• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dynamic model of the Sustainable Management of Mangrove Ecosystems in Wulan Estuary Demak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dynamic model of the Sustainable Management of Mangrove Ecosystems in Wulan Estuary Demak"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL DINAMIK PENGELOLAAN

EKOSISTEM MANGROVE YANG BERKELANJUTAN

DI MUARA SUNGAI WULAN DEMAK

SIDIQ PRANOTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Model Dinamik Pengelolaan Ekosistem Mangrove yang Berkelanjutan di Muara Sungai Wulan Demak adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013 Sidiq Pranoto

(4)

SIDIQ PRANOTO. Model Dinamik Pengelolaan Ekosistem Mangrove yang Berkelanjutan di Muara Sungai Wulan Demak. Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN dan RAHMAT KURNIA.

Mangrove berperan sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis ikan, kerang dan spesies lainnya. Serasah mangrove berupa daun, ranting dan biomassa lainnya yang jatuh menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan produktivitas perikanan laut. Namun manfaat dan fungsi mangrove tersebut belum sepenuhnya dipahami karena sifatnya tidak terlihat secara langsung dan dalam waktu yang singkat. Kesulitan dalam penilaian manfaat mangrove menyebabkan pemerintah daerah dan masyarakat tidak memperhitungkannya dalam pengelolaan. Sehingga ekosistem ini dikonversi untuk berbagai pemanfaatan seperti pertambakan.

Tujuan penelitian ini adalah menghitung nilai potensi manfaat perikanan sumbangan dari serasah mangrove, mengetahui tingkat pemanfaatan ekosistem mangrove, dan membuat model dinamik pengelolaan mangrove untuk pemanfaatan yang berkelanjutan.

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari – April 2013 di kawasan mangrove, muara Sungai Wulan Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak. Data primer meliputi: karakteristik pohon mangrove, parameter fisika dan kimia lingkungan, produktivitas primer ekosistem mangrove, data sosial ekonomi nelayan dan petambak terkait dengan pemanfaatan ekosistem mangrove. Data sekunder meliputi: jumlah nelayan, jumlah petambak, luas tambak dan mangrove. Analisis data meliputi: analisis hubungan karakteristik mangrove dan parameter fisika kimia, analisis indeks nilai penting dan indeks keanekaragaman, analisis produktivitas primer, analisis luas mangrove dan perubahannya, dan analisis nilai pemanfaatan dengan pendekatan surplus konsumen. Data dikumpulkan melalui pengambilan sampel dan pengukuran langsung di lapangan, kemudian dilanjutkan dengan pengukuran di laboratorium. Data yang diolah selanjutnya digunakan dalam pembuatan model pengelolaan.

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata produksi serasah mangrove sebesar

4,52 gr/m²/tahun atau 16.508,95 kg/ha/tahun. Serasah tersebut diperkirakan menyumbang potensi perikanan sebesar 1.405,25 kg/ha/tahun. Nilai ekonomi ekosistem mangrove untuk pemanfaatan perikanan sebesar Rp538.345.015,00 per hektar per tahun. Nilai ekonomi untuk pemanfaatan tambak sebesar Rp20.417.269,00 per hektar per tahun. Dari model yang dikembangkan menunjukkan bahwa penambahan mangrove minimal 5 ha/tahun akan mempertahankan keberlanjutan pemanfaatan perikanan di muara Sungai Wulan Demak. Sehingga perlindungan terhadap ekosistem mangrove diharapkan dapat menjaga keberlanjutan pemanfaatan perikanan bagi masyarakat sekitarnya.

(5)

SIDIQ PRANOTO. Dynamic model of the Sustainable Management of Mangrove Ecosystems in Wulan Estuary Demak. Supervised by ACHMAD FAHRUDIN and RAHMAT KURNIA

Mangrove serves as spawning grounds and nursery grounds for various species of fish, shellfish and other species. Mangrove litter such as leaves, twigs and other biomass fall to become food sources for organisme in the water and nutrients that determine the productivity of marine fisheries. However, the benefits and functions of mangrove are not fully understood because they are not seen directly and within a short time. Difficulty in assessing the benefits of mangrove causes local governments and communities do not consider it in management. So that the mangrove ecosystem is converted to multiple uses such as aquaculture.

The purposes of this study were to calculate the value of the potential benefits of the litter of mangrove fisheries donations, determine the level of utilization of mangrove ecosystems, and create a dynamic model of mangrove management for sustainable fisheries.

This study was conducted in February-April 2013 in the mangrove area, Wulan estuary, Demak, Central Java. Primary data were characteristics of mangrove, physical and chemical parameters of the environment, the primary productivity of mangrove ecosystems, socio-economic data of fishermen and farmers associated with the utilization of mangrove ecosystems. Secondary data were number of fishermen, number of farmer, pond and mangrove area. The methods of analysis were analysis of the relationship of mangrove characteristics and enviromental parameters, analysis of important value index and diversity indices, analysis of primary productivity, and analysis of mangrove area changes, and analysis of the use value with the consumer surplus approach. Data were collected through sampling and direct measurement in the field, followed by measurements in the laboratory. Then the processed data was used in making management model.

The results showed an average production of mangrove litter 4,52 g/m²/year or 16.508,95 kg per hectare per year. Litter was expected to contribute to the fishery potential of 1.405,25 kg per hectare per year. The economic value of mangrove ecosystem for fisheries was Rp538.345.015,00 per hectare per year. Economic value for the use of ponds was Rp20.417.269,00 per hectare per year. Of the model developed shows that the addition of mangrove least 5 ha / year to maintain sustainable use of fisheries at Wulan Estuary Demak. So that the protection of the mangrove ecosystem is expected to maintain sustainable use of fisheries for the surrounding community.

(6)

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

MODEL DINAMIK PENGELOLAAN EKOSISTEM

MANGROVE YANG BERKELANJUTAN DI MUARA SUNGAI

WULAN DEMAK

SIDIQ PRANOTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

Berkelanjutan di Muara Sungai Wulan Demak Nama : Sidiq Pranoto

NIM : C252110241

Disetujui oleh: Komisi Pembimbing

Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi Ketua

Dr Ir Rahmat Kurnia, MSi Anggota

Diketahui oleh:

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan

Lautan

Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(11)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah pengelolaan yang berkelanjutan dengan judul Model Dinamik Pengelolaan Ekosistem Mangrove yang Berkelanjutan di Muara Sungai Wulan Demak.

Penulis meyakini bahwa karya ilmiah ini masih terdapat kesalahan atau kekeliruan yang disebabkan oleh keterbatasan wawasan dan pengetahuan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun, demi perbaikan di masa yang akan datang.

Pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih serta penghargaan yang tinggi kepada:

1. Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si dan Dr Ir Rahmat Kurnia, M.Si selaku komisi pembimbing atas bimbingan dan masukannya.

2. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi M.Sc selaku penguji luar komisi pembimbing atas kesediaan menjadi penguji dan sarannya.

3. Prof. Dr. Mennofatria Boer selaku Ketua Program Studi SPL atas kehadiran dan sarannya.

4. Nofi Indriani (istri), Hasna dan Haydar (anak), Bapak Kasbun dan Ibu Mahmudah (Orang Tua), Bapak Mat Karsono dan Ibu Sofiyatun (Mertua), Abah Rowiyan (Guru) atas doa dan dukungannya.

5. Ir. Sri Atmini, M.Sc, Miftahul Huda, S.Si, M.Si dan Drs. Hery Priatna (pimpinan kerja) atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi salah satu penerima beasiswa pendidikan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. 6. Bapak Utomo (Ketua Kelompok Nelayan Desa Bungo) dan keluarga atas

bantuan tenaga dan perahunya pada saat penelitian di lapangan.

7. Saudara Marjan, Iwan Erik, dan teman-teman SPL angkatan 2011 atas bantuan sarana dan dukungannya.

8. Saudara Dindin dan para dosen dan pegawai tata usaha Program Studi SPL atas bantuannya.

9. Bapak Suharto (DKP Demak), Bapak Mohamad Sulkhan (Kantor LH Demak), Bapak Kuncoro, S.Hut dan Ir. Maryono, M.Si (Distan Demak), Kepala Desa Bungo, Berahan Wetan, dan Berahan kulon dan warga atas bantuannya. 10.Semua pihak yang telah memberikan kontribusi dan bantuannya.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua.

(12)

DAFTAR TABEL

2.1.3Distribusi Mangrove Dunia dan Indonesia 2.1.4Fungsi dan Manfaat Mangrove

2.1.5Tekanan Terhadap Ekosistem Mangrove 2.1.6Aliran Energi pada Ekosistem Mangrove 2.2 Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut 2.3 Permodelan Dinamik

3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Metode Penelitian

3.3 Jenis dan Sumber Data 3.3.1 Data Primer

3.3.1.1 Karakteristik Ekosistem Mangrove 3.3.1.2 Parameter Fisika dan Kimia

3.3.1.3 Produktivitas Primer

3.3.1.4 Pemanfaatan Ekosistem Mangrove 3.3.1.5 Kebijakan Pemerintah Daerah 3.3.2Data Sekunder

3.4 Analisis Data

3.4.1Analisis Hubungan Karakteristik Mangrove dan Parameter Fisika Kimia

3.4.2Analisis Indeks Nilai Penting

3.4.3Analisis Indeks Keragaman (H’) Shannon-Wiener 3.4.4Analisis Produktivitas Primer

3.4.5Analisis Luasan dan Perubahan Luasan Mangrove dengan Citra Landsat

3.4.6Analisis Nilai Pemanfaatan Perikanan

(13)

4.1 Deskripsi Umum Lokasi Penelitian 4.2 Karakteristik Ekosistem Mangrove 4.3 Parameter Fisika dan Kimia Lingkungan

4.4 Analisa Hubungan Karakteristik Mangrove dan Parameter Fisika Kimia

4.5 Analisa Indeks Nilai Penting dan Nilai Keanekaragam 4.6 Analisis Luas Mangrove

4.7 Produktivitas Primer Ekosistem Mangrove 4.8 Nilai Pemanfaatan Ekosistem Mangrove

4.8.1 Perikanan Tangkap

4.8.2 Pemanfaatan Ekosistem Mangrove sebagai Tambak 4.8.3Pendugaan Surplus Konsumen

4.9 Evaluasi Kebijakan

4.10 Causal Loop dan Model Dinamik Pengelolaan Ekosistem Mangrove

4.10.1 Causal Loop 4.10.2 Model Dinamik 5 SIMPULAN DAN SARAN

(14)

DAFTAR TABEL

Jumlah Penduduk, Nelayan, Petambak, Luas Tambak, Mangrove, dan Panjang Garis Pantai Desa Penelitian

Banyaknya Hari Hujan dan Curah Hujan di Kecamatan Wedung Tahun 2009

Karakteristik Mangrove pada Lokasi Penelitian Data Parameter Fisika dan Kimia Lokasi Penelitian Pengelompokkan Stasiun Penelitian

Indeks Nilai Penting (INP) Mangrove Hasil Analisis Keanekaragaman

Perubahan Luas Pesisir di Muara Sungai Wulan

Perbandingan Kelas Mangrove dengan Berat Kering Serasah Mangrove

Pemanfaatan Perikanan Tangkap di Ekosistem Mangrove

Karakteristik Sosial Ekonomi Nelayan dan Petambak di Lokasi Penelitian

Pendugaan Nilai Utility dan Surplus Konsumen dari Pemanfaatan Perikanan Per Tahun Di Muara Sungai Wulan Demak

Faktor Dinamik Pengelolaan Ekosistem Mangrove yang Berkelanjutan

Komposisi Jenis Mangrove dan Berat Serasah Mangrove per Jenis pada Kondisi Eksisting

Skenario Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Muara Sungai Wulan Nilai Total Pemanfaatan Perikanan dan Pemanfaatan Habitat dengan Komposisi Jenis Mangrove yang Berbeda

12

Kerangka Pemikiran Penelitian “ Model Dinamik dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove yang Berkelanjutan di Muara Sungai Wulan Demak”

Lokasi Penelitian

Formula Untuk Pendugaan Stok Ikan dengan Pendekatan Serasah Grafik Pasang Surut di Wilayah Pesisir Kabupaten Demak

Grafik Komposisi Tekstur Sedimen Lokasi Sampling

Analisis Dendogram Stasiun Karakteristik Mangrove dan Parameter Fisika Kimia

Causal loop Mangrove Untuk Mendukung Perikanan dan Pemanfaatan Tambak

Model Dinamik Nilai Ekosistem Mangrove Untuk Mendukung Perikanan dan Pemanfaatan Tambak

(15)

9

10

11

Hasil Simulasi Model Dinamik Nilai Manfaat Mangrove dengan Komposisi Mangrove 77,5 % Avicennia sp, 15 % Rhizophora sp, dan 7,5 % Sonneratia sp.: 1. Eksisting, 2. Konservasi, 3. Penambahan tambak, dan 4. Penambahan minimal

Hasil Simulasi Model Dinamik Nilai Manfaat Mangrove dengan Komposisi Mangrove 50 % Avicennia sp, 43 % Rhizophora sp, dan 7,5 % Sonneratia sp.: 1. Eksisting, 2. Konservasi, 3. Penambahan tambak, dan 4. Penambahan minimal

Hasil Simulasi Model Dinamik Nilai Manfaat Mangrove dengan Komposisi Mangrove 50 % Avicennia sp, 15 % Rhizophora sp, dan 35 % Sonneratia sp.: 1. Eksisting, 2. Konservasi, 3. Penambahan tambak, dan 4. Penambahan minimal.

34

Data Suhu dan Salinitas

Data Total Organic Matter dan Analisa Fraksi Substrat Data Serasah Mangrove

Citra Tahun 1989, 1999, dan 2009

Data dan Analisa Regresi Pemanfaatan Perikanan Tangkap Analisis Nilai Konsumen Surplus pada Perikanan Tangkap Data dan Analisa Regresi Pemanfaatan Perikanan Budidaya Analisis Nilai Konsumen Surplus pada Perikanan Budidaya Analisis AHC Karakteristik Mangrove dan Parameter Lingkungan Persamaan Matematis Simulasi dan Nilai Variabel pada Kondisi Eksisting

Tabel Simulasi Model selama 100 Tahun

Dokumentasi Penelitian di Muara Sungai Wulan Demak

(16)

1.1 Latar Belakang

Keberadaan mangrove berkaitan erat dengan tingkat produksi perikanan. Di Indonesia hal ini dapat dilihat bahwa daerah-daerah perikanan potensial seperti di perairan sebelah timur Sumatera, pantai selatan dan timur Kalimantan, pantai Cilacap dan pantai selatan Irian Jaya yang kesemuanya masih berbatasan dengan

hutan mangrove yang cukup luas dan bahkan masih perawan (Soewito 1984 in

Noor et al. 2006). Sebaliknya, menurunnya produksi perikanan di Bagansiapiapi, dimana sebelum perang dunia II merupakan penghasil ikan utama di Indonesia bahkan sebagai salah satu penghasil ikan utama di dunia, salah satunya disebabkan oleh rusaknya mangrove di daerah sekitarnya (Kasry 1984 in Noor et al. 2006). Hal ini disebabkan karena mangrove berperan sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis ikan, kerang dan spesies lainnya. Selain itu serasah mangrove berupa daun, ranting dan biomassa lainnya yang jatuh menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan produktivitas perikanan laut (Zamroni dan Rohyani 2008).

Mangrove juga memiliki peranan penting dalam melindungi pantai dari gelombang, angin dan badai. Tegakan mangrove dapat melindungi pemukiman, bangunan dan pertanian dari angin kencang atau intrusi air laut. Mangrove juga terbukti memainkan peran penting dalam melindungi pesisir dari gempuran badai. (Noor et al. 2006)

1.2 Perumusan Masalah

Menurut Melana et al. (2000) mangrove menyediakan daerah asuhan (nursery ground) bagi ikan, udang dan kepiting, serta mendukung produksi perikanan di perairan pesisir. Melalui proses rantai makanan, produktivitas primer dari ekosistem mangrove menyebabkan produksi perikanan daerah sekitarnya menjadi melimpah. Namun pemahaman tersebut bagi masyakarat dan pemangku kebijakan di wilayah pesisir belum sepenuhnya dimiliki karena sifatnya tidak terlihat secara langsung dan dalam waktu yang singkat, sehingga pengelolaan ekosistem mangrove tidak diintegrasikan dengan pengelolaan perikanan tangkap dan budidaya.

Kabupaten Demak memiliki wilayah pesisir 47.592 ha dengan luas daratan 31.224 ha dan perairan 16.368 ha (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Demak 2011). Menurut hasil interpretasi Citra Aster Tahun 2006, dari luas daratan pesisir tersebut, luas kawasan mangrove di Kabupaten Demak mencapai 985,11 Ha atau 3,2 persen.

(17)

lapangan kerja bagi masyarakat pesisir melalui usaha pertambakan tanpa melihat peran ekosistem mangrove bagi keberlanjutan usahanya.

Penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan seberapa besar kontribusi fungsi ekosistem mangrove bagi produksi perikanan tangkap dan seberapa ideal pemanfaatan lahan pesisir sebagai kawasan mangrove dan sebagai lahan pertambakan agar berkelanjutan.

1.3Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Menghitung nilai potensi manfaat perikanan sumbangan dari serasah mangrove.

2. Menghitung tingkat pemanfaatan ekosistem mangrove

3. Membuat model dinamik pengelolaan mangrove untuk pemanfaatan yang optimal dan berkelanjutan.

1.4 Manfaat

Harapan dari hasil penelitian ini agar dapat memberi konstribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan, dan pemerintah sebagai bahan pertimbangan dalam pengambil kebijakan terkait pengelolaan mangrove dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya ekosistem mangrove.

1.5Kerangka Pemikiran

(18)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian “ Model Dinamik dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove yang Berkelanjutan di Muara Sungai Wulan Demak”

Produktivitas Primer

Ekosistem Mangrove

Pengelolaan Ekosistem Mangrove

yang optimal dan berkelanjutan

Model Dinamik Pemanfaatan

Aktual

Potensi Perikanan

Pemanfaatan Perikanan Habitat

(19)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Mangrove

2.1.1 Definisi

Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin.

Bengen (2004) mendefinisikan mangrove sebagai komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Menurut Saenger et al. (1983) in Noor et al. (2006), mangrove didefinisikan sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan subtropis yang terlindung. Dan Soerianegara (1987) in Noor et al. (2006) mendefinisikan hutan mangrove sebagai hutan yang tumbuh terutama pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis-jenis pohon Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora, dan Nipa.

.

2.1.2 Habitat Mangrove

Sebagian besar mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur, seperti Avicennia marina dan Rhizophora mucronata (Kint 1934 in Noor et al. 2006). Jenis Rhizophora stylosa dan Sonneratia alba dapat tumbuh di pantai berpasir, atau bahkan pantai berbatu.

Selain berbagai substrat, mangrove juga dapat hidup pada kisaran salinitas yang luas. A. marina dapat hidup pada salinitas mendekati tawar sampai dengan 90 ‰ (MacNae 1966;1968 in Noor et al. 2006). Jenis Sonneratia umumnya tumbuh pada salinitas mendekati salinitas air laut. Aegiceras corniculatum dapat tumbuh pada salinitas 20-40 ‰. Untuk jenis Bruguiera salinitas optimum kurang dari 25 ‰.

Faktor pasang surut juga mempengaruhi zonasi mangrove. Avicennia dan Sonneratia umumnya di area yang selalu tergenang air laut. Rhizophora umumnya terdapat pada area tergenang dengan pasang sedang. Sedangkan pada area yang hanya tergenang pada saat pasang tertinggi didominasi oleh jenis Bruguiera, Xilocarpus, dan Lumnitzera.

2.1.3 Distribusi Mangrove Dunia dan Indonesia

Luas hutan mangrove diperkirakan 10 juta hektar di Dunia (Spalding 1983 in Kathiresan dan Bingham 2001). Mereka terdistribusi di 112 negara antara 30° lintang utara (Jepang dan Bermuda) dan 30° lintang selatan (Australia, New Zealand, dan Afrika Tenggara). Distribusi tersebut sebagian besar terdapat di Asia (42%), Africa (20%), Amerika Tengah dan Utara (15%), Oceania (12 %) dan Amerika Selatan (11%) (Giri et al. 2010).

(20)

Giri et al. (2010), dengan menggunakan data GLS (Global Land Survey) Tahun 2000, luas hutan mangrove Indonesia 3.112.989 hektar atau 22,6 % dari total luasan hutan mangrove di dunia. Kemudian pada Tahun 2003, BAPLAN-Departemen Kehutanan, dengan menggunakan Citra Satelit, luas hutan mangrove menjadi 750.003 hektar (Noor et al. 2006).

Menurut Saenger et al. (1983) in Noor et al. (2006) jenis mangrove terdiri atas 60 jenis mangrove sejati. Dari jumlah tersebut, 40 jenis ada di Indonesia. Sehingga negara tersebut memiliki keanekaragaman jenis tertinggi di dunia.

Formasi hutan mangrove terdiri atas empat gugus utama, yaitu Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, dan Bruguiera (Nybakken 1993 in Setyawan et al. 2008). Namun pada kenyataannya formasi tersebut saat ini jarang ditemukan pada satu kawasan atau daerah. Hal ini disebabkan terutama oleh tekanan lingkungan yang dialami oleh mangrove, sehingga kemampuan regenerasi atau rehabilitasi dari masing-masing spesies berbeda-beda. Di pesisir utara Jawa Tengah misalnya sebagian besar didonimasi oleh Avicennia (Setyawan et al. 2008). Spesies ini dikenal memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi dan dapat hidup pada kondisi yang ekstrem. Kemudian pada pesisir selatan Jawa Tengah didominasi oleh spesies Sonneratia spp dan Nypa fruticans.

Secara umum, spesies mangrove mayor di Indonesia terdiri atas lima spesies: Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, dan Nypa (FAO 2007). Kawasan mangrove yang luas di Indonesia terdapat di Papua, pesisir timur Kalimantan, dan pesisir timur Sumatera. Beberapa tempat seperti Nusa Tenggara Timur dan Sumatera Barat komunitas mangrove berupa semak belukar atau tidak ada mangrove, karena habitat yang kurang sesuai, seperti curah hujan dan topografi pantai.

2.1.4 Fungsi dan Manfaat Mangrove

Menurut Melana et al. (2000), fungsi dan manfaat ekosistem mangrove meliputi: pertama, mangrove menyediakan daerah asuhan (nursery ground) bagi ikan, udang dan kepiting serta mendukung produksi perikanan di pesisir. Akar mangrove menjadi tempat berlindung dari predator dan dedaunan yang gugur menyuplai makanan bagi hewan kecil. Setiap satu hektar mangrove yang ditebang menurunkan tangkapan ikan 1,08 ton per tahun. Wahyudewantoro (2009) dalam penelitiannya di Sungai Cikawung, muara Sungai Citamanjaya dan di muara Sungai Pinang Gading, Taman Nasional Ujung Kulon Pandeglang Banten, menyatakan bahwa seluruh ikan yang tertangkap saat penelitian berupa juvenil ikan yang berenang lambat dan sesekali bergerombol. Hal ini menandakan bahwa mangrove berperan sebagai nursery ground atau feeding ground.

(21)

Kaliuntu, Rembang, produksi total serasah mangrove berkisar 1,93–2,84 g/m2/hr (7,04 - 10,37 ton/ha/tahun). Siarudin dan Rachman (2008) menemukan dalam penelitiannya di kawasan hutan mangrove Blanakan, Subang, Jawa Barat, produksi serasah mencapai rata-rata 8,56 ton/ha/th berat basah atau 6,23 ton/ha/th berat kering.

Ketiga, mangrove melindungi pantai dan komunitasnya dari badai, ombak, dan arus pasang surut. Kanopi dan batang berfungsi sebagai barrier (penghalang), dan akarnya berperan sebagai sedimen trap (perangkap sedimen) dari sedimen daratan sehingga menciptakan perairan yang lebih jernih dan mendukung pertumbuhan karang dan lamun.

Keempat, mangrove menghasilkan biomassa organik (karbon) dan menurunkan polusi organik. Mangrove menghasilkan 1.800 – 4.200 gram karbon per m² per tahun. Kelima, mangrove berperan sebagai tempat rekreasi ekologi dan laboratorium lapangan bagi peneliti dan pelajar. Dan keenam, mangrove menjadi sumber bahan baku kayu, sumber tannin, alkohol, dan obat-obatan. Biji dan propagul mangrove dapat dipanen dan dijual. Dan mangrove mensuplai ketersediaan juvenile ikan dan spesies matang bagi kegiatan budidaya dan perikanan komersial.

Menurut Noor et al. (2006) produk yang paling memiliki nilai ekonomis tinggi dari ekosistem mangrove adalah perikanan pesisir. Kakap (Lates calcacifer), kepiting mangrove (Scylla serrata) serta ikan salmon (Polynemus sheridani) merupakan jenis ikan dan kepiting dan sangat bergantung pada habitat mangrove (Griffin 1985 in Noor et al. 2006). Hasil penelitian Genisa (2006) di daerah mangrove di Sungai Mahakam menyebutkan bahwa jenis ikan yang mendominasi pada lokasi penelitian adalah Sardinella fimbriata (ikan tembang). Sedangkan di sekitar estuaria Digul, Irian Jaya, hanya tertangkap satu jenis yaitu S. fimbriata (Genisa 2003), dan di perairan sekitar estuaria Citarum, Ciliwung dan Cisadane, Teluk Jakarta tertangkap dua jenis yaitu S. fimbriata dan S perforata (Genisa 2004).

Keberadaan mangrove berkaitan erat dengan tingkat produksi perikanan. Di Indonesia hal ini dapat dilihat bahwa daerah-daerah perikanan potensial seperti di perairan sebelah timur Sumatera, pantai selatan dan timur Kalimantan, pantai Cilacap dan pantai selatan Irian Jaya yang kesemuanya masih berbatasan dengan

hutan mangrove yang cukup luas dan bahkan masih perawan (Soewito 1984 in

Noor et al. 2006). Sebaliknya, menurunnya produksi perikanan di Bagansiapiapi, dimana sebelum perang dunia II merupakan penghasil ikan utama di Indonesia bahkan sebagai salah satu penghasil ikan utama di dunia, salah satunya disebabkan oleh rusaknya mangrove di daerah sekitarnya (Kasry 1984 in Noor et al. 2006)

2.1.5 Tekanan Terhadap Ekosistem Mangrove

(22)

350 %. Hal ini merefleksikan betapa besar hektar mangrove yang telah dikonversi.

Ellison dan Farnsworth (1996a) in Kathiresan dan Bingham (2001) membagi gangguan manusia terhadap mangrove dalam 4 hal: ekstraksi, polusi, reklamasi, dan perubahan iklim. Melana et al. (2000) menyatakan bahwa ancaman langsung dari manusia meliputi konversi mangrove menjadi tambak dan tambak garam, reklamasi (seperti dermaga, bandara dan perumahan), polusi dan sedimentasi, bangunan penghalang aliran air dan pasang surut (seperti bendungan), overexlpoitasi, dan gangguan saat pendaratan ikan.

Food Agriculture Organization (2007) menyatakan tekanan populasi yang tinggi di pesisir menyebabkan konversi area mangrove menjadi infrastruktur, budidaya, padi, dan produksi garam. Perkembangan kegiatan budidaya udang menyebabkan permasalahan lingkungan dan menyebabkan hilangnya kawasan mangrove di Jawa Timur, Sulawesi, dan Sumatera. Perkembangan budidaya ini menjadi penyebab utama separoh lebih luas hutan mangrove terdegradasi. Penyebab kedua kerusakan hutan mangrove adalah overexploitasi melalui pengambilan kayu. Selanjutnya hilangnya hutan mangrove disebabkan juga oleh kegiatan produksi garam (Jawa dan Sulawesi), ancaman tumpahan minyak dan pencemaran. Selain tekanan manusia, mangrove di Indonesia mendapatkan tekanan dari bencana alam, seperti badai dan tsunami, seperti yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam.

2.1.6 Aliran Energi pada Ekosistem Mangrove

Seperti tumbuhan yang berklorofil lainnya, mangrove juga dapat mengadakan fotosintesis dengan bantuan energi yang berasal dari cahaya matahari. Dalam fotosintesis tersebut zat anorganik dirubah menjadi zat organik. Zat organik ini sangat berguna untuk pertumbuhan dan pembesaran biomassa tumbuhan. Sebagian biomassa yang berupa daun, bunga, buah, ranting, kulit kayu dan lain-lain akan gugur dan jatuh ke dalam perairan. Biomassa ini akan diurai-kan oleh mikroorganisme menjadi zat organik yang sangat berguna bagi organisme perairan (Soeroyo 1987). Mangrove dapat memberikan sumbangan zat organik yang banyak terhadap konsumen karena produktivitasnya yang tinggi. Nilai produktivitas hutan mangrove ini diperkirakan 20 kali lebih tinggi dari nilai produktivitas laut bebas dan sekitar 5 kali lebih tinggi dari nilai produktivitas perairan pantai.

Aliran energi yang terdapat pada ekosistem mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik seperti sungai-sungai, pasang surut, aliran laut dan faktor-faktor biologi seperti produksi serasah dari tumbuhan yang jatuh dan dekomposisi, serta semua mekanisme yang mengatur kecepatan pemasukan, pengeluaran dan penyimpanan material organik dan anorganik

2.2 Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut

(23)

padahal konsumen tidak mengkonsumsinya secara langsung, bahkan mungkin tidak pernah mengunjungi tempat dimana sumberdaya alam tersebut berada.

Menurut Barbier et al. (1997), ada 3 jenis pendekatan penilaian sebuah ekosistem alam yaitu (1) impact analysis, (2) partial analysis dan (3) total valuation. Pendekatan impact analysis dilakukan apabila nilai ekonomi ekosistem dilihat dari dampak yang mungkin timbul sebagai akibat dari aktivitas tertentu, misalnya akibat reklamasi pantai terhadap ekosistem pesisir. Sedangkan partial analysis dilakukan dengan menetapkan dua atau lebih alternatif pilihan pemanfaatan ekosistem. Sementara itu, total valuation dilakukan untuk menduga total kontribusi ekonomi dari sebuah ekosistem tertentu kepada masyarakat.

Beberapa peneliti telah menghitung valuasi ekonomi hutan mangrove di beberapa wilayah di Indonesia. Sebagian besar, metode penghitungan valuasi ekonomi menggunakan Total Valuation, yaitu penilaian ekonomi secara keseluruhan dari sistem pesisir.

Dixon (1989) in Melana et al. (2000) menghitung nilai total ekosistem mangrove yaitu antara US$ 500 hingga US$1.550 per hektar per tahun, nilai minimum yang hilang bila dikonversi menjadi bentuk lain.

Hasil kajian biaya dan manfaat hutan mangrove di beberapa daerah menunjukkan total ekonominya mencapai trilyunan rupiah. Total economic value (TEV) ekosistem mangrove per tahun di Pulau Madura Rp49 trilyun, Irian Rp329 trilyun, Kalimantan Timur Rp178 trilyun, Jawa Barat Rp1,357 trilyun, dan untuk seluruh Indonesia Rp820 trilyun (Republika 23/7/2002 in Setyawan et al. 2003). Di Teluk Bintuni, Irian, ekosistem mangrove seluas 300.000 ha setiap tahun mendukung pemanfaatan secara tradisional Rp100 milyar, perikanan Rp350 milyar, dan kayu Rp200 milyar (Ruitenbeek 1992).

Pengukuran untuk barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam yang diperdagangkan (traded goods) dengan harga yang terukur dapat dilihat dari perubahan dalam surplus konsumen. Surplus konsumen berlandaskan pada pemikiran ekonomi neo-klasikal (neo-classical economic theory) yang berdasar pada kepuasan konsumen (Fauzi 2004). Surplus konsumen atau Dupuits's consumer's surplus (karena pertama kali dikenalkan oleh Dupuit Tahun 1952) adalah pengukuran kesejahteraan ditingkat konsumen yang diukur berdasarkan selisih keinginan membayar dari seseorang dengan apa yang sebenarnya dibayar (Fauzi 2000 in Sobari et al. 2006).

Sobari et al. (2006) dalam penelitiannya di Kabupaten Barru, menduga surplus konsumen dari sumberdaya ekosistem mangrove dari berbagai pemanfaatan yang ada. Dengan luas habitat mangrove 6,23 ha, pemanfaatan pencari kepiting memberikan nilai surplus konsumen Rp17.664.744,00 per tahun. Sedangkan pemanfaatan tambak bandeng, dengan luas tambak 125,05 ha, hanya memberikan surplus konsumen Rp1.373.159,00

2.3 Permodelan Dinamik

(24)

Secara umum model dapat dikategorikan berdasarkan skala waktu dan tingkat kompleksititas yang dicerminkan dari aspek ketidakpastian. Menurut Fauzi dan Anna (2005) jenis-jenis model terbagi :

1. Model statik yaitu model yang tidak mempertimbangkan aspek waktu 2. Model dinamik yaitu model yang mempertimbangkan aspek waktu

(intertemporal),

3. Model deterministik yaitu model yang dibangun dengan mempertimbangkan aspek ketidakpastian yang lebih menggambarkan realitas dunia nyata,

4. Model Stokastik yaitu model yang dibangun memasukkan unsur ketidakpastian,

5. Model dinamik-stokastik yaitu model yang dibangun dengan interaksi antara skala waktu dan ketidakpastian,

(25)

3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan (Februari-April 2013) di pesisir Kabupatan Demak Propinsi Jawa Tengah. Lokasi pengambilan contoh terdapat pada muara Sungai Wulan di Kabupaten Demak, bagian selatan dan utara. Peta lokasi disajikan Gambar 2.

Kabupaten Demak terletak di antara 6º 43’ 26” – 7º 09’ 43” LS, dan 110° 27’ 58" - 110° 48' 47". Dengan batas-batas wilayah :

Sebelah utara : Kabupaten Jepara dan Laut Jawa

Sebelah timur : Kabupaten Kudus dan Kabupaten Grobongan Sebelah selatan : Kabupaten Grobogan dan Kota Semarang Sebelah barat : Kota Semarang

Kabupaten Demak, dengan luas wilayah 89.743 ha, memiliki 14 kecamatan, 241 desa, dan 6 kelurahan. Empat belas kecamatan tersebut yaitu Kecamatan Mranggen, Karangawen, Guntur, Sayung, Karang Tengah, Bonang, Demak, Wonosalam, Dempet, Gajah, Karanganyar, Mijen, Wedung dan Kebonagung. Wilayah pesisir Kabupaten Demak memiliki pantai sepanjang 34,1 km, secara administratif terbagi menjadi 4 (empat) kecamatan wilayah pesisir, yaitu Kecamatan Sayung (7.869,2 ha), Kecamatan Karangtengah (5.154,2 ha), Kecamatan Bonang (8.323,6 ha), dan Kecamatan Wedung (9.876,2 ha).

(26)

3.2 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Metode survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok. Survei adalah penelitian yang diadakan untuk memproleh fakta dari

gejala-Obyek penelitian adalah ekosistem mangrove, sumberdaya perikanan, masyarakat dan pemerintah di pesisir Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Obyek penelitian dipilih secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan bahwa ada keterkaitan antara kawasan mangrove dengan sumberdaya di sekitarnya.

gejala yang ada dan mencari keterangan secara faktual.

3.3 Jenis dan Sumber Data 3.3.1 Jenis Data

Data primer meliputi karakteristik pohon mangrove, parameter fisika dan kimia lingkungan, produktivitas primer ekosistem mangrove, data sosial ekonomi nelayan dan petambak terkait dengan pemanfaatan ekosistem mangrove. Sedangkan data sekunder meliputi data produksi perikanan, jumlah nelayan, jumlah petambak, luas tambak dan mangrove (Tabel 1).

Tabel 1 Jenis Data Penelitian

No Data Alat Metode Jenis

1. Kondisi Umum Lokasi

Kertas dan Bulpen Wawancara dan Pengamatan langsung

6. Kebijakan Kertas dan Bulpen Wawancara Primer 7. Luas mangrove dan

tambak

Kertas dan Bulpen survei Sekunder (DKP Kab Demak, 2011) 8. Jumlah nelayan dan

petambak

(27)

3.3.1.1 Karakteristik Ekosistem Mangrove

Karakteristik ekosistem mangrove meliputi: kerapatan, jenis, diameter batang setinggi dada dan tinggi. Untuk pengambilan sampel dilakukan pengamatan transek kuadrat secara purposive sampling pada sepuluh (10) stasiun, yang dianggap mewakili muara sungai yang berbatasan dengan laut (stasiun 2,3,4,5) dan muara sungai bagian hulu (1,6,7,8,9,10). Sebagian besar stasiun berada di muara bagian selatan karena memiliki luasan mangrove yang lebih besar dibanding muara bagian utara. Setiap transek pada setiap stasiun dibuat dengan skala 10 x 10 m². Koordinat stasiun pengamatan disajikan Tabel 2.

Tabel 2 Koordinat Stasiun Penelitian

Stasiun Lintang Selatan Bujur Timur Data yang diambil

1 06°44’28.3” 110°33’57.7” Mangrove, Suhu, Salinitas, Sedimen, TOM

2 06°43’39.6” 110°33’13.6” Mangrove, Suhu, Salinitas, Sedimen, TOM

3 06°45’02.4” 110°32’24.5” Mangrove, Suhu, Salinitas, Sedimen

4 06°45’03.8” 110°32’28.2” Mangrove, Suhu, Salinitas, Sedimen

5 06°45’11.9” 110°32’29.7” Mangrove, Suhu, Salinitas, Sedimen, TOM

6 06°45’39.5” 110°33’23.2” Mangrove, Suhu, Salinitas, Sedimen, TOM

7 06°46’05,8” 110°33’22,5” Mangrove, Suhu, Salinitas, Sedimen, TOM

8 06°45’30.1” 110°33’31.6” Mangrove, Suhu, Salinitas, Sedimen

9 06°45’05.9” 110°34’10.5” Mangrove, Suhu, Salinitas, Sedimen

10 06°45’00.7” 110°34’35,9” Mangrove, Suhu, Salinitas, Sedimen

11 06°45’35.5” 110°32’03.7” Suhu, Salinitas, TOM

12 06°46’47,0” 110°32’57,0” Suhu, Salinitas, TOM

13 06°45’05,6” 110°31’53,3” Suhu, Salinitas, TOM

14 06°44’54,7” 110°32’19,9” Suhu, Salinitas, TOM

15 06°44’43,1” 110°34’44,3” Suhu, Salinitas, TOM

3.3.1.2 Parameter Fisika dan Kimia

Parameter Fisika dan kimia yang diamati meliputi jenis substrat, suhu, salinitas, dan Total Organic Matter. Stasiun pengambilan sampel dilakukan pada beberapa titik seperti yang disajikan pada Tabel 2. Untuk parameter TOM, suhu dan salinitas, selain pada area mangrove dan muara sungai, pengambilan sampel juga dilakukan pada perairan terbuka dimana lokasi tersebut menjadi bagian dari wilayah penangkapan oleh nelayan (stasiun 11, 12, dan 13).

3.3.1.3 Produksi Serasah Mangrove

(28)

3.3.1.4 Pemanfaatan Ekosistem Mangrove

Manfaat mangrove bagi masyarakat diidentifkasi dari kegiatan pemanfaatan perikanan seperti nelayan dan aktifitas pemanfatan habitat seperti tambak. Manfaat diperoleh dengan mengetahui pendapatan, harga ikan, pendidikan, umur, dan jumlah keluarga nelayan dan petambak dengan teknik wawancara. Pemilihan responden dilakukan dengan cara purposive sampling. Kemudian data tersebut diolah dengan aplikasi Maple 9.5 untuk mengetahui surplus konsumen dan nilai ekonomi pemanfaatan.

3.3.1.5 Kebijakan Pemerintah Daerah

Informasi kebijakan seperti status, peraturan, dan program kerja terkait pengelolaan mangrove diperoleh dari wawancara terhadap Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Demak, Dinas Pertanian Kabupaten Demak, Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Demak, Kantor Kecamatan Wedung, Kelurahan Berahan Wetan, Kelurahan Berahan Kulon, dan Kelurahan Bungo.

3.3.2 Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Demak. Data sekunder yang digunakan meliputi:

1. Statistik perikanan tangkap Kabupaten Demak 2. Statistik perikanan budidaya Kabupaten Demak

3. Data jumlah nelayan dan petambak di Desa Berahan Wetan, Berahan Kulon, dan Bungo.

4. Luas mangrove dan tambak

3.4. Analisis Data

3.4.1 Analisis Hubungan Karakteristik Mangrove dan Parameter Fisika Kimia Hubungan antara karakteristik mangrove dengan parameter lingkungan dianalisis dengan Agglomerative Hierarchical Clustering (AHC) untuk dikelompokkan dalam kelas yang memiliki karakteristik yang sama atau berdekatan.

3.4.2 Analisis Indeks Nilai Penting

Indeks nilai penting (INP) suatu jenis berkisar antara 0 – 300. Nilai penting ini memberikan gambaran tentang peranan suatu jenis mangrove dalam ekosistem dan dapat juga digunakan untuk mengetahui dominansi suatu spesies dalam komunitas. Indeks Nilai Penting untuk pohon merupakan penjumlahan kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominansi relatif.

INP = KR + FR + DR Dimana:

KR(Kerapatan relatif) = x 100 %

(29)

DR (Dominasi Relatif ) = x 100 %

3.4.3 Analisis Indeks Keragaman (H’) Shannon-Wiener

Indeks keragaman (H’) menggambarkan keragaman, produktivitas, tekanan pada ekosistem, dan kestabilan ekosistem.

H’ = Dimana: Pi = ∑ni/N

H = Indeks Keragaman Shannon-Wiener

Pi = Jumlah individu suatu spesies/jumlah total seluruh spesies ni = Jumlah individu spesies ke-i

N = Jumlah total individu

Kisaran nilai hasil perhitungan indeks keragam (H) menunjukkan bahwa jika: H>3 : Keragaman spesies tinggi

1<H<3 : Keragaman spesies sedang H<1 : Keragaman spesies rendah 3.4.4 Analisis Produktivitas Primer

Analisis produksi serasah dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

Xj = (g/m²) (1)

Xj = rata-rata produksi serasah setiap ulangan pada periode tertentu

xi = produksi serasah setiap ulangan pada periode waktu tertentu (ke-i = 1,2,3,…n)

n = jumlah litter trap pengamatan

Dari produksi serasah daun mangrove yang dihasilkan, setelah mengalami proses grazing, ekspor dan dekomposisi, serasah daun akan menghasilkan nutrien (N, P) ke lingkungan perairan kemudian diperoleh nilai produktivitas primer dari serasah. Produktivitas primer tersebut pada akhirnya akan menentukan stok ikan di perairan (Mahmudi 2010). Formula untuk pendugaan stok ikan dengan pendekatan serasah dapat dilihat Gambar 3.

Gambar 3 Formula Untuk Pendugaan Stok Ikan Dengan Pendekatan Serasah

(30)

3.4.5 Analisis Luasan dan Perubahan Luasan mangrove

Pra-pengolahan merupakan kegiatan koreksi citra secara geometris dan radiometrik, sehingga diperoleh data citra yang sudah memiliki posisi geografi yang sesuai dengan referensi dimuka bumi, serta data tersebut sudah mampu untuk dianalisis dan dioverlay-kan dengan peta vector digital lainnya. Selanjutnya citra raster yang sudah terkoreksi diinterpretasi dengan komposisi band RGB 453 untuk menampilkan wilayah mangrove dan dilakukan pengecekan ke lapangan untuk membuktikan hasil interpretasi. Selanjutnya hasil interpretasi dilakukan digitasi dengan menu edit region.

Hasil edit region tersebut dihitung luasnya dengan menu statistik area summary report. Hasilnya diperoleh dari perbandingan antara citra landsat Tahun 1989, Tahun 1999, dan Tahun 2009. Perubahan luas mangrove tersebut dimasukkan ke dalam model sebagai dinamika mangrove.

3.4.6 Analisis Nilai Pemanfaatan Perikanan

Pemanfaatan ekosistem mangrove di lokasi penelitian didominasi oleh kegiatan perikanan tangkap oleh nelayan dan pemanfaatan habitat mangrove sebagai tambak. Analisis nilai ekosistem mangrove untuk pemanfaatan perikanan dan pemanfaatan habitat menggunakan pendekatan surplus konsumen. Langkah-langkah pendugaan nilai pemanfaatan berdasarkan konsumen surplus meliputi: 1. Fungsi permintaan untuk Direct Use Value sebagai berikut:

Q = β0 X1β1X2β2X3β3...Xnβn (2) Dimana:

Q = jumlah sumberdaya yang diminta X1 = Harga

X2, X3, Xn = karakteristik sosial ekonomi konsumen

2. Mengestimasi total keinginan membayar (nilai ekonomi sumberdaya)

U = (3)

Dimana:

U = utilitas terhadap sumberdaya

a = Batas jumlah sumberdaya rata-rata yang dikonsumsi f(Q) = Fungsi permintaan

3. Mengestimasi Consumers Surplus

Pt = X1 x Q (4)

CS = U – Pt (5)

Dimana :

CS = Consumers surplus Pt = harga yang dibayarkan

X1 = harga per unit sumberdaya yang dikonsumsi/diminta Q = rata-rata jumlah sumberdaya yang dikonsumsi/diminta

(31)

memasukkan variable-variabel yang terkait. Pemodelan simulasi model keterkaitan sumberdaya mangrove dan produksi perikanan ini dilakukan dengan tiga (3) skenario, yaitu:

(1) Skenario 1, kondisi existing

Kondisi ekosistem mangrove dan pemanfaatan di Pesisir Kabupaten Demak belum mengalami penambahan/pengurangan.

(2) Skenario 2, konservasi ekosistem mangrove

Kondisi ekosistem mangrove di Pesisir Kabupaten Demak dikonservasi dengan penambahan mangrove pada lahan yang tersedia.

(3) Skenario 3, penurunan kawasan mangrove

(32)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Umum Lokasi Penelitian

Secara administratif, Kecamatan Wedung berbatasan dengan Kabupaten Jepara di sebelah utara, Kecamatan Mijen di sebelah timur, Kecamatan Bonang di sebelah selatan, dan Laut Jawa di sebelah barat. Luas wilayahnya 98,76 Km², yang terdiri atas 20 desa. Desa yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa berjumlah enam (6) desa meliputi: Desa Wedung, Desa Mandung, Desa Berahan Kulon, Desa Berahan Wetan, Desa Babalan, dan Desa Kedungmutih.

Muara Sungai Wulan mencakup wilayah dua desa: Berahan Kulon dan Berahan Wetan. Muara tersebut dilewati oleh perahu nelayan Desa Bungo yang pergi melaut dan perahu petambak Dukuh Menco Berahan Wetan yang pergi ke tambak. Seiring pendangkalan dasar muara sungai, pemerintah daerah bersama Balai Besar Wilayah Air Sungai Jratun Serayu melakukan penyodetan sisi sungai sebelah selatan untuk mengurangi pendangkalan akibat sedimentasi yang tinggi. Hasilnya muara Sungai Wulan bercabang dua: sisi selatan dan sisi utara. Sisi utara merupakan muara sungai lama sedangkan sisi selatan merupakan muara sungai baru. Sampai saat ini, sebagian besar nelayan pergi melaut menggunakan sisi selatan karena lebih lebar dan lebih dalam.

Penyodetan Sungai Wulan menciptakan tanah timbul yang semakin lama semakin luas. Kondisi tersebut mendukung pertumbuhan mangrove secara alami. Di sisi lain, masyarakat memanfaatkan lahan tanah timbul tersebut menjadi tambak. Hal ini didukung oleh pemerintah desa dengan menjual hak pengelolaan tambak kepada petambak sebagai salah satu pemasukan desa.

Kecamatan Wedung memiliki penduduk 88.468 jiwa dengan komposisi 45.043 (laki-laki) dan 43.425 (perempuan). Desa Berahan Kulon memiliki luas 8,98 Km² dengan jumlah penduduk 1.487 jiwa. Desa Berahan Wetan memiliki luas 9,23 Km² dengan jumlah penduduk 7.797 jiwa. Sedangkan Desa Bungo memiliki jumlah penduduk 7.072 jiwa (Tabel 3). Sebagian besar nelayan merupakan warga Desa Bungo, sehingga di desa tersebut terdapat Tempat Pendaratan Ikan (TPI) khusus tangkapan kerang, kepiting dan udang. Sedangkan tambak sebagian besar dikelola oleh warga Desa Berahan Wetan Dukuh Menco. Namun sebagian besar tambak berada di Desa Berahan Kulon.

Tabel 3 Jumlah Penduduk, Nelayan, Petambak, Luas Tambak, Mangrove, dan Panjang Garis Pantai Desa Penelitian

No Desa

(33)

No

Secara topografi, Kecamatan Wedung dan kecamatan pesisir lain memiliki elevasi (ketinggian permukaan tanah dari permukaan laut) mulai dari 0 – 10 meter. Jenis tanahnya meliputi Alluvial Hidromorf (terdapat di sepanjang pantai), gromosol kelabu tua, dan asosiasi coklat kelabu dan alluvial coklat kekelabuan. Sedangkan komposisi tekstur tanahnya sebagian besar didominasi oleh lanau, berikutnya pasir, dan sedikit lempung.

Kawasan pantai Kabupaten Demak termasuk dalam klasifikasi iklim C-2 menurut oldeman, dengan 5-6 bulan basah dan 2, 3 atau 4 bulan kering. Jumlah hari hujan dalam setahun sebanyak 82 hari dengan curah hujan 1.968 mm/tahun. Data banyaknya hari hujan dan curah hujan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Banyaknya Hari Hujan dan Curah Hujan di Kecamatan Wedung Tahun 2009

Bulan Hari Hujan (Hari) Curah Hujan (mm)

1 Januari 21 777

2 Februari 14 329

3 Maret 7 284

4 April 4 102

5 Mei 10 116

6 Juni 1 10

7 Juli 4 41

8 Agustus 0 0

9 September 1 7

10 Oktober 3 26

11 Nopember 8 108

12 Desember 9 168

Jumlah 82 1.968

Sumber: Bappeda Kabupaten Demak (2011)

Pola arus yang terjadi bervariasi dan dipengaruhi oleh musim. Pada musim barat yang berlangsung dari Bulan Desember sampai Bulan Februari arus bergerak lebih cepat dari barat mengarah ke timur dengan kecepatan arus berkisar 38 – 50 cm / detik dan pada musim timur yang berlangsung pada Bulan Juni sampai Bulan Agustus kecepatan arus berkisar antara 12 – 25 cm / detik.

Pasang surut yang terjadi di pantai Demak adalah pasang surut campuran dominan ke harian ganda (Mixed Semi Diurnal), sehingga mempunyai pengertian dalam sehari (24 jam) akan terjadi dua kali pasang naik dan dua kali surut.

Perbedaan pasang surut pada pantai di Demak secara umum berkisar antara 20 -

(34)

0

0 5000 10000 15000 20000

Waktu (jam)

Gambar 4 Grafik Pasang Surut Di Wilayah Pesisir Kabupaten Demak (Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Demak 2011)

4.2. Karakteristik Ekosistem Mangrove

Data mengenai vegetasi mangrove yang tumbuh di muara Sungai Wulan diperoleh dari pengamatan langsung dan ditambah dari data sekunderpenelitilain. Secara umum, vegetasi pohon mangrove (tinggi di atas 4 meter) di lokasi penelitian banyak didominasi oleh jenis Avicennia sp. Jenis lainnya meliputi Rhizophora sp dan Sonneratia sp (Tabel 5). Data kerapatan mangrove di lokasi penelitian antara 1-19 pohon/100 m², diameter 7-15 cm, dan tinggi 4-8 m.

Tabel 5 Karakteristik Mangrove pada Lokasi Penelitian

Stasiun Kerapatan Pohon (pohon/100 m²)

Menurut informasi nelayan dan petambak, keberadaan Avicennia sp di 7 stasiun (2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8) tumbuh secara alami. Jenis initumbuh pada tanah timbul yang terbentuk di muara sungai. Menurut Noor et al. (2006) Avicennia sp

merupakan tumbuhan pioner yang paling umum ditemukan di habitat

(35)

Keberadaan Sonneratia sp di 3 stasiun (1,9, dan 10) menunjukkan habitatnya di daerah tawar dan di bagian hulu muara sungai. Stasiun 1 diketahui berada di muara Sungai Wulan lama dimana pada Tahun 2012, dilakukan pelebaran sungai oleh Balai Besar Wilayah Air Sungai Jratun Serayu. Kegiatan tersebut mengakibatkan keberadaan vegetasi di tepi muara sungai menjadi hilang.

4.3 Parameter Fisika dan Kimia Lingkungan

Menurut Noor et al. (2006), Sonneratia caseolaris tumbuh di bagian yang kurang asin di hutan mangrove, pada tanah lumpur yang dalam, seringkali sepanjang sungai kecil dengan air yang mengalir pelan dan terpengaruh oleh pasang surut. Jenis ini juga tumbuh di sepanjang sungai, mulai dari bagian hulu dimana pengaruh pasang surut masih terasa, serta di areal yang masih didominasi oleh air tawar.

Selanjutnya untuk spesies Rhizophora sp pada stasiun 2, 3, 4, 5, keberadaannya tumbuh secara alami di pematang sungai pasang surut, di muara sungai dan ditanam oleh petambak. Jenis yang ditanam ditunjukkan pada stasiun 2 dan 4 dimana tumbuh rapi di sepanjang pematang saluran tambak di dekatnya.

Jenis yang ditemukan pada lokasi penelitian tidak bertentangan dengan

penelitian sebelumnya. Setyawan et al. (2005) mengungkapkan ada 13 spesies

mangrove mayor yang ditemukan pada muara Sungai Wulan Demak meliputi: Avicennia alba, Avicennia officinalis, Avicennia marina, Bruguera cylindrica, Bruguera gymnorrhiza, Ceriop tagal, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, Rhizophora mucronata, Lumnitzera littorea, Nypa fruticans, Sonneratia alba, Sonneratia caseolaris. Namun pada penelitian Suryono (2006), jenis Sonneratia sp tidak ditemukan. Hal ini diduga karena jenis ini tumbuh di pematang sungai wulan lama yang telah dilebarkan pada tahun 2012. Sedangkan penelitian Suryono (2006) dilakukan sebelum kegiatan tersebut.

Hasil pengukuran parameter lingkungan pada lokasi penelitian menunjukkan suhu berkisar antara 28 - 34 ⁰C, Salinitas antara 0 – 21 ⁰/oo, Total Organic Matter (TOM) antara 3,74 – 66,31. Tekstur sedimen didominasi oleh debu. Hasil pengukuran parameter lingkungan disajikan pada Tabel 6.

(36)

Tabel 6 Data Parameter Fisika dan Kimia Lokasi Penelitian

Gambar 5 Komposisi Tekstur Sedimen Lokasi Sampling

(37)

4.4. Analisa Hubungan Karakteristik Mangrove dan Parameter Fisika Kimia

Berdasarkan metode Agglomerative Hierarchical Clustering (AHC

Gambar 6. Analisis Dendogram Stasiun Karakteristik Mangrove dan Parameter Fisika Kimia

Kelompok pertama terdiri atas stasiun 1,9, dan 10. Kelompok ini didominasi oleh jenis Sonneratia sp dengan kerapatan yang rendah, salinitas tawar, dan substrat lempung liat berdebu. Kelompok kedua terdiri atas stasiun 2, 3, 5, 6,7,8, dengan jenis mangrove Avicennia sp dengan kerapatan yang sedang dan frkasi debu yang tinggi. Dan kelompok ketiga didominasi oleh Avicennia sp, kerapatan yang tinggi dan Rhizophora sp, kerapatan sedang, serta fraksi liat tinggi (Tabel 7). Hasil pengelompokkan ini selanjutnya digunakan untuk menghitung indeks nilai penting (INP) dan Nilai keanekaragaman.

Tabel 7 Pengelompokkan Stasiun Penelitian

), stasiun pengamatan karakteristik mangrove dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok berdasarkan parameter fisika dan kimia yang ada (Gambar 6). Dengan pertimbangan sedikit perbedaan nilai dissimilarity, maka kelompok kedua dan ketiga digabung menjadi satu kelompok.

(38)

4.5 Analisa Indeks Nilai Penting dan Nilai Keanekaragam

Hasil perhitungan indeks nilai penting (INP), nilai tertinggi terdapat pada kelompok pertama untuk jenis Sonneratia sp sebesar 300 % (skala 0 – 300) dan

terendah pada kelompok ketiga untuk jenis Rhizophora sp sebesar 111,78 %

(Tabel 8).

Tabel 8 Indeks Nilai Penting (INP) Mangrove

Kelompok Jenis Kerapatan

Relatif (%)

Dari hasil analisis indeks nilai penting, spesies Sonneratia sp sangat mendominasi pada kelompok pertama atau daerah hulu muara sungai. Hal ini diduga karena pengaruh air tawar menciptakan habitat yang sesuai untuk pertumbuhan jenis ini. Jenis Avicennia sp mendominasi pada kelompok kedua dan ketiga atau sebagian besar wilayah muara sungai. Hal ini menunjukkan bahwa muara Sungai Wulan sangat sesuai untuk habitat jenis ini. Dominansi jenis ini disebabkan karena tanaman ini merupakan tanaman pionir yang memiliki kemampuan mengikat sedimen yang tinggi. Muara Sungai Wulan bertambah luasnya karena adanya sedimentasi yang tinggi yang menciptakan tanah timbul sebagai habitat jenis Avicennia sp.

Selanjutnya, berdasarkan hasil analisis indeks keanekaragaman (H’) Shannon dan Wiener, ekosistem mangrove di muara Sungai Wulan memiliki nilai indeks keanekaragaman yang rendah, yaitu di bawah 1. Nilai indeks keanekaragaman kelompok pertama 0, karena hanya didominasi satu jenis. Sedangkan kelompok kedua dan ketiga memiliki nilai indeks 0,38 dan 0,57 (Tabel 9). Hal ini menunjukkan ekosistem tersebut memiliki keanekaragaman rendah, miskin, produktivitas rendah sebagai indikasi adanya tekanan yang berat dan ekosistem tidak stabil.

Tabel 9 Hasil Analisis Keanekaragaman

Kelompok Jenis Jumlah

(39)

4.6 Analisis Luas Mangrove

Berdasarkan analisa citra landsat Tahun 1989, 1999, dan 2009, setiap tahun terjadi penambahan luas wilayah di lokasi penelitian sebesar 10,09 ha. Sedangkan luas mangrove setiap tahunnya tumbuh 5,92 ha (Tabel 10). Dari Tahun 1989 sampai Tahun 2009, wilayah pesisir pada dua desa (Berahan Wetan dan Berahan Wetan) bertambah 201,87 ha. Hal ini diduga disebabkan oleh sedimentasi yang tinggi pada Muara Sungai Wulan. Penambahan sebagian besar pada muara sungai bagian selatan. Penyodetan sisi sungai yang dilakukan sebelum Tahun 1989 menyebabkan luas pesisir bertambah (Lampiran 4).

Tabel 10 Perubahan Luas Pesisir di Muara Sungai Wulan

Tahun Luas Pesisir

(ha)

Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Tengah (2011), hasil interpretasi citra ALOS 2011, luas mangrove di Kecamatan Wedung Demak sebesar 654,65 ha. Nilai tersebut merupakan 56 % dari luas mangrove total di Kabupaten Demak. Data tersebut juga menyajikan bahwa kawasan mangrove yang paling luas di pantai utara (pantura) Jawa Tengah terdapat di Kabupaten Demak, yaitu 46,96 % dari total luas mangrove di pantura.

Data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Demak (2011), berdasarkan Citra Aster 2006, luas mangrove di Kelurahan Berahan Wetan 196,84 Ha dan Kelurahan Berahan Kulon 380,73 Ha. Sehingga total luas mangrove keduanya 577,57 Ha. Muara Sungai Wulan mencakup dua desa tersebut, sehingga nilai tersebut dianggap mewakili luas mangrove di lokas penelitian.

4.7 Produktifitas Serasah Mangrove

(40)

Tabel 11 Perbandingan Kelompok Mangrove dengan Berat Kering Serasah Mangrove

Kelompok Jenis INP (%) Stasiun Rata-rata Berat

Kering (gr/m²/hr)

Selanjutnya, pendugaan biomassa ikan di ekosistem hutan mangrove secara khusus dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan pelepasan nutrien dari serasah mangrove (Mahmudi 2010). Ekosistem mangrove di Muara Sungai Wulan, dengan produksi serasah 4,5 gr/m²/hr, menyumbang nutrien 0,09 N dan 0,0045 P gr/hr. Nutrien tersebut menghasilkan produktifitas primer 3,213 gr C/m²/hr. Produksi ikan yang dihasilkan sebesar 0,385 gr /m²/hr (ikan herbivora 0,35 gr /m²/hr dan ikan karnivora 0,035 gr /m²/hr) atau 1.405,25 kg/ha/th. Dengan harga rata-rata ikan Rp12.472,00 nilai produksi ikan yang dihasilkan sebesar Rp17.526.278,00/ha/th.

4.8 Nilai Pemanfaatan Ekosistem Mangrove

4.8.1 Perikanan Tangkap

Dari hasil pengamatan di lapangan, aktifitas perikanan tangkap di muara Sungai Wulan, baik perairan di depannya maupun di dalam tambak, sebagian besar dilakukan oleh nelayan dari Desa Bungo dan Desa Berahan Wetan Dukuh Menco. Di Desa Bungo terdapat Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang khusus pendaratan tangkapan kerang dan udang. Sehingga Desa Bungo dikenal sebagai penghasil kerang. Nelayan Dukuh Menco dikenal sebagai nelayan tradisional penghasil kepiting bakau. Mereka menggunakan alat yang sederhana untuk mencari kepiting di daerah tambak di muara Sungai Wulan. Produk tangkapan kemudian dijual kepada bakul. Pemanfaatan pada sektor penangkapan disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Pemanfaatan Perikanan Tangkap di Ekosistem Mangrove

No Desa Jenis alat tangkap Produk Utama penangkapan

(41)

4.8.2 Pemanfaatan Ekosistem Mangrove sebagai Tambak

Ekosistem mangrove di muara Sungai Wulan dimanfaatkan sebagai lahan pertambakan oleh masyarakat sekitar. Lahan tambak di wilayah Desa Berahan Kulon seluas 445,6 Ha dengan jumlah rumah tangga perikanan (RTP) 159 unit dan di Desa Berahan Wetan 318,8 Ha dengan jumlah RTP 142 unit (Dinas Kelautan dan Perikanan 2011).

Tambak di Desa Berahan Kulon dan Berahan Wetan sebagian besar dimanfaatkan oleh penduduk Desa Berahan Wetan, khususnya Dukuh Menco. Sebagian besar lahan tersebut tidak berstatus sertifikat, namun berupa hak pengelolaan yang dikeluarkan oleh kepala desa. Sifat pengelolaan hak tersebut tidak terbatas waktu dan petambak dikenai pajak bumi oleh pemerintah daerah.

4.8.3 Pendugaan Surplus Konsumen

Hasil pengolahan dengan program pengolah matematika menunjukkan pemanfaatan ekosistem mangrove untuk perikanan tangkap memberikan surplus konsumen Rp179.937.460,00/ind/th dan nilai ekonomi Rp538.345.015,00/ha/th. Nilai tersebut diperoleh dari luas lahan mangrove 577,57 ha dengan rata-rata permintaan 3.534,68 kg per tahun per nelayan. Karakteristik sosial ekonomi nelayan meliputi umur, pendidikan, jumlah anggota keluarga, dan pendapatan (Tabel 13 dan 14).

Pemanfaatan ekosistem mangrove sebagai tambak udang dan bandeng memberikan surplus konsumen Rp53.996.615,00/ind/th dan nilai ekonomi Rp20.417.269

Jenis

Pemanfaatan

,00/ha/th. Nilai tersebut diperoleh dari luas lahan tambak 841,6 ha dengan rata-rata permintaan 804,23 kg per tahun per petambak dan karakteristik sosial dan ekonomi tertentu. Nilai surplus konsumen di lokasi penelitian lebih besar dibandingkan hasil penelitian Sobari et al. (2006) di Kabupaten Barru, dimana nilai surplus konsumen sebesar Rp1.373.159,13/ha/th.

Tabel 13 Karakteristik Sosial Ekonomi Nelayan dan Petambak di Lokasi Penelitian

Tabel 14 Pendugaan Surplus Konsumen dan Nilai Ekonomi dari Pemanfaatan Perikanan Per Tahun di Muara Sungai Wulan Demak

Jenis

Tangkap 577,57 3.534,68 179.937.460 538.345.015

Perikanan

(42)

Hasil pendugaan nilai ekonomi menunjukkan bahwa per hektar mangrove memberikan nilai ekonomi lebih besar melalui aktifitas perikanan tangkap dibanding nilai ekonomi per hektar tambak. Nilai ekonomi dari perikanan tangkap Rp538.345.460,00/ha/th masih lebih besar dibandingkan potensi ekologi Rp17.526.278,00/ha/th. Hal ini disebabkan karena nilai ekonomi perikanan dipengaruhi tidak hanya produktifitas mangrove, namun juga dipengaruhi produktifitas dari sungai dan laut.

Berdasarkan hasil tersebut, pengelolaan ekosistem mangrove sangat diperlukan agar manfaat yang lebih besar dapat diperoleh oleh nelayan dan petambak. Kemudian hal ini menjadi rekomendasi bagi pemangku kebijakan untuk mengendalikan kegiatan pertambakan khususnya di daerah ekosistem

mangrove. Melana et al. (2000) menyatakan bahwa ancaman langsung dari

manusia terhadap ekosistem mangrove meliputi konversi mangrove menjadi tambak dan tambak garam. Hal ini akan menyebabkan kerugian yang besar karena tidak hanya manfaat perikanan yang hilang, namun usaha pertambakan juga akan hancur akibat kerusakan lingkungan.

4.9 Evaluasi Kebijakan

Pengelolaan ekosistem mangrove di Kabupaten Demak dilakukan oleh beberapa instansi, diantaranya Dinas Kelautan dan Perikanan, Kantor Lingkungan Hidup, Dinas Pertanian, dan pemerintah desa. Walaupun multisektoral, implementasi pengelolaan tersebut belum dikoordinasikan secara maksimal. Surat Keputusan Bupati Demak Nomor 660.05/19/2011 Tanggal 17 Januari 2011 tentang Pembentukan Kelompok Kerja dan Sekretariat Pengelolaan Ekosistem Mangrove Kabupaten Demak (KKMD) Kabupaten Demak Periode 2011-2013 menunjukkan koordinasi pengelolaan baru dilakukan. Dalam Surat Keputusan tersebut, Kelompok Kerja diketuai oleh Asisten Ekonomi Pembangunan dan Kesra Sekda, dengan keanggotaan meliputi sebagian besar instansi pemerintah daerah, LSM, dan akademisi.

Sebelum terbentuknya Surat Keputusan Bupati tentang Pembentukan Kelompok Kerja dan Sekretariat Pengelolaan Ekosistem Mangrove Kabupaten Demak (KKMD), program-program terkait pengelolaan mangrove dilakukan oleh ketiga instansi terkait di Kabupaten Demak secara parsial. Pembagian kewenangan setiap instansi belum jelas. Bahkan hingga terbentuknya Surat Keputusan Bupati hingga sekarang, pembagian kewenangan baru sebatas kesepakatan lisan belum tertulis. Pembagian kewenangan dilakukan berdasarkan kawasan mangrove yang dikelola dimana Dinas Kelautan dan Perikanan sebagai pelaksana teknis pada areal yang melindungi pertambakan bagian depan, Dinas Pertanian pada saluran irigasi dan areal pertambakan, dan Kantor Lingkungan Hidup pada areal bencana (abrasi).

(43)

pengelolaan secara intensif. Pengelolaan baru dilakukan pendataan luas dan jenis mangrove, luas pesisir yang mengalami abrasi dan akresi, dan penanaman bibit KBR (Kebun Bibit Rakyat). Penanaman KBR di muara Sungai Wulan pernah dilakukan oleh Dinas Pertanian Tahun 2012 sebanyak 5000 batang jenis Rhizophora sp namun hanya di tepi Sungai Wulan, belum sampai di muara sungai. Pertumbuhan mangrove di muara Sungai Wulan dan pantainya seluruhnya terjadi secara alami. Sedangkan di tambak, mangrove ditanami oleh petambak.

Selanjutnya, Pemerintah Daerah Kabupaten Demak sepakat bahwa konversi ekosistem mangrove untuk pertambakan seharusnya dikendalikan. Dan penambahan tanah akibat akresi di muara Sungai Wulan seharusnya dikelola menjadi kawasan mangrove bukan pertambakan. Namun kenyataannya, penambahan tanah akibat akresi (tanah timbul) banyak dimanfaatkan untuk menjadi areal pertambakan oleh masyarakat berupa hak pengelolaan. Padahal, pemanfaatan tanah timbul menyebabkan potensi konflik karena status kepemilikan dan alur pelayaran bagi perahu nelayan.

Terkait dengan aspek sosial ekonomi, pengelolaan mangrove perlu melibatkan masyarakat, baik dalam perencanaan, pelaksanaan maupun monitoring dan evaluasi. Hal ini dibuktikan dengan pembentukan kelompok tani di setiap kecamatan pesisir melalui program KBR atau penanaman mangrove,

pembangunan APO (Alat Pemecah Ombak) dan pengembangan silvofishery.

Walaupun demikian, program tersebut tidak dilakukan secara merata setiap tahun karena keterbatasan anggaran.

Keunikan pemanfaatan ekosistem mangrove di Sungai Wulan adalah sebagian besar lokasi tambak ada di Desa Berahan Kulon, petambaknya sebagian besar adalah warga Desa Berahan Wetan Dusun Menco, dan nelayan sebagian besar adalah warga Desa Bungo. Keseimbangan yang dicapai adalah ketika ada pendapatan dari pajak bumi dari tambak dan kestabilan penghasilan dari petambak dan nelayan. Namun pada pelaksanaannya kebijakan untuk tambak lebih diutamakan, sehingga kadang timbul konflik dengan nelayan akibat akses pelayaran terganggu seperti penutupan aliran sungai dan penebangan pohon mangrove.

(44)

4.9 Causal Loop dan Model Dinamik Pengelolaan Ekosistem Mangrove Model dinamik pengelolaan ekosistem mangrove di Muara Sungai Wulan dibangun atas dasar skenario kebijakan yang diinginkan oleh stakeholder, produktifitas mangrove, dan nilai pemanfaatan ekosistem mangrove. Kebijakan yang diinginkan oleh stakeholder adalah tidak mengurangi area tambak yang sudah ada. Pengaturan kawasan mangrove dan tambak dilakukan pada lahan pesisir hasil akresi atau sedimentasi, dengan rata-rata penambahan lahan 10,09 ha/th. Faktor dinamik yang dimasukkan kedalam model disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15 Faktor Dinamik dalam Permodelan Pengelolaan Ekosistem Mangrove yang Berkelanjutan

No Faktor Nilai

1. 2

Perubahan Luas pesisir

Perubahan Luas Hutan Mangrove

10,09 ha/th 5,92 ha/th

3. Produksi Serasah 16.508,95 kg/ha/th

Selanjutnya penghitungan serasah memperhatikan komposisi jenis mangrove karena produksi setiap jenis berbeda. Komposisi jenis mangrove dianalisa dari data karakteristik mangrove dan produksi serasah mangrove pada sepuluh stasiun. Muara Sungai Wulan meliputi 77,5 % Avicennia sp dengan berat kering serasah rata-rata 15.120,13 kg/ha/th, 15 % Rhizophora sp dengan berat kering serasah rata-rata 10.512,00 kg/ha/th, dan 7,5 % Sonneratia sp berat kering serasah rata-rata 20.987,5 kg/ha/th (Tabel 16).

Tabel 16 Komposisi Jenis Mangrove dan Berat Serasah Mangrove per Jenis pada Kondisi Eksisting

(45)

Gambar 7 Causal loop Mangrove Untuk Mendukung Perikanan Dan Pemanfaatan Tambak

4.10.2 Model Dinamik

Ekosistem mangrove di Muara Sungai Wulan mendukung perikanan melalui sumbangan serasah ke perairan dan pemanfaatan habitat untuk pertambakan. Simulasi yang dilakukan dengan 8 variabel stok: luas mangrove, luas tambak, nilai ekonomi, surplus konsumen tambak, serasah, nutrien, produktifitas primer, dan nilai ekologi (Gambar 8). Luas mangrove dipengaruhi oleh pertumbuhan mangrove dan penambahan tambak. Luas tersebut digunakan untuk menghitung nilai total perikanan (perikanan tangkap) melalui serasah yang dihasilkan. Sedangkan luas tambak digunakan untuk menghitung nilai total tambak melalui pendekatan surplus konsumen. Nilai total pemanfaatan mangrove merupakan gabungan nilai perikanan dan nilai total tambak.

Skenario yang digunakan dalam pengelolaan mangrove meliputi kondisi eksisting, konservasi, penambahan tambak (Table 17).

Table 17 Skenario Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Muara Sungai Wulan

No Skenario Penambahan

(46)

Gambar 8 Model Dinamik Nilai Ekosistem Mangrove Untuk Mendukung Perikanan dan Pemanfaatan Tambak

Dari hasil simulasi selama 100 tahun, dengan komposisi jenis mangrove 77,5 % Avicennia sp, 15 % Rhizophora sp, dan 7,5 % Sonneratia sp, pada skenario 1 dan 2, nilai total perikanan semakin meningkat. Sedangkan pada skenario 3, nilai total perikanan akan menurun. Pada kondisi optimal, nilai total perikanan stabil (Gambar 9).

Penambahan jenis Rhizophora sp dengan komposisi mangrove 50 %

Avicennia sp, 42,5 % Rhizophora sp, dan 7,5 % Sonneratia sp, menghasilkan pola yang sama dengan komposisi sebelumnya namun nilai total pemanfaatan lebih

rendah (Gambar 10 dan Tabel 18). Penambahan jenis Sonneratia sp dengan

komposisi mangrove 50 % Avicennia sp, 15 % Rhizophora sp, dan 35 %

(47)

Tabel 18 Nilai Total Pemanfaatan Perikanan dan Pemanfaatan Habitat dengan Komposisi Jenis Mangrove yang Berbeda

No Skenario Nilai Total Pemanfaatan (Rp)

A B C

1 Eksisting 37.144.511.448,74 35.374.725.365,59 39.308.476.676,38

2 Konservasi 42.674.365.692,70 40.412.361.786,67 45.440.178.942,13

3 Penambahan

Tambak 22.180.236.401,40 21.741.261.468,99 22.716.982.903,47

4 Kondisi Optimal 32.431.451.638,93 31.080.962.219,72 34.082.731.514,68

Keterangan:

A = 77.5 % Avicennia . 15 % Rhizophora. dan 7.5 % Sonneratia B = 50 % Avicennia . 43 % Rhizophora. dan 7.5 % Sonneratia C = 50 % Avicennia . 15 % Rhizophora. dan 35 % Sonneratia

(48)

Gambar 10 Hasil Simulasi Model Dinamik Nilai Manfaat Mangrove dengan Komposisi Mangrove 50 % Avicennia sp. 43 % Rhizophora sp. dan 7.5 % Sonneratia sp.: 1. Eksisting. 2. Konservasi. 3. Penambahan tambak. dan 4. Kondisi optimal.

(49)

Pada semua komposisi. kondisi eksisting (penambahan 5.92 ha) menunjukkan nilai total perikanan yang cenderung meningkat hingga waktu 100 tahun (Lampiran 11). Apabila kondisi ini dipertahankan keberlanjutan mata pencaharian nelayan dan petambak akan stabil.

Intervensi pemerintah dan masyarakat dalam bentuk konservasi (penambahan mangrove) dapat meningkatkan produksi perikanan melalui peningkatan produktivitas primer. Dan kebijakan penurunan luas mangrove melalui penambahan tambak akan menurunkan nilai produksi perikanan sehingga

menyebabkan hasil tangkapan nelayan menurun. Sehingga kebijakan

mempertahankan penambahan luas mangrove minimal 5 ha/tahun diperlukan agar nilai pemanfaatan melalui perikanan tangkap dan perikanan dapat berkelanjutan.

Pada semua skenario. komposisi jenis mangrove mempengaruhi peningkatan nilai total pemanfaatan ekosistem mangrove karena serasah mangrove dipengaruhi oleh jenis mangrove. Jenis Sonneratia sp menghasilkan produksi serasah yang paling besar dibanding jenis Avicennia dan Rhizopora.

Pada kondisi eksisting, komposisi C menghasilkan nilai total perikanan

Rp39.308.476.676,38 pada Tahun 2113. Sedangkan komposisi A dan B lebih rendah, Rp37.144.511.448,74 dan Rp35.374.725.365,59. Rehabilitasi ekosistem

mangrove di Muara Sungai Wulan dengan penanaman jenis Sonneratia akan

meningkatkan nilai produksi perikanan. Penanaman dapat dilakukan terutama pada bagian hulu muara sungai karena lokasi tersebut sangat sesuai untuk pertumbuhan jenis ini.

Sebaliknya. rehabilitasi dengan penambahan mangrove dengan memilih

jenis Rhizophora dibandingkan dengan Avicennia pada kawasan yang dekat

Gambar

Grafik Pasang Surut di Wilayah Pesisir Kabupaten Demak
Tabel Simulasi Model selama 100 Tahun
Gambar 1.  Kerangka Pemikiran Penelitian “ Model Dinamik dalam Pengelolaan
Gambar 2 Lokasi Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Enzim protease yang dihasilkan oleh bakteri selain berperan dalam mendegradasi dinding sel patogen, protease dapat digunakan oleh bakteri tersebut untuk melakukan

Judul : PENGARUH KEPEMILIKAN INSTITUSIONAL, KEBIJAKAN HUTANG, DAN INVESTMENT OPPORTUNITY SET TERHADAP KEBIJAKAN DIVIDEN PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR

Beberapa penelitian serupa pernah dilaksanakan, salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Karman (2012) diperoleh kesimpulan bahwa: “Soal ujian bidang studi

Edible coating pati ganyong dengan variasi konsentrasi bubuk kunyit putih (1, 2, dan 3 %) memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap masa simpan pada susut bobot,

171 pembelajaran, (3) keaktifan mahasiswa dalam proses perkuliahan sangat kurang, hal ini ditunjukkan dari rendahnya kemauan mahasiswa baik untuk menjawab pertanyaan dari

Kedua adalah hitungan mundur yang Digunakan untuk mengetahui waktu paling akhir memulai dan mengakhiri masing-masing kegiatan tanpa mempengaruhi penyelesaian proyek

Pengaruh langsung Program Kesehatan Kerja (X2) ke Faktor Penyakit Akibat Kerja (Y1) dan pengaruh langsung antara Faktor Penyakit Akibat Kerja (Y1) keFaktor

Mengapa hal itu masih terjadi dalam era perkembangan teknologi komunikasi yang berbasis audio visual dengan adanya HP, computer dan internet juga situs dan