• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Polyisoprenoid

Analisis polyisoprenoid Daun Kelapa Sawit (E. guineensis) Desa Lubuk Kertang dan Universitas Sumatera Utara dilakukan dengan dua dimensi Thin Layer Chromatografi (TLC) (Sagami et al., 1992) untuk memisahkan polyisoprenoid ke dalam famili polyprenol dan dolichol. Tabel 1 menunjukkan distribusi polyprenol dan dolichol didalam Daun Kelapa Sawit (E. guineensis).

Tabel 1. Nilai total lipid dan distribusi polyprenol dan dolichol pada Daun Kelapa Sawit (E. guineensis) di Desa Lubuk Kertang

* dw = berat kering ,. M.S = Mangrove Salinitas, TL = Total Lipid, PL = Polyisoprenoid, Pol = Poliprenol, dan Dol = Dolychol. Setiap Jenis Sampel Menunjukkan Lokasi Pengambilan Sampel

Total lipid pada daun Kelapa Sawit (E. guineensis) Desa Lubuk Kertang (Tabel 1 ) berkisar dari 0,54 – 0,69 mg/g berat kering. Sedangkan nilai polyisoprenoid berkisat antara 2,68 – 9,36 mg/g berat kering. Dengan total lipid yang terendah terdapat pada jenis sampel yang dikoleksi dari areal Sawah IV dan total lipid tertinggi terdapat pada jenis sampel yang dikoleksi dari areal Mangrove Salinitas 0,5%. Nilai polyisoprenoid tertinggi terdapat pada jenis sampel yang di koleksi dari lokasi Sawah IV nilai 9,36 mg/g berat kering. Nilai polyisoprenoid terendah terdapat pada jenis sampel yang dikoleksi dari areal Mangrove Salinitas 0,5% mg/g berat kering.

Universitas Sumatera Utara

14

Tabel 2. Nilai total lipid dan distribusi polyprenol dan dolichol pada Daun Kelapa Sawit (E. guineensis) di Universitas Sumatera Utara

*dw = berat kering, TL = Total Lipid, PL = Polyisoprenoid, Pol = Poliprenol, dan Dol = Dolychol, Pintu 3 (P) = Pintu 3 Perpustakaan, Pintu 3 (E) = Pintu 3 Ekonomi FKG= Fakultas Kedokteran Gigi, FK = Fakultas Kedokteran, FP = Fakultas Pertanian, T.S = Teknik Sipil dan T.K = Teknik Kimia. Setiap Jenis Sampel Menunjukkan Lokasi Pengambilan Sampel.

Total lipid pada daun Kelapa Sawit (E. guineensis) jenis sampel yang dikoleksi dari Universitas Sumatera Utara (Tabel 2 ) berkisar dari 0,38 – 0,71 mg/g berat kering, dengan total lipid terendah terdapat pada jenis sampel yang di koleksi dari lokasi Fakultas Kedokteran (FK) dan total lipid tertinggi terdapat pada jenis sampel yang dikoleksi dari lokasi Fakultas Kedokteran Gigi (FKG).

Nilai polyisoprenoid tertinggi terdapat pada jenis sampel yang di koleksi dari lokasi Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) dengan nilai 3,61 mg/g berat kering.

Nilai polyisoprenoid terendah terdapat pada Jenis sampel yang dikoleksi dari lokasi Pintu 1 yaitu 1,84 mg/g berat kering.

Dari kedua tabel di atas (Tabel 1 dan Tabel 2), dapat di lihat bahwa Kelapa Sawit (E. guineensis) Desa Lubuk Kertang memiliki jumlah polyisoprenoid lebih tinggi dibandingkan Kelapa Sawit (E. guineensis) Universitas Sumatera Utara.

Hal ini dikarenakan Kelapa Sawit (E. guineensis) Desa Lubuk Kertang berada pada lahan mangrove yang terkena pasang surut air laut. Polyisoprenoid dapat

15

perubahan pada lingkungan biotik dan abiotik. Seperti hal nya pada sampel Daun Kelapa Sawit (E. guineensis) Desa Lubuk Kertang yang dikoleksi dari lokasi mangrove memilki panjang rantai dolychol yang lebih mendominasi dibanding panjang rantai polyprenolnya. Panjang rantai karbon dolychol yang lebih mendominasi ini terjadi karena adanya cekaman salinitas. Berdasarkan penelitian Parida dan Das (2005) Cekaman salinitas mempengaruhi semua proses utama seperti pertumbuhan, fotosintesis, sintesis protein, dan energi serta metabolisme lipid.

Analisis Panjang Rantai Karbon (C)

Tabel 3. Panjang Rantai Karbon (C) polyprenol dan dolichol pada Daun Kelapa Sawit (E. guineensis) di Desa Lubuk Kertang

Jenis Sampel Polyprenol Dolychol

* M.S = Mangrove Salinitas. Setiap Jenis Sampel Menunjukkan Lokasi Pengambilan Sampel.

Terdapat tiga tipe pengklasifikasian polyprenol dan dolychol yaitu tipe I, II dan III (Basyuni et al., 2016). Tipe I, dolichol mendominasi polyprenol (lebih dari 90.0%) pada penelitian ini tidak ditemukan. Tipe II, polyprenol dan dolichol sama-sama ditemukan, pada penelitian ini polyprenol dan dolichol sama-sama terdeteksi. Tipe III, polyprenol mendominasi dolichol.

Tabel 3 menunjukkan bahwa dolichol dan polyprenol sama-sama mendominasi di daun Kelapa Sawit (E. guineensis) Desa Lubuk Kertang. Jenis sampel yang dikoleksi dari lokasi Sawah IV memiliki panjang rantai karbon polyprenol terpanjang yaitu C50-C100., dan dolychol C85-C100. Panjang rantai

Universitas Sumatera Utara

16

karbon terpendek merupakan jenis sampel yang dikoleksi dari lokasi Mangrove Salinitas 0,5% dengan panjang rantai karbon polyprenol C45-C55, sedangkan untuk panjang rantai karbon dolychol C75-C90.

Tabel 4. Panjang Rantai Karbon (C) polyprenol dan dolichol pada Daun Kelapa Sawit (E. guineensis) di Universitas Sumatera Utara

* Setiap Jenis Sampel Menunjukkan Lokasi Pengambilan Sampel.

Tabel 4 menunjukkan bahwa dolichol dan polyprenol juga sama-sama mendominasi di daun Kelapa Sawit (E. guineensis) Universitas Sumatera Utara.

Jenis sampel daun kelapa sawit yang dikoleksi dari Pintu 1, Pintu 3 (Perpustakaan), Teknik, Teknik Sipil, dan Teknik Kimia memiliki panjang rantai karbon terpanjang yang sama yaitu C50-C100 dan panjang rantai karbon polyprenol terpendek terdapat pada jenis sampel yang dikoleksi dari Fakultas Pertanian (FP) yaitu C50-C60. Panjang rantai karbon terpanjang untuk dolycol yaitu C80-C100 yang di temukan pada jenis sampel Pintu 4, Fakultas Pertanian dan Teknik Kimia.

Untuk rantai karbon dolycol terpendek terdapat pada jenis sampel yang dikoleksi dari Pintu 3 (Ekonomi) yaitu C80-C95.

Tabel 3 dan tabel 4 menggambarkan panjang rantai polyisoprenoid. Panjang rantai karbon polyisoprenoid yang terdapat pada daun Kelapa Sawit (E. guineensis) diakibatkan oleh beberapa faktor antara

17

dan cahaya (Basyuni et al., 2014). Dalam penelitian Arifiyanto (2017) Panjang rantai karbon polyisoprenoid dalam sawit bervariasi sesuai dengan masing-masing jaringan meskipun dalam spesies yang sama dan membentuk sebuah keluarga tertentu yang dominan. Spesies molekul Dolichol bertindak sebagai lipid pembawa gula dalam biosintesis N-glikoprotein. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tateyama et al. (1999) yang menyatakan distribusi rantai panjang polyprenol belum tentu sama dengan rantai panjang dolichol di jaringan yang sama.

Kuantifikasi Senyawa Polyisoprenoid

A B

C

D E F

G

Universitas Sumatera Utara

18

Gambar 1. Kromatografi lapis tipis dua dimensi (2D-TLC) polyisoprenoid alkohol jenis sampel Sawah I (A), Sawah II (B), Sawah III (C), 3.0% (D), Sawah IV (E), Mangrove Salinitas 0,5% (F), Mangrove Salinitas 1% dan Mangrove Salinitas 2% (G). Angka karbon mengacu pada panjang rantai karbon polyisoprenoid alkohol.

A B C

D E F

G H H I

J

19

Gambar 2. Kromatografi lapis tipis dua dimensi (2D-TLC) polyisoprenoid alkohol jenis sampel Pintu 1 (A), Pintu 3 Perpus (B), Pintu 3 Ekonomi (C), Pintu 4 (D), FKG (E), FP (F), FK (G), Teknik (H), Teknik Sipil (I) dan Teknik Kimia (J). Angka karbon mengacu pada panjang rantai karbon polyisoprenoid alkohol.

Gambar 1 dan gambar 2 merupakan gambar hasil kuantifikasi senyawa polyisoprenoid dari metode kromatografi lapis tipis (KLT). Posisi polyisoprenoid dipisahkan dan dikembangkan menjadi bentuk spot-spot kecil maupun besar dengan pelarut aseton diatas silika gel dan di visualisasikan dengan warna menggunakan uap iodin. Gambar tersebut lalu di scan dan diukur jumlah poliprenol dan dolicholnya menggunakan aplikasi ImageJ dengan standar dolichol dan poliprenol sebagai acuan.

Polyisoprenoid dapat berguna untuk pengkarakterstikan taksonomi dalam mengklasifikasikan tanaman, rantai karbonnya bermagam-macam tergantng spesiesnya, seringkali hanya dijumpai pada satu atau sekelompok spesies berbeda.

Hasil kuantifikasi kromatografi lapis tipis dua dimensi di dapatkan bahwa untuk jenis sampel daun Kelapa Sawit (E. guineensis) yang dikoleksi dari Desa Lubuk Kertang di duga merupakan jenis Dura dilihat berdasarkan panjang rantai karbonnya yaitu C50-C60 dan C50-C100 untuk senyawa polyprenol dan untuk senyawa dolychol memiliki rantai karbon C75-C100. Sedangkan daun Kelapa Sawit (E. guineensis) yang yang dikoleksi dari Universitas Sumatera Utara di duga merupakan jenis Pisifera. Berdasarkan hasil kuantifikasi panjang rantai karbon, senyawa polyprenol memiliki panjang rantai karbon C50-C60 dan senyawa dolychol memiliki panjang rantai karbon C80-C100. Hasil penelitian Arifiyanto (2017) menyatakan bahwa kelapa sawit jenis Dura memiliki panjang rantai karbon C50-C60 untuk senyawa polyprenol dan C85-C100 senyawa dolychol.

Jenis Pisifera mimiliki panjang rantai karbon C50-C100 untuk senyawa polyprenol

Universitas Sumatera Utara

20

dan C85-C100 senyawa dolychol. Untuk jenis Tenera memiliki panjang rantai karbon C45-C105 untuk senyawa polyprenol dan C85-C105 senyawa dolycol.

Sedangkan persilangan antara Dura dengan Pisifera yaitu Tenera memiliki panjang rantai karbon C50-C105 untuk senyawa polyprenol dan C85-C105 senyawa dolychol.

Kelapa Sawit (E. guineensis) jenis Dura memiliki kandungan minyak yang rendah dan biasanya digunakan sebagai induk betina. Sedangkan jenis Pisifera tidak dapat digunakan sebagai bahan baku untuk tanaman komersial, tetapi digunakan sebagai induk jantan untuk menyerbuki bunga betina. Untuk jenis Tenera (persilangan Dura dengan Pisifera) merupakan jenis yang ideal sebagai penghasil minyak karena memiliki banyak tandan buah (Basyuni et al. 2017)

Hubungan antara polyisoprenoid dengan tutupan lahan adalah antara lahan mangrove (terkena salinitas) yang berada di Desa Lubuk Kertang, dengan Universitas Sumatera Utara (tidak ada salinitas) memiliki perbedaan jumlah polyisoprenoid karena polyisoprenoid merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder yang fungsinya sebagai pertahan diri tanaman seperti adanya salitinas.

Semakin tinggi cekaman salinitas maka semakin tinggi pula jumlah senyawa polyisoprenoid yang di hasilakan tanaman (Basyuni et al. 2018).

Urgensi Kelapa Sawit Bagi Kehutanan

Urgensi penelitian ini dalam bidang kehutanan adalah sebagai salah satu pertimbangan dalam penanaman kelapa sawit yang sesuai dengan tempat hidupnya. Lahan mangrove tidak sesuai di tanami dengan kelapa sawit karena bentuk perakarannya yang tidak kokoh untuk menahan terjangan ombak maupun pasang surut air laut. Penanaman kelapa sawit ini hanya akan mengurangi tempat

21

tumbuh dari spesies-spesies mangrove yang ada di sekitarnya. Sedangkan urgensi kelapa sawit dalam bidang kehutanan belum di rasakan hal positifnya. Konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit adalah ancaman yang paling jelas dan langsung bagi hutan Indonesia yang masih tersisa. Konversi hutan juga menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang signifikan. Menanggapi keprihatinan global tersebut pemerintah melakukan moratorium perkebunan kelapa sawit skala besar dan penundaan bagi perizinan baru untuk perkebunan kelapa sawit. Kebijakan moratorium kelapa sawit yang diharapkan tersebut akan menjadi tindak lanjut dari kebijakankebijakan sebelumnya yang terkait dengan perbaikan tata kelola hutan dan lahan.

Kelapa sawit masih menjadi masalah dalam banyak faktor seperti kerusakan lingkungan akibat pembukaan hutan hingga pengeruhnya terhadapa pemanasan global. Pahan (2006) menyatakan dalam mengubah suatu sistem alam yang heterogen (misalnya hutan) dengan menjadi sistem pertanian yang relatif homogen (monokultur kelapa sawit) merupakan suatu transformasi yang memerlukan input energi (tindakan intensifikasi) untuk mendukung keberadaan sistem monokultur kelapa sawit tersebut. Kurniawan (2007) juga menyatakan bahwa kelapa sawit dapat berdampingan dengan kehutanan jika memenuhi tiga prinsip utama yaitu:

1. Melindungi dan memperbaiki lingkungan alam 2. Layak secara ekonomi

3. Diterima secara sosial

Universitas Sumatera Utara

22

Dokumen terkait