 April 2006 1. NPV (Rp x 1.000) 2. IRR (%) 3. BCR (%) 105.274 95,32 9,60 97.929 21,20 5,73 218.377 26,09 11,23 3 12.75% Tertinggi 14 Mei 2013 1. NPV (Rp x 1.000) 2. IRR (%) 3. BCR (%) 73.485 95,32 7,63 24.294 21,20 2,61 60.510 26,09 4,86
31 dan Rp 11.435.000,-. Bila dilakukan penjarangan pada umur 15 tahun, masing-masing akan mendapatkan hasil sebesar Rp 38.498.000,- dan Rp 64.846.000,-. Upaya penjarangan ini akan membantu petani mendapatkan pemasukan pendapatan selama menunggu hasil panen yang membutuhkan waktu yang cukup lama.
Menurut Dirgantara (2008) cara lain untuk mencapai keuntungan secara finansial adalah dengan menambah luasan budi daya hutan rakyat. Kementerian Kehutanan telah melakukan penelitian bahwa untuk mencapai skala ekonomi, pengembangan hutan rakyat minimal memiliki luasan 25 ha dalam hamparan yang tidak berjauhan. Mengingat keterbarasan kepemilikan lahan oleh masyarakat, maka pengembangan hutan rakyat dapat dilakukan dengan berkelompok. Produktivitas suatu pohon ditentukan oleh dua faktor yakni faktor keturunan (genetik) dan faktor lingkungan. Faktor keturunan merupakan suatu faktor yang diturunkan oleh pohon induk asal bibit tersebut yang sangat menentukan terutama dalam bentuk batang. Faktor lingkungan merupakan suatu sifat yang dipengaruhi oleh lingkungan misalnya kesuburan tanah yang dapat mempengaruhi tinggi pohon dan diameter batang. Untuk mendapatkan produktivitas yang optimal, kedua faktor tersebut harus sama-sama diperhatikan karena suatu pohon dengan tinggi dan diameter yang baik tapi bentuk batangnya bengkok akan mempunyai nilai jual yang rendah (Yuliani dan Diniyati 2004).
Dari urian di atas maka tipologi dari lahan hutan rakyat juga akan memberikan pengaruh dalam analisis finansial yaitu berkaitan dengan jumlah pohon optimal yang bisa tumbuh dalam lahan tersebut. Tipologi lahan yang subur akan memberikan hasil yang optimal terhadap pertumbuhan jenis pohon jika dibandingkan dengan tipologi lahan yang tidak subur (lahan kritis). Kebun atau ladang dengan kelerengan yang datar dalam 1 ha akan terdapat 1.100 pohon dengan jarak tanam 3 x 3 m, hal ini akan berbeda dengan semak belukar atau tanah kosong yang memiliki kelerengan berombak atau bergelombang, dalam satu hamparannya jumlah pohon yang bisa ditanam kurang dari 1.100 ha.
Faktor-faktor yang mendukung nilai kelayakan dari analisis finansial usaha pengembangan hutan rakyat ini adalah: (1) Harga kayu dimana semakin tinggi harga kayu dipasaran maka semakin baik usaha ini dilakukan dan (2) Discount rate BI dimana semakin turun discount rate maka investasi hutan rakyat akan menarik untuk dilakukan.
Hasil analisis finansial pada penelitian ini bersifat site spesifik yaitu keputusan yang diperoleh dari kajian ini tidak secara otomatis bisa diterapkan ditempat lain karena analisis finansial ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya komposisi jenis yang dikembangkan, daur ekonomis vegetasi, tingkat suku bunga dan biaya harga yang berlaku di suatu daerah.
Kesesuaian Lahan untuk Pengembangan Hutan Rakyat
Ketiga jenis tanaman penghasil kayu potensial yang telah terpilih, yaitu Sengon, Jati dan Mahoni, pada umumnya telah banyak dikembangkan di Kabupaten Lombok Tengah baik di kawasan hutan maupun secara swadaya oleh masyarakat. Untuk mendapatkan manfaat optimal bagi petani maka perlu dilakukan analisis kesesuaian lahan untuk pengembangan masing-masing jenis komoditas.
32
Analisis kesesuaian lahan pada penelitian ini menggunakan Satuan Peta Lahan Pulau Lombok tahun 2011 dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian, peta kelerangan dan peta curah hujan. Satuan Peta Tanah dapat dilihat pada Gambar 15.
Kesesuaian Lahan Komoditas Sengon
Berdasarkan pendapat Soemarmo (2010) dalam Aldianoveri (2012), kondisi biofisik lokasi yang akan ditanami sangat mempengaruhi keberhasilan penanaman Sengon. Tingkat kesesuaiannya tergantung dari kecocokan antara persyaratan tumbuh tanaman dengan kondisi biofisik lokasi penanaman. Kondisi biofisik yang tidak sesuai dengan persyaratan yang dibutuhkan mengakibatkan pertumbuhan akan terganggu, sehingga secara ekonomis tanaman tersebut tidak menguntungkan.
Secara khusus Sengon tidak memerlukan persyaratan tumbuh yang rumit dan dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, namun untuk memperoleh pertumbuhan Sengon yang baik diperlukan beberapa syarat tumbuh yaitu: jenis Alfisol dan Mollisol, temperatur suhu yang dibutuhkan antara 20 - 330C (suhu
33 optimum 22,290C), curah hujan rata-rata 2000 - 2700 mm/tahun dan topografi datar sampai lereng 25%.
Hasil analisis kesesuaian lahan menunjukan bahwa terdapat 32.915 ha atau sekitar 28% wilayah daratan Lombok Tengah memiliki kesesuaian lahan untuk pertumbuhan Sengon, sedangkan 72% atau sekitar 83.567 ha lahan tidak sesuai, dengan faktor pembatas curah hujan dan temperatur rata-rata tahunan sehingga Sengon lebih dominasi di daerah bagian utara. Peta kesesuaian lahan dapat dilihat pada Gambar 16.
Dari sisi pengembangan wilayah, terdapat sepuluh kecamatan yang memiliki kesesuaian lahan untuk tanaman Sengon. Wilayah yang memiliki kesesuaian lahan terbesar adalah Kecamatan Batukliang Utara dan Pringgarata Tabel 9 Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Sengon di Lombok Tengah
No Kecamatan Kesesuaian (ha) Jumlah Kesesuaian Berdasarkan Luas Wilayah (%) Sesuai Tidak Sesuai Faktor Pembatas 1 Batukliang 5.283 0 5.283 100 1. Curah Hujan
2. Temperatur Rata-rata Tahunan 2 Batukliang Utara 10.893 4.864 15.757 69 3 Janapria 2.238 4.865 7.103 32 4 Jonggat 868 5.969 6.837 13 5 Kopang 5.308 533 5.842 91 6 Praya 2.322 3.189 5.510 42 7 Praya Barat 34 15.270 15.305 0,2 8 Praya Barat Daya 0 12.612 12.612 0 9 Praya Tengah 1.480 4.590 6.070 24 10 Praya Timur 82 8.041 8.124 1 11 Pringgarata 4.406 0 4.406 100 12 Pujut 0 23.723 23.723 0 Jumlah 32.914 83.657 116.572 28
Gambar 16 Peta Kesesuaian Lahan untuk Hutan Rakyat Sengon di Lombok Tengah
34
yaitu 100% dari luas wilayahnya. Wilayah yang tidak memiliki kesesuaian adalah Praya Barat, Praya Barat Daya dan Pujut karena wilayah-wilayah ini memiliki curah hujan yang relatif kecil sehingga tidak sesuai untuk pertumbuhan sengon. Kesesuaian lahan untuk tanaman Sengon berdasarkan wilayah pengembangan dapat dilihat pada Tabel 9.
Kesesuaian Lahan Komoditas Mahoni
Tanaman Mahoni tidak memiliki persyaratan tipe tanah yang spesifik, hal ini dikarenakan Mahoni secara alami dapat tumbuh pada tipe tanah alluvial, tanah vulkanik, tanah laterik, dan tanah dengan kandungan liat yang tinggi, namun pertumbuhan Mahoni akan baik pada tanah yang subur dan bersolum dalam serta memiliki aerasi yang baik (Mindawati dan Lestari 2001).
Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan, lahan yang sesuai untuk pengembangan komoditas Mahoni di Kabupaten Lombok Tengah adalah seluas 79.640 ha atau 68% dari luas Kabupaten Lombok Tengah (Gambar 17).
Dari sisi pengembangan wilayah, kesesuaian lahan terbesar untuk Mahoni adalah di Kecamatan Batukliang, Jonggat dan Pringgarata, dengan faktor pembatas kedalaman efektif, drainase, temperatur rata-rata tahunan dan bulan kering, sedangkan terkecil berada di Kecamatan Praya Barat Daya (Tabel 10).
Gambar 17 Peta Kesesuaian Lahan untuk Hutan Rakyat Mahoni di Lombok Tengah
35
Kesesuaian Lahan Komoditas Jati
Sifat gugur daun dan kualitas produk kayu Jati sangat dipengaruhi oleh curah hujan baik secara fisik dan fisiologis. Pada daerah dengan musim kemarau panjang Jati akan mengugurkan daunnya dan lingkaran tahun yang terbentuk tampak artistic sehingga kayu Jati yang terbentuk akan awet yaitu masuk kelas awet III dan II, banyak digunakan untuk perabot rumah tangga (Diniyati et al. 2004), sedangkan pada daerah yang sering turun hujan atau curah hujannya tinggi yaitu di atas 1.500 mm/tahun, Jati tidak akan mengugurkan daun dan lingkaran tahun kurang menarik. Jati tumbuh baik pada tanah yang sarang, tidak terikat pada suatu jenis tanah tertentu.
Gambar 18 Peta Kesesuaian Lahan untuk Hutan Rakyat Jati di Lombok Tengah
Tabel 10 Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Mahoni di Lombok Tengah No. Kecamatan Kesesuaian (ha) Jumlah Kesesuaian Berdasarkan Luas Wilayah (%) Faktor Pembatas Sesuai Tidak Sesuai 1 Batukliang 5.283 0 5.283 100 1. Temperatur Rata-rata Tahunan 2. Bulan Kering 3. Kedalaman Efektif 4. Drainase 2 Batukliang Utara 10.893 4.864 15.757 69 3 Janapria 6.716 387 7.103 95 4 Jonggat 6.837 0 6.837 100 5 Kopang 5.309 533 5.842 91 6 Praya 4.420 1.090 5.510 80 7 Praya Barat 7.420 7.884 15.305 48 8 Praya Barat Daya 4.257 8.355 12.612 34 9 Praya Tengah 6.030 40 6.070 99 10 Praya Timur 6.901 1.223 8.124 85 11 Pringgarata 4.406 0 4.406 100 12 Pujut 11.168 12.555 23.723 47 Jumlah 79.640 36.932 116.572 68
36
Secara umum agar dapat tumbuh dengan optimal tanaman Jati membutuhkan iklim dengan curah hujan optimum 1.500 - 2.000 mm/tahun dengan suhu udara rata-rata 250C - 300C. Kelembaban optimal yang dibutuhkan Jati sekitar 80% dengan intensitas cahaya cukup tinggi antara 75 - 1000.
Berdasarkan hasil analisis, lahan yang sesuai untuk pengembangan tanaman Jati adalah seluas 73.738 ha atau sekitar 63% dari wilayah Lombok Tengah sedangkan lahan yang tidak sesuai adalah 40.701 ha atau 37%. Peta kesesuaian lahan dapat dilihat pada Gambar 18.
Secara kewilayahan, bagian tengah dan selatan memiliki kesesuaian lahan untuk tanaman jati, dengan kesesuaian terbesar adalah pada Kecamatan Pujut, Praya Timur, Praya Barat Daya dan Praya Barat, hal ini dikarenakan jati memiliki syarat tumbuh di lokasi yang memiliki curah hujan yang relatif rendah, ini cocok untuk keempat wilayah kecamatan tersebut, dengan faktor pembatas curah hujan, bulan kering, temperatur rata-rata tahunan, kedalaman efektif dan drainase. Kesesuaian lahan untuk tanaman Jati dapat dilihat pada Tabel 11.
Luasan Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan aktual di Kabupaten Lombok Tengah dikelompokkan menjadi tujuh belas kelas yaitu: bendungan, danau, HGU, hutan lindung, hutan produksi, kawasan bandara, kebun, ladang, pemukiman, sawah irigasi, sawah tadah hujan, semak, sungai, taman nasional, taman wisata alam, tambak dan tegalan atau tanah kosong sebagaimana pada Gambar 19. Dari tujuh belas penggunaan lahan aktual tersebut lahan yang digunakan untuk pengembangan hutan rakyat adalah kebun, ladang, semak dan tanah kosong, dimana sebagian besar lahan potensial untuk pengembangan hutan rakyat tersebut merupakan lahan tidak produktif.
Tabel 11 Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Jati di Lombok Tengah No. Kecamatan Kesesuaian (ha) Jumlah Kesesuaian Berdasarkan Luas Wilayah (%) Faktor Pembatas Sesuai Tidak Sesuai 1 Batukliang 0 5.283 5.283 0 1. Curah Hujan 2. Kedalaman Efektif 3. Temperatur Rata-rata Tahunan 4. Drainase 5. Bulan Kering 2 Batukliang Utara 0 15.757 15.757 0 3 Janapria 4.862 2.242 7.103 68 4 Jonggat 5.969 868 6.837 87 5 Kopang 0 5.841 5.842 0 6 Praya 2.123 3.387 5.510 39 7 Praya Barat 14.396 909 15.305 94 8 Praya Barat Daya 11.601 1.011 12.612 92 9 Praya Tengah 4.587 1.483 6.070 76 10 Praya Timur 8.041 82 8.124 99 11 Pringgarata 0 4.406 4.406 0 12 Pujut 22.160 1.564 23.723 93 Jumlah 73.738 42.833 116.572 63
37
Luasan penggunaan atau penutupan lahan didominasi oleh sawah irigasi dengan luas 41.322 ha (35%), tegalan atau tanah kosong seluas 26.175 ha (23%) dan hutan seluas 20.586 ha (18%), sedangkan kelas penggunaan lain memiliki persentase luasan relatif kecil (Tabel 12).
Dari Tabel 12 terlihat bahwa luas hutan aktual adalah seluas 20.586 ha (18%), sedangkan luasan penetapan kawasan hutan adalah 23.726 ha (20%) (Dishutbun Kabupaten Lombok Tengah 2011). Lebih kecilnya luas hutan saat ini Tabel 12 Penggunaan Lahan Aktual di Lombok Tengah
No Jenis Penggunaan Luas (ha) Persentase (%)
1 Bendungan 1.162 1 2 Danau 59 0.1 3 HGU 371 0.3 4 Hutan Lindung 10.185 9 5 Hutan Produksi 5.188 5 6 Kawasan Bandara 599 1 7 Kebun 3.773 3 8 Ladang 985 1 9 Pemukiman 4.842 4 10 Sawah Irigasi 41.322 35
11 Sawah Tadah Hujan 11.552 10
12 Semak 5.066 4
13 Sungai 10 0.1
14 Taman Nasional 3.064 3
15 Taman Wisata Alam 2.149 2
16 Tambak 79 0.1
17 Tegalan/Tanah Kosong 26.175 22
Jumlah 116.572 100
Gambar 19 Peta Penggunaan Lahan Aktual di Lombok Tengah Tahun 2011
38
terjadi karena adanya perubahan tutupan lahan dimana kawasan hutan berubah menjadi pemukiman, ladang, jalan, tanah terbuka dan lain-lain.
Analisis Ketersediaan Lahan
Dari hasil query menunjukkan lahan yang tersedia untuk pengembangan hutan rakyat berdasarkan penggunaan lahan aktual adalah seluas 36.202 ha (31%) yang merupakan tegalan atau tanah kosong, semak, kebun dan ladang yang berada di luar kawasan hutan, sedangkan lahan yang tidak tersedia untuk pengembangan hutan adalah seluas 81.121 ha (69%).
Wilayah yang memiliki luas ketersediaan lahan yang tinggi untuk pengembangan hutan rakyat prioritas adalah Kecamatan Pujut, Praya Barat dan Praya Barat Daya. Wilayah-wilayah tersebut sebagian besar terdiri dari lahan kering dan memiliki lahan kosong yang banyak serta memiliki karakteristik kurang subur. Ketersediaan lahan pengembangan hutan rakyat berdasarkan penggunaan lahan aktual disajikan pada Gambar 20.
Pada lahan prioritas seperti tanah kosong dan semak pengembangan hutan rakyat selain bermanfaat secara ekonomi juga diharapkan secara ekologi dapat memperbaiki kualitas lingkungan dan menurunkan luas lahan kritis yang masih relatif besar di Lombok Tengah. Peta ketersediaan lahan hutan rakyat berdasarkan penggunaan lahan aktual dapat dilihat pada Gambar 21.
Gambar 20 Ketersediaan Lahan Pengembangan Hutan Rakyat berdasarkan Penggunaan Lahan aktual
0 2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 12,000 14,000 Lua s Tidak Tersedia Tersedia
39
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Tengah Nomor 7 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lombok Tengah Tahun 2011-2031, hutan rakyat belum dimasukan pada rencana pola ruang.
Gambar 22 Peta Ketersediaan Lahan Hutan Rakyat berdasarkan RTRW Gambar 21 Peta Ketersediaan Lahan Hutan Rakyat berdasarkan
40
Padahal Lombok Tengah memiliki potensi lahan untuk dikembangkan sebagai hutan rakyat sebesar 36.202 ha (31%). Hutan rakyat merupakan sumber daya yang besar dalam memenuhi kebutuhan akan hasil hutan yang semakin meningkat, untuk menjaga keseimbangan iklim mikro dan untuk memperbaiki kualitas lahan yang kritis. Peta ketersediaan lahan hutan rakyat berdasarkan RTRW disajikan pada Gambar 22.
Dalam RTRW Kabupaten Lombok Tengah terdapat beberapa peluang dan potensi untuk dikembangkan sebagai hutan rakyat yaitu:
1. Terdapat kawasan peruntukkan perkebunan seluas 3.114 ha. Dalam indikator program disebutkan adanya pengembangan kegiatan pada lahan-lahan yang memiliki potensi kesesuaian pertanian lahan kering secara optimal, artinya bahwa dengan adanya analisis kesesuaian lahan untuk hutan rakyat maka jenis-jenis tanaman prioritas dalam penelitian ini dapat direkomendasikan untuk ditanam di areal tersebut;
2. Penanganan kawasan prioritas desa miskin dengan penggalian potensi desa