• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1 Deskripsi Umum Lokasi Penelitian

Secara administratif, Kecamatan Wedung berbatasan dengan Kabupaten Jepara di sebelah utara, Kecamatan Mijen di sebelah timur, Kecamatan Bonang di sebelah selatan, dan Laut Jawa di sebelah barat. Luas wilayahnya 98,76 Km², yang terdiri atas 20 desa. Desa yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa berjumlah enam (6) desa meliputi: Desa Wedung, Desa Mandung, Desa Berahan Kulon, Desa Berahan Wetan, Desa Babalan, dan Desa Kedungmutih.

Muara Sungai Wulan mencakup wilayah dua desa: Berahan Kulon dan Berahan Wetan. Muara tersebut dilewati oleh perahu nelayan Desa Bungo yang pergi melaut dan perahu petambak Dukuh Menco Berahan Wetan yang pergi ke tambak. Seiring pendangkalan dasar muara sungai, pemerintah daerah bersama Balai Besar Wilayah Air Sungai Jratun Serayu melakukan penyodetan sisi sungai sebelah selatan untuk mengurangi pendangkalan akibat sedimentasi yang tinggi. Hasilnya muara Sungai Wulan bercabang dua: sisi selatan dan sisi utara. Sisi utara merupakan muara sungai lama sedangkan sisi selatan merupakan muara sungai baru. Sampai saat ini, sebagian besar nelayan pergi melaut menggunakan sisi selatan karena lebih lebar dan lebih dalam.

Penyodetan Sungai Wulan menciptakan tanah timbul yang semakin lama semakin luas. Kondisi tersebut mendukung pertumbuhan mangrove secara alami. Di sisi lain, masyarakat memanfaatkan lahan tanah timbul tersebut menjadi tambak. Hal ini didukung oleh pemerintah desa dengan menjual hak pengelolaan tambak kepada petambak sebagai salah satu pemasukan desa.

Kecamatan Wedung memiliki penduduk 88.468 jiwa dengan komposisi 45.043 (laki-laki) dan 43.425 (perempuan). Desa Berahan Kulon memiliki luas 8,98 Km² dengan jumlah penduduk 1.487 jiwa. Desa Berahan Wetan memiliki luas 9,23 Km² dengan jumlah penduduk 7.797 jiwa. Sedangkan Desa Bungo memiliki jumlah penduduk 7.072 jiwa (Tabel 3). Sebagian besar nelayan merupakan warga Desa Bungo, sehingga di desa tersebut terdapat Tempat Pendaratan Ikan (TPI) khusus tangkapan kerang, kepiting dan udang. Sedangkan tambak sebagian besar dikelola oleh warga Desa Berahan Wetan Dukuh Menco. Namun sebagian besar tambak berada di Desa Berahan Kulon.

Tabel 3 Jumlah Penduduk, Nelayan, Petambak, Luas Tambak, Mangrove, dan Panjang Garis Pantai Desa Penelitian

No Desa Jumlah Penduduk (org) Nelayan (org) Petambak (org) Luas Tambak (ha) Luas mangrove (ha)* Garis Pantai (km) 1 Bungo 7.072 1.153 17 45 0 0 2 Berahan Kulon 1.487 325 159 455.20 380,73 13,10 3 Berahan Wetan 7.797 250 142 341.40 196,84 9,22 16.356 Jumlah 1.728 318 841.6 577,57 22,32

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Demak (2011) Ket: * Interpretasi Citra Aster 2006

No

Secara topografi, Kecamatan Wedung dan kecamatan pesisir lain memiliki elevasi (ketinggian permukaan tanah dari permukaan laut) mulai dari 0 – 10 meter. Jenis tanahnya meliputi Alluvial Hidromorf (terdapat di sepanjang pantai), gromosol kelabu tua, dan asosiasi coklat kelabu dan alluvial coklat kekelabuan. Sedangkan komposisi tekstur tanahnya sebagian besar didominasi oleh lanau, berikutnya pasir, dan sedikit lempung.

Kawasan pantai Kabupaten Demak termasuk dalam klasifikasi iklim C-2 menurut oldeman, dengan 5-6 bulan basah dan 2, 3 atau 4 bulan kering. Jumlah hari hujan dalam setahun sebanyak 82 hari dengan curah hujan 1.968 mm/tahun. Data banyaknya hari hujan dan curah hujan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Banyaknya Hari Hujan dan Curah Hujan di Kecamatan Wedung Tahun 2009

Bulan Hari Hujan (Hari) Curah Hujan (mm)

1 Januari 21 777 2 Februari 14 329 3 Maret 7 284 4 April 4 102 5 Mei 10 116 6 Juni 1 10 7 Juli 4 41 8 Agustus 0 0 9 September 1 7 10 Oktober 3 26 11 Nopember 8 108 12 Desember 9 168 Jumlah 82 1.968

Sumber: Bappeda Kabupaten Demak (2011)

Pola arus yang terjadi bervariasi dan dipengaruhi oleh musim. Pada musim barat yang berlangsung dari Bulan Desember sampai Bulan Februari arus bergerak lebih cepat dari barat mengarah ke timur dengan kecepatan arus berkisar 38 – 50 cm / detik dan pada musim timur yang berlangsung pada Bulan Juni sampai Bulan Agustus kecepatan arus berkisar antara 12 – 25 cm / detik.

Pasang surut yang terjadi di pantai Demak adalah pasang surut campuran dominan ke harian ganda (Mixed Semi Diurnal), sehingga mempunyai pengertian dalam sehari (24 jam) akan terjadi dua kali pasang naik dan dua kali surut.

Perbedaan pasang surut pada pantai di Demak secara umum berkisar antara 20 -

122 cm dengan demikian memiliki julat pasut sebesar 102 cm. Ketinggian rata-rata pasang sekitar 71 cm, dengan pasang surut terendah 20 cm dan pasang surut tertinggi 122 cm. Grafik pasang surut di Kabupaten Demak disajikan pada Gambar 4.

0 20 40 60 80 100 120 140 160 0 5000 10000 15000 20000 Waktu (jam) Ti nggi P a s ut ( c m )

Gambar 4 Grafik Pasang Surut Di Wilayah Pesisir Kabupaten Demak (Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Demak 2011)

4.2. Karakteristik Ekosistem Mangrove

Data mengenai vegetasi mangrove yang tumbuh di muara Sungai Wulan diperoleh dari pengamatan langsung dan ditambah dari data sekunderpenelitilain. Secara umum, vegetasi pohon mangrove (tinggi di atas 4 meter) di lokasi penelitian banyak didominasi oleh jenis Avicennia sp. Jenis lainnya meliputi Rhizophora sp dan Sonneratia sp (Tabel 5). Data kerapatan mangrove di lokasi penelitian antara 1-19 pohon/100 m², diameter 7-15 cm, dan tinggi 4-8 m.

Tabel 5 Karakteristik Mangrove pada Lokasi Penelitian

Stasiun Kerapatan Pohon (pohon/100 m²)

Diameter (cm)

Tinggi (m)

Komposisi Jenis Mangrove

1 1 8 5 Sonneratia sp 2 6 8-12 4-6 4 Rhizophora sp, 2 Avicennia sp 3 15 8-15 4-7 13 Avicennia sp, 2 Rhizophora sp 4 19 7-10 4-6 14 Avicennia sp, 5 Rizhophora sp 5 18 7-15 4-8 17 Avicennia sp, 1 Rhizhophora sp 6 8 7-12 4-8 Avicennia sp 7 5 8-10 4-7 Avicennia sp 8 3 7-10 4-6 Avicennia sp 9 3 8-10 4-5 Sonneratia sp 10 2 8-9 4-5 Sonneratia sp

Menurut informasi nelayan dan petambak, keberadaan Avicennia sp di 7 stasiun (2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8) tumbuh secara alami. Jenis initumbuh pada tanah timbul yang terbentuk di muara sungai. Menurut Noor et al. (2006) Avicennia sp

merupakan tumbuhan pioner yang paling umum ditemukan di habitat

pasang-surut. Akarnya sering dilaporkan membantu pengikatan sedimen dan mempercepat proses pembentukan tanah timbul.

Keberadaan Sonneratia sp di 3 stasiun (1,9, dan 10) menunjukkan habitatnya di daerah tawar dan di bagian hulu muara sungai. Stasiun 1 diketahui berada di muara Sungai Wulan lama dimana pada Tahun 2012, dilakukan pelebaran sungai oleh Balai Besar Wilayah Air Sungai Jratun Serayu. Kegiatan tersebut mengakibatkan keberadaan vegetasi di tepi muara sungai menjadi hilang.

4.3 Parameter Fisika dan Kimia Lingkungan

Menurut Noor et al. (2006), Sonneratia caseolaris tumbuh di bagian yang kurang asin di hutan mangrove, pada tanah lumpur yang dalam, seringkali sepanjang sungai kecil dengan air yang mengalir pelan dan terpengaruh oleh pasang surut. Jenis ini juga tumbuh di sepanjang sungai, mulai dari bagian hulu dimana pengaruh pasang surut masih terasa, serta di areal yang masih didominasi oleh air tawar.

Selanjutnya untuk spesies Rhizophora sp pada stasiun 2, 3, 4, 5, keberadaannya tumbuh secara alami di pematang sungai pasang surut, di muara sungai dan ditanam oleh petambak. Jenis yang ditanam ditunjukkan pada stasiun 2 dan 4 dimana tumbuh rapi di sepanjang pematang saluran tambak di dekatnya.

Jenis yang ditemukan pada lokasi penelitian tidak bertentangan dengan

penelitian sebelumnya. Setyawan et al. (2005) mengungkapkan ada 13 spesies

mangrove mayor yang ditemukan pada muara Sungai Wulan Demak meliputi: Avicennia alba, Avicennia officinalis, Avicennia marina, Bruguera cylindrica, Bruguera gymnorrhiza, Ceriop tagal, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, Rhizophora mucronata, Lumnitzera littorea, Nypa fruticans, Sonneratia alba, Sonneratia caseolaris. Namun pada penelitian Suryono (2006), jenis Sonneratia sp tidak ditemukan. Hal ini diduga karena jenis ini tumbuh di pematang sungai wulan lama yang telah dilebarkan pada tahun 2012. Sedangkan penelitian Suryono (2006) dilakukan sebelum kegiatan tersebut.

Hasil pengukuran parameter lingkungan pada lokasi penelitian menunjukkan suhu berkisar antara 28 - 34 ⁰C, Salinitas antara 0 – 21 ⁰/oo, Total Organic Matter (TOM) antara 3,74 – 66,31. Tekstur sedimen didominasi oleh debu. Hasil pengukuran parameter lingkungan disajikan pada Tabel 6.

Suhu yang relatif tinggi disebabkan pengambilan sampel dilakukan pada waktu siang hari yang terik. Pengambilan data dilakukan antara pukul 09.00 - 13.30, dimana pengambilan sampel dilakukan mulai stasiun 1 dan diakhiri pada stasiun 10. Sebagian besar salinitas perairan di muara sungai wulan pada nilai nol (tawar) karena pengaruh masukan air tawar dari hulu yang besar dan diambil pada saat surut. Informasi dari nelayan juga menunjukkan bahwa sebelum pengambilan sampel, cuaca pada lokasi dan daerah hulu dalam kondisi hujan lebat. Tekstur tanah pada sepuluh stasiun sampling menunjukkan bahwa komposisi didominasi oleh substrat lempung berdebu. Hal ini disebabkan karena muara sungai wulan mendapatkan masukan sedimen yang besar dari aliran sungai. Tekstur sedimen lokasi penelitian disajikan pada Gambar 5.

Tabel 6 Data Parameter Fisika dan Kimia Lokasi Penelitian

Stasiun Suhu C Salinitas /oo TOM Tekstur %

Pasir Debu Liat

1 29-32 0-3 15 7.31 55.14 37.55 2 28,5-33 0-14 3.74 1.15 73.68 25.17 3 29-31 0-1 1.09 75.80 23.11 4 29-31 0-1 1.05 39.68 59.27 5 29-31 0 6.24 12.66 69.99 17.35 6 29-33 0-2 16.26 4.68 72.01 23.31 7 29-33 0-5 58.8 8.96 64.28 26.76 8 29-34 0 7.32 69.96 22.72 9 29-33 0 5.32 57.64 37.04 10 29-33 0 6.13 54.69 39.18 11 29-30 0-10 35.03 12 29-31 0-19 66.31 13 30-31 4-21 57.55 14 29-31 0-1 17.51 15 28-31 0 13.75

Gambar 5 Komposisi Tekstur Sedimen Lokasi Sampling

62,44 61,78 48,65 34,11 51,83 50,87 45,89 69,20 53,75 55,22 0 10 20 30 40 50 60 70 80 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 P ro se n ta se Stasiun Pasir Debu Liat

4.4. Analisa Hubungan Karakteristik Mangrove dan Parameter Fisika Kimia Berdasarkan metode Agglomerative Hierarchical Clustering (AHC

Gambar 6. Analisis Dendogram Stasiun Karakteristik Mangrove dan Parameter Fisika Kimia

Kelompok pertama terdiri atas stasiun 1,9, dan 10. Kelompok ini didominasi oleh jenis Sonneratia sp dengan kerapatan yang rendah, salinitas tawar, dan substrat lempung liat berdebu. Kelompok kedua terdiri atas stasiun 2, 3, 5, 6,7,8, dengan jenis mangrove Avicennia sp dengan kerapatan yang sedang dan frkasi debu yang tinggi. Dan kelompok ketiga didominasi oleh Avicennia sp, kerapatan yang tinggi dan Rhizophora sp, kerapatan sedang, serta fraksi liat tinggi (Tabel 7). Hasil pengelompokkan ini selanjutnya digunakan untuk menghitung indeks nilai penting (INP) dan Nilai keanekaragaman.

Tabel 7 Pengelompokkan Stasiun Penelitian

), stasiun pengamatan karakteristik mangrove dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok berdasarkan parameter fisika dan kimia yang ada (Gambar 6). Dengan pertimbangan sedikit perbedaan nilai dissimilarity, maka kelompok kedua dan ketiga digabung menjadi satu kelompok.

Kelompok Suhu (ºC) Salinitas (º/oo) Pasir (%) Debu (%) Liat (%) Kerapatan (Pohon) Diameter (cm) Tinggi (m) Jumlah Jenis 1 31.000 0.000 6.13 54.69 39.18 2 8.5 4 1 2 30.667 0.667 4.68 72.01 23.31 8 9.5 6 1 3 29.667 0.333 1.05 39.68 59.27 19 8.5 5 2 S ta si un 4 S ta si un 9 S ta si un 1 S ta si un 1 0 S ta si un 7 S ta si un 2 S ta si un 6 S ta si un 8 S ta si un 3 S ta si un 5 0 10 20 30 40 50 60 D is s imila rit y Dendrogram

4.5 Analisa Indeks Nilai Penting dan Nilai Keanekaragam

Hasil perhitungan indeks nilai penting (INP), nilai tertinggi terdapat pada kelompok pertama untuk jenis Sonneratia sp sebesar 300 % (skala 0 – 300) dan

terendah pada kelompok ketiga untuk jenis Rhizophora sp sebesar 111,78 %

(Tabel 8).

Tabel 8 Indeks Nilai Penting (INP) Mangrove

Kelompok Jenis Kerapatan

Relatif (%) Frekuensi Relatif (%) Penutupan Relatif (%) INP (%) 1 Sonneratia 100.00 100.00 100.00 300.00 2 Avicennia 87.27 50.00 41.94 179.22 Rhizophora 12.73 50.00 58.06 120.78 3 Avicennia 73.68 66.67 47.87 188.22 Rhizophora 26.32 33.33 52.13 111.78

Dari hasil analisis indeks nilai penting, spesies Sonneratia sp sangat mendominasi pada kelompok pertama atau daerah hulu muara sungai. Hal ini diduga karena pengaruh air tawar menciptakan habitat yang sesuai untuk pertumbuhan jenis ini. Jenis Avicennia sp mendominasi pada kelompok kedua dan ketiga atau sebagian besar wilayah muara sungai. Hal ini menunjukkan bahwa muara Sungai Wulan sangat sesuai untuk habitat jenis ini. Dominansi jenis ini disebabkan karena tanaman ini merupakan tanaman pionir yang memiliki kemampuan mengikat sedimen yang tinggi. Muara Sungai Wulan bertambah luasnya karena adanya sedimentasi yang tinggi yang menciptakan tanah timbul sebagai habitat jenis Avicennia sp.

Selanjutnya, berdasarkan hasil analisis indeks keanekaragaman (H’) Shannon dan Wiener, ekosistem mangrove di muara Sungai Wulan memiliki nilai indeks keanekaragaman yang rendah, yaitu di bawah 1. Nilai indeks keanekaragaman kelompok pertama 0, karena hanya didominasi satu jenis. Sedangkan kelompok kedua dan ketiga memiliki nilai indeks 0,38 dan 0,57 (Tabel 9). Hal ini menunjukkan ekosistem tersebut memiliki keanekaragaman rendah, miskin, produktivitas rendah sebagai indikasi adanya tekanan yang berat dan ekosistem tidak stabil.

Tabel 9 Hasil Analisis Keanekaragaman

Kelompok Jenis Jumlah

individu n/N ln(n/N) H 1 Sonneratia 6 1.00 0 0 2 Avicennia 48 0.87 -0.14 0,38 Rhizophora 7 0.13 -2.04 3 Avicennia 14 0.74 -0.30 0,57 Rhizophora 5 0.26 -1.35

4.6 Analisis Luas Mangrove

Berdasarkan analisa citra landsat Tahun 1989, 1999, dan 2009, setiap tahun terjadi penambahan luas wilayah di lokasi penelitian sebesar 10,09 ha. Sedangkan luas mangrove setiap tahunnya tumbuh 5,92 ha (Tabel 10). Dari Tahun 1989 sampai Tahun 2009, wilayah pesisir pada dua desa (Berahan Wetan dan Berahan Wetan) bertambah 201,87 ha. Hal ini diduga disebabkan oleh sedimentasi yang tinggi pada Muara Sungai Wulan. Penambahan sebagian besar pada muara sungai bagian selatan. Penyodetan sisi sungai yang dilakukan sebelum Tahun 1989 menyebabkan luas pesisir bertambah (Lampiran 4).

Tabel 10 Perubahan Luas Pesisir di Muara Sungai Wulan

Tahun Luas Pesisir

(ha) Perubahan luas pesisir (ha) Luas mangrove (ha) Perubahan luas mangrove (ha) 1989 2.070,36 183,60 1999 2.177,91 107,55 163,17 -20,43 2009 2.272,23 94,32 301,95 138,78 Total Rata-rata/th 201,87 10,09 118,35 5,92

Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Tengah (2011), hasil interpretasi citra ALOS 2011, luas mangrove di Kecamatan Wedung Demak sebesar 654,65 ha. Nilai tersebut merupakan 56 % dari luas mangrove total di Kabupaten Demak. Data tersebut juga menyajikan bahwa kawasan mangrove yang paling luas di pantai utara (pantura) Jawa Tengah terdapat di Kabupaten Demak, yaitu 46,96 % dari total luas mangrove di pantura.

Data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Demak (2011), berdasarkan Citra Aster 2006, luas mangrove di Kelurahan Berahan Wetan 196,84 Ha dan Kelurahan Berahan Kulon 380,73 Ha. Sehingga total luas mangrove keduanya 577,57 Ha. Muara Sungai Wulan mencakup dua desa tersebut, sehingga nilai tersebut dianggap mewakili luas mangrove di lokas penelitian.

4.7 Produktifitas Serasah Mangrove

Berdasarkan hasil analisa kelompok dengan AHC, kelompok pertama menunjukkan rata-rata berat kering paling tinggi 5,75 gr/m²/hr atau 20,99 ton/ha/th. Sedangkan nilai berat kering terkecil terdapat pada kelompok ketiga 2,88 gr/m²/hr atau 10,51 ton/ha/th. Hal ini diduga tingginya berat kering sangat dipengaruhi oleh faktor jenis (Tabel 11). Jenis Sonneratia sp memiliki organ buah yang relatif besar dan berat, sehingga serasah yang dihasilkan juga besar. Produksi serasah pada lokasi penelitian lebih besar dibandingkan hasil penelitian produksi serasah Sonneratia casoelaris dilakukan oleh Chen et al. (2009). Chen et al. (2009) melaporkan berat kering serasah Sonneratia casoelaris di muara Sungai Zhujiang Shenzhen China sebesar 15,1 ton/ha/th.

Tabel 11 Perbandingan Kelompok Mangrove dengan Berat Kering Serasah Mangrove

Kelompok Jenis INP (%) Stasiun Rata-rata Berat

Kering (gr/m²/hr) 1 Sonneratia 300.00 1,9,10 5.75 2 Avicennia 179.22 2, 3, 5, 6,7,8 4.18 Rhizophora 120.78 3 Avicennia 188.22 4 2.88 Rhizophora 111.78

Selanjutnya, pendugaan biomassa ikan di ekosistem hutan mangrove secara khusus dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan pelepasan nutrien dari serasah mangrove (Mahmudi 2010). Ekosistem mangrove di Muara Sungai Wulan, dengan produksi serasah 4,5 gr/m²/hr, menyumbang nutrien 0,09 N dan 0,0045 P gr/hr. Nutrien tersebut menghasilkan produktifitas primer 3,213 gr C/m²/hr. Produksi ikan yang dihasilkan sebesar 0,385 gr /m²/hr (ikan herbivora 0,35 gr /m²/hr dan ikan karnivora 0,035 gr /m²/hr) atau 1.405,25 kg/ha/th. Dengan harga rata-rata ikan Rp12.472,00 nilai produksi ikan yang dihasilkan sebesar Rp17.526.278,00/ha/th.

4.8 Nilai Pemanfaatan Ekosistem Mangrove

4.8.1 Perikanan Tangkap

Dari hasil pengamatan di lapangan, aktifitas perikanan tangkap di muara Sungai Wulan, baik perairan di depannya maupun di dalam tambak, sebagian besar dilakukan oleh nelayan dari Desa Bungo dan Desa Berahan Wetan Dukuh Menco. Di Desa Bungo terdapat Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang khusus pendaratan tangkapan kerang dan udang. Sehingga Desa Bungo dikenal sebagai penghasil kerang. Nelayan Dukuh Menco dikenal sebagai nelayan tradisional penghasil kepiting bakau. Mereka menggunakan alat yang sederhana untuk mencari kepiting di daerah tambak di muara Sungai Wulan. Produk tangkapan kemudian dijual kepada bakul. Pemanfaatan pada sektor penangkapan disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Pemanfaatan Perikanan Tangkap di Ekosistem Mangrove

No Desa Jenis alat tangkap Produk Utama penangkapan

1 Bungo a. Garuk

b. Arad

c. Jaring d. Tanpa alat

Kerang dan udang Udang

Ikan dan kepiting Kerang

2 Berahan Wetan a. Bambu

b. Besi kolom

c. Jaring

Kepiting Kepiting

4.8.2 Pemanfaatan Ekosistem Mangrove sebagai Tambak

Ekosistem mangrove di muara Sungai Wulan dimanfaatkan sebagai lahan pertambakan oleh masyarakat sekitar. Lahan tambak di wilayah Desa Berahan Kulon seluas 445,6 Ha dengan jumlah rumah tangga perikanan (RTP) 159 unit dan di Desa Berahan Wetan 318,8 Ha dengan jumlah RTP 142 unit (Dinas Kelautan dan Perikanan 2011).

Tambak di Desa Berahan Kulon dan Berahan Wetan sebagian besar dimanfaatkan oleh penduduk Desa Berahan Wetan, khususnya Dukuh Menco. Sebagian besar lahan tersebut tidak berstatus sertifikat, namun berupa hak pengelolaan yang dikeluarkan oleh kepala desa. Sifat pengelolaan hak tersebut tidak terbatas waktu dan petambak dikenai pajak bumi oleh pemerintah daerah. 4.8.3 Pendugaan Surplus Konsumen

Hasil pengolahan dengan program pengolah matematika menunjukkan pemanfaatan ekosistem mangrove untuk perikanan tangkap memberikan surplus konsumen Rp179.937.460,00/ind/th dan nilai ekonomi Rp538.345.015,00/ha/th. Nilai tersebut diperoleh dari luas lahan mangrove 577,57 ha dengan rata-rata permintaan 3.534,68 kg per tahun per nelayan. Karakteristik sosial ekonomi nelayan meliputi umur, pendidikan, jumlah anggota keluarga, dan pendapatan (Tabel 13 dan 14).

Pemanfaatan ekosistem mangrove sebagai tambak udang dan bandeng memberikan surplus konsumen Rp53.996.615,00/ind/th dan nilai ekonomi Rp20.417.269

Jenis

Pemanfaatan

,00/ha/th. Nilai tersebut diperoleh dari luas lahan tambak 841,6 ha dengan rata-rata permintaan 804,23 kg per tahun per petambak dan karakteristik sosial dan ekonomi tertentu. Nilai surplus konsumen di lokasi penelitian lebih besar dibandingkan hasil penelitian Sobari et al. (2006) di Kabupaten Barru, dimana nilai surplus konsumen sebesar Rp1.373.159,13/ha/th.

Tabel 13 Karakteristik Sosial Ekonomi Nelayan dan Petambak di Lokasi Penelitian Prod (kg/ha/th) Harga tertimbang (Rp/kg) Umur (th) Pendidikan Jumlah keluarga (ind) Pendapatan (Rp/ind/th) Q X1 X2 X3 X4 X5 Perikanan Tangkap 3.535 12.472 44 7 4 30.384.704 Perikanan Tambak 804,23 22.233,37 48,72 8,77 4,82 23.276.718

Tabel 14 Pendugaan Surplus Konsumen dan Nilai Ekonomi dari Pemanfaatan Perikanan Per Tahun di Muara Sungai Wulan Demak

Jenis Pemanfaatan Luas Lahan (ha) Rata-rata Q (kg/ha) Surplus Konsumen (Rp/ind/th)

Nilai Ekonomi Total (Rp/ha/th) Perikanan

Tangkap 577,57 3.534,68 179.937.460 538.345.015

Perikanan

Hasil pendugaan nilai ekonomi menunjukkan bahwa per hektar mangrove memberikan nilai ekonomi lebih besar melalui aktifitas perikanan tangkap dibanding nilai ekonomi per hektar tambak. Nilai ekonomi dari perikanan tangkap Rp538.345.460,00/ha/th masih lebih besar dibandingkan potensi ekologi Rp17.526.278,00/ha/th. Hal ini disebabkan karena nilai ekonomi perikanan dipengaruhi tidak hanya produktifitas mangrove, namun juga dipengaruhi produktifitas dari sungai dan laut.

Berdasarkan hasil tersebut, pengelolaan ekosistem mangrove sangat diperlukan agar manfaat yang lebih besar dapat diperoleh oleh nelayan dan petambak. Kemudian hal ini menjadi rekomendasi bagi pemangku kebijakan untuk mengendalikan kegiatan pertambakan khususnya di daerah ekosistem

mangrove. Melana et al. (2000) menyatakan bahwa ancaman langsung dari

manusia terhadap ekosistem mangrove meliputi konversi mangrove menjadi tambak dan tambak garam. Hal ini akan menyebabkan kerugian yang besar karena tidak hanya manfaat perikanan yang hilang, namun usaha pertambakan juga akan hancur akibat kerusakan lingkungan.

4.9 Evaluasi Kebijakan

Pengelolaan ekosistem mangrove di Kabupaten Demak dilakukan oleh beberapa instansi, diantaranya Dinas Kelautan dan Perikanan, Kantor Lingkungan Hidup, Dinas Pertanian, dan pemerintah desa. Walaupun multisektoral, implementasi pengelolaan tersebut belum dikoordinasikan secara maksimal. Surat Keputusan Bupati Demak Nomor 660.05/19/2011 Tanggal 17 Januari 2011 tentang Pembentukan Kelompok Kerja dan Sekretariat Pengelolaan Ekosistem Mangrove Kabupaten Demak (KKMD) Kabupaten Demak Periode 2011-2013 menunjukkan koordinasi pengelolaan baru dilakukan. Dalam Surat Keputusan tersebut, Kelompok Kerja diketuai oleh Asisten Ekonomi Pembangunan dan Kesra Sekda, dengan keanggotaan meliputi sebagian besar instansi pemerintah daerah, LSM, dan akademisi.

Sebelum terbentuknya Surat Keputusan Bupati tentang Pembentukan Kelompok Kerja dan Sekretariat Pengelolaan Ekosistem Mangrove Kabupaten Demak (KKMD), program-program terkait pengelolaan mangrove dilakukan oleh ketiga instansi terkait di Kabupaten Demak secara parsial. Pembagian kewenangan setiap instansi belum jelas. Bahkan hingga terbentuknya Surat Keputusan Bupati hingga sekarang, pembagian kewenangan baru sebatas kesepakatan lisan belum tertulis. Pembagian kewenangan dilakukan berdasarkan kawasan mangrove yang dikelola dimana Dinas Kelautan dan Perikanan sebagai pelaksana teknis pada areal yang melindungi pertambakan bagian depan, Dinas Pertanian pada saluran irigasi dan areal pertambakan, dan Kantor Lingkungan Hidup pada areal bencana (abrasi).

Walaupun pembagian sudah dilakukan, namun pelaksanaannya tidak diimplementasikan dengan memadai. Karena keterbatasan anggaran, program yang dilaksanakan lebih difokuskan pada penanganan areal bencana (abrasi). Dari empat kecamatan pesisir, Kecamatan Sayung mendapat porsi yang paling banyak pengelolaan karena paling besar menerima dampak bencana (abrasi). Muara Sungai Wulan yang berada pada Kecamatan Wedung belum dilakukan

pengelolaan secara intensif. Pengelolaan baru dilakukan pendataan luas dan jenis mangrove, luas pesisir yang mengalami abrasi dan akresi, dan penanaman bibit KBR (Kebun Bibit Rakyat). Penanaman KBR di muara Sungai Wulan pernah dilakukan oleh Dinas Pertanian Tahun 2012 sebanyak 5000 batang jenis Rhizophora sp namun hanya di tepi Sungai Wulan, belum sampai di muara sungai. Pertumbuhan mangrove di muara Sungai Wulan dan pantainya seluruhnya terjadi secara alami. Sedangkan di tambak, mangrove ditanami oleh petambak.

Selanjutnya, Pemerintah Daerah Kabupaten Demak sepakat bahwa konversi ekosistem mangrove untuk pertambakan seharusnya dikendalikan. Dan penambahan tanah akibat akresi di muara Sungai Wulan seharusnya dikelola menjadi kawasan mangrove bukan pertambakan. Namun kenyataannya, penambahan tanah akibat akresi (tanah timbul) banyak dimanfaatkan untuk menjadi areal pertambakan oleh masyarakat berupa hak pengelolaan. Padahal, pemanfaatan tanah timbul menyebabkan potensi konflik karena status kepemilikan dan alur pelayaran bagi perahu nelayan.

Terkait dengan aspek sosial ekonomi, pengelolaan mangrove perlu melibatkan masyarakat, baik dalam perencanaan, pelaksanaan maupun monitoring dan evaluasi. Hal ini dibuktikan dengan pembentukan kelompok tani di setiap kecamatan pesisir melalui program KBR atau penanaman mangrove,

pembangunan APO (Alat Pemecah Ombak) dan pengembangan silvofishery.

Walaupun demikian, program tersebut tidak dilakukan secara merata setiap tahun karena keterbatasan anggaran.

Keunikan pemanfaatan ekosistem mangrove di Sungai Wulan adalah sebagian besar lokasi tambak ada di Desa Berahan Kulon, petambaknya sebagian besar adalah warga Desa Berahan Wetan Dusun Menco, dan nelayan sebagian besar adalah warga Desa Bungo. Keseimbangan yang dicapai adalah ketika ada pendapatan dari pajak bumi dari tambak dan kestabilan penghasilan dari petambak dan nelayan. Namun pada pelaksanaannya kebijakan untuk tambak lebih diutamakan, sehingga kadang timbul konflik dengan nelayan akibat akses pelayaran terganggu seperti penutupan aliran sungai dan penebangan pohon

Dokumen terkait